Monolog
NAGINA
Karya N.
RIANTIARNO
NAGINA DAN NARATOR, IBARAT SATU RAGA DUA JIWA. (NARATOR MERIAS WAJAH DIRI TANPA TERGESA
Dia memakai semua atribut
kepalsuan. Meski sesungguhnya, dia jujur, tulus dan seluruh ruang di
hatinya dipenuhi rasa kemanusiaan. Wataknya halus, gampang tersentuh. Dia
dermawan, suka menolong. Selalu bersikap ramah, sopan-santun terpuji, dan
kata-katanya penuh keyakinan diri. Yang tak kenal dekat, akan menganggap
pribadinya kuat. Padahal dia rapuh, mudah goyah.
Dia memoles tubuh aslinya,
bertentangan dengan wujud yang sudah ditakdirkan baginya. Gaun yang bagus,
nampak mewah dan modis, dia beli dengan harga diskon di Butik Malibu, Raja
Plaza. Itu sudah termasuk sepatu merahjambu dan tas tangan dengan warna senada.
Wangi parfum yang menyengat, hadiah seorang pengagum, menyerbak dari badan.
Semua yang lekat di tubuh, nampak diserasikan. Dia sadar, mode sanggup mengubah
penampilan. Dan kepribadian bisa terangkat naik, membikin orang terkesan.
Wig, bulu mata plastik lentik,
coklat tua warna lipstik, dan pipi merah rona hasil pulasan kosmetik,
melengkapi wajah. Dia memasang pantat palsu dan teteknya montok akibat suntikan
silikon. Kulit putih bersih, lengan dan betis mulus, bulu-bulunya dia cukur
setiap pagi. Tangan dan kaki terawat baik, juga kuku-kuku. Tentu, dia langganan
setia Salon Herman Tandayu. Hidung mancungnya, hasil operasi tiga tahun lalu di
Singapura dan dikontrol rutin tiga bulan sekali, nampak serasi dengan mulut dan
pipi.
Dia ingin jadi wanita. Padahal
30 tahun lalu dia lahir di Cirebon sebagai bayi lelaki. Tapi naluri kewanitaan,
terpancar sangat menyerbu. Ibarat bah, sanggup membongkar cengkeraman cakar
takdir. Tingkah lakunya sehari-hari cukup menjadi bukti. Dan kabar burung
beredar, setahun setelah operasi hidung, dia muhibah ke Jepang untuk mengganti
kelamin. Kini, tepatkah fungsi kelamin yang sudah dia ganti itu? Hanya Sang
Pacar yang bisa membuktikan. Tapi, siapa pacarnya, jarang yang tahu. Kehidupan
pribadinya tak minat dipublikasikan. Yang jelas, secara resmi dia memang belum
menikah. Dan dia tidak mau melakukan nikah siri. Tapi, siapa dia itu sih?
Namanya Nagina. Biasa
dipanggil sesuai ejaan; Nagina. Tapi bisa juga dibaca menjadi Na-Jii-Naa.
Mengapa namanya begitu, juga jarang yang tahu. Entah nama asli atau palsu,
orang tahu dia enggan menyandang nama keluarga. Kalaupun ada tambahan, paling
embel-embel miss di depan namanya. Naa, itu dia suka. Miss
Na-Jii-Na. Ya, hati-hati, bukan Va-gii-na. Jangan salah eja.
Malam ini dia berpraktek di
rumahnya. Sejak 5 tahun yang lalu, dia dikenal sebagai peramal jitu. Di setiap
jam praktek, ruang tamu dipenuhi puluhan klien yang antre menunggu giliran. Dan
tak seorang pun yang tidak puas dengan layanan plus ramalannya. Tapi benarkah
dia peramal jitu?
NARATOR BERUBAH MENJADI NAGINA YANG LUWES
Sekarang? Baik. Dari mana
mulai? Nama sudah, catatan pribadi sudah, pekerjaan, umur, kota tempat lahir ..
aaah ya, perkara ramal-meramal.
Tapi, mohon, please,
apa yang saya omong, jangan dianggap pidato pengakuan. Orang yang suka mengaku,
sering sok jujur. Artinya ya, tidak jujur. Banyak yang diungkap, tapi masih
tetap banyak yang disembunyikan. Saya memilih, lebih baik apa adanya. Tuhan
juga pasti paham, jika ada yang lupa atau sengaja tidak diungkap, bisajadi itu
lantaran malu atau takut. Ya, jangan malu takut, jangan takut malu. Itu
alamiah, manusiawi, hak asasi.
Praktek baru dibuka satu jam
lagi, tapi di dalam sana sudah antre 20 langganan. Setiap hari, bisa tiga kali
lipat dari jumlah itu. Untung, saya libur Sabtu dan Minggu. Simpan tenaga.
Kalau tidak, habis enerji, tidak ada waktu untuk diri sendiri. Capek 24 jam
mengurusi perkara orang lain. Pak Presiden saja dikasih libur untuk memancing
dan bikin lagu pop, masa saya tidak? Menolong orang kewajiban. Istirahat, itu
hak pribadi.
Kata orang, saya peramal jitu.
Sebagian besar ramalan saya, memang tepat. Mungkin karena itu, setiap akhir
tahun saya selalu diminta media massa untuk menulis ramalan tahun depan. Saya
tulis atau ‘ngoceh di teve tanpa ragu. Dan konon, melesetnya cuma sekitar 15
persen saja. Selebihnya tepat. Tentu saja, guru saya adalah Nostradamus,
Joyoboyo dan Ronggowarsito.
Apa yang saya ramal? Banyak.
Berbagai hal. Semua sisi dari kehidupan manusia. Sos-pol-ek-bud-han-kamnas,
Juga olahraga, kesenian, karier tokoh-tokoh, kesehatan, bisnis dan cinta. Ya,
cinta dan bisnis. Tahun lalu, saya ramalkan akan lahir sapi dengan kaki lima.
Dua bulan lalu terbukti. Saya ramalkan dua pasangan selebriti yang kelihatannya
sangat serasi, terlibat skandal dan bercerai. Sebulan lalu terbukti. Saya
ramalkan sebuah bank raksaksa bangkrut, nasabah dan negara dirugikan. Terbukti.
Apalagi? Saya ungkap kenyataan, tahun ini adalah Tahun Corona. Tahun yang panas
luar biasa, suhu alam maupun suhu politik. Ada dua bintang besar di salah satu
gugusan tata surya yang menyatu garis orbitnya. Lagi-lagi terbukti.
Gelombang panas menghantam
Amerika dan Eropa. Tsunami di mana-mana. Kriminalitas meningkat, suhu politik di
berbagai negara berubah-ubah sulit terbaca. Dua presiden dikudeta, satu
dimakzulkan dan turun tahta, pers mendadak ekstra galak, buruh bergolak,
demonstrasi terjadi hampir setiap hari, koalisi pecah, resafel kabinet. Dunia
kacau, bumi gonjang-ganjing.
Salju jatuh di benua Afrika.
Bukan di puncak Gunung Kilimanjaro tapi di padang gurun yang sangat gersang.
Israel dan India ‘ngotot ingin ujicoba senjata nuklirnya, persekutuan negara
barat berkeberatan. Kebudayaan mulia merosot eksistensi dan kualitasnya diganti
secara provokatif oleh budaya slogan dan produk serba instan. Para pejabat
memang makin banyak yang gemar melukis dan baca puisi, tapi teater mati suri,
karena pemerintah tidak peduli. Film nasional meningkat produktivitasnya tapi
didominasi oleh lawak-konyol dan horor picisan. Televisi diserbu telenovela
yang kisahnya melulu perselingkuhan dan musik dangdut mulai kehilangan
penggemar.
Ini zaman orang sulit
membedakan arti antara: polisi, polusi, kolusi, korupsi, ilusi, somasi dan
solusi. Juga sulit dibedakan arti antara kartel dan wartel, antara mosi dan
asi, antara nespot dan pispot, antara failing kabinet dan kabinet yang failed.
Antara makzul dan bergajul. Antara begal, bengal, kental, kenyal, legal dan
cekal. Antara kutang dan hutang, antara fasilitas dan obesitas, antara
dialog dan monolog. Lihat, perhatikan! Para pejabat lebih suka bermonolog,
menghindari dialog. Dan para politikus lebih sering bermimpi jadi selebriti
dibanding memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Banyak orang besar mati, tulis
saya tahun lalu. Terbukti. Pernah dalam dua bulan, tujuh kali saya memakai
pakaian hitam tanda berkabung. Dalam setahun, dua kali saya mengibarkan bendera
setengah tiang. Saya memang peramal jitu. Hanya saja, saya tak mampu meramal
diri sendiri. Itu sering bikin prihatin. Saya tidak sanggup mencari tertuduh
perkara pembunuhan atau perkosaan, kejahatan yang semakin banyak terjadi
belakangan ini. Saya juga tak sanggup memberitahu tempat persembunyian para
koruptor yang buron. Begitu saya paksakan, mata batin saya langsung berubah
hitam sehitam-hitamnya, mata berkunang-kunang, saya limbung.
Tapi anehnya, saya pinter
mendatangkan, apalagi mengusir hujan. Orang menyebut saya ‘pawang hujan’. Ya,
saya itu. Saya bersahabat dengan matahari, angin, awan dan air langit atau
hujan. Cuaca adalah karakter alam yang mudah ditebak. Apa saja yang saya minta,
selalu dikabulkan. Minta hujan, pasti hujan. Minta panas, panas. Semua
tergantung order dan nilai tukar mata uangnya. Tak perlu malu, yang penting
hasilnya bermutu.
Mengapa saya pinter meramal?
Dan kenapa saya yang dikasih anugerah kepintaran meramal? Padahal, kata banyak
orang, saya ini cacat. Tidak sempurna. Pembangkang takdir. Penghujat irama
alam. Tubuh dan jiwa saya ganda, mendua. Saya warga masyarakat kelas dua, yang
kalau sudah kebelet kencing di bioskop suka bingung harus masuk pintu WC yang
mana: pria atau wanita. Mereka bilang, saya biang penyakit dan tidak layak
dipercaya.
Tapi mengapa mereka datang
kepada saya, padahal saya sering tidak diakui sebagai wanita? Saya banci, kata
mereka yang gemar membenci. Saya waria, tuduh mereka yang tidak suka. Lihat
baik-baik! Semua ini palsu. Hidung, mata, pipi, susu, paha, pantat. Palsu.
Kalau tidak percaya, saya copot semuanya. Untuk membuktikan. Tidak perlu?
Perlu? Perlu? Oo, tidak perlu, sebab bisa kena jerat pasal UU Pornografi yang
penuh kontroversi itu. Baik. Tidak perlu. Terimakasih. Lebih baik percaya saja,
saya ini palsu. Titik.
Tapi, tolong kasih tahu saya,
mengapa mereka tetap datang dan minta bantuan? Dan mengapa tetap saya ladeni?
Mengapa mereka tidak meminta bantuan kepada peramal lain? Banyak peramal yang
lebih jago dari saya.
Dulu, saya banci jalanan. Lima
tahun. Cari uang, jadi pelacur. Langganan luber, karena servis bagus. Teknik
main cinta saya, kata semua langganan, tergolong prima. Jangan salah, prima.
Bukan primata. Apa saja permintaan langganan, oke, saya berikan. Mau main cara
apa saja, oke, saya layani. Dan saya ikut oke juga. Ikut nikmat juga. Bener.
Tidak bohong.
Maaf, kalau terpaksa buka
rahasia dapur. Tapi, akhirnya saya jadi buruan banyak lelaki hidung belang.
Dicari-cari, dikejar-kejar, diuber-uber. Mereka sebut saya ‘Kembang Taman
Krakatau’, ‘None’ sekaligus ‘Abang Jakarta’ swasta. Bangga juga. Tiga judul
direbut sekaligus. ‘Three in one’. Banci lain mana mampu menyandang 3
judul? Beneran. Tidak bohong.
Kalau tidak percaya, tanya
mereka. Banyak kawan se-angkatan yang masih hidup. Bisa ditanyai. Mereka ada
yang masih cabo jalanan. Meski ada yang insyaf, buka jahitan atau salon. Ada
juga yang jadi tukang ojek, buka usaha roti bakar dan bur-cang-jotam (bubur
kacang hijau dan hitam), buka kios pijit tradisional. Kami tidak putus
hubungan. Saya sering bantu kalau mereka kesulitan uang. Saya mendirikan
koperasi simpan pinjam. Saya buka butik ala kadar, menyewakan rok-blus lengkap
asesorisnya. Harganya, nauudzubillah minzalik, murah nian. Namanya juga
subsidi. Ini swadaya. Bukan bantuan pemda. Sampai sekarang saya tetap bantu
sebisanya semua kawan yang dulu senasib sepenanggungan. Saya wajib ‘bantu
mereka.
Demi Langit, saya tidak pernah
menyembunyikan latar belakang. Untuk apa? Dan mereka juga tidak saya larang,
kalau minat cerita, betapa kacaunya saya semasa gitacinta di SMA itu. Saya
tekad; jangan melupakan sejarah, ya ‘kan? Pamali. Bisa dikutuk donya.
Ingat! Jasmerah: jangan suka menjilati darah. Eh, salah, ‘Jangan siksa si baju
merah’. Salah lagi. Pokoknya begitu. Tapi sekarang sudah jadi Jasbiru ya?
‘Jangan sampai bibirmu ungu’. Hauss ..
Aduh, aduh, kalau sudah larut
begini, pasti lenyap itu kewibawaan dan jadilah, keluar lagi itu watak cabo
recehan di zaman dinosaurus dahulu.
BIKIN POSE-POSE MENGGODA SEPERTI SAAT MASIH MEJENG DI JALANAN, SAMPAI
AKHIRNYA JENGAH SENDIRI).
OeMJi. Sudah-sudah. Stop.
Stop. Jaim. Jaga imij. Bek tu de poin: perkara kebisaan saya meramal.
Perkara kerja saya yang sekarang. Ah, tapi lima tahun di jalanan, memang sulit
dilupakan, sudah sangat melekat. Stop atuh, eneng, abang .. ya gitu.
Jaim, bo!
Semua langganan, yang sudah
kumpul berjejalan di ruang tunggu sana itu, tahu asal-muasal saya. Saya datang
dari comberan, dari kawasan yang sering dianggap sebagai bak-sampah masyarakat.
Saya penyakit menular, wabah, yang memang dianggap pantas untuk dibasmi. Tapi
siapa sangka, rasanya mereka tak peduli masa lalu saya. Mereka lebih butuh
ramalan dibanding biodata, curiculum vitae. Dan saya bahagia, karena saya
diterima. Kalau saya menyapa, ‘Hallo ibu, tante, mbak, kok makin langsing saja.
Diet apa?’, mereka senang sekali dan senyumnya langsung mengembang.
Saya biasa menyapa ramah, ‘Apa
kabar? Anda kelihatan bercahaya dan wangi. Pakai parfum apa? Beneran, saya
mencium bau harum yang nikmat begitu Anda masuk ruangan ini’. Mereka langsung
merasa nyaman dan berteman. Lalu saya bilang lagi, ‘Baik. Jadi, ada problem
apa? Apa yang saya bisa bantu? Ingin tahu apa? Tapi cerita ya? Jangan ada yang
disembunyikan, jangan sampai ada yang ditahan-tahan, nanti bisa kena sakit niir’.
Mereka senang. Berbuka hati, brubul-brubul, semua diceritakan tanpa malu.
Kadang saya sampai pusing karena begitu banyak yang harus diingat; nama-nama
orang, nama tempat, jam, tanggal, bulan, tahun .. bujubuneng banget.
Tujuh tahun lalu, saya
menerima anugerah itu. Kekuatan itu. Pangsit itu. Ya, pangsit. Aduh, sering
banget slip of the tongek. Tapi, memang ini zaman
sulit membedakan arti antara: pangsit, wangsit, wasit, pangsus, pansus, kasus,
sassus .. Tapi, paham ya, apa yang dimaksud? Intinya, anugerah itu.
Bagaimana prosesnya, saya
sudah lupa. Saya cuma ingat, waktunya hampir jam empat pagi. Saya barusan
meladeni langganan yang kesembilan, langganan yang minta posisi aneh-aneh tapi
bayarannya sangat bagus. The Last Lelaki on The Road. Saya barusan cebok
di pinggir kali. Aduh, kasar lagi, maksud saya bukan cebok, tapi cuci badan
bagian bawah. Mendadak ada mercon, eh, maksud saya, cahaya, jatuh di kali depan
saya. Kurang ajar, setan belang, sambel asem, begok, bangsaaat, apaan itu? Saya
kaget bukan main. Mercon, eh, cahaya, apaan itu? Siapa jail begini? Amper
subuh lagi? Jahat banget sih, keterlaluan bercandanya. Canda preman itu.
Tapi, waktu saya tengok
kanan-kiri, saya heran. Mercon, eh, cahaya, dari mana? Siapa jail? Sepi begini.
Tidak ada orang lain, cuma saya dan sungai. Memang ada centeng dan cabo-cabo
lain, tapi sudah pada ‘ngorok semua. Dengkurnya malah kedengaran sampai Tugu
Monas. Betul. Gila. Bikin takut.
Terus, apa-apaan ini? Sinar.
Cahaya. Ya, cahaya di permukaan air kali. Lalu ada kepala bayi di situ. Kalau
ingat lagi kejadian waktu itu, aduh, berdiri bulu ibukota Itali saya.
Bujubuneng. Kepala bayi. Dan bisa ‘ngomong, lagi.
Kalau tidak salah, dia panggil
nama saya; Nagina. Lupa saya. Dia panggil saya Nagina atau Najina atau Najima.
Yang jelas bukan Vagina. Tapi rasanya sih, Nagina atau Najina. Pokoknya itu
yang saya ingat. Padahal itu bukan nama saya. Waktu itu nama saya Wince. Nama
komersil, nama jabatan. Ya, singkatan modern dari nama katepe; Harwindo. Naa,
saya ingat, dia bilang lagi; ‘Sudah waktunya kamu berguna untuk orang lain’.
Gile, mampus saya. Kejadiannya persis seperti adegan film. Mistis. Dramatis.
Misteri abiis ..
Naa, ya kan? Yang bener saja.
Apa saya sekarang tidak berguna bagi nusa dan bangsa? Kan kerja saya membikin
banyak orang pada senang badan dan hatinya? Paling tidak nafsu jalang mereka
terpuaskan dan tidak berujung negatif, misal memperkosa orang tidak berdosa.
Saya berguna, tahu? Ibarat air saya ini pelepas dahaga. Ibarat nasi saya
pelepas lapar. Tapi, karena takut, itu semua saya ucap dalam hati. Mana bisa
omong, orang bibir pada kaku. Mata melotot dan telapak kaki kayak dipantek di
tanah. Saya jadi patung, bo. Bukan patung Selamat Datang di HI itu, tapi patung
begok, coy.
Eh, dia bilang lagi; ‘Pergi
kamu dari sini dan tolonglah orang lain!’ Sudah itu, sudah. Dia hilang. Langit
gelap lagi. Permukaan air kali hitam lagi. Saya bingung. Saya merenung. Itu
instruksi macam apa? Lagian, siapa dia? Bayi ajaib dari mana? Kok, gak jelas
konsepnya. Ya memang gak jelas, kayak instruksi sutradara karbitan di
sinetron-sinetron kita. Bagaimana judulnya? Berguna untuk orang lain? Lalu apa
jenisnya? Terus, caranya? Tapi jelasnya ya memang cuma begitu itu. Cuma dua
kalimat. Dan kalimat kedua, dia suruh saya pergi dari tempat mesum ini.
Mengapa? Supaya bisa berguna untuk orang lain. Bagaimana caranya? Itu yang
tidak dikasih tahu. Busyet ..
Sesudah itu, beneran, saya
sakit panas, sebulan. Setiap malam saya mengoceh tidak keruan. Kata teman-teman,
saya suka bicara sama mahluk yang tidak kelihatan. Hantu dong, yang saya ajak
omong. Iya, memang. Dan kata mereka lagi, mata saya suka melotot, kayak lihat
yang gaib-gaib begitu. Tuh, tuh, berdiri lagi deh, bulu ibukota Itali saya …
Tapi, sesudah sembuh, mata
saya jadi lebih terang. Kalau lihat orang, saya pasti lihat juga dimensi lain
di belakang orang itu. Atau semua benda dan mahluk yang jadi bayangannya atau
yang membayangi dia. Saya bisa lihat sejelas-jelasnya. Anehnya, apa yang saya omong,
padahal cuma ceplas-ceplos, mendadak dipercaya orang dan kata mereka, terjadi,
banyak yang persis. Dari mana saya mendapat kekuatan itu, sumpah mati, saya
tidak tahu. Dari kepala bayi di sungai itu barangkali. Dari siapa lagi, ya
‘kan?
Begitulah riwayat kenapa saya
jadi tokoh nasional dan sangat dibutuhkan. Tapi, terus terang, hidup kayak
gini, capek banget. Lima tahun mengungkap kutukan. Dan tidak boleh salah.
Melenceng sedikit saja, orang langsung bawa golok. Saya suka ngeri, tapi gak
bisa lari. Ya, lagian mau lari ke mana? Muka sudah dikenal karena sering muncul
di televisi, di koran dan majalah. Banyak orang, dengan berbagai cara,
coba-coba cari kesempatan supaya bisa saya ramal. Tapi saya bener-bener capek
melihat masa depan kita yang semakin gelap. Pengen stop. Bisa tolong saya? Please.
Ah, nasib .. nasib ..
SUARA BEL BERDERING, PERTANDA PRAKTEK MERAMAL DIBUKA
Aduh, habis waktunya kita
kongkow. Saya harus buka warung. Kalau tidak, bisa didemo. Permisi. Kalau ada
sumur di ladang, besok kita sama-sama mandi .. tuh ‘kan ‘slip of the tongek’
lagi. Kebiasaan buruk. Maaf, para klien sudah menunggu. Kalau di situ mau,
silakan datang kepadaku, nanti aku kasih tahu apa yang situ ingin tahu. Goodbye.
Sampai jumpa. Ciao.
BERBALIK SEJENAK LALU BERBALIK LAGI DAN BERUBAH MENJADI NARATOR
YANG BICARA SAMBIL MENCOPOTI YANG DIANGGAP PALSU DARI BADANNYA
Tidak ada yang dramatis,
tragis, filosofis, apalagi politis. Cerita biasa, iklan tentang kualitas produk
dibumbui banyolan pinggir jalan dan sedikit horor. Nagina, Na-Jii-Naa dan saya,
sama saja. Jadi, tidak ada yang perlu diperdalam atau dipelajari. Ini cuma
bagian cerita dari rangkaian hidup biasa. Begitulah kenyataannya. Begitulah nyatanya.
Tapi lihat, perhatikan
baik-baik! Hari ini, dengan segala maaf, saya libur meramal. Saya capek
mengungkap kutukan. Kenyataan harus dibukakan. Kita sudah di pinggir jurang.
Lihat! Saya copoti semua yang palsu. Saya copoti satu-satu. Satu-satu. Sudah
waktunya saya membuang topeng-topeng dan kepalsuan. Tak guna terus
dipertahankan. Sudah waktunya semua kepalsuan dibuang. Sudah waktunya. Buang!
Buang!
DIULANG-ULANG HINGGA CAHAYA PADAM
SELESAI
0 Response to "NAGINA"
Post a Comment