DEMOKRASI
monolog
karya:
Putu Wijaya
____________________________________________________________________
(DAPAT DIMAINKAN OLEH LELAKI MAUPUN
PEREMPUAN)
SEORANG WARGA DESA YANG TANAHNYA
KENA GUSUR MEMBAWA PLAKAT BERISI TULISAN DEMOKRASI. SETELAH MEMANDANG DAN
PENONTON SIAP MENDENGAR , IA
BERBICARA LANGSUNG
Saya
mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat kecil, saya tidak kelihatan
sebagai pejuang, apalagi pahlawan. Nama saya tak pernah masuk koran. Potret
saya tak jadi tontonan orang. Saya hanya berjuang di lingkungan RT gang Gugus
Depan.
Di
RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pro demokrasi. Mereka mendukung tanpa
syarat pelaksanaan demokrasi. Dengan beringas mereka akan berkoar kalau ada
yang anti pada demokrasi. Dengan gampang saya bisa mengerahkan mereka untuk
maju demi mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah membela demokrasi.
MENGACUNGKAN
PLAKATNYA .
Demokrasi!
TERDENGAR SERUAN
WARGA BERSEMANGAT MENYAMBUT: DEMOKRASI!
Demokrasi!
SERUAN LEBIH
HANGAT LAGI:
Demokrasi!
SERUAN GEGAP
GEMPITA: DEMOKRASI! IA MENURUNKAN PLAKAT
Bener kan ? Hanya salahnya
sedikit, tak seorang pun yang benar-benar mengerti apa arti demokrasi.
MENIRUKAN SALAH
SEORANG WARGANYA.
.
"Pokoknya
demokrasi itu bagus. Sesuatu yang layak diperjuangkan sampai titik darah
penghabisan. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan besar. Sesuatu yang menunjang
suksesnya pembangunan menuju ke masyarakat yang adil dan makmur. "
Saya
kira itu sudah cukup. Saya sendiri tak mampu menerangkan apa arti demokrasi.
Saya tidak terlatih untuk menjadi juru penerang. Saya khawatir kalau
batasan-batasan saya tentang demokrasi akan disalahgunakan. Apalagi kalau
sampai terjadi perbedaan tafsir yang dapat menjadikannya kemudian bertolak belakang.
Atau mungkin, karena saya sendiri tidak benar-benar tahu apa arti demokrasi.
Pada
suatu kali, Rt kami yang membentang sepanjang gang Gugus Depan dapat kunjungan
petugas yang mengaku datang dari kelurahan. Pasalnya akan diadakan pelebaran
jalan, sehingga setiap rumah akan dicabik dua meter. Petugas itu menghimbau,
agar kami, seperti juga warga yang lain, merelakan kehilangan itu, demi
kepentingan bersama.
MENIRUKAN
PETUGAS.
“Walaupun
hanya dua meter, tapi sumbangan saudara-saudara sangat penting artinya bagi
pembangunan dan kepentingan kita bersama di masa yang akan datang. Atas nama
kemanusiaan kami harap saudara-saudara mengerti.”
NAMPAK BINGUNG.
Warga
kami tercengang. Hanya dua meter? Kok enak saja ngambil dua meter, demi
pembangunan. Pembangunan siapa? Bagaimana kalau rumah kami hanya enam meter
kali empat. Kalau diambil dua meter kali enam, rumah hanya akan cukup untuk
gang. Kontan kami tolak. Bagaimana bisa hidup dalam gang dengan rata-rata 5
orang anak?
Tidak
bisa itu tidak mungkin!
"Tapi
ini sudah merupakan keputusan bersama,"
Kami
semakin tercengang saja. Bagaimana mungkin membuat keputusan bersama tentang
rumah kami, tanpa rembukan dengan kami. Seperti raja Nero saja.
"Soalnya
masyarakat di sebelah sana ,
semuanya adalah karyawan pabrik tekstil. Semua memerlukan jalan tembus yang
bisa dilalui oleh kendaraan. Dengan difungsikannya gang Gugus Depan ini menjadi
jalan yang tembus kendaraan bermotor, mobilitas warga yang hendak masuk ke
pekerjaan atau pulang akan lebih cepat. Itu berarti efesiensi dan efektivitas
kerja. Mikrolet dan bajaj akan bisa masuk. Itu akan merupakan sumbangan pada
pembangunan. Dan pembangunan itu akan dinikmati juga oleh kampung di
sebelahnya, karena sudah diperhitungkan masak-masak oleh pembangunan."
Diperhitungkan
masak-masak bagaimana? Kami tidak pernah ditanya apa-apa? Tanah ini milik kami,
bantah saya.
Tak
lama kemudian, sejumlah warga dari kiri kanan kami datang. Mereka menghimbau
agar kami mengerti persoalan mereka. Mereka mengatakan dengan sedikit
pengorbanan itu, ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan tertolong.
Mereka menggambarkannya sebagai perbuatan yang mulia. Setelah menghimbau mereka
mengingatkan sekali lagi, betapa pentingnya pelebaran jalan itu. Setelah itu
mereka mengisyaratkan betapa tak menolongnya kalau kami tidak menyetujui usul
itu. Dan setelah itu mereka mengancam.
MENIRUKAN WARGA
KAMPUNG SEBELAH.
Kalau
saudara-saduara menghambat, menghalang-halangi atau berbuat yang tidak-tidak
sehingga pelebaran jalan itu tak dilaksanakan, sesuatu yang buruk akan terjadi.
NAMPAK MAKIN
BINGUNG.
Berbuat
yang tidak-tidak? Tidak-tidak apa? Kami terjepit di antara kepentingan orang
banyak. Belum lagi kami sempat bikin rapat untuk melakukan perundingan,
pelebaran jalan itu sudah dilaksanakan.
TERDENGAR SUARA
MESIN MENGERAM.
Tanpa minta ijin
lagi, sebuah buldozer muncul dan menggaruk dua meter wilayah RT kami. Warga
kami panik. Jangan! Jangan! Ini tanah kami. Sejak nenek-moyang kami sudah di
sini. Dulu kakek-kakek kami tanahnya lebar, tiap orang punya tegalan dan dua
tiga rumah, tapi semua itu sudah dibagi-bagi anak cucu, ada yang sudah dijual.
Tapi ini tanah warisan.
Buldozer itu tidak
peduli. Mereka terus menggaruk. Jangan Pak! Jangan! Kalau Bapak ambil dua meter
rumah kami tinggal kandang ayam. Kami tidak mau kampung kami dijadikan jalan.
Nanti ke mana anak-anak kami akan berteduh?
Jangan! Jangan
Pak! Kita belum selesai berunding! Kami tidak pernah bilang setuju! Diganti berapa
pun kami tidak akan mau. Ini harta kami satu-satunya sekarang!
Jangan Pak!
Tapi buldozer
itu terus juga menyeruduk dengan buas. Sopirnya tidak peduli. Dia hanya
menjalankan tugas. Akhirnya kami tidak bisa diam saja. Kami semua terpaksa
melawan. Saya tidak bisa mencegah warga rame-rame keluar dari rumah. Mereka
berdiri di depan buldozer itu.
Ini tanah kami,
akan kami pertahankan mati-matian. Dibeli ratusan juta juga kami tidak sudi,
sebab kami tidak mau pindah dari tempat nenek moyang kami. Anak-anak dan
perempuan kami pasang di depan, sesudah itu orang-orang tua, lalu saya dan
bapak-bapaknya.
Baru buldozer
itu berhenti.
SUARA MESIN
BERHENTI. SENYAP..
Sopir
yang menjalankan buldozer itu ngeper juga melihat kami. Dia turun dari
kendaraan dan berunding dengan teman-temannya. Kami menunggu apa yang akan
terjadi. Lama juga mereka berunding. Beberapa anak main-main mendekati buldozer
itu dan megang-megangnya. Kendaraan itu kuat, baru dan bagus. Beberapa ibu-ibu
duduk di jalan meneteki anak-anaknya. Saya sendiri mengambil kesempatan kencing
karena terlalu tegang.
Akhirnya
mereka selesai berunding. Sopir itu kembali naik ke atas buldozernya. Dia
tersenyum. Kami semua merasa lega. Mereka pasti baru menyadari mereka sudah
salah. Mesin dihidupkan kembali.
KEMBALI SUARA
MENGERAM.
Kami
menunggu dengan deg-degan. Waktu itu sebuah mobil colt datang. Sekitar sepuluh
orang laki-laki meloncat turun dengan memakai pakaian seragam. Kami bersorak,
melihat akhirnya aparat datang untuk melindungi rakyat. Tapi berbareng dengan
itu buldozer itu menerjang kembali ke depan menggaruk tanah.
Perempuan-perempuan menjerit. Beberapa anak jatuh, salah seorang di antaranya
kena garuk. Untung ada yang meloncat naik dan menarik anak itu. Keadaan jadi
kacau.
Orang-orang
berseragam itu berlarian datang. Ternyata mereka bukan petugas, tetapi satpam
yang mau mengamankan penggarukan. Mereka membawa pentungan yang sudah siap
untuk memukul. Kami jadi seperti kucing yang kepepet. Tanpa diberi komando
lagi, kami melawan.
Anak-anak
mengambil batu dan melempar. Asep, bapak anak yang hampir kena garuk buldozer
meloncat ke atas buldozer mau menarik sopirnya. Tapi tiba-tiba sopir buldozer
itu menghunus parang yang disembunyikannya di bawah tempat duduk, langsung
membacok pundak Asep.
Asep
tumbang berlumuran darah. Perempuan-perempuandan anak-anak menjerit, lalu kabur
menyelamatkan diri. Warga lelaki hampir saja mau menyerang, tapi kemudian
sebuah truk datang. Puluhan orang yang kelihatan ganas-ganas melompat turun dan
menerjang kami sambil membawa senjata tajam. Saya kenal salah satu di antaranya
bajingan di Proyek Senen.
Kami terpaksa
mundur. Saya melarikan Asep ke rumah sakit. Untung saja tidak lewat. Barangkali
pembacoknya memang tidak berniat membunuh, hanya kasih peringatan.
MELETAKKAN PLAKAT
. LALU MEMBUKA PAKAINNYA/SALIN.
Saya
bingung. Akhirnya setelah putar otak, saya beranikan diri mengunjungi direktur
pabrik teksil, majikan warga yang menginginkan jalan pintas itu. Saya memakai batik
(kebaya dan jarik kalau pemainnya perempuan) supaya kelihatan resmi dan sedikit
dipandang.
MEMAKAI BATIK
Tapi susah
sekali. Orangnya selalu tidak di tempat. Baru setelah mengaku petugas
kelurahan, akhirnya saya diterima.
Direktur
itu kaget setelah mengetahui saya bukan petugas kelurahan tapi korban
penggusuran. Tetapi ia cepat tersenyum ramah, lalu menguncang tangan saya.
Begitu saya semprot bahwa kami tak sudi dipangkas, dia bingung. Kepalanya
geleng-geleng seperti tak percaya. Lalu ia memanggil sekretaris. Setelah
berunding bisik-bisik, ia kembali memandangi saya seperti orang stress.
MENIRUKAN
DIREKTUR PABRIK TEKTIL YANG DIALEKNYA RADA CADEL/ASING
"Tuhan
Maha Besar, saya tidak tahu ini. Saya minta maaf. Saya tidak memperbolehkan
siapa saja membuat tindakan-tindakan pribadi atas nama perusahaan. Para karyawan sudah diberi uang transport. Kalau mereka
memerlukan jalan pintas, mungkin karena mereka ingin menyelamatkan uang
transport itu. Itu di luar tanggungjawab perusahaan. Pembuatan jalan itu bukan
inisiatif dan bukan tanggungjawab kami. Saya minta maaf. Saya mohon Anda
menyampaikan rasa maaf saya kepada seluruh warga,"
Dia
begitu bersungguh-sungguh. Saya mulai senewen. Saya tak percaya apa yang
dikatakannya. Ini sandiwara apa lagi. Saya bukan orang bodoh, saya tidak mau
dikibulin mentah-mentah begitu. Saya tahu dia hanya pura-pura. Mulutnya yang
manis, tingkah lakunya yang sopan itu tidak bisa mengelabui saya. Saya bisa
mengendus apa yang disembunyikan di balik topengnya itu. Orang kaya raya
begitu, berpendidikan tinggi, luas pandangannya, pasti tahu apa sebenarnya yang
terjadi. Tidak mungkin dia tidak paham apa artinya 2 meter tanah buat kami,
meskipun bagi dia 2000 hektar itu hanya seperti upil. Orang yang pasti sudah
bolak-balik ke luar negeri itu masak tidak tahu, kami, paling sedikit saya ini
tahu, bukannya para karyawannya itu yang serakah mau menyelamatkan uang makan,
tapi dia sendiri yang memang mau mencaplok pemukiman kami. Nanti lihat saja,
kalau jalan sudah dibuat, uang makan akan distop, karyawannya akan disuruh
jalan kaki datang. Tai kucing. Rai gedek! Sudah konglomerat begitu,
menyelamatkan uang receh saja pakai menyembelih rakyat.
Aku tahu! Aku
tahu! Tal kasi tahu warga semuanya apa yang sudah terjadi. Aku adukan nanti
kepada Jaksa Agung! Beliau itu dulu waktu masih miskin sering mampir di warung
saya! Biar orang semacam ini ditindak. Asu! (MENYUMPAH-NYUMPAH KOTOR DALAM
BAHASA DAERAH)
DIA MENYABARKAN
DIRINYA, KARENA KATA-KATANYA SEPERTI SUDAH TAK TERKENDALI.
Betul. Orang kecil seperti saya ini memang
kelihatannya lemah dan gampang ditipu. Karena kami sadar pada diri kami
sehingga kami selalu menahan diri. Tapi kalau sudah kebangetan seperti ini saya
meledak juga. Semut pun kalau diinjak terus akan menggigit.
Karena terlalu
marah, saya tidak bisa ngomong lagi. Muka saya saja yang kelihatan merah. Dia
mengerti. Saya siap untuk meledak. Dia semakin ramah, semakin halus bicaranya.
Saya diperlakukan sebagai tamu terhormat. Tapi saya terus maju. Ini perjuangan.
Dia menyuguhkan
makanan dan minuman. Saya tolak. Saya datang bukan untuk bertamu atau
ramah-tamah. Saya membawa suara rakyat, menuntut keadilan. Keadilan untuk kami
saja.
Kami tidak minta
apa-apa, kami hanya minta tanah kami yang 2 meter itu jangan diganggu. Itu hak
kami! Titik.
Di atas meja
dihidangkan kue-kue yang lezat. Hhhh! Tapi saya tidak sudi menjamah, sebelum
tuntutan kami didengarkan. Dia mencoba bertanya tentang keluarga saya, anak
saya kelas berapa. Ah itu kuno. Saya tahu itu taktik untuk memancing pengertian.
Dia juga
berbasa-basi menanyakan bagaimana keadaan Asep. Lho saya jadi tambah curiga.
Jadi dia tahu sekali apa yang terjadi. Mungkin dia yang menyuruh sopir itu
membacok Asep, karena Asep juga pernah memprotes pembuangan limbah dari pabrik
yang mengalir ke selokan di depan rumah kami.
Saya bertekad,
saya tidak akan keluar dari kantor itu sebelum ada keputusan membatalkan
perampokan 2 meter tanah kami untuk jalan. Saya ditunggu oleh warga.
Saya hanya mau
pergi kalau ada keputusan yang menguntungkan rakyat kecil!.
Akhirnya dia
menganguk, tanda dia mengerti. Kemudian dia menunduk dan membuka laci mejanya
mengambil kertas. Saya bersorak dalam hati. Akhirnya memang kunci segala-galanya
pada kegigihan. Kalau kita getol berjuang pasti akan berhasil.
Tetapi kemudian
darah saya tersirap, karena Direktur itu mengulurkan kepada saya sebuah amplop
coklat yang tebal. Saya langsung tak mampu bernafas.
DARI ATAS JATUH
SEBUAH AMPLOP RAKSASA BERISI TULISAN RP 1.000.000.000. SATU MILYAR TULISAN
MELAYANG SETINGGI DADA DI DEPANNYA. IA
GEMETAR.
Tebal, cokat,
apalagi di atas amplop itu tertera 1.000.000.000. Satu milyar. Ya Tuhan
banyaknya. Saya belum pernah memegang uang sebanyak itu. Satu milyar?
MENGHAMPIRI
AMPLOP. MENYENTUH DENGAN GEMETAR, TAK PERCAYA, RAGU-RAGU, GEMBIRA. KEMUDIAN
MEMEGANGNYA.
Satu
milyar. Seratus kali lagi hidup saya tidak akan sanggup mengumpulkan satu
milyar. Ya Tuhan, alangkah miskinnya saya. Mengapa tiba-tiba saya dihujani
rizki sebanyak ini.
MEMELUK AMPLOP
ITU. MENGANGKATNYA. MENJUNJUNGNYA. MEMBAWANYA KE SANA-KE MARI. KEMUDIAN
MENGEKEPNYA. LALU MENARIKNYA KE BAWAH. MEMELUKNYA. SEPERTI KUCING YANG BERMAIN-MAIN
DI ATAS KERTAS, IA TELENTANG, TENGKUREP DI ATAS UANG ITU SAMBIL
MENCIUM-CIUMNYA. KEMUDIAN IA MASUK KE DALAM AMPLOP, SEPERTI ANJING YANG MENGOREK-OREK
TONG SAMPAH DENGAN BERNAFSU DAN NGOS-NGOSAN. AKHIRNYA IA MENGGULUNG DIRINYA
DENGAN AMPLOP UANG ITU.
Satu
milyar. Apa yang tidak bisa dibeli dengan
satu milyar. Alhamdulillah! Saya bisa perbaiki rumah. Kredit motor, jadi
tukang ojek. Bayar SPP. Saya bisa kirim uang sama orang tua.
Puji
syukur Tuhan, akhirnya Kau kabulkan doa kami setiap malam, supaya kami bisa
mengubah nasib, jangan terus terjepit di tempat kumuih ini seperti kecoak.
MENANGIS KARENA
GEMBIRA DAN TIDAK PERCAYA. KEMUDIAN DIA BERDIRI KEMBALI DAN MEMELUK AMPLOP
BESAR ITU, SAMA SEKALI TAK MAU MELEPASKANNYA.
Saya
gemetar. Saya tak menanyakan lagi berapa isi amplop itu. Untuk apa 1 milyar itu.
Saya tidak perlu lagi menanyakannya. Saya hanya menerimanya, lalu menyambut
uluran tangannya. Lantas terbirit-birit pulang. Takut kalau amplop itu ditarik
lagi. Saya ambil jalan belakang, sehingga tak seorang warga pun tahu saya
barusan datang dari rumah direktur.
Saya
kumpulkan keluarga saya dan jelaskan kepada mereka, bahwa sejak hari itu hidu;p
kami akan berubah. Doa kita sudah dikabulkan.
MELEPASKAN
KEMBALI AMPLOP. AMPLOP BESAR NAIK KEMBALI, MELAYANG DI ATAS KEPALANYA.
Esok
harinya, ketika para warga gang Gugus Depan kembali mendatangi saya untuk
mendengarkan hasil rembukan saya dengan Pak Direktur untuk selanjutnya
menetapkan tindakan apa selanjutnya yang harus dilakukan, saya memberi
wejangan.
Saudara-saduara warga semuanya yang saya
cintai. Memang berat kehilangan 2 meter dari milik kita yang sedikit. Berat
sekali. Bahkan terlalu berat. Tetapi itu jauh lebih baik daripada kita
kehilangan nyawa. Lagipula semua itu untuk kepentingan bersama. Kita semua
mendukung demokrasi dan sudah bertekad untuk mengorbankan apa saja demi
tegaknya demokrasi. Di dalam demokrasi suara terbanyak yang harus menang. Maka
sebagai pembela demokrasi, kita tidak boleh dongkol karena kalah. Itu
konsekuensinya mencintai demokrasi. Demi demokrasi, kita harus merelakan 2
meter untuk pembuatan jalan yang menunjang pembangunan ini. Demi masa depan
kita yang lebih baik.
Seluruh
warga yang saya pimpin tak menjawab. Seperti saya katakan, mereka semuanya
pembela demokrasi. Kalau atas nama demokrasi, mereka relakan segala-galanya.
Satu per satu kemudian mereka mereka pulang.
He
tunggu dulu, saya belum selesai bicara!
Kuping
mereka buntet. Tanpa peduli rapat belum rampung, semuanya pergi.
Tunggu!
Tunggu!
Tak
ada yang menggubris. Semuanya ngacir. Tinggal saya sendiri dan seorang tua. Tapi
dia tidak pergi bukan karena suka tapi karena kakinya semutan. Setelah reda dia
juga berdiri dan pergi sambil ngedumel.
"Kalau
memang demokrasi itu tidak melindungi kepentingan rakyat kecil, aku berhenti
menyokong demokrasi. Sekarang aku menentang demokrasi!”
TERDENGAR SUARA
SORAK DAN YEL-YEL YANG TIDAK JELAS. SEPERTI ADA
KERIBUTAN. LALU SUARA TEMBAKAN. BARU SEPI KEMBALI.
Sejak itu
semuanya benci kepada demokrasi. Sejak hari itu, warga Rt Gugus Depan yang saya
pimpim kompak menolak demokrasi. Hanya tinggal saya sendiri, yang tetap berdiri
di sini. Teguh dan tegar. Tidak goyah oleh topan badai. Tidak gentar oleh panas
dan hujan. Saya tetap kukuk tegak di atas kaki saya, apa pun yang terjadi siap
mempertahankan demokrasi, sampai titik darah yang penghabisan.
Habis mau
apalagi. Siapa lagi kalau bukan saya?
Daripada
diberikan kepada orang lain?
DENGAN SUARA
YANG GEMURUH AMPLOP BESAR ITU JATUH MENIMPA, DIIKUTI OLEH BANYAK AMPLOP LAIN
YANG LEBIH BESAR, SEHINGGA IA JATUH DAN TERTIMBUN OLEH AMPLOP.
LAMPU MEREDUP
DAN PADAM.
Sunter Mas
12-12-1994, Astya Puri 28-2-2006
0 Response to "DEMOKRASI "
Post a Comment