Pinangan
Drama
Komedi Satu Babak
Karya Anton
Chekov Saduran Suyatna Anirun
© 2006
P i n a n g a n
( Komedi Satu Babak )
Karya Anton Chekov
Saduran Jim Lim Suyatna Anirun
P e m a i n
Rukmana Kholil (60)
Ratna Kholil (25)
Agus Tubagus (30)
( RUANG TAMU DI RUMAH RADEN RUKMANA KHOLIL)
RUKMANA : Eee
... ada orang rupanya. O ... Agus Tubagus, aduh, aduh, aduh ... Sungguh diluar
dugaanku. Apa kabar? Baik ... ??
(MEREKA
BERSALAMAN).
AGUS : Baik, baik, terima kasih, bagaimana dengan
Bapak?
RUKMANA : Baik,
baik. Terima kasih atas doamu, dan seterusnya ... duduklah. Memang tidak baik
melupakan tetanggamu, Agus. Ooo, tetapi kenapa kau pakai pakaian resmi-resmian?
Jas, sapu tangan dan seterusnya ... ... Kau hendak pergi kemana?
AGUS : Oh, tidak Aku hanya akan mengunjungi Pak
Rukmana Kholil yang baik.
RUKMANA : Lalu
mengapa pakai jas segala, seperti pada hari lebaran saja.
AGUS : Begini soalnya. (MEMEGANG TANGANNYA SENDIRI)
Aku mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang baik, karena ada satu permintaan. Sudah
lebih satu kali aku merasa sangat beruntung telah mendapatkan pertolongan dari
Bapak yang selalu boleh dikatakan ..., tapi aku, aku begitu gugup. Bolehkah aku
minta segelas air, Pak Rukmana? Segelas
air!
RUKMANA : (KESAMPING
MENGAMBIL MINUMAN). Sudah tentu dia akan pinjam uang, tapi saya tidak akan
memberinya.
(KEPADA
AGUS) Apa soalnya, Agus?
AGUS : Terima kasih, Pak Rukmana ... Maaf ... Pak
Rukmana Kholil yang baik, aku begitu gugup. Pendeknya, tak seorang pun yang bisa
menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku tidak patut untuk menerimanya, dan
aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak.
RUKMANA : Akh,
Agus jangan bertele-tele, yang tepat saja, ada apa?
AGUS : Segera ... segera. Soalnya adalah: Aku
datang untuk melamar putri Bapak.
RUKMANA : (DENGAN
GIRANG) Anakku Agus, Agus Tubagus, ucapkanlah itu sekali lagi, aku hampir tidak
percaya.
AGUS : Saya merasa terhormat untuk meminang ...
...
RUKMANA : Anakku
sayang, aku sangat gembira, dan seterusnya ... (MEMELUK) Aku sudah mengharapkannya begitu
lama sekali. Memang itulah keinginku. Aku selalu mencintaimu, Agus. Seperti kau
ini, anakku sendiri. Semoga Tuhan memberkati cinta kalian; cinta, kasih yang
baik, dan seterusnya ... Aku selalu mengharapkan ... Mengapa aku berdiri di
sini seperti tiang? Aku membeku karena girang, begitu bahagia seratus persen
seluruh hatiku. Alangkah baiknya aku panggilkan Ratna. Dan seterusnya ...
AGUS : Pak Rukmana Kholil yang baik, bagaimana
Pak, bolehkah saya mengharapkan dia untuk melamar saya?
RUKMANA : Bagi
seorang yang ganteng seperti kau, dia akan menerima lamaranmu. Aku yakin
sekali, ia sudah rindu: seperti kucing. Dan seterusnya ... sebentar ... (KELUAR)
AGUS : Aku kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh
ujian penghabisan, tapi sebaiknya memutuskan sesuatu sekarang juga. Kalau orang
berpikir terlalu lama, aku ragu untuk membicarakannya. Menunggu kekasih yang
cinta sehidup-semati akhirnya dia tak kawin-kawin ... Brrr ... Aku kedinginan,
Ratna Rukmana gadis yang baik. Pandai memimpin rumah tangga, tidak jelek,
terpelajar, tamatan SKP ... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah begitu
pening. Aku gugup. (MINUM)
Chh
... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur tiga puluh tahun. Boleh dikatakan umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan tidak
tegang. Karena aku punya penyakit jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu
terburu-buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu berkerinyut-kerinyut.
Kalau aku baru saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku
sakit, aku bangun, meloncat seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi
tidur lagi. Tapi kalau aku hampir mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini
berulang sampai dua puluh kali. (RATNA MASUK)
RATNA : Ooo ... Kau. Mengapa ayah mengatakan ada pembeli
mau mengambil barangnya? Apa kabar Agus Tubagus?
AGUS : Apa kabar Ratna Rukmana yang baik?
RATNA : Maafkan bajuku jelek. Aku sedang mengiris
buncis di dapur, mengapa sudah lama tak datang? Duduklah.
(MEREKA
DUDUK) Sudah makan? Mau rokok? Ini koreknya. Hari ini terang sekali sehingga
petani-petani tak bisa bekerja. Sudah berapa jauh hasil panenmu? Sayang, saya
terlalu serakah memotong tanaman. Sekarang aku menyesal karena aku takut busuk nantinya.
Dan aku seharusnya menunggu.
(MEMANDANG
SEBENTAR) Eee ... apa ini? Begini nih baru ... Mau pergi ke mana, Agus? Huu ...
kau kelihatan cakep sekarang. Ada apa?
AGUS : (GUGUP) Begini Ratna Rukmana yang baik.
Sebabnya ialah: aku sudah memastikan bahwa ayahmu ingin agar kau mendengarkan
langsung dari aku. Tentunya kau tak mengharapkan hal ini. Dan mungkin kau akan
marah. Tapi, oh ... betapa dinginnya. (MINUM)
RATNA : Ada apa? (HENING)
AGUS : Baik. Akan kusingkat saja. Ratna Rukmana
yang manis, bahwa sejak kecil aku mengenal kau dan keluargamu, almarhum bibiku
dari suaminya, dari mana aku, seperti kau ketahui, diwarisi tanah dan rumah,
selalu menaruh hormat dan menjunjung tinggi ayah dan ibumu. Dan keluarga
Jayasasmita, ayahku, dan keluarga Raden Rukmana, ayahmu, selalu rukun dan boleh
dikatakan sangat intim. Terlebih-lebih lagi seperti kau ketahui, tanahku
berdampingan dengan tanahmu, barangkali kau masih ingat Lapangan “Sari Gading”-ku
yang dibatasi oleh pohon-pohon ...
RATNA : Maaf, saya memotong. Kau katakan Lapangan
“Sari Gading“ apa benar itu milikmu?
AGUS : Ya, itu milikku.
RATNA : Jangan keliru. Lapangan “Sari Gading“
adalah milik kami. Bukan milikmu.
AGUS : Tidak. Itu adalah milikku, Ratna Rukmana
yang manis.
RATNA : Aneh aku baru mendengar sekarang betapa
mungkin tanah itu tiba-tiba menjadi milikmu.
AGUS : Tiba-tiba jadi milikku? Ah, Nona ... Aku
sedang berbicara tentang Lapangan “Sari Gading” yang terbentang antara Anyer
dan Jakarta.
RATNA : Aku tahu, tapi itu adalah milik kami.
AGUS : Tidak, Ratna Rukmana yang terhormat. Kau
keliru. Itu adalah milik kami.
RATNA : Pikirlah apa yang kau ucapkan, Agus Tubagus
... Sejak berapa lama tanah itu menjadi milikmu?
AGUS : Apa yang kaumaksud dengan “beberapa lama“?
selamanya aku punya ingatan, tanah itu adalah milik kami.
RATNA : Mana bisa ... ?
AGUS : Aku mempunyai bukti-bukti tertulis, Ratna
Rukmana Kholil. Lapangan “Sari Gading” dulu memang milik yang dipersoalkan.
Tapi sekarang setiap orang tahu, bahwa tanah itu miliku dan hal itu sekarang
sudah tidak menjadi persoalan lagi. Pikirkanlah baik-baik. Nenek-Bibiku
mengijinkan tanah itu dipakai oleh petani-petani Kakek-Ayahmu tanpa uang sewa
selama lebih dari dua ribu tahun. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka untuk
menganggap tanah itu menjadi milik mereka. Tapi sesudah perjanjian itu habis,
yaitu sesudah Pak Harto lengser ...
RATNA : Semua ucapanmu sama sekali tidak benar.
Ayah Kakekku dan kakkekku, keduanya menganggap bahwa tanah mereka memanjang
sampai Rawa Pening. Jadi Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami. Ooo ... aku
tidak mengerti apa yang menjadi persoalan. Ini merusak suasana Agus Tubagus.
AGUS : Akan kutunjukkan dokumen-dokumennya Ratna
Rukmana ...
RATNA : Kau akan melucu atau akan menggoda saya?
Itu tidak lucu sama sekali. Kami memiliki tanah itu hampir tiga abad, dan
tiba-tiba kudengar tanah itu bukan milikku. Maaf, Agus Tubagus Jayasasmita.
Saya terpaksa tidak mempercayai ucapan-ucapanmu itu. Saya tidak tergila-gila
pada tanah lapangan itu. Besarnya tidak lebih dari empat puluh bahu dan
harganya paling tinggi tiga ratus ribu rupiah. Tetapi saya terpaksa memprotes
karena ketidak adilan. (AGUS BERAKSI
INGIN BICARA)
Kau
boleh mengatakan apa yang kau sukai. Tapi saya tidak dapat membiarkan
ketidakadilan.
AGUS : Saya mohon agar kau suka mendengarkan aku.
Petani-petani Kakek-Ayahmu seperti kukatakan tadi membuat batu bata untuk
Nenek-Bibiku. Dan karena Nenek-Bibiku ingin membalas kebaikan ini ...
RATNA : Kakek-Nenek-Bibi, aku tak mengerti semua
itu. Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami ! Itulah !
AGUS : Milikku ... ! ..., Milikku ... !
RATNA : Milik kami ... ! Biarpun kau akan
bertengkar selama dua hari dan memakai lima belas jas, Lapangan “Sari Gading“
itu tetap milik kami. Aku tidak menghendaki kepunyaanmu. Tetap aku tidak
menghendaki kehilangan kepunyaanku. Sekarang kau boleh katakan apa kau suka!
AGUS : Aku juga tidak tergila-gila pada lapangan
itu, Ratna Rukmana. Kalau kau mau akan kuberikan tanah itu padamu sebagai
hadiah.
RATNA : Aku yang bisa memberikan tanah itu kepadamu
sebagai hadiah. Karena itu adalah milikku. Semua ini merusak suasana, Agus
Tubagus. Percayalah. Sampai sekarang aku masih memandangmu sebagai sahabat yang
baik. Tahun yang lalu kami meminjam mesin penggiling padi hingga bulan Nopember
dan sekarang kau berani menganggap kami sebagai kaum melarat. Menghadiahi aku
dengan tanahku sendiri. Maafkan saya, Agus Tubagus. Ini bukan sikap tetangga
yang baik. Terlebih-lebih lagi ini dengan pasti kuanggap sebagai suatu penghinaan.
AGUS : Kalau begitu menurut anggapanmu aku ini
lintah darat? Chh, aku belum pernah merampas tanah orang lain, nona. Dan aku
tidak bisa membiarkan siapapun juga menghina aku dengan cara yang demikian!
(MINUM) Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami.
RATNA : Bohong! Akan kubuktikan. Hari ini akan
kusuruh buruh-buruh kami memotong rumput di lapangan itu.
AGUS : Akan kulempar mereka semua keluar!
RATNA : Awas kalau kau berani!
AGUS : (MEMEGANG JANTUNGNYA) Lapangan “Sari
Gading” adalah miliku.
RATNA : Jangan kau menjerit! Kau boleh
berteriak-teriak dan kehilangan nafas karena marah bila di rumahmu sendiri. Tapi
disini kuminta jangan ... Kuminta supaya kau mengerti adat.
AGUS : Kalau aku tidak sakit napas, nona. Kalau
kepalaku tidak berdenyut-denyut, aku tidak akan berteriak-teriak seperti ini.
(BERTERIAK)
Lapangan “Sari Gading“ milikku.
RATNA : Punya kami!
AGUS : Punyaku!
RATNA : Kami!
AGUS : Punyaku! (RUKMANA KHOLIL MASUK)
RUKMANA : Ada
apa dengan kalian? Mengapa
berteriak-teriak?
RATNA : Ayah, coba terangkan pada orang ini. Siapa
yang memiliki Lapangan “Sari Gading“. Dia atau kita?
RUKMANA : Agus,
Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami.
AGUS : Masya Allah, Rukmana ! Bagaimana bisa
menjadi milikmu?
Cobalah
sedikit adil. Nenek-Bibi meminjamkan Lapangan “Sari Gading“ tersebut kepada
petani-petani Kakekmu. Petani-petani itu telah memakainya selama lebih dari dua
ribu tahun. Dan mereka menganggap bahwa tanah itu telah menjadi milik mereka.
Tapi ketika perjanjian selesai, maka tanah itu adalah milik kami.
RUKMANA : Maaf,
Agus. Kau lupa bahwa petani-petani itu tidak membayar uang sewa kepada Nenekmu
dan seterusnya ... Karena justru hak tanah itu dipersoalkan dan tidak lama
kemudian, ... ... dan sekarang setiap anjing pun mengetahui kami yang
memilikinya. Mungkin kau belum memiliki petanya, Gus.
AGUS : Akan aku buktikan bahwa akulah pemiliknya!
RUKMANA : Akan
tidak bisa, Nak ...
AGUS : Tentu
saja bisa! (TEGAS BERTERIAK NGOTOT)
RUKMANA : Mengapa
kau berteriak-teriak, Agus? Kau tidak usah membuktikan apa-apa dengan
menjerit-jerit. Aku tidak menginginkan kepunyakanmu. Dan akupun tidak akan menyerahkan
kepunyakanku. Untuk apa? Kalau kau, Agus ... Kalau kau sudah berani mencoba
untuk bertengkar tentang lapangan itu lebih baik aku berikan lapangan itu
kepada petani-petani, dari pada kepada orang seperti kamu.
AGUS : Itu kurang ku mengerti. Atas hak apa bapak
menghadiakan hak orang lain?
RUKMANA : Aku
bebas memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa mengucapkan namammu:
“Juragan Muda“! Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku
sudah dua kali umurmu, Juragan Muda. Dan kuminta supaya kau bicara tanpa
berteriak-teriak, dan seterusnya ...
AGUS : Apa? Bapak menganggap aku ini tolol dan
mentertawakan aku? Katamu ... Tanahku adalah
tanah Bapak? Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik. Dan bapak masih
mengharapkan aku diam saja? Aku harus bicara secara patut terhadap Bapak?
Huh
... Itu bukan sikap tetangga yang baik, Rukmana Kholil ... Kau bukan tetangga
yang baik. Kau lintah darat!
RUKMANA : Apa
katamu, Agus? Lintah darat?
RATNA : Ayah, suruhlah buruh-buruh itu memotong
rumput di lapangan itu segera.
AGUS : Apa katamu, nona?
RATNA : Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami
dan kami tidak akan menyerahkan kepadamu. Aku tidak mau, tidak mau ...
AGUS : Oh ... persoalan ini akan berlarut-larut
nantinya. Akan kubuktikan di depan pengadilan bahwa akulah pemiliknya.
RUKMANA : Di
depan pengadilan boleh saja, Juragan Muda, dan seterusnya ... Boleh saja ...
Kamu memang telah lama menunggu-nunggu kemungkinan untuk membawa persoalan ini
ke pengadilan adat, yang menggunakan undang-undang pengadilan secara licik!
Memang
semua keluargamu suka bertindak licik!... semuanya ... !
AGUS : Bapak jangan menghina keluargaku. Semua
keluarga Jayasasmita selalu orang yang dapat dipercaya, dan tidak seorangpun
yang muncul di pengadilan karena melarikan uang, seperti pamanmu. (KEPADA RATNA)
RUKMANA : Semua
keturunan Jayasasmita keturunan gila !
RATNA : Yaaaaa ... Semuanya, semuanya ... ... !
RUKMANA : Kakekmu
seorang pengadu ayam, bibimu yang termuda melarikan diri dengan mandor PU, dan
seterusnya ... (LEMAH)
AGUS : Dan bibimu seorang yang bongkok.
(MEMEGANG
JANTUNGNYA) Aduh pinggangku ... sakit, darahku naik ke kepala ... Demi Allah
... Air ...
RUKMANA : Dan
ayahmu seorang yang mata keranjang!!!
RATNA : Dan tak ada lagi selain Bibimu yang
mulutnya latah dan judes ...
AGUS : Oooohh ... Kakiku sudah lumpuh! Kalian
orang-orang berkomplot! Tukang komplot! Oh ... Mataku berkunang-kunang, ma... manaaa ... Topiku? Mana pintuny?! Aku mau pulang
... !!
RATNA : Jahat!, Licik!, Memualkan!!
RUKMANA : Dan
kau sendiri adalah orang yang berpenyakitan. Berkepala dua, penyebar
malapetaka, itulah kau!
AGUS : Mana pintunya? Ooooh ... hatiku, ke mana
saya harus keluar...? Mana pintunya? ... (KELUAR)
RUKMANA : Selangkahpun
kamu jangan lagi memasuki rumah ini!
RATNA : Bawa saja ke pengadilan, kita lihat nanti.
(AGUS KELUAR MERABA PINTU)
RUKMANA : Persetan
dia ... (MONDAR-MANDIR DENGAN MARAH)
RATNA : Orang sial, bagaimana kita bisa percaya
lagi kebaikan-kebaikan tetangga sesudah ini?, penjahat!, orang tolol!,
berani-beraninya mengaku tanah orang dan menghina pemiliknya. Sialan!!!
RUKMANA : Dan
si Konyol itu ... Si Jelek itu ... Berani melamarmu dan seterusnya ... Pikirlah
... Melamar.
RATNA : Hhhaaaahhh ... ?, Melamar Apa?
RUKMANA : Dia
datang ke sini untuk melamarmu ...
RATNA : Melamar saya? Mengapa ayah tidak memberitahu
terlebih dahulu? (MENYESAL)
RUKMANA : Karena
itu dia berpakaian necis. Bagus! Si Bulus!
RATNA : Melamar aku? ... Melamar? ... (JATUH KE
KURSI) ... Bawa dia kembali ... Oh, bawa dia kembali lagi.
RUKMANA : Aduh,
bawa dia kembali?
RATNA : Lekas ... Lekas ... Aku mau pingsan, bawa
dia kembali, bawa dia kembali ...
RUKMANA : Aduh
... segera, jangan menangis. Apa yang akan kita lakukan? ... Baiklah ... ! (LARI
KELUAR)
RATNA : Oh, Tuhan, bawa dia kembali, bawa dia
kembali ...
RUKMANA : (MASUK
LAGI) Dia akan segera datang, katanya. Oh ... alangkah sulitnya menjadi ayah
seorang gadis yang sudah besar dan sudah kepingin kawin. Akan kupotong leherku,
kami hina orang itu, mempermainkannya, mengusir dia, karena salahmu ... karena
kau.
RATNA : Tidak. Ayah yang salah!
RUKMANA : Ha
... ? Salahku? Begitukah? (AGUS MASUK) Nah, bicaralah sendiri dengan dia! (RUKMANA
KELUAR)
AGUS : (MASIH TERENGAH-ENGAH) Hatiku
berdebar-debar, kakiku lumpuh, pinggangku sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.
RATNA : Kami minta maaf, Agus. (DENGAN MANISNYA)
Kami terlalu terburu-buru, Agus Tubagus Jayasasmita, sekarang aku ingat Lapangan
“ Sari Gading “ adalah milikmu. Sungguh-sungguh ...
AGUS : Oh ... Hatiku berdebar-debar hebat. Ya,
Lapangan “Sari Gading“ adalah milikku. Aaaaa ... Kedua mataku berdenyut-denyut.
RATNA : Ya ... milikmu, betul milikmu. Duduklah,
(MEREKA DUDUK) Kami tadi salah.
AGUS : Aku bertindak menurut prinsip. Aku tidak
menghargai tanah lapangan itu. Yang aku hargai adalah prinsipnya.
RATNA : Betul, prinsipnya. Mari kita bicarakan soal
lain saja.
AGUS : Terutama aku mempunyai bukti-buktinya,
Ratna Rukmana. Nenek-Bibiku memberikan ijin kepada petani-petani ayahmu ...
RATNA : Cukup, cukup tentang hal itu. (KE SAMPING)
Saya tidak tahu bagaimana memulainya. (KEPADA AGUS) Apakah kita akan berburu
rusa, pada suatu hari?
AGUS : (MULAI HIDUP) Berburu rusa? Eeee ... Aku
berharap berburu ayam liar setelah panen selesai, Ratna Rukmana yang baik. Tapi
sudahkah kau mendengar betapa jeleknya nasib si Belang, anjingku, kau kenal dia?
... Kakinya lumpuh ...
RATNA : Kasihan, bagaimana terjadinya? ...
AGUS : Entahlah, mungkin otot kakinya terkilir.
Tapi, anjingku adalah yang terbaik. Lagi pula belum kusebutkan berapa harga
yang harus kubayar untuk dia. Tahukah kau bahwa aku membayar kepada Haji Soleh
sebanyak dua ribu rupiah untuk si Belang?
RATNA : Terlalu mahal, Agus Tubagus.
AGUS : Kukira jumlah yang murah sekali, Ratna. Ia
anjing yang lucu dan cerdas.
RATNA : Ayah hanya membayar lima ratus rupiah untuk
si Kliwon, dan si Kliwon jauh lebih cerdik daripada si Belang.
AGUS : Si Kliwon lebih cerdik dari si Belang? (TERTAWA)
Mana bisa si Kliwon lebih cerdik dari si Belang?
RATNA : Ya, tentu saja. Si Kliwon masih muda
sebetulnya ... Tetapi kalau dilihat sifat-sifatnya dan cerdiknya, Raden
Jayasasmita tidak mempunyai satu ekor-pun yang menyamai dan yang bisa
mengalahkannya.
AGUS : Maaf, Ratna Rukmana. Tapi kau lupa bahwa si
Kliwon berkumis pendek. Dan, ooo ... Anjing yang berkumis pendek itu kurang
pandai menggigit.
RATNA : (MULAI MARAH) Kumis pendek! Huh, baru
sekali ini aku mendengar tentang hal itu.
AGUS : Aku tahu, kumisnya yang atas lebih pendek
daripada kumis bawahnya.
RATNA : Sudah kau ukur?
AGUS : Oh ya, anjingmu itu tentu cukup baik untuk
mencium bau binatang kalau sedang berburu, tapi dia tidak pandai menggigit.
RATNA : Tetapi pada anjing peliharaanmu itu
keturunannya tidak dapat dilihat dan lagi ia sudah tua dan jelek seperti kuda
yang hampir mati.
AGUS : Oh ... Ia sudah tua, memang. Tapi aku tidak
mau menukarnya dengan sepuluh ekor anjing seperti si Kliwon. Dan si Kliwon itu
tidak perlu ditanya lagi, setiap pemburu mempunyai berpuluh-puluh anjing,
seperti si Kliwon itu. Dan lima ratus rupiah harga yang cukup tinggi untuk dia.
RATNA : Tampaknya hari ini ada setan yang
berbantahan dalam dirimu, Agus Tubagus. Pertama, kau tadi mengakui bahwa Lapangan
“Sari Gading“ adalah milikmu. Lalu sekarang kau mengatakan si Belang anjingmu
lebih cerdik dari si Kliwon. Aku tidak suka pada lelaki yang mengatakan sesuatu
yang bertentangan dengan pemikiranku. Kau pasti tahu bahwa anjing kami seratus
kali lebih bagus dan berharga daripada anjingmu yang bodoh, lalu mengapa kau
mengatakan yang sebaliknya?
AGUS : Sekarang sudah jelas, Ratna Rukmana. Bahwa
kau buta dan tolol. Insyaflah kau, bahwa anjingmu berkumis pendek.
RATNA : Bohong ... !
AGUS : Betul ... !
RATNA : Bohoooooong ... !
AGUS : Mengapa menjerit-jerit? Mengapa kau
berteriak-teriak?
RATNA : Mengapa kau berbicara omong-kosong? Ingin
membuat aku marah. Sudah masanya bahwa si Belang harus ditembak mati. Tapi coba
kau bandingkan dengan si Kliwon.
AGUS : (SAKIT LAGI) Maaf aku tidak bisa meneruskan
soal ini. Hatiku berdebar-debar.
RATNA : Aku sudah berpengalaman bahwa laki-laki
yang biasanya ngomong besar tentang perburuan biasanya tidak mengetahui tentang
soal itu.
AGUS : Nona, kuminta agar kau jangan bicara.
Kepalaku akan pecah. Diamlah!
RATNA : Aku akan diam sebelum kau mengakui bahwa si
Kliwon seratus kali lebih baik dari si Belang.
AGUS : Seribu kali lebih jelek ! Persetan dengan
si Kliwon. Oh, kepalaku ... Oh, mataku ... Pundakku ...
RATNA : Belangmu yang bodoh tidak memerlukan ucapan
persetan, ia boleh dianggap mati saja.
AGUS : Diam! Hatiku mau pecah! Oh.
RATNA : Sekarang apa lagi? (RUKMANA MUNCUL) Ayah
katakan dengan sungguh-sungguh, dengan pikiran sehat Ayah, anjing mana yang
lebih baik, si Kliwon atau si Belang?
AGUS : Pak Rukmana, saya hanya meminta jawaban
atas pertanyaanku, apakah si Kliwon berkumis pendek atau tidak? Iya atau tidak?
RUKMANA : Mengapa
kalau ya? Mengapa kalau tidak? Itu kan tidak berarti apa-apa? Tidak ada lagi
anjing yang baik di seluruh daerah kita ini.
AGUS : Tetapi anjing si Belang lebih baik dari si
Kliwon, bukan?
RUKMANA : Jangan
terburu-buru, Agus. Duduklah. Si Belang tentunya memiliki sifat-sifat yang
baik. Dia anjing yang tahu adat. Kakinya kuat. Cukup gemuk dan seterusnya ...
Tapi anjing itu Agus, kau ingin tahu? Hidungnya berbentuk bola ...
AGUS : Maaf, hatiku berdebar-debar. Mari kita tinjau
fakta-faktanya. Kalau kau insyaf, di rumah Wak Mansyur, anjing Raden Martasuwanda
dikalahkan si Belang, sedangkan anjing Bapak, si Kliwon, setengah kilo di
belakang mereka.
RUKMANA : Bohong,
Agus. Aku orang yang cepat marah. Dan kuminta kau menghentikan perdebatan ini.
Ia dilecut orang, karena setiap hari orang iri melihat anjing orang lain.
Misalkan saja kau menemukan bahwa anjing kami lebih pandai dari pada si Belang.
Kau mulai mengatakan ini dan itu dan seterusnya ... Ingat itu, Agus?
AGUS : Kuingat juga ...
RUKMANA : (MENIRUKAN)
Kuingat juga. Apa yang kau ingat?
AGUS : Hatiku berdebar-debar. Kakiku sudah hilang
perasaannya. Aku tidak bisa ...
RATNA : (MENIRUKAN) Hatiku berdebar-debar. Huh ...
Itukah seorang pemburu ? Kau seharusnya tinggal di rumah saja daripada
terguncang di atas kuda. Kalau kau benar pemburu tak apalah. Tapi kau cuma
ikut-ikutan untuk bertengkar dan ikut-ikutan campur tangan anjing orang lain.
Kau seharunya berbaring di ranjangmu. Dan minumlah obat kuat daripada berburu
serigala. Huh ... hatiku berdebar-debar. Huh ...
RUKMANA : Ya!
Itukah seorang pemburu? Dengan penyakit jantungmu itu kau seharusnya tinggal di
rumah daripada terguncang-guncang di atas kuda. Kalau kau betul-betul pemburu,
tak apalah, tapi kau Cuma ikut-ikutan campur tangan orang lain, bukan? Dan
seterusnya ... ... Aku orangnya cepat marah, Agus. Lebih baik kau hentikan saja
perbantahan ini. Kau bukan seorang pemburu!
AGUS : Dan kau? apakah kau juga seorang pemburu? Kau
ikut hanya untuk korupsi dan menjilati hati pembesar-pembesar. Ooo ... hatiku,
kau ikut orang yang berkomplot!
RUKMANA : Apa?
Aku orang yang berkomplot? (BERTERIAK) Tutup mulutmu!
AGUS : Tukang komplot!
RUKMANA : Pengecut!
Anak liar!
AGUS : Tikus tua! Rentenir! Lintah darat!
RUKMANA : Tutup
mulutmu, atau akan kubunuh kau dengan senapan ayam liar. Goblok!
AGUS : Setiap orang mengetahui ..., ooo hatiku
..., bahwa istrimu dulu suka memukuli kau. Ooo ... hatiku ... bahuku ... mataku
... aku pasti mati, ooooh ... ... ...
RUKMANA : Dan
kau suka menggoda babu-babu tetanggamu.
AGUS : Ooo ... hatiku ... Pasti hancur, pundakku
sudah linu. Mengapa pundakku? Oh ... Aku pasti mati ... (JATUH KE KURSI)
RUKMANA : Aku pasti lemas susah bernapas, kurang
hawa.
RATNA : Ia mati ... ! Ia mati ... !
RUKMANA : Siapa
mati? (MELIHAT AGUS) Dia benar-benar telah mati, ya Tuhan! Dokter! (MELETAKKAN
AIR DI BIBIR AGUS)
Minum
... Ia tidak mau minum. Jadi dia mati, dan seterusnya ... Mengapa aku tidak
menembak diriku? Beri aku pistol! ... Pisau!
(AGUS
BERGERAK-GERAK) kukira ia hidup...Minumlah,Agus ...
AGUS : (BERKUNANG-KUNANG) Dimana aku?
RUKMANA : Sebaiknya
kau segera kawin, dan seterusnya, persetan kalian. Dia menerima lamaranmu dan
akan kuberikan anakku kepadamu.
AGUS : Ah, siapa? (BANGUN) Siapa?
RUKMANA : Ia
menerima kamu dan persetan dengan kalian.
RATNA : (HIDUP) Ya, kuterima lamaranmu.
RUKMANA : Jabatlah
tangannya, Nak. Dan seterusnya ...
AGUS : Hah? Apa? Aku gembira. Maaf Ada apa
sebenarnya? Oh ya, aku mengerti. Hatiku berdebar-debar, kepalaku pusing, aku
senang Ratna yang manis.
RATNA : Saya ... saya juga senang Agus Tubagus.
RUKMANA : Nah
... Selesailah sudah satu persoalan di dalam kepalaku.
RATNA : Tapi harus kau terima sekarang. Si Belang
lebih bodoh dari si Kliwon .
AGUS : Dia lebih cerdik, Ratna.
RATNA : Ia kurang cerdik!
AGUS : Ia lebih cerdik.
RATNA : Kurang!
AGUS : Lebih!
RATNA : Kurang!
AGUS : Lebih!
RUKMANA : Wahhhh,
inilah permulaan hidup bahagia seopasang suami-istri! Mari kita berpesta!
L a y a r T u r u n
0 Response to "Pinangan "
Post a Comment