KISAH CINTA DI HARI RABU
DRAMA KOMEDI SATU BABAK
KARYA ANTON CHEKOV
ADAPTASI EKO OMPONG
P : Saudara-saudara
serta hadirin sekalian yang terhormat ini tahun 2010, Ya, tahun 2010½, jadi kira-kira 50 tahun jaraknya dari tahun dimana
tuan-tuan hidup. Ya, cukup lama juga. Dan selama 50 tahun yang terakhir ini
sudah banyak sekali kemajuan yang di dapat oleh umat manusia.
Politik
maju, ekonomi maju, musik maju dan seni sastra tentu saja juga mengalami
kemajuan. Pokoknya segala kegiatan kebudayaan mengalami kemajuan- kemajuan yang
pesat sekali, terutama ilmu eksakta. Kalau segala-galanya mengalami
kemajuan,kenapa pula cinta tidak mengalami kemajuan?
Oho,
tentu saja mengalami kemajuan juga yang amat pesat sekali. Cinta, lama kelamaan
berkembang menjadi semacam ilmu yang pelik dan rumit. Suatu lapangan keilmuan
yang menarik meskipun agak ruwet. Tentu saja yang saya maksudkan adalah cinta
antara dua orang manusia, dan bukan cinta antara dua ekor anjing misalnya.
Anjing, seperti juga binatang-binatang lainnya, sama sekali tak mengalami kemajuan
dalam bercinta, masih dengan yang itu-itu juga.
Saya tak
begitu tahu cara bagaimana orang-orang Majapahit dahulu bercinta, tapi yang
jelas tuan-tuan dan nona-nona serta nyonya-nyonya sekalian tahu bagaimana cara
nenek-nenek dan kakek-kakek tuan dulu bercinta. Tuan tentu merasa lucu dan geli
kalau melihat mereka dulu saling mencari kutu atau saling kerikan. Dan ... ...
...
Dan
sebaliknya, saya pun merasa lucu kalau melihat tuan-tuan bercinta. Bayangkan:
Tuan-tuan yang di sana sejak sore tadi sudah berdandan sebab sudah berjanji
akan menjemput pacarnya nonton sandiwara. Dan kemudian keduanya berangkat
bersama, mereka dengan sengaja lewat tempat-tempat yang gelap untuk bisa
berbisik-bisik dan berpegangan tangan, atau kalau perlu ... ... ... Heeeem.
Dan
kalau sudah sampai di gedung sandiwara, lantas mulai cubit-cubitan. Yaaaa, agak
lucu juga rasanya.
Tapi apa
yang bakal tuan tonton ini lain sama sekali. Akibat kemajuan yang dicapai oleh
manusia, semuanya berubah. Ingat tuan, saya hidup dalam tahun 2010, 50 tahun
jaraknya dari jaman tuan-tuan sekalian.
G : Hai ngung, apa yang sedang kau kerjakan? (berdiri)
P : Oooohh, tidak apa-apa nona. Cuma
omong-omong sendiri.
G : Omong-omong
sendiri bagaimana? Sudahlah jangan suka ngomong sendiri lagi, Ngung.
P : Tentu
saja saya tak suka nona, cuma terpaksa. Hai, kenapa nona tidak pergi kantor
hari ini?
G : Nah, kau
lupa lagi. Sudah berapa bulan kau jadi pembantuku masih saja belum hapal. Ini
hari apa coba?
P : Hari ... ... Rabu, nona.
G : Itulah!
Tiap hari Rabu aku akan harus di rumah. Hari Rabu adalah hari bicaraku, sebab
menurut astrologi, hari Rabu sangat cocok bagiku. Aku terima tamu sampai sore,
ingat?
P : Sejak
tadi sudah saya tanyakan dalam hati, kenapa sih nona sibuk benar di depan kaca.
Saya lupa kalau hari ini, hari Rabu, dan nona sedang menunggu kalau-kalau ada
tamu rupanya.
G : Maklumlah
Ngung, aku makin hari makin tua, dan aku butuh seorang suami. Padahal aku hanya
sempat di rumah pada hari Rabu saja. Hari-hari lain aku terpaksa sibuk di luar.
P : Saya
tahu, nona.
G : Dan saya
jadi sedih Ngung, sudah berpuluh-puluh hari Rabu ini tak ada seorang tamupun
yang datang.
P : Itukah
sebabnya nona jadi sedih dan kawatir saja tiap-tiap hari? Suami memang sukar
didapat, nona. Jaman serba sulit sekarang. Tapi kenapa pula begitu tergesa-gesa
buat menerima seorang yang akan melamar
nona? Nona kan belum terlalu tua.
G : Seorang
gadis, umur selalu rahasia. Yang kau boleh tahu adalah bahwa aku telah
memasukkan namaku ke dalam lebih dari sepuluh biro perkawinan, lengkap dengan
foto-foto dengan pose serta riwayat hidupku. Tapi rupanya tak ada yang
memperhatikan.
P : Cuma
belum saja, nona. Tunggu saja tanggal mainnya. Saya rasa untuk orang yang macam
nona, banyak laki-laki yang mau melirikkan matanya. Nona cukup cantik. Oho, ini
bukan main-main, nona.
G : Jangan
mencoba merayu Ngung.
P : Ah,
tidak.
G : Sudahlah
Ngung, sudahlah. Kenyataan memang selalu menyakitkan hati. Celakanya orang
harus selalu berhadapan langsung dengan kenyataan, terus-menerus.
P : Sssssst.
Saya seperti mendengar suara sepatu di luar, nona. Ada tamu barangkali.
G : Aku juga
mendengarnya. Benar, ada tamu hari ini, hari Rabu yang mujur.
P : Betul
nona, itu dia, tamu nona.
G : Pergilah
ke dalam,Ngung. Biar aku layani tamu itu sendiri.
``````````P : Ya, nona.
Tenang-tenang saja, nona! (pergikeluar)
G : Ya Allah,
Ya Tuhan. Semoga orang itu mencari saya, dan ... dan ... melamar saya. Ya
Tuhan, sudah saya muat nama-nama saya di surat kabar untuk mencari jodoh, dan
semoga inilah hari Rabu yang berbahagia. Ya Tuhan, berkatilah hambaMu ini.
T : (dari luar) Spada.
G : (bisik-bisik) Ya Tuhan! (keras-keras) Yaaaa ... masuk!
T : (muncul) Selamat pagi, nona!
(seperti acuh tak acuh, terus duduk) Apa
kabar nona?
G : (kesamping) Ganteng benar orang ini.
Semoga dia melamar saya.
T : Ou, nona sudah melamun ya, selamat
pagi nona!
G : Ah,
selamat pagi tuan. Tentunya ada perlu penting, dengan saya. Pagi-pagi sudah
datang kemari.
T : Memang
nona. Tapi nona duduklah dulu, saya mau bicara penting pada nona. (menyulut rokok)
G : (ke samping) Tentu mau melamar, dia! Aduh, ganteng benar.
T : Apakah ini
rumah nona sendiri?
G : Ya.
T : Bagus
juga! Dan bersih, meskipun musim banyak hujan, masih tetap bersih. Tentunya
nona suka memelihara rumah.
G : Ah,
tidak. Saya punya bujang.
T : Bujang???
O ya, bukan barang baru lagi sekarang bagi seorang gadis untuk hidup dengan
bujangnya. Eeeemm, nona pernah bermimpi?
G : Pernah,
tentu saja. Kenapa sih??!!!
T : Maksud
saya mimpi digigit ular, nona.
G : Tepat
malam tadi, tuan. Tapi kenapa tuan sepertinya tahu? Saya memang bermimpi
seperti digigit ular pada jari kaki saya.
T : Menurut
orang-orang tua dahulu ... ... Ah, tapi tak usah sajalah nona.
(kesamping) Rupa-rupanya memang tugasku
berhasil. Begini nona ...
G : Ya. (kesamping) Ya Tuhan, semoga ia melamar
saya!
T : Apakah
betul nona yang bernama ... Retno Asiani Endang Sri Supraptini?
G : Ya,
betul. Dan panggil saja saya Ninik.
T : Terima
kasih. Dan umur nona ... ... 25 tahun?
G : Ya,
tepat!
T : (sambil membaca formulir). Nona adalah
putri ke tiga dari tuan Martosuwignyo? Masih ada sedikit sangkut pautnya dengan
para bangsawan Balambangan dulu. Eeeee, pokoknya nona yang mengisi formulir
ini?
G : Ya,
betul. Dan tuan rupa-rupanya telah mengambil formulir itu dari biro perkawinan
ASMARA JAYA.
T : Ya.
G : Tuan
sudah membaca semua tentunya.
(kesamping) Ya Tuhan, semoga dia melamar
saya.
T : Nona
rupanya tak begitu jauh lebih jelek dari potret yang ada di sana. Banyak gadis
yang memasukkan potret palsu kedalam biro-biro perkawinan.
G : Mereka
itulah yang memburukkan nama kami, gadis-gadis yang jujur.
T : Tapi
sebelum saya sampaikan maksud saya yang terakhir, boleh saya melanjutkan
mengecek nona?
G : Boleh,
tentu saja. Silahkan!
T : Nona
mempunyai rumah sendiri, ialah rumah di jalan sawo ini. Dan selain itu nona
juga mempunyai sebidang tanah 150 x 100 meter diluar kota, benar?
G : Ya.
T : Nona
punya gaji Rp. 7.000,- sebulan, dan kadang-kadang menerima juga uang lembur
yang lumayan jumlahnya.
G : Dan
jangan lupa tuan, gaji saya akan naik bulan depan.
T : Baik,
baik! Dan yang penting, nona punya uang simpanan di Bank sebanyak 100 ribu
rupiah.
G : Itu benar
juga tuan, tapi barangkali tentang jumlah, ada sedikit kekilafan. Simpanan saya
kira-kira ... ... ...
T : Stop!
Sudahlah, kita putuskan saja pembicaraan ini ... ... ...
Gadis yang punya
sedikit simpanan di Bank, tak menarik bagi calon suami.
(dia bangkit dan mau keluar). Selamat
pagi nona.
G : Eee,
nanti dulu tuan. Jangan tergesa-gesa, duduklah dulu nanti saya terangkan
sebenarnya (tamu duduk kembali). Sebenarnya
masih ada simpanan saya di Bank sebanyak itu, tapi itu tidak saya simpan di
Bank saja. (duduk)
T : Tidak
pada satu Bank saja,kalau begitu baik jugalah. Jadi kalau begitu nona sudah
mencukupi syarat minimum bagi seorang isteri yang ideal, yang lain-lain akan
segera kita putuskan nanti.
G : Jadi tuan
datang buat membicarakan perkawinan?
T : Tak lain
dan tak bukan!
G : Terima
kasih tuan (bangkit dan berbicara
kesamping). Tak lain dan tak bukan. Alangkah sedapnya kata-kata itu,
sudah kuduga sebelumnya bahwa hari ini adalah hari yang menentukan bagiku. Hari
Rabu yang bahagia, yang penuh rahmat. Kawin alangkah indahnya kata-kata itu.
Dan tamu yang datang itu masih muda, tidak terlalu bobrok juga wajahnya. Ooh,
alangkah manisnya dunia ini. Dia akan jadi suamiku, betapa bahagianya.
T : Bagaimana
nona? Apa bisa kita lanjutkan pembicaraan kita?
G : (kaget dari melamun). Oh, maaf tuan,
bagaimana?
T : Apa
bisa kita lanjutkan pembicaraan ini?
G : Tentu,
tentu bisa tuan. Tapi maaf, mau ke dalam sebentar.
(kesamping). Ya Tuhan, sudah sampai
waktunya dunia kesepian ini akan hancur. (masuk)
(bujang masuk sambil mambawa minum)
P : Selamat
pagi, tuan?
T : Selamt pa
... ... hei! Kau kan yang dulu turut mas Tono dulu?
P : Ya, tuan.
T : Kemana
dia sekarang?
P : Beliau
pindah rumah, dan saya terpaksa pindah pekerjaan juga. Ha ... jauh lebih enak,
tuan. Oh ya, ada perlu apa sih, dengan tuan rumah?
T : Cuma
urusan rutin biasa. Kerja apa-apa, seret sekarang!
P : Urusan
rutin macam apa sih? Ooo, barangkali tuan, sobat nona rumah? Dia baik sekali
dijadikan sobat, tuan. Orangnya ramah tamah dan baik hati, tapi sering ... ... ...
T : Sering
apa?
P : Cuma
sering sibuk.
T : Bagus
sekali, tepat.
P : Lho,
tepat sekali bagaimana?
T : Tepat
untuk urusan saya ini.
P : Ah, saya
tak tahu! Pokoknya dia tepat untuk sobat, tuan. Manis dan tak suka keluyuran,
dan ... sudahlah pokoknya dia orang yang baik hati, gadis yang baik.
T : Kau ini
macam anu saja.
P : Oh, ya
apa kerja tuan sekarang?
T : Masih
macam dulu juga.
P : Jadi tuan
masih juga suka makelaran? Bagaimana harga-harga sepeda motor dan mobil
sekarang?
T : Benar
makelaran. Tetapi bukan makelaran sepeda motor dan mobil.
P : Lantas
makelaran rumah barangkali?
T : Bukan,
semuanya bukan, sudahlah sana kau masuk. Aku tak butuh bicara sama kau. Aku
butuh bicara sama nonamu itu.
P : (kesamping). Bukan makelar mobil, bukan makelar rumah. Ya Allah,
makelaran apa pula sekarang? Oh ya, barangkali makelaran kereta api atau kapal
terbang. (terus masuk).
(gadis masuk lagi sambil membawa selembar
kertas)
G : Tentunya
sudah tuan baca semua syarat-syarat bagi calon suami yang saya idamkan, bukan?
(berdiri)
T : Sudah
nona.
G : Nah, ini
daftar turunan dari syarat-syarat yang harus di penuhi oleh calon suami saya
sebelum berani melamar saya. (duduk)
T : Barangkali
ada juga saya yang lupa. Tolong bacakan.
G : (membaca)
1. Calon suami saya harus seorang intelek,
artinya paling sedikit harus punya ijasah sarjana muda.
T : Ya,
benar.
G : 2. Calon suami saya harus orang yang matang,
artinya tidak seperti kanak-kanak lagi yang mboseni.
T : Okey.
G : 3. Calon suami saya harus seorang yang tak punya
cacat luar dan dalam, artinya cacat yang bisa merusak kebahagiaan rumah tangga.
4. Calon suami saya harus orang yang bebas,
artinya tak punya isteri, baik yang terang maupun yang gelap.
T : Tentu,
nona. Tentu, tentu.
G : Itu semua
rasanya penting tuan ketahui, mengingat banyak sekarang yang menipu
kesana-kemari.
T : Saya
paham, nona. Dan kalau tak salah, ada syarat tentang penghasilan dan gaji.
G : Ya itu
bisa dirundingkan berdamai.
T : Bagaimana
kalau calon suami nona punya penghasilan Rp.5.000,- sebulan?
G : Wah, wah.
Itu Cuma sedikit tuan! Kenapa mau dilepaskan? Tapi baiklah , itu saya terima,
asal tidak terlalu banyak menyakiti hati saya.
(kesamping) Barang sudah di tangan.
T : Siapa
pula mau menyakiti hati nona yag manis ini?
G : Aha,
jangan mulai merayu cara film Malaya, tuan.
T : Toh,
pembicaraan kita belum tentu jadi.
G : (kesamping) Ya tuan, pembicaraan ini
harus jadi. Sudah terlampau sepi dunia ini.
T : Menurut
pandangan saya, pembicaraan kita ini sudah hampir mencapai persesuaian faham,
sebab banyak hal yang bisa kita terima bersama. Sekarang menginjak pelaksanaan
perkawinan, nona.
G : Ya,
bagaimana?
T : Siapa
yang menanggung segala ongkosnya?
G : Wahai,
tentu saja pihak laki-laki, tuan.
T : Bagaimana
kalau kompromi?
G : Maksud
tuan bagaimana?
T : Anu ...
fifty-fifty, nona?
G : Kalau
terpaksa benar baiknya. Tapi ingat tuan, perkawinan hanya berlangsung hari Rabu
dan Sabtu sore. Hari-hari lain penuh!
T : Itu
terserah. Masing-masing berangkat sendiri-sendiri dari rumah, kembali ke kota,
dan di sana menandatangani surat kawin. Begitu?
G : Yak, dan
masing-masing harus membawa saksi yang akan menjamin kebenaran syarat-syarat
yang ditetapkan tadi.
T : Dan saksi
tersebut harus juga mau bersumpah di depan polisi dan memberi jaminan tentang
kedua bakal pengantin. Kalau seorang tak memenuhi syarat, misalnya nona, maka
polisi berhak turut campur tangan dalam hal ini. Nona bisa masuk bui lantaran
terbukti memalsukan kenyataan.
G : Kenapa
menyangkut polisi, tuan. Saya takut pada polisi. (berdiri)
T : Ini
syarat mutlak, nona. Apa nona curang? Kalau tak curang kenapa mesti takut sama
polisi?
G : (kesamping) Polisi, polisi! Perkawinan
di bawah pengawasan polisi. Ngeri juga rasanya tapi bagaimana lagi.
(keras) Saya tidak curang , tuan. Tapi kalu polisi turut
campur, saya gemetar juga.
T : Apa
sebaiknya batal saja perkawinan ini?
G : Batal?
Ah,tidak tuan! Saya menerima.
T : Nah,
sekarang tinggal satu persoalan yang terakhir tapi yang paling penting, ialah
persen untuk penghubung.
G : Persen
untuk penghubung? Bagaimana maksud tuan?
T : Seorang
penghubung dalam soal-soal perkawinan tentunya mendapat tegen prestasi untuk jasa-jasanya, nona. Dan uang itu harus
dipastikan jumlahnya sekarang.
G : Lho, kan
tak ada penghubung dalam persoalan kita ini. Saya butuh seorang suami, dan tuan
datang kemari melamar saya, dan saya telah menerimanya. Itu beres sudah.
T : Nona
salah tafsir rupa-rupanya.
G : Salah
tafsir bagaiman, tuan. Syarat kita masing-masing sudah dipenuhi. Tuan
rupa-rupanya cinta kepada saya, dan saya pun sudah berhasil mencintai tuan,
tadi. Apalagi? Apa barangkali ada seorang di belakang tuan yang menghubungkan
kita?
T : Nona
salah tafsir. Dan justru pada hal yang penting, nona salah tafsir.
G : Bagaimana
ini? (duduk)
T : Nona kira
bahwa saya datang buat melamar nona?
G : Lantas
buat apalagi?
T : Benar.
Tapi bukan saya sendiri yang bakal mengawini nona, saya cuma seorang makelar.
G : Makelar!
Ya, Tuhan, jadi tuan cuma makelar? Jadi ada orang di belakang tuan yang akan
mengawini saya? Tapi kenapa dia tidak datang sendiri? Saya belum bisa menentukan
kalau begitu, jangan-jangan dia seperti drakula.
(ke samping) Ya tuhan, hancur segala mimpiku sekarang.
T : Nona sudah
mengajukan syarat-syarat, dan syarat-syarat itu sudah terpenuhi. Itu beres kan?
Nona minta apa lagi?
G : Tapi
kenapa dia tidak datang sendiri?
T : Hari ini
dia ke Rumah sakit, sedang nona hanya bisa menerima tamu pada hari Rabu saja.
Jadi terpaksa harus saya yang melamarkan dia. Tapi minggu depan katanya sudah
bisa melaksanakan perkawinan.
G : Tapi
bagaimana kira-kira dia tampangnya tuan?
T : Oh, nona
jagan kawatir. Pokoknya syarat-syarat yang nona sodorkan semua sudah dia
penuhi. Ia seorang yang jauh lebih baik dari apa yang nona sangkakan. Ia
seorang yang sudah banyak pengalaman dan alim, pernah ke luar negeri, meskipun
cuma sebentar, nona. Dan dia dari keluarga alim.
Dan yang terpenting, dia telah jatuh cinta begitu
pertama kali melihat gambar nona. Ia sungguh jatuh cinta sehingga mau
menyerahkan jiwa raga buat mendapatkan nona.
G : Tapi saya
belum pernah sekalipun melihat dia, bagaimana bisa mencintainya?!
T : Tanpa
tetapi, nona. Nona segera jatuh cinta pada lelaki itu, pada pandang pertama.
Tentu.
G : Apakah
kau bisa menjamin?
T : Tentu,
nona jangan kawatir. Saya mau memberi jaminan asal nona mau saja.
Dia orang alim
yang mau hidup sedehana. Yang penting ialah, ia telah jatuh cinta pada nona.
Nona ayu, sekarang sukar mencari orang yang jatuh cinta.
G : Baiklah
tuan, untuk sementara saya mau menerimanya, tapi kalau syaratnya tak terpenuhi,
dia bisa masuk bui.
T : Nah,
begitu bagus. Jangan nona meragukan kwalitet saya sebagai makelar. (melihat jam) Hei,sudah jam 10 sekarang saya mesti buru-buru
pergi, nona. Ada urusan makelar lain yang mesti saya rampungkan sebelum jam
tugas nanti. Jadi nona, pokoknya sudah setuju dan persoalan-persoalan
selanjutnya saya telpon saja.
G : Terserah
tuan saja, asal tuan yang menanggung calon suami saya itu.
T : Jangan takut nona. Oh ya, jangan
lupa menulis surat pernyataan kepada surat kabar dan biro-biro perkawinan itu,
bahwa lowongan sudah terisi. Ini perlu nona. Toh nona tak mau punya suami dua
orang.
G : Akan saya
telpon kantor-kantor itu dengan segera.
T : (bangkit)
Selamat pagi nona maaf saya agak tergesa-gesa. Jangan lupa segala-galanya nona.
G : Selamat
pagi, tuan. (tamu keluar)
Ya Tuhan saya
akan segera kawin. Tapi dengan seorang belum saya pernah kenal. Aduuuuh nasib!
Tapi biarlah, aku akan kawin. Itu adalah suatu kebahagiaan yang cukup buat saya
dalam kesunyian ini. Wahai hari Rabu yang gilang gemilang. Aku akan kawin.
T : (tergesa-gesa
Masuk lagi) Maaf nona, ada kelupaan sedikit.
G : Ada apa,
tuan?
T : Tadi
sudah diputuskan berapa nona harus bayar pada saya? Tarip saya adalah Rp.5.000,-
untuk setiap perkawinan yang berhasil saya rancangkan.
G : Rp.5.000,-?
Apa tidak bisa kurang, tuan? Saya sedang krisis.
T : Tak ada
tawar menawar, nona!
G : Bagaimana
kalau saya bayar separuh dulu!
(tamu mengeluarkan kwitansi dan gadis masuk
mengambil uang, terus keluar lagi)
(setelah menandatangani terus berkemas).
T : Bisa
juga! (telah menandatangani, terus
berkemas) Terima kasih nona, yang lain besok kalau perkawinan sudah
berlangsung.
G : Stop
dulu, tuan!
T : Ada apa?
(berdiri di pintu)
G : Kira-kira
berapa umur bakal suami saya itu?
T : Ah, saya
lupa tepatnya. Tapi kira-kira seperti gambar yang ada di atas meja nona itu. Aahhh,
itu. Selamat pagi, nona. (cepat-cepat
keluar)
G : (terkejut) Seperti gambar itu? (memegang gambar) Tapi ini gambar ayahku.
Gambar almarhum ayahku. Jadi aku mesti kawin dengan orang setua ayah? Ah, tidak
masuk akal rasanya. Jaman dulu ada pepatah: tua-tua kelapa, makin tua ... ...
Ya Tuhan, saya akan kawin dengan orang yang seumur ayahku sendiri? Tapi
semuanya sudah disetujui. Dan lagi aku memang sudah pengen berumah tangga.
(pengung masuk)
P : Ada apa
nona, sudah pergi tamu tadi?
G : Sudah,
anu ... Ngung, aku mau kawin. Dan kalu jadi nanti, kau terpaksa harus keluar.
Sebab tentunya sebagian kerjamu sudah bisa dikerjakan oleh bakal suamiku.
Sediakan sekedar makanan, malam ini, untuk pesta kecil antara kau dan aku. Kita
rayakan hari Rabu yang bahagia ini dengan sekedar ramai-ramai berdua. Kau harus
turut berbahagia pula, Ngung.Ya Tuhan aku akan kawin. (keluar)
P : Ini tahun
2010. Ingat, tuan-tuan serta nona-nona dan nyonya-nyonya, berdua. Semua
mengalami kemajuan. 50 tahun jaraknya dari jaman tuan-tuan sekalian. Semua
serba praktis, dan cinta pula bisa selesai praktis, tuan tak bisa lagi
mendengar bisik-bisik di tempat gelap, atau bergandeng tangan sambil berjalan.
Tak ada lagi saling cubit mencubit atau sentuh-sentuhan mesra diantara dua
orang kekasih. Tak cium-cium dalam gelap. Tak ada lagi.
Hal-hal tersebut
sudah dilindas oleh sejarah, jaman menghendaki hal-hal lebih praktis, tak ada
hal-hal nampak lucu.
Jaman
sudah berubah, tuan-tuan. Jaman sudah berubah dan akan selalu berubah.
Para
hadirin sekalian, selamat malam.
L a y a r T u r u n
K i s a h C i n t a H a r i
R
a b u
( Drama Ringan Satu Babak )
Diilhami Cerita Pendek Anton
Chekov
Oleh Drs.Sapardi Joko Damono
T e m p a t K e j a d i a n
Kamar Tamu si Gadis
Lima puluh tahun yang akan datang
Pada waktu hari masih pagi
P e m a i n
Gadis (G)
Seorang gadis, umur kira-kira 25 tahun.
Tamu (T)
Seorang laki-laki, umur 35 tahun.
Pengung (P)
Seorang bujang/pelayan laki-laki,
umur 40 tahun kurang.
0 Response to "KISAH CINTA DI HARI RABU"
Post a Comment