Monolog
SUARA
Karya Putu Wijaya
SEBUAH PETI UNTUK DUDUK, DI
ATASNYA SEORANG PENULIS SEDANG TERPAKU DI DEPAN KOMPUTERNYA, MEMBELAKANGI
PENONTON. DI LATAR BELAKANG ADALAH PROYEKSI DARI LAYAR KOMPUTERNTA.
Larut malam, aku sedang mencoba
menulis, menggasak otakku yang berkarat, Tiba-tiba terdengar ada suara
memanggil-manggil namaku.
“Putu! Putu!!!!”
(ATAU NAMA YANG LAIN)
Aku terpental dari mimpi, lalu
meloncat bangun, membuka pintu dan keluar rumah.
PENULIS ITU BERDIRI DAN KELUAR.
DI LAYAR KOMPUTER NAMPAK PENULIS ITU KELUAR DARI RUMAH. LAYAR MENJELASKAN
SECARA VISUAL APA YANG DIUCAPKAN OLEH PENULIS ITU.
PENULIS ITU KEMBALI MASUK DAN
BICARA KEPADA PENONTON. IA MEMBERIKAN NARASI PADA APA YANG TERJADI DI LAYAR.
ATAU GAMBAR DI LAYAR MENJELASKAN APA YANG TERJADI DI LUAR RUMAH. ATAU TERSERAH
SUTRADARA.
Tak ada tanda-tanda ada orang di
dekat rumahku. Hanya suara jengkrik dan gorong-gorong yang kemudian segera
terputus ketika menyadari kehadiranku. Aku nyalakan lampu kamar depan untuk
memberitahukan bahwa aku sudah terjaga kepada siapa saja dia, yang sudah
berusaha untuk menghubungiku.
Lima menit aku tunggu. Setengah
jam. Suara serangga malam itu sudah mulai lagi merangkak menggerayangi kesepian
yang ditinggalkannya dengan tiba-tiba tadi. Toh aku masih tetap berdiri
menanti. Menunggu. Rasanya tidak mungkin tidak ada yang berseru memanggil,
karena suara itu begitu nyata, sebuah
gapaian yang mengharapkan untuk dijawab.
Sejumlah tetangga sedang
lek-lekan di halaman rumahnya. Dua orang
hansip pensiunan tentara yang sedang melakukan ronda, berhenti dan rupanya
sedang disuguhi kopi. Dia bercerita tentang
kegilaan presiden Bush yang tetap hendak menyerang Irak tanpa peduli apakah
PBB menyetujuinya. Mereka mencampur-baurkannya dengan berita-berita gossip para
bintang sinetron yang saling tukar pacar dan bahkan tukar pasangan.
Aku turun ke halaman mendekati
mereka. Bertanya-tanya apa ada di antara mereka yang mendengar orang
memanggilku. Atau mungkin salah seorang di antaranya yang sudah mengetuk pintu
rumahku untuk semacam pertolongan. Ternyata tidak ada.
“Siapa yang memanggil? Kamu?”
Yang aku tanya semua menggeleng.
“Tidak ada siapa-siapa,
kok,”jawabnya kemudian sambil menolehku kembali dengan heran dan sedikit terganggu,
“masak kami berani kurangajar mengganggu sudah larut seperti ini? Atau suara
kami yang barangkali terlalu berisik? Coba kecilkan suara radionya!”
Yang lagi asyik mendengarkan
siaran wayang kulit di radio, langsung mencekek radionya. Aku jadi malu.
“Tidak apa-apa kok, “tukasku
cepat, “tidak mengganggu, saya juga senang
mendengarkan wayang.”
Sebagai basa-basi, aku kemudian
duduk sebentar dan ikut nimbrung dengan pembicaraan mereka. Tapi ketika
ditawari kopi, aku mengelak dengan
alasan aku sedang dapat radang ginjal. Kopi mereka pasti kelas berat untuk
menahan kantuknya, sedang aku ingin tidur.
“Kali ada janji?”tanya salah
seorang menggoda.
Aku hanya tertawa. Sambil ikut
mendengarkan siaran wayang, aku mengawasi sekitar. Tirai malam itu seperti
menyembunyikan seseorang, karena seruan itu jelas sekali. Tak mungkin aku
keliru.
Setelah sekitar seperempat jam,
aku permisi. Tetapi di beranda rumah, aku kembali tertegun, lalu mencoba
menajamkan telinga, karena suara itu terdengar lagi. Aku menunggu dengan
deg-degan. Tapi yang kemudian muncul hanya tukang sate ayam yang meneriakkan
dagangannya dengan suara yang menusuk seperti masuk ke hulu hati.
“Belum tidur, Pak?”
“Sudah.”
“Sate?”
“Nggak ah, besok aja.”
IA PERGI KE PINTU. KEMUDIAN
SEPERTI BARU MASUK DARI LUAR. MENUTUPKAN PINTU.
Kututup lagi pintu, tanpa
mengunci, siap- siap hendak meneruskan tidur. Mungkin saja suara itu bagian
dari mimpiku yang kacau. Sudah sering sekali mimpi dan kenyataan dalam hidupku
saling menembus batas. Orang bilang kalau sudah begitu tanda pikiran lagi
goyah. Tapi kapan pikiran bisa tenang, kalau sedang tumbuh untuk menyelaraskan
dengan bantingan kehidupan yang semakin binal ini. Kapan bisa tenang kalau di
mana-mana ada perang?
Perlahan-lahan aku letakkan lagi
kepala di bantal dan siap melupakan semuanya. Kusibakkan mimpi dan
perlahan-lahan menusukan diri. Tapi tiba-tiba kembali terdengar suara ketukan
di pintu. Aku melonjak bangun dan berseru.
“Ya! Siapa itu?”
DI LAYAR PINTU TERBUKA. MUNCUL
SESEORANG.
“Maaf, Putu.”
“Ada apa, Pak?”
“Sebenarnya Bapak yang sudah
memanggilmu.”
“O ya? Bapak?
“Ya. Tapi itu sudah dua puluh
tahun yang lalu, kenapa baru menyahut? Kenapa kamu baru menjawab sekarang,
setelah semua kami mati, habis dibunuh oleh bajingan jahanam itu?”
Aku ternganga. Orang itu
menutupkan pintu kembali, tak menunggu jawabanku
PINTU TERTUTUP LEMBALI. LAYAR
BLANK.
.
Sejak waktu itu aku menjadi
seorang penulis.
Bertahun-tahun kemudian, juga
saat larut malam, sedang bekerja di mesin ketik menulis sebuah kolom untuk
surat kabar, tiba-tiba telepon berbunyi. Ketika aku angkat, terdengar suara
seorang wanita jauh di sana. Ia berbisik serak, tetapi suaranya jelas sekali.
Seakan-akan bibirnya menempel di telinga dan hangat nafasnya menyembur pipiku.
DI LAYAR NAMPAK WAJAH MEREMPUAN.
“Putu….”
“Ya? Siapa ini?”
“Namaku Arudati.”
“Siapa?”
“Dua jam yang lalu, di jalan
Merdeka, aku di jegal, disiksa, diperkosa dan dibunuh, lalu digeletakkan mati
di pinggir jalan begitu saja seperti bangkai anjing. Mobil-mobil lewat dengan
kecepatan tinggi. Semuanya menghindar tapi salah satu melindasku sehingga
wajahku tak akan bisa dikenali lagi. Ada polisi yang memergoki kepingan
tubuhku, tetapi ia sedang buru-buru mau pulang, karena keluarga istrinya datang
dari seberang. Ia pura-pura tidak melihatku.
SEMUA KEJADIAN YANG DICERITAKAN PEREMPUAN ITU KELIHATAN DI
LAYAR. LALU NAMPAK WAJAH PERFEMPUAN ITU MEMENUHI LAYAR, MENATAP LANGSUNG
Sekarang aku mulai dirubung laler ……… ”
“Apa?”
TUBUH PEREMPUAN ITU MENGGELATAK
DI JALANAN DIRUBUNG OLEH BINATANG.
BLANK. TELEPON DILETAKKAN
Aku terkesima. Mulutku ternganga.
Sunyi malam masuk ke rongga tubuhku. Apa aku harus mempercayai semua itu?
Semua yang ada di komputerku jadi
tak berharga lagi. Seluruh kata-kataku patah. Yang ada hanya kalimat-kalimat
yang kosong dengan bunyi yang menyampah.
Tapi kemudian aku teruskan juga
mengetik, karena hanya itu yang mampu aku lakukan. Besok pagi cerita itu sudah
harus dibaca orang.
Dan tadi malam, di kamar 318 di
hotel Tropicana, Durban, Afrika Selatan, aku kembali terbangun di penghujung
malam. Jam menunjuk beberapa puluh menit sebelum pukul 2. Hampir 12 jam
perjalanan udara ditambah dengan menunggu di Kualalumpur dan Johnnesburg
selama12 jam, belum lagi 6 jam perbedaan waktu, masih membuatku mabok. Aku tak
mampu tidur lagi, betapa pun sibuknya esok jadwal pertemuan para penulis yang sudah mengundangku untuk pertama kalinya
ke benua hitam ini.
DI LAYAR GAMBAR LAUT.
Lalu kubuka jendela dan
membiarkan udara lautan Hindia di depan hotel masuk ke dalam ruangan.. Suara
ombak seperti tangan orang kelelap yang menggapai-gapai leherku. Aku merasa
ngeri.
Ketika memandang ke jalanan di
bawah, terlihat seorang wanita muda dengan memakai celana jin ketat, sedang
gentayangan. Tubuhnya jangkung, bentuk pinggul dadanya menggairahkan. Ia menyebrang-nyebrang jalan dan melambai
kepada mobil-mobil yang lewat. Tapi tidak ada yang menggubrisnya. Aku jadi
dapat pikiran buruk.
SEMUA YANG DIKATAKAN PENULIS ITU
KELIHATAN DI LAYAR.
Ya Tuhan, di mana-mana di dunia
ini sama saja. Wanita yang harusnya
tinggal di dalam rumah mengeloni anak-anak, pada tengah malam seperti
ini, kenapa jadi berkeliaran di jalanan. Aku ingin marah.
LAYAR: HIGH ANGLE. ZOOM IN WAJAH
PEREMPUAN.
Tiba-tiba wanita itu mendongak ke
arah jendelaku, menatap langsung ke mataku. Tatapannya begitu menusuk. Ia
berbisik. Gumamnya berserak ke seluruh bagian kepalaku seperti jarum-jarum yang
dihujamkan dengan kesal.
“Tuhan, aku tahu Kau ada di sana.
Aku tahu, Kau selalu ada di situ dan mengawasiku setiap detik. Tak ada yang
luput dari mataMu. Dan aku juga tahu, Kau pasti sedang mengutukku dan siap-siap
akan mengirimku ke neraka. Tapi aku tidak peduli! Aku tidak takut! Aku punya 12
orang anak yang sedang menunggu kedatanganku di rumah. Aku tidak punya sepeser
pun buat sarapan pagi mereka besok. Apalagi untuk membeli susu supaya otak
mereka berkembang, jangan jadi kecoak yang hanya bisa menadahkan tangan dan
membuka mulutnya. Aku juga tidak punya duit sepeser pun untuk membiayai sekolah
mereka. Kalau pun tiga orang saja nanti berhasil terus hidup, paling banter
juga mereka hanya bisa jadi sampah, pelacur dan dan bandit-bandit jalanan. Aku
sudah bangkrut, harga diriku sudah lama aku buang. Sekarang yang tinggal
hanya ini!”
DI LAYAR: WANITA ITU MEMBUKA
KUTANG DAN SETERUSNYA.
Wanita itu membuka kutangnya. Nampak
buah dadanya berjutai keluar. Sudah layu. Tapi buat lelaki kesepian yang jauh
dari istri seperti aku, itu sebuah kejutan.
Ia juga mencopot semua pakaiannya dan telanjang bulat di jalanan.
“Hanya ini!” teriaknya sambil
menunjuk ke kemaluannya.“Hanya ini yang masih aku miliki. Hanya ini yang bisa
aku manfaatkan. Karena Kau sudah tega amat membiarkan suamiku mati dalam perang
yang dia sendiri tidak mengerti apa gunanya. Aku juga heran dan bingung kenapa
Kau membiarkan saja bangsat-bangsat itu membunuh dan akhirnya semuanya menang.
Kenapa Kau biarkan mereka para penindas itu menguasai dunia dan menginjak-injak
kami? Mana buktinya yang benar akan menang yang jahat akan kalah? Kamu cipoa!”
Wanita itu meludah.
“Kutuklah aku. Dera aku. Campakkan
aku ke neraka! Atau beli memekku dan
setubuhi aku sekarang di sini, supaya aku bisa pulang bawa uang. Atau Kau lebih
suka ini……”
Wanita itu lalu nungging dan
mengarahkan lubang pantatnya ke arahku.
LAYAR: HIGH ANGLE. ZOOM IN BIG CLOSE UP PANTAT PEREMPUAN.
Aku tak mampu lagi menerima semua
itu. Aku bukan Tuhan, seperti yang disangkanya. Aku hanya seorang penulis yang
mencoba memulung kata-kata besar, yang kemudian aku rias untuk dijual agar
dapat honor buat menyambung hidup
keluargaku. Aku juga hanya seorang pelacur seperti dia. Cepat kututup jendela
dan rentangkan korden.
MENUTUP JENDELA. LAYAR KOMPUTER
BLANK.
Tapi tidak berarti semua itu bisa dibatalkan.
Itu sudah terjadi.
Aku hanya bisa berjanji, untuk
kesekian kalinya, bahwa aku akan mulai menulis lagi, apa yang seharusnya aku
tulis, yang belum mampu aku tulis.
PENULIS ITU MULAI DUDUK DAN BEKERJA.
DIA SEPERTI MENCANGKUL DI ATAS KOM PTERNYA. TANGANNYA KERAS MEMUKUL-MUKUL KEYBOARD.
LAYAR ERROR. KEMUDIAN SHUT DOWN.
BLACK OUT.
Durban,
Afrika Selatan 12 Maret 2003
0 Response to "SUARA"
Post a Comment