Monolog
TRIK
Putu Wijaya
Aku ditanya oleh seseorang,
apakah kau masih bangga menjadi orang
Indonesia? Tanpa berpikir lagi aku menjawab, singkat, tegas lugas: Tidak.
Ah, Apa? Bangga atau tidak?
Aku ulangi menjawab lebih
pasti: Tidak!
Ada wartawan, entah karena
kurang sumber berita, entah karena halaman korannya kurang iklan, entah karena
mau cari gara-gara, supaya bisa merebut perhatian pembaca, mencegatku ketika
pulang dan bertanya:
Ada kabar burung, apa betul
Ente tidak bangga lagi menjadi orang Indonesia?
Tidak menunggu lagi dia
mengulang pertanyaannya, aku jawab secara jantan: tidak! Dan ketika dia mengulangi
pertanyaannya untuk meyakinkan aku, apa sebenarnya inti dari yang
ditanyakannya, aku tak menunggu lagi dia komplit bicara. Langsung saja kusergap:
tidak, tidak dan tidak! Wartawan itu manggut-manggut sambil tersenyum.
Nampaknya jawaban itu benar-benar memuaskannya. Sebab sesudah itu dia tidak
bertanya lagi. Tanganku dijabat dan diguncang-guncangnya, sambil berbisik:
Dari semua orang yang sudah
aku wawancarai, hanya kau yang bisa menjawab dengan cepat, sederhana tetapi
jelas. Yang lain berpikir dululama, seringkali menyanyi ke Barat ke Timur,
mengutip berbagai ucapan orang lain, lalu menjelaskan sejarah, antropologi,
sosiologi, psikologi, filsafat, tetapi akhirnya mengembalikan pertanyaan itu kepadaku:
Pendapat Anda sendiri bagaimana?
TERTAWA
Maaf. Bukan aku yang ketawa,
tapi wartawan itu. Dia memotretku lalu memberikan aku kartu nama sambil minta
alamatku. Terpaksa aku menjelaskan di mana aku tinggal. Kalau ditulis alamatku panjang
sekali, lebih merupakan petunjuk belok kanan dan belok kiri di gang-gang yang
berbelit seperti cacing.Itulah yang kemudian jadi perkara besar. Pak RT dan Pak
RW datang ke rumahku. Semula kukira kedatangan mereka untuk mengusut perkara gossip
yang sudah santer tersebar, bahwa aku pernah mengintip anak Pak RW mandi.Aku
sudah siap dengan penjelasan bahwa itu bukan kesengajaan tapi kecelakaan.
Maksudku aku tidak sengaja membuka jendela ketika diundang ke rumah seorang
teman yang rumahnya berlantai tiga di samping kediaman Pak RW. Karena AC di
kamar freonnya habis, aku kegerahan dan membuka jendela. Tidak tahu anak Pak RW
sedang mandi di kamar mandinya yang terbuka karena atapnya sedang direhab.
Terus-terang aku sempat
tertegun sampai 10 menit. Tapi apa salahnya? Bukan hanya laki-laki suka
mengintip, perempuan juga. Aku hanya mau blak-blakan saja. Ada orang tertegun
sampai satu jam. Dalam keadaan terkejut, ketika kita tertegun, waktu berjalan
relatif tidak menghitung, bahkan waktu bisa tidak bergerak. Tapi baiklah, kalau
itu memang dianggap sebagai kesalahan, aku bersedia minta ampun. Atau apa pun.
Tapi yang jelas, tidak mungkin untuk membatalkan apa yang sudah kulihat.
Manusia bukan komputer yang ingatannya bisa dighapus.
KETAWA
Kalau ini, aku sendiri yang
ketawa mekipun hanya di dalam hati. Bukan ketawa mengejek atau ketawa jahil.
Bukan ketawa politik seperti para pemimpin itu. Juga bukan ketawa kemenangan sebab barangkali
hanya aku yang baru pertama kalinya melihat anak Pak RW telanjang bugil. Yang
bener saja. Tidak ada orang mandi yang tidak telanjang.
KETAWA LAGI
Maaf! Aku ketawa sebenarnya
karena aku kecewa. Kenapa aku, bukan orang lain yang melihat itunya mekipun
indah tapi sedikit besar sebelah. Kalau boleh memilih lagi, lebih baik aku
tidak pernah melihatnya telanjang. Sebab akibatnya sangat berat. Sejak kejadian
itu, setiap kali dia lewat, apa pun pakaiannya, di mataku dia terus saja
telanjang bugil. Bayangkan, apa itu bukan siksaan?
MEMUKUL SESUATU MEMBUAT BUNYI.
Dengan segala hormat, tanpa mengurangi
rasa terimakasih kami terhadap Anda yang sudah jadi warga yang baik di
lingkungan pemukiman kita ini, kami minta dengan segala kerendahan hati kami,
supaya Anda kembali ke tempat asal Anda!.
Itu suara Pak RW. Sopan tetapi
seram. Aku jawab.Lho kenapa, tanyaku, pura-pura tidak tahu, padahal sebenarnya
malu, sebab kukira masih tetap soal inti-mengintip itu. Ternyata bukan.
MENUNJUKKAN SURAT KABAR
Beliau menunjukkan surat kabar
yang memuat fotoku dan pernyataanku bahwa aku tidak bangga menjadi orang
Indonesia.
MENGUBAH SUARA.
Warga asli di sini
berkeberatan Anda tinggal di sini. Kami tidak mengizinkan orang yang
memprovokasikan kebencian kepada bangsa tinggal di sini! Itu teror! Subversip!
Kami berikan Anda waktu 24 jam, supaya Anda berkemas-kemas.
MEMUKUL LAGI EMMBUAT BUNYI
Ya Tuhan, berkemas-kemas untuk
apa, mau ke mana? Ini kan rumahku, masak aku diusir dari rumahku sendiri. Ini
bukan zaman kolonial lagi. Indonesia kan sudah merdeka. Kalau begini caranya, nasibku
sama dengan Inul yang diusir dari Jakarta.
BATU-BATU BERHAMBURAN DARI
LUAR MENGENAI TUBUHNYA
Aduh, aduh, ini apa-apaan? Pak
RW!
BATU BESAR MENIMPA KEPALANYA.
DIA JATUH.
Heeeeheee ini belum ada 24 jam
aku sudah diserang? Heeee!
BATU LEBIH BESA LAGI
MENBONJOK. DIA TERPAKSA MENCARI PERLINDUNGAN. KEMUDIAN MENGUBAH SUARA MENIRUKAN
YANG MELEMPAR BATU.
Provokator! Kalau kamu tidak
mau minggat sekarang, rumah ini akan kita bakar! Kita seluruh warga tidak mau
menanggung dosa, karena keberengsekan satu orang! Minggat kamu bangsat penjual
bangsa! Mau dimutilasi kamu ya?!
MENGUBAH SUARA KEMBALI MENJADI
DIRINYA.
Tidak ada gunanya ngomong
dengan orang yang sudah kalap. Demi keselamatan, terpaksa aku serabutan
mencomot apa saja yang tergapai, lalu lari meloncati pagar lewat jalan
belakang. Rencanaku berlindung ke rumah seorang teman. Tapi di tengah
jalan, ketika aku periksa tas, ternyata dompetku tidak terbawa. Identitas dan
uang, masih tertinggal di rumah.
MENCAMPAKKAN TASNYA.
Apa boleh buat aku terpaksa
batal ngabur, tapi balik pun tak berani. Akhirnya aku pergi ke kantor polisi
untuk membuat pengaduan.
Pak, maaf saya mengalami
musibah, saya diusir dari rumah saya sendiri oleh orang-orang yang tidak setuju
dengan apa yang saya katakan.
Karena petugas tidak
menanggapi, aku tunjukkan kepalaku yang benjol.
Untung hanya benjol, Pak, coba
kalau saya tidak pakai helm, saya sudah gegar otak. Masak saya diusir begitu
saja, padahal itu rumah saya sendiri. Sejak kapan orang tidak boleh tinggal di
rumahnya sendiri. Memang saya bukan orang asli Betawi, tapi saya warga DKI, saya
juga punya nomor NPWP, Pak. Tapi KTP saya ketinggalan tidak sempat saya bawa.
Sekarang saya minta tolong, supaya saya bagaimanalah caranya agar bisa
mengambil kembali KTP saya. Itu saja. Sesudah itu, baik, saya bersedia pergi
dulu sampai marah mereka mereda.
Polisi itu memperhatikan, lalu
bertanya dengan curiga.
Nama Anda siapa? Kenapa Anda sampai diusir
dari rumah Anda sendiri.
Ya itu juga yang dari tadi
saya tanyakan, Pak.
MENUNJUKKAN KORAN
Ini Anda kan?
Terus-terang ya. Tapi
BERTERIAK MEMANGGIL KAWANNYA.
Ya betul! Ini orangnya!
MENJAMAH TELEON DAN LAPOR PADA
ATASAN.
Betul Pak. Ini dia, kami sudah berhasil
menggerebek. Kami jamin tidak akan bisa melarikan diri. Siap Pak!
MEMANDANG TAJAM
Jadi kamu yang kemaren ada di koran ini? Kamu
yang mengatakan bahwa kamu tidak bangga lagi menjadi orang Indonesia?
Betul, Pak. Dan saya heran
kenapa begitu saja dipermasalahkan? Apa tidak ada pekerjaan lain?
MENAMPAR TIBA-TIBA.
Kurangajar! Jaga mulut kamu! Masih untung
kamu masih hidup, mestinya kamu sudah jadi rendang karena menghina 220 juta
penduduk Indonesia, termasuk aku abdi negara ini!
Menghina? Menghina bagaimana,
Pak? Sumpah, saya memang tidak bangga jadi orang Indonesia. Jujur saja! Apa
Bapak sendiri bangga?.
BANGUN MENENDANG KURSI.
Bangsat! Kurang ajar kamu! Kami di sini
dilatih untuk bela negara tahu! Kamu menantang ya?!
MENGHUNUS SENJATA.
Kamu tahu ini apa?
Senjata, Pak.
Tapi kamu tidak pernah merasakan bagaimana
kalau ini ditempelkan di kepala kamu dan ditembakkan sampai otak kamu muncrat
kan!?
Belum, Pak!
Makanya jangan nantang!
Kok saya dibilang menantang,
Pak. Saya paling takut pada senjata. Saya hanya mencoba jujur saja, Pak.
MENGOKANG SENJATA.
Ayo ngomong lagi biar aku punya alasan
Melihat senjata itu, aku tak
berani lagi bicara. Apalagi lop senjata itu tepat mengarah ke jidatku. Alangkah
dekatnya kematian. Kalau aku buka mulut lagi, pasti telunjuknya yang memegang
pelatuk itu bergerak. Aku ketakutan dan mencoba tenang tapi sudah terkencing di
celana.
AIR KENCING TERCURAH DARI
PERUTNYA KE KAKI DAN MENGGENANGI LANTAI.
Kurangajar! Menghina petugas negara ya?! Kamu
menghina bangsa! Kalau saja aku punya peluru sudah tadi aku berondong kepala
kamu! Kamu tahu apa? Anak kemaren sore. Tahunya hanya mencak-mencak menuntut.
Negeri ini kita rebut dengan darah dan air mata tahu? Kakekku mati di masa revolusi,
membela bangsa dan negara. Bapakku hilang di perbatasan membela kehormatan
negara. Aku menyerahkan jiwa-ragaku untuk menjaga kewibawaan negara sebagai
aparat negara aku bertanggungjawab untuk melindungi rakyat. Dan sekarang kau
seenak perutmu menghina??? Bangsat buka lagi mulutku sedikit saja supaya aku punya
alasan memasukkan sepatu boatku ke mulut kamu!!
GEMETAR. MENGUCAP
Aku tidak menyesal, tapi aku
takut. Aku belum siap ke neraka dan tidak akan pernah siap. Aku terpaksa diam
saja. Menjadi pengecut dalam banyak hal banyak untungnya. Ketika dia menendang
aku ke dalam sel, aku tak berani membantah. Aku pikir, justru lebih aman dalam
sel daripada dibiarkan bebas tapi kemudian bonyok dikeroyok massa yang kalap.
Lebih baik dikurung daripada jadi bulan-bulanan petugas yang sudah kehilangan
akal waras.
Tetapi ternyata aku keliru. Di
dalam sel yang berisi sekitar 30 bromocorah, ternyata 100 kali kali lipat lebih
tidak aman. Begitu masuk aku langsung berhadapan dengan bajingan-bajingan
tengik yang merasa bauku busuk. Penipu, maling, pedagang narkoba, penculik,
pembunuh, bahkan ada pemakan manusia,. Mereka ikut-ikutan tidak merasa nyaman
berdampingan dengan orang yang tidak bangga menjadi orang Indonesia. Mereka tahu
betul, kenapa aku dilemparkan ke dalam sel.
MENGUBAH SUARA
Heeee, kami semua di sini memang pelaku
kriminal, tapi kami tidak seperti kamu! Kami
tetap bangga jadi orang Indonesia!
Aku berlutut, menyembah, minta
ampun. Tapi mereka tidak peduli. Berebutan mereka menghampiri mau menghajar dan
menggagahi. Aku dijamah, digampar dan celanaku sudah ditarik. Sebentar lagi aku
akan lumat. Untung Pak RT dan Pak RW datang lagi, menyelamatkan.
Dengan membayar uang jaminan
aku dikeluarkan.
Minta maaf, katanya. Soal
pelemparan batu itu kita tidak tahu-menahu. Itu ulah dari orang-orang yang
tidak bertanggungjawab. Tapi semuanya akan kita bereskan. Tenang saja.
Everything is oke
Aku bingung, tak tahu pasti
mesti bagaimana. Demi keselamatan aku manut saja. Mereka membawaku ke rumah Pak
Amdal. Pengusaha kaya-raya yang mencalonkan diri menjadi Gubernur itu, rumahnya
lebih hebat dari istana. Dijaga ketat oleh para pendukungnya, Puluhan wartawan dari
berbagai media termasuk infoteinmen menunggu
Aku langsung dikerubut. Tapi
Pak RW cepat membawaku menemui Pak Amdal. Dengan ramah-tamah calon pemimpin itu
menerimaku, seakan-akan ia sedang memamerkan, begitulah perilakunya kalau nanti
menduduk kursi.
MENGUBAH SUARA MENIRUKAN AMDAL
O jadi Saudara ini yang sudah memberikan
kesaksian bahwa Saudara tidak bangga kepada NKRI?
Ya, Pak.
Anda berani
sekali.
Itu bukan soal keberanian,
Pak, tapi soal kejujuran.
Persis. Itu maksudku. Apa Anda merasa itu
bagian dari kebebasan berpendapat, dus hak azasi, realisasi dari penegakan demokrasi? Atau?
Tidak.
Jadi apa itu namanya?
Pernyataan sikap saja, Pak.
Jadi Saudara bersikap tidak bangga kepada
negara yang sudah diperjuangkan dengan darah dan air mata bahkan nanah oleh
ratusan ribu pahlawan kita ini?
Ya. Saya tidak bangga.
Bangsat!!!!!
Aku terperanjat. Beliau
berteriak tiba-tiba sambil menggebrak meja.
Panggil masuk semua wartawan!
Tak usah dipanggil lagi, semua
wartawan sudah menyerbu masuk ketika mendengar suara gebrakan.
Saudara-saudara para wartawan, inilah warga
kita yang sudah memberikan pernyataan mengejutkan di media massa beberapa waktu
yang lalu itu dengan mengatakan bahwa dia sama sekali tidak punya kebanggaan lagi
kepada Indonesia. Sebagai putera daerah, saya merasa sangat terpukul. Kita yang
sedang berada di Simpang Sembilan Bencana karena adanya: KKN,
disintegerasi, narkoba, wabah, demam berdarah, gempa, tsunami, bom, terorisme,
gunung berapi, lumpu panas, korupsi, banjir, longsor, topan badai, kebakaran
hutan, bentrokan suku dan agama, jadi bertambah pedih oleh pernyataannya itu. Saya
langsung sadar bahwa pernyataan itu dapat menjadi pemicu kekacauan. Dan betul
saja, belum tamat satu hari, rakyat yang sudah lelah, terbakar dan mengamuk.
Mereka melempari rumah beliau ini dengan batu yang memecahkan genting dan kaca
serta merubuhkan tembok pagar rumah. Saudara ini sudah dianggap melancarkan
penghinaan. Untunglah saya cepat bertindak, sehingga massa tidak sempat
bertindak lebih jauh. Kalau umpama terlambat sedetik saja, mungkin sudah terjadi
peristiwa berdarah. Tak hanya itu, aparat
petugas hukum pun sudah langsung bertindak. Sebagai petugas keamanan mereka
memang harus mengamankan kita, sehingga Saudara ini kemudian dijebloskan ke
dalam sel. Tetapi berita itu juga sudah sampai ke sel. Para pelanggar hukum ternyata
walau pun cacad kepribadiannya, tetapi rupanya rasa kesadaran kebangsaannya
tetap tinggi. Begitu Saudara ini masuk, mereka langsung hendak mengeksekusi
dengan caranya sendiri. Hartanya dirampas dan kontan mau di ….. maaf disodomi.
Saya terpaksa bertindak lagi. Saya tebus beliau ini dan berikan jaminan
sedemikian rupa, sehingga beliau bisa dikeluarkan dari sel sebelum sempat
diobrak-abrik. Sekarang ini dia berdiri di depan Saudara-Saudara Pers tidak
kurang sesuatu apa pun.
(KEPLOK TANGAN)
Saya sudah berbicara dari hati ke hati dan
mengatakan bahwa ulahnya itu sangat, amat berbahaya bagi rakyat jelata. Pernyataan
itu dapat membuat wilayah kita ini terpuruk, karenanya sebelum orang luar yang
bertindak, kita sendiri harus membenahi. Syukur alhamdulillah, suara saya masih
dapat mengetuk kesadarannya. Hari ini beliau ini akan menyampaikan maaf kepada
seluruh bangsa, karena sudah memberikan pernyataan yang keliru. Memang maaf
tidak bisa membatalkan apa yang sudah terjadi, tetapi setidak-tidaknya memotong
dan menghentikan apa yang tidak kita inginkan terus kejadian. Saya terpaksa
membatalkan rapat penting dengan tim sukses saya dalam menuju ke jabatan yang
jauh lebih penting dari kepentingan pribadi, demi untuk mengklarifiikasi Saudara
ini.
Calon Gubernur itu lalu meraih
tanganku, mengguncangnya, lalu menepuk-bepuk bahuku, sehingga semua bertepuk
tangan lagi emberikan aplaus. Dia mengangguk dan melambai lalu mengedipkan mata
kepadaku. Entah kenapa aku percaya semua peristiwa itu adalah bagian dari
skenarionya menuju jabatan kursi gubernur.
Tak kurang dari 20 mikrophone,
tape recorder, kamera, tustel menyerbuku. Aku terdesak ke sudut. Semua
bertanya:
Apa betul Saudara sudah mengeluarkan
pernyataan bahwa Saudara tidak bangga lagi pada Indonesia?
Apalagi yang bisa kujawab
kecuali berterus-terang: Betul!
Mengapa Saudara menyatakan begitu? Ada
sponsorkah?
Tidak. Karena aku ditanya.
Saudara sadar apa arti pernyataan Saudara itu?
O ya, tentu saja. Kenapa
tidak. Sadar sekali.
Dan sekarang Saudara menyesal?
Menyesal?
Ya. Bertobat. Anda bertobat?
Bertobat? Kenapa harus
bertobat?
Semua geger.
Lho kalau begitu mengapa Saudara mau minta
maaf?
Siapa yang mau minta maaf?
Saudara kan?!
Aku? Kenapa aku harus minta
maaf?
Karena Saudara sudah menghina!
Menghina?
Ya!
Menghina siapa?
Menghina Bangsa Indonesia!
Bangsa Indonesia yang mana?
Bangsa Saudara sendiri!
Aku kaget.
O itu? Bangsa Indonesia yang
memakan trilyunan uang rakyat itu? Yang menjual hutan, laut, gunung, sumberdaya
alam, yang melalap habis lahan, pulau, yang menazisi kehormatan bangsa itu? Aku
merasa tersanjung kalau mereka masih bisa merasa terhina. Berarti masih ada harapan.
Selama mereka masih punya kepekaan rasa sebagai manusia, aku masih boleh
berharap nasib kita akan membaik. Tapi pada Indonesia yang penuh dengan
korupsi, manupulasi, kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, kekejaman, kepada
Indonesia yang penuh segala kecurangan, ketimpangan, maaf Saudara-Saudara
wartawan, dibayar pun aku tidak akan pernah bangga. Aku benci dan keki. Aku
begitu mencintai negeri yang kaya raya ini, tak sepatutnya aku bangga negeri
tercinta ini hidup di bawah garis kemiskinan selama berabad-abad. Sementara
kalian semua, tidak seorang pun dari kalian yang mencintai negeri ini, karena
kalian tetap saja bangga padahal segala macam kebathilan itu masih berjaya bahkan semakin bersimaharajalela sekarang! Perempuan
dizalimi, golongan minoritas mau dibasmi, penduduk mpedalaman mau dibasmi, hah!
Bukan aku, tapi kalian yang sudah menghina NKRI, menghina 220 juta jiwa, karena
masih bisa bangga padahal semua keberengsekan itu sudah terjadi dan sekarang makin
menjadi-jadi. Kamu semua brengsek, pelac ………
Ya. Semua itu harusnya
kumuntahkan ke hadapan mereka. Tapi semua lahar panas itu hanya tersangkut di
tenggorokan, lalu dengan sekuat tenaga aku telan kembali masuk ke dalam perut.
Untuk nanti saja lain kali dikeluarkan lewat pelepasan lain di ujung
perut besar bersama kotoran. Sialan! Pak Amdal, kandidat Gubernur itu
paham betul bagaimana menjinakkan pemberontak kesiangan seperti aku.
Skenarionya memang canggih. Sambil tersenyum manis di ujung pintu sana, ia
melepas puteri Pak RW. Dewi Dyah Permata, perawan yang tubuhnya menghanguskan
itu dan sudah selalu mengganggu dalam mimpi basahku, berjalan ke arahku sambil berdesah
lirih. Langsung badanku meriang dan pikiranku menjadi becek.
Bang, Abang sekarang adalah ujung tombak tim sukses Bapak. Jangan disia-siakan
kepercayaan dan kehormatan yang tidak diberikan kepada sembarang orang ini.
Mainkanlah seindah-indahnya, Bang, demi masa depan kita.
Masa depan kita? Ya Tuhan.
Kalimat itu begitu membunuh. Aku tersembelih, kejepit, tak bisa mengatakan
apa-apa lagi, kecuali berseru dalam huruf kapital kepada semua kuli tinta itu
dengan suara lantang::
Ya, sayang. Saudara-saudara
wartawan, beribu ampun. aku sadar sekarang, sesadar-sadarnya. Aku sudah
melakukan kekeliruan dan dosa besar, menghujat, menghina bangsa dan negaraku
sendiri. Untung berkat petuah Pak Amdal aku jadi eling. Sekarang aku insaf dan
bersumpah akan tetap bangga kepada Indonesia apa pun yang sudah dan akan
terjadi. Biar para pemimpin korupsi aku akan terus berbakti!
JEPRETAN LAMPU PIJAR MENJEPRET
BERTUBI-TUBI.
Ya ampuin, para wartawan itu
menghajarku dengan kameranya. Aku jadi head-line! Tetapi itu tidak penting.
Yang utamanya, Dyah Permata, putri Pak
RW mendekat dan “oh my god” lalu, lalu, bangsat, mengecup pipiku dengan bibir
basah.
MENDESAH-DESAH
Kunci mobil hadiah Pak Amdal ada di tasku, Bang. Abang pasti akan
dijadikan kepala protokol bila Bapak menang dalam Pilkada. Dan ayahku sendiri memang
sudah siap menjadi Dirut Perusahaan real estatnya. Datanglah Abang nanti dalam
upacara pernikahanku dengan putra sulung Pak Amdal yang akan segera pulang dari
Amerika.
Tajung Pinang, 16 September 06.
0 Response to "TRIK"
Post a Comment