Monolog
MAYAT
TERHORMAT
Karya: Agus Noor dan Indra Tranggono
PROLOG
Selamat malam,…bla,bla,bla…..(improvisasi)
Sebelum pertunjukan ini dimulai, marilah ada baiknya kita membangun
kesepakatan, yaitu hendaknya pertunjukan kita malam ini tidak diganggu bunyi
tu-la-lit-tu-la-lit ponsel anda atau pager. Bunyi-bunyi ilegal untuk sementara
diharamkan. Maka saya memberi kesempatan kepada anda untuk mengeksplorasi
naluri-naluri purba anda: segeralah anda menjadi pembunuh. Bunuhlah pager dan
handphone anda ! Ini jauh lebih baik katimbang anda membunuh orang, atau
membacok, hanya karena perbedaan visi atau perbedaan pendapat. Kalau nanti
ternyata masih tu-la-lit-tu-la-lit, nikmatilah risikonya dipisuhi penonton
lain.
Baiklah saudara. Meskipun saya berdiri di sini dengan wajah
coreng moreng kayak badut, sesungguhnya saya ini bukan badut. Karena terus
terang saja, saya tidak ingin memperbanyak jumlah badut di negeri ini yang dari
hari ke hari jumlahnya terus menggelembung. Kita sudah polusi badut, over
kuota. Semua posisi sudah diisi oleh orang-orang yang lucu dan menggemaskan,
sampai-sampai tukang monolog yang sok nglucu terancam kehilangan sandang
pangannya.
Oke, sekarang saya ingin mengajak para penonton yang
terhormat untuk sekejap menengok keberadaan mayat-mayat. Tapi saya harap anda
jangan membayangkan suasana horor seperti yang sering terlihat dalam
sinetron-sinetron misteri di televisi. Kalau horor di televisi itu, tidak
menakutkan. Tapi justru malah menggelikan. Tidak membikin bulu kuduk berdiri,
tapi malah membikin satu-satunya elemen dalam tubuh saya berdiri. Yah…itulah
salah satu kelebihan bangsa kita: terlalu cerdas, sehingga apa pun yang
dilakukan seringnya meleset dari sasaran. Mau bikin horor malah menggelikan.
Mau mengusut perkara dan menuntaskan kecurangan-kecurangan, ee…hasil yang
dicapai malah penundaan-penundaan dan pengampunan.
Nah sekarang, kita mulai saja pertunjukan ini dengan pantun
pendek:
Kapal keruk talile
kenceng,
nyemplung laut dihadang gelombang
Nonton monolog obat puyeng,
asal rileks dan dada
lapang
BAGIAN PERTAMA
Sebuah sel panggung. Remang dan sayup.
terdengar jeruji dipukul monoton. Lalu perlahan sepotong cahaya bagai lembing
perak, menghujam tubuh Siwi yang lunglai kepayahan bersandar di jeruji sambil
memukul-mukulkan piring seng. Sesekali mengerang, bahkan meraung…
Siwi terus memukul-mukul piring seng. Sampai kemudian muncul suara derap
sepatu. Semula pelan, kemudian mengeras dan mengeras. Siwi tergeragap. mendadak
piring seng itu berhenti bersuara. menolak dibunyikan. Siwi sekuat tenaga
berusaha terus membunyikan piring itu ke jeruji sel. tetapi piring seng itu
tertahan diam. Siwi marah kepada
piring seng)
Kenapa? Takut? Kamu ini aneh lho, cuma piring seng saja kok langsung gemeter
begitu mendengar derap sepatu. Ayo terus bersuara. Bernyanyilah. Karena hanya
kamulah satu-satunya sahabat saya di sini.
Siwi mencoba sekuat tenaga menggerakkan piring itu, tetapi piring itu
tetap tak bergerak
Dasar piring pengecut! Ingat, eksistensimu ini sudah
kuangkat, sehingga kamu tidak sekadar menjadi alat makan, tapi subyek yang
bersuara. Kamu punya hak bersuara. Ayo bersuara!
Kembali Siwi berusaha membunyikan piring itu, tetapi tetap tak bisa
Ayo, toh, sebagai perkakas yang nasibnya sudah saya naikkan
derajatnya, mestinya kamu harus tunduk kepadaku. Ngerti!
Malah mendadak, piring itu menyerang kepala Siwi
Eit, kok malah menyerang. Oo, tahu saya, pasti kamu sudah
kongkalingkong dengan para aparat itu untuk melawan saya, iya kan ?! Pasti diam-diam, saat saya tertidur,
kamu keluar sel ini kasak-kusuk dengan mereka, dan menyusun rencana supaya
tidak loyal lagi padaku.
Piring itu menggeleng
Sudah jangan mungkir. Di sini, kamulah satu-satunya
sahabatku. Saya berteman dengan kamu, karena hanya dengan beginilah saya bisa
memelihara akal saya. Menjaga kemampuan saya untuk memelihara harapan, impian.
Alangkah konyolnya jika saya sudah tidak mempunyai harapan. Dan lebih konyol
lagi, jika saya tidak punya kemampuan untuk memelihara harapan. Jadi, tolong,
janganlah sekali-kali kamu membelot, melawanku. Terimalah ketulusan cintaku…..
Atau jangan-jangan kamu ingin agar saya “ad interim” kan ? Dik Piring, kamu harus bersyukur,
karena kamu mempunyai kedudukan yang sejajar denganku. Jangan bertingkah, lu.
Saya mutasi jadi kakus, di-beol-in kamu !
Mendadak seperti terdengar lagi langkah kaki — atau entah apa — begitu
pelan, seperti bisikan, membuat Siwi menajamkan pendengarannya, mendekatkan
telinganya ke piring seng itu. Mendadak piring seng itu meloncat melacang,
seperti kaget dan ketakutan. Siwi Berbicara
pada piring seng
Hai, mau ke mana? Jangan tinggalkan aku. Cepat turun sini. Jangan ngambeg
gitu….Ada apa?
Piring seng itu masih melayang-layang, bergerak-gerak seperti bicara
Kamu ngomong apa,
sih? Ngomong saja terus terang?
Piring seng itu turun mendekati Siwi, nampak berbisik
Ayo toh jangan
bisik-bisik begitu. Ah, yang bener! Kamu jangan sembarangan bisik-bisik lho.
Atau kamu mau jadi tukang bisik? Semprul! Yang menentukan kamu mau jadi apa itu
aku. Nasibmu sepenuhnya di tanganku. Aku bisa saja menjadikanmu terhormat, tapi
juga bisa menjadikan kamu sekadar barang rombengan. Begitu saja kok repot.
Sini, apa kamu ingin saya jadikan barang rombengan?!
Piring menggeleng
Makanya, sebagai aparat kamu ini jangan semena-mena, apalagi
dengan orang sipil macam aku.
Piring ngambeg, lalu melayang lagi menjauhi Siwi
Lho,lho…jangan kabur….Percayalah, meskipun aku ini sipil
yang sedang berkuasa — setidak-tidaknya atas dirimu — aku tidak akan menyakiti
kamu, apalagi menculik atau melenyapkan kamu. Aku justru ingin menjadikanmu
piring yang mandiri, piring yang merdeka….
Di gertak begitu, piring itu langsung mengkerut, takut. Lalu SIWI
berusaha membunyikan piring itu kembali, tetapi mendadak terdengar suara derap
sepatu, membuat SIWI ketakutan. Setelah suara sepatu itu berlalu, Siwi ngomong
kepada piring seng
Ternyata kita ini sama-sama penakut, ya. Ternyata ada yang lebih berkuasa
daripada saya yang orang sipil ini. Ternyata ada yang lebih aparat daripada
aparat macam kamu. Mereka adalah aparat yang hanya bisa membentak, memerintah
dan memaksa kita untuk patuh melalui teror dan ketakutan. Ternyata kita ini
senasib. Ternyata kita ini sama-sama sipil! Sama-sama rombengan! (Membanting piring seng).
Siwi terpuruk. Musik tipis mengalun. Sel itu kembali ditangkup
kesunyian yang menekan. Siwi menggelar tikar. Minum. Suasana kendor….Siwi
mengambil kartu, lalu membanting-banting kartu seakan-akan sedang berjudi….
Siwi setengah mengeluh, setengah meracau
Penjara… Kuburan…. apakah yang membedakan keduanya? Barangkali tak ada. Setiap
orang tak ada yang ingin memikirkan keduanya. Berusaha sedapat mungkin tak
bersentuhan dengannya. Orang tak ingin berhubungan dengan kuburan, karena
selalu mengingatkan pada kematian. Dan orang tak mau berurusan dengan penjara,
karena juga sering kali berujung kematian…
Dengan payah, ia berusaha bangkit, kembali menerawang keluar jeruji,
memukul-mukul piring seng, kemudian bergerak pelan ke arah bibir panggung, dan
suara musik yang sayup perlahan menghilang, bagai angin yang bergerak
menjauh…Kepada penonton
Anda pasti membayangkan, kalau saya ini tokoh besar. Tokoh oposisi yang
ditangkap kemudian dipenjarakan. Ya, setidaknya seorang demonstran militan.
Wouw…betapa gagah dan mulianya prasangkaan saudara itu. Semestinya, saya ini
harus merawat kesalahpahaman itu sebaik mungkin, agar saya bisa sedikit
terhibur. Sehingga diam-diam saya ini bisa merasa bahwa diri saya ini memang
orang penting, orang besar yang selalu ditakuti penguasa.
Tapi, sebentar….(Mencermati sosoknya
sendiri) Saya kok ya curiga, jangan-jangan saya ini memang orang besar,….
Setidak-tidaknya ada yang besar di dalam diri saya…. Iya lho, jangan-jangan
saya ini benar-benar pemberani, militan dan cerdas. (Siwi meminta konfirmasi pada pring yang tergolek di lantai, lalu
mematut diri seperti orang bercermin) Iya kan ? Coba lihat, setidaknya saya ini punya
potongan sebagai pembangkang.. (Bertanya
kepada piring) Pantas kan
saya jadi pembangkang ? Soalnya, jadi pembangkang itu ternyata ada enaknya:
kalau nasib baik, bisa terpelanting naik jadi penguasa atau setidak-tidaknya
jadi petinggi negara. Perkara sesudah jadi penguasa lalu lupa berjuang, itu
bukan soal pengkhianatan. Bukan. Itu justru menunjukkan sikap Konsisten untuk
selalu tidak konsisten….(Pause)
Tapi celakanya, saya ini cuma seorang juru kunci. Kekuasaan
saya cuma sebatas kuburan dan tulang-tulang berserakan. Itupun cuma juru kunci
kuburan umum. Tentu, nasib saya akan jauh lebih baik, misalnya, kalau saya ini
juru kunci Taman Makam Pahlawan. Sebab, menjadi juru kunci Taman Makam Pahlawan
tentu lebih prestisius dan memiliki banyak privilige. Lha ya jelas, lha wong
yang diurusi itu jazad para pahlawan.Ingat…p a h a l a w a n (sambil menggelembungkan mulut). Meskipun
yang disebut pahlawan itu lebih pada orang-orang yang memegang senapan. Istilah
yang digunakan saja beda. Kalau orang bersenapan yang mati maka ia disebut
gugur dalam tugas: Gugur satu tum uh seribu, tunai sudah janji bhakti…. Lho
mati saja ada lagunya. Coba kalau orang biasa yang mati, paling banter disebut
meninggal. Apalagi kalau hanya kere yang mati, maka dengan semena-mena ia
disebut tewas atau koit atau bahkan modar. Kok nggak ada ya kere mati disebut
gugur dalam tugas. Padahal seorang kere pun pada galibnya juga punya tugas
mulia…, karena kemuliaan itu ada ukurannya sendiri-sendiri, tergantung
bagaimana kita memaknai kemuliaan itu,…..meskipun ya kebangetan jika tiba-tiba
ada kere yang merasa benar-benar mulia. Gila masyarakat kita ini, ternyata
masyarakat mayat pun disekat-sekat oleh kelas, tergantung dari status
sosialnya. Dan sejarah yang ditulis para pendekar, cenderung menganggap senapan
sebagai ukuran kepahlawanan. Bukan pada kecemerlangan otak, ketulusan
pengabdian, dan ketegaran integritas dirinya.
Tapi, saya tidak ambil peduli. Meskipun mayat-mayat yang
saya urusi tidak dikategorikan sebagai pahlawan, saya toh bangga. Bangga
sekaligus terharu, karena mayat-mayat yang saya urus tak pernah mengeluh,
meskipun tempat persemayamannya…panas, gerah, sumuk,….Mereka tidak minta AC
untuk ruang kuburnya. Sangat berbeda dengan mayat-mayat di kuburan Senayan,
baru sekali saja jadi mayat, sudah macem-macem menuntut ini-itu, minta kenaikan
gaji…
Akhirnya saya paham. Kalau toh mereka itu tak banyak
menuntut ini-itu, barangkali mayat-mayat itu memang sudah lama terdidik dan
terbiasa hidup menderita ketika hidup di dunia. Sehingga wajar, misalnya, jika
mereka lebih merasa nyaman di kuburan. Karena di dalam kubur mereka tidak
pernah mengalami tekanan-tekanan dalam bentuk apa pun. Mayat-mayat yang urus
itu begitu santun. Mereka adalah klien-klien saya yang terhormat, meskipun bisa
jadi mereka mati tidak dengan cara terhormat. Mungkin saja ada yang terpaksa
diseyogyakan untuk mati karena diberi bonus peluru, atau mendapatkan kehormatan
dengan dijerat lehernya, atau dipaku kepalanya, diperam dalam kulkas…Dan ada
satu mayat perempuan yang membisiki, bahwa ia mati disebabkan kemaluannya
dimasuki benda bulat , panjang dan tumpul: selonjor besi. Ya….selonjor besi
yang bulat, panjang dan tumpul itu dimasukkan pelan-pelan, kemudian ditekan
sekuat tenaga. Sehingga rahimnya hancur, kemudian ia dibuang di sebuah hutan. Saya
benar-benar terkesima dengan nasib mayat sahabat saya itu. Mbak, mbak,
mbak…wahai mayat yang selalu hadir dalam mimpi burukku, di manakah kamu ?
Ceritakan padaku tentang dirimu…
- Apa sih status Anda waktu hidup di dunia?
+ Saya hanyalah seorang buruh…
- Lalu kenapa Anda sampai meninggal?
+ Saya dituduh memimpin demonstrasi kenaikan gaji.
- Bukankah Anda yang bernama….
+ Jangan sebut nama saya. Nama saya telah menjadi hantu yang menakutkan bagi
orang-orang yang dengan bangganya menghabisi saya demi perut mereka.
- Tapi nama Anda sudah sangat terkenal. Bahkan menjadi legenda yang cukup
menggoncang dunia peradilan…
+ Dunia peradilan hanya terguncang. Namun tak mampu berbuat apa-apa. Nama saya
hanya berhenti sebagai fakta, sebagai data yang disimpan dalam berkas-berkas
mereka.
- Apakah Anda bisa menyebut nama orang-orang yang melenyapkan Anda?
+ Tidak. Kalau saya sebutkan, mereka pasti akan membunuh saya lagi. Saya takut
untuk mati yang kedua kali.
SIWI (tersadarkan.
Lalu berkata):
Kenapa aku justru dleweran ngurusi persoalan besar yang masih gelap ? Bukankah
persoalanku sendiri masih gelap ? Aku sendiri tak pernah tahu, bahwa diriku
memiliki kelayakan untuk dikurung seperti ini. Tapi soalnya barangkali bukan
layak atau tidak layak untuk dipenjara. Yang jelas, kasus ini butuh korban.
Butuh tumbal. Dan aku menolak untuk ditumbalkan !
Besok, kepada interogrator akan saya katakan persoalan yang sesungguhnya. Biar
semuanya jelas. (Siwi mengantuk)
Oalllah…..interograsi, interograsi….Lagi-lagi interograsi…..
Mendadak terdengar derap suara sepatu. SIWI ketakutan. Ia segera
bersembunyi dan tidur meringkuk di salah satu ruangan sel.
Musik keras menyapu.
BAGIAN DUA
Ketika SIWI tertidur, setting jeruji penjara berubah menjadi gerbang
kuburan yang mendadak terbuka. Terdengar suara deru truk, mengeram dalam kelam.
lalu mengendap derap kaki, memasuki kuburan, teriakan-teriakan yang seakan
menyembunyikan rahasia, tetapi diucapkan dengan tergesa. Semua menggambarkan
suasana pemakaman ratusan mayat, yang serba darurat: cepat dan gawat. SIWI,
perlahan-lahan bangun dari tidurnya, tergeragap menyaksikan semua itu. Lalu ia
pelan-pelan mengendap dalam gelap. Sampai kemudian suara truk menderu, menjauh.
Siwi mengamati timbunan tanah, sesekali mengoreknya dengan tangannya, gugup….
Satu.., tiga… sepuluh… Empat ratus….seribu lima ratus….lima ribu…. Terus
menghitung
Dari malam ke malam semakin banyak saja mayat yang mereka lemparkan ke kuburan
terpencil ini. Ini sudah malam yang ke sepuluh atau entah ke berapa. Otak saya
jadi malas mengingat, karena begitu seringnya hal ini terjadi. Aneh. Apa yang
sebenarnya sedang terjadi? Sepanjang saya jadi penjaga makam, baru kali ini
saya mengalami kejadian seaneh ini. Saya memang mendengar kalau saat ini sering
terjadi pembunuhan. Jangan-jangan ini bukan sekadar pembunuhan, tapi
pembantaian…
Siwi terus bergerak ke sekeliling panggung, mengamati “mayat-mayat”
yang terkubur bergelimpangan tak sempurna. Ia terkepung oleh hamparan mayat
yang begitu mengenaskan. Berulangkali ia memungut sesuatu dan mengamati “benda”
yang ada di tangannya, dan ia selalu kaget terbelalak.
Kepala…biji mata….tangan….kaki… Gila…tubuh manusia dicerai
berai seenak wudelnya sendiri. Rupanya iblis sudah menjelma pada diri manusia.
Perilaku mereka jauh lebih iblistik daripada iblis itu sendiri.
Siwi terus bergerak mengamati “mayat-mayat” yang bergelimpangan. Musik.
Siwi menguburkan mayat-mayat dalam suasana yang karikatural, sampai akhirnya
terhenti ketika menjumpai mayat perempuan berkuning langsat
Astaga…saya kenal perempuan ini. Kenapa ia harus mati.
Gila…aroma kematiannya masih terasa menyengat, dan dari selangkangnya masih
mengalir darah. Sempat-sempatnya pembunuh itu menyempurnakan keiblisannya
sehingga hancurlah kehormatan perempuan ini…(Mayat perempuan itu merintih)
“Saya tidak tahu apa kesalahan kami. Tiba-tiba saya lihat
puluhan orang datang menyerbu toko kami. Harta benda kami dijarah. Mereka
seperti menumpahkan kebencian kepada kami. Papah dan mamah saya disiksa,
sementara saya dan cacik saya dijadikan pesta. Keluarga kami dibantai. Toko
kami dibakar lalu papah saya dilempar ke dalam lautan api. Juga mamah saya,
cacik saya, engkoh saya, dan saya…”
Gila ! Peradaban apa ini ? Bagaimana mungkin nafsu dan
kekejaman bisa bekerja sama secara kompak begini? Manajemen kekejaman macam apa
yang mereka gunakan? Apakah ini yang disebut kekejaman dengan paradigma baru?
(Pause) Paradigma-paradigma ndasmu!
Siwi mengangkat satu persatu mayat itu, dengan perasaan tertahan. Ia
berulangkali mau muntah mencium anyir darah. Ia mematung di antara
“mayat-mayat”. Cemas.
Barangkali kuburan ini tak cukup menampung mayat-mayat tak
bernama itu. Ribuan orang mati, serapuh daun rontok ditiup angin. (Pause)
Kenapa begitu gampang orang mati? Kenapa begitu ringan orang membunuh, seringan
orang mencabuti bulu ketiak?. Mereka tak lagi butuh alasan untuk membunuh. Dan
para korban pun dipaksa tak boleh tahu kenapa harus mati. Apakah mereka harus
mati hanya karena berbeda warna kulitnya, beda bentuk matanya, berlainan cara
bicara dan bahasanya, atau hanya karena tidak sama ketika menyembah Tuhannya.
Kenapa untuk semua perbedaan itu, sekarang ini orang harus mati ?
Aneh, begitu banyak orang tak berdosa mati. Sementara orang
yang dosanya luar biasa banyaknya malah tidak mati-mati. Ini sangat-sangat
tidak fair. Ini sudah kebangeten. (Pause)
Saya jadi percaya, maut ternyata tidak bisa bekerja sendirian. Sebab, maut bisa
diciptakan. Maut bisa diselenggarakan oleh siapa pun yang berkuasa. Mereka bisa
menaburkan maut kapan saja, sehingga udara yang terhisap selalu berbau
kematian. Ya…kematian yang bisa di order kapan saja….
Siwi menyulut rokoknya. Menghembuskan asap kuat-kuat. Siwi tiba-tiba
tersadar jika dirinya telah ngelantur
Lho, lho….saya ini kan cuma penjaga makam, juru kunci
kuburan, kok heroik banget ta ? Seharusnya, saya tak perlu repot-repot
memikirkan soal ini. Biarin aja, gitu aja kok repot. Bukankah bagi saya
kematian itu sudah menjadi hal biasa. Malah, kalau sehari tak ada orang mati,
bagi saya justru aneh. Saya jadi kehilangan peluang. Penghasilan pun berkurang.
Jadi mestinya kalau ada orang mati, diam-diam saya bersyukur. Itulah sebabnya,
— jangan bilang-bilang ya — setiap hari saya sering berdoa agar Tuhan
memperbanyak jumlah angka kematian: Tuhan kirimkan kematian ke kuburan kami,
Gusti Allah paringana sripah…
Tapi tentu saja, saya cuma berharap pada kematian yang
wajar. Yaitu, orang yang benar-benar mati karena dipanggil Tuhan, bukan karena
dimatikan. Lho…jelek-jelek, saya ini penjaga makam yang sedikit tahu etika,
tahu fair play, win and win solution, cingcay…. Karena itu pula, di kuburan
sini saya tak pernah main kadal-kadalan. Saya ogah melakukan korupsi, habis
memang tidak ada yang layak dikorupsi di sini. Apa, bunga? Masih lumayan kalau
bunga bank! Apa, kemenyan? Lumayan juga, bisa untuk mut-mutan. Mosok, saya
harus rebutan dengan dhemit?
Kalau toh saya harus melakukan tindakan ilegal, paling
banter saya cuma menyewakan tempat bagi pasangan yang nggak kuat sewa hotel.
Short-time di sini lebih murah..
Nah, lihat, di pojok yang gelap sebelah sana biasanya mereka main. Cukup menggelar
koran. Heran saya, apa ya mereka nggak takut ganthet! Tapi ini juga keuntungan
sampingan yang cukup lumayan. Di samping dapat uang sewa tempat, sekali-kali
saya juga bisa…. mengintip mereka….Jadi setiap malam saya bisa lihat siaran
langsung”BF”. Pada awalnya memang seru dan syur. Tapi lama-lama bosen juga.
Habis gayanya monoton sih…Mereka kurang berani melakukan terobosan kreatif dan
penjelajahan estetik. Terlalu kuno dan konvensional!
Ya, begitulah, saudara-saudara. Ternyata saya tak cuma
berurusan dengan mayat, tapi juga dengan bermacam orang dengan beragam watak. Ada yang memang datang
untuk ziarah kubur. Tapi ada juga yang datang untuk minta berkah. Itu lho, di
tengah-tengah itu, biasanya puluhan orang bertirakat di bawah pohon beringin
besar itu. Katanya sih ada yang menunggu pohon beringin itu. Kata orang-orang
itu juga, di bawah pohon beringin itu tersimpan harta karun yang luar biasa
banyaknya. Pikiran gendheng macam apa ini. Apa ya memang dulu ada raja yang
menguras duit negara lalu menyimpannya di bawah akar-akar beringin itu,
sehingga harta korupsinya tak terlacak?! Tidak faham saya. Lho percaya kok sama
beringin…
BREAK. ISTIRAHAT.
SIWI tersentak. Ia mendengar suara mengerang. Suara itu sesungguhnya
sudah mulai terdengar sayup saat Siwi masih asyik bicara. Sampai kemudian
erangan itu menyadarkan SIWI dan membuatnya segera mencari asal suara. Lalu ia
mendapati satu tubuh yang tergolek, kotor dan payah, setengah hidup-setengah
mati, tangannya menggapai-gapai minta tolong. segera SIWI membopong tubuh itu,
kepayahan menyeretnya ke tempat yang lebih terang. Dengan satu gerakan, SIWI
berubah posisi: menggeletak payah dengan tangan menggapai-gapai. Siwi berubah
peran jadi mayat (seorang mahasiswa)
MAHASISWA (Mengerang
kepayahan)
Tollooonggg….. aduhhhh…aduhhhh…panas….panas…panas (Terus mengerjat-ngerjat)….Tolong….air….air…..kalau ada teh panas
juga boleh…..
Dengan satu gerakan mayat itu kembali berubah jadi SIWI: Mencoba
menolong dan menenangkan
SIWI
Tenang, Mas… Tenang… Saya Siwi. Ya… S..i..w..i..(Es -ai -
double you- ai)! Penjaga makam di sini. Nggak usah takut. Ayo, duduklah. Mau
minum lagi? (Siwi bergerak mengambil air
minum, kembali, dan meminumkannya pada mahasiswa itu, imajiner) Nah, begitu
kan enak. Mas
aman di sini. (SIWI berubah jadi Mahasiswa)
MAHASISWA
Apakah saya ada di neraka ? Kok panasnya bukan main….Aduhhhh jangan masukkan
saya ke neraka…..Jangan….Jangan siksa saya….Jangan potong kemaluan saya.
Percayalah….selama hidup jadi mahasiswa, saya selalu menggunakan kemaluan saya
untuk hal-hal yang tidak memalukan. Tapi….. kalau toh cuma sesekali….pernah
juga….Tapi,…tapi… itu saya lakukan dengan amat sangat terpaksa, karena nggak
kuat nagmept. Tapi itu cuma sekali,….she, dua kali….Pertama dengan pacar saya….Kedua,
dengan ibu kost saya….Tapi percayalah, dialah yang memaksa saya, sehingga saya
pun terpaksa dengan penuh suka rela, memenuhi permintaannya yang penuh paksaan
itu….Itupun terpaksa saya lakukan, karena saya mencoba menghargai paksaannya
yang memang saya harapkan
SIWI
Anda ini kok malah bikin pengakuan segala…Ehhh Mas…berdosa
ya berdosa, tapi jangan jujur-jujur amat. Mestinya Anda ini justru harus
berbelit-belit, bahkan kalau perlu bikin segala macam trik, biar pemeriksaannya
bisa lebih dramatik. Pakai pura-pura sakit, siapa tahu nanti dikasihani, terus
diampuni. Tapi ngapai pakai ngaku-ngaku segala, lha wong situ masih di alam
kubur. Belum di alam sono….
MAHASISWA
Lho,….saya masih di alam kubur ? Pantesan…kok gelap. Trus, anda ini siapa ?
Interogrator alam kubur ya ? Aduhhhhhh….jangan periksa saya. Jangan. Saya tidak
siap diperiksa. Jangan….jangan ! Jangan cecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan
yang sulit. Jangan….Selama hidup jadi mahasiswa, saya sudah terlalu capek
menjawab pertanyaan yang sulit-sulit dari dosen saya, apalagi untuk pertanyaan
bersifat esai,….saya malah sering bingung. Kalau you mau bertanya kepada saya,
yang gampang-gampang saja ya….chek point saja. Jadi saya tinggal melingkari
saja….
SIWI
Saya ini Siwi…..Penjaga kuburan ini. Tenanglah,…anda nggak
usah panik. Anda ini belum mati. Ayo diminum lagi….Nah, segar kan ? Nah, duduklah dengan tenang. Ambil
nafas dalam-dalam lalu hembuskan pelan-pelan. Tak perlu khawatir,…di sini anda
aman.
MAHASISWA (kembali
panik)
Tapi orang-orang bertopeng itu ? Jumlah mereka banyak. Sangat banyak. Lihat !
Lihat ! Mereka berderap-derap kemari. Jangan….jangan siksa saya ! jangan bunuh
saya ! Bukan saya penggeraknya. Bukan. Jangan….jangan copot jantung saya….
SIWI
Jantung ? Bukankah jantung anda masih ada ? Coba….raba dada anda…Nah masih
berdenyut kan
? Anda masih hidup
MAHASISWA
Benarkah saya masih hidup. Kemarin saya merasa sudah mati. Dada saya terasa
pecah. Entah oleh apa. Entah oleh siapa. Tapi saya melihat kelebat orang-orang
bertopeng itu meringkus saya, membekap saya, mencekik saya…. Tubuh saya
berulangkali dibanting, diinjak, diludahi. Dan mendadak ada tangan-tangan
berkelebat menghunjamkan belati di dada saya. Ya….. darah segar muncrat. Terus
mengalir. Deras. Amat deras. Sampai berliter-liter. Pandangan saya
berkunang-kunang. Saya jatuh…terkapar…tak berdaya…. Di dalam kesadaran saya
yang timbul tenggelam, saya rasakan mereka menyeret tubuh saya. Terus menyeret
sampai jauh. Sampai saya sadar….sampai akhirnya anda menemukan saya di sini…di
kuburan sunyi ini…(Pause).
Mas Siwi,…saya berterimakasih karena anda telah menyelamatkan saya. Tapi meski
nasibnya cukup beruntung, saya toh tetap sedih. Puluhan, bahkan ratusan teman
saya mati mengenaskan di jalan-jalan, di selokan-selokan. Mereka beramai-ramai
dibantai, justru ketika mencoba menghentikan pembantaian gila ini. Kami
memperjuangkan pikiran waras, tapi orang-orang bertopeng itu menjawabnya dengan
nyalak senapan dan gebukan pentungan. Mas Siwi, kita harus menghentikan proyek
gila ini !
SIWI:
Kita ? Kita siapa ? bagaimana pun kita ini beda. Anda mahasiswa. Saya cuma juru
kunci. Mahasiswa itu masa depannya jelas, bisa lulus sarjana, jadi birokrat,
jadi politikus, jadi pengusaha….Sedang juru kunci ? Mau jadi apa ? Juru kunci
itu jabatan paripurna. Pol. Mosok, ada juru kunci terpeleset jadi Dirjen
Pemakaman…..
MAHASISWA
Meskipun mas Siwi ini cuma juru kunci, tapi Mas Siwi tahu banyak soal pembantai
ini. Mas Siwi mesti berani jadi saksi kunci untuk membongkar kasus ini…
SIWI (kaget, bahkan
setengah takut)
Saksi kunci ? Aduhhhhh…jangan Mas…apalah saya ini. Saya ini cuma teri yang
gampang diuntal oleh ikan-ikan kakap
MAHASISWA
Justru karena kita teri, maka kita harus berani bersaksi, agar ikan-ikan besar
itu tidak sewenang-wenang melalap jutaan teri yang lain. Tapi semuanya terserah
mas Siwi. Saya cuma menganjurkan….
Dan kelebat bayangan orang-orang bertopeng itu bagai bermunculan dari
rimbun kelam. SIWI ketakutan, mencoba sembunyi. Sementara SIWI sendiri langsung
pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian, kelebat bayangan
“orang-orang bertopeng” itu menghilang. SIWI merasa selamat dari ancaman, meski
ia masih juga cemas dan ngos-ngosan.
SIWI
Orang-orang bertopeng itu lagi. Siapakah sebenarnya mereka?
Apa hubungan orang-orang bertopeng itu dengan pembantaian demi pembantaian yang
kini berkecamuk di mana-mana?! Apakah orang-orang bertopeng itu yang mengirim
mayat-mayat ke sini? (SIWI mengamati sekeliling,
melangkah hati-hati, takut menginjak mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi
kuburan) Bau kematian yang berpusaran memenuhi udara. Apakah mereka tak
bisa lebih beradab sedikit dengan memberi penghormatan yang layak bagi
mayat-mayat ini? Boleh jadi ketika hidup, mayat-mayat ini memang pencoleng,
perusuh, pemberontak — atau apa saja. Tetapi bukan berarti mayat-mayat ini
boleh dilempar begitu saja ke kuburan, tanpa penghormatan.
Lalu SIWI bergerak ke satu sudut, mengambil bendera-bendera putih mungil
yang terikat pada batang-batang bambu kecil. kemudian mencapkan bendera-bedera
putih itu ke tanah, seperti tengah menanam nisan, sambil terus bicara….
SIWI
Aku tak kenal kalian, tapi aku tak bisa membiarkan kalian
terkubur tanpa penghormatan. (Menancapkan
bendera-bendera putih itu) Anggap saja ini upacara kecil bagi kematian
kalian. Semoga saja bisa membuat kalian sedikit terhibur. Aku tak punya banyak
dana untuk membiayai upacaya besar bagi penguburan kalian. Aku cuma penjaga
kuburan. Maafkan, kalau upacara ini kurang sempurna. Tak ada terompet yang
mengringi pemakaman kalian, tak ada tembakan salvo, tak ada liputan televisi,
tak ada bunga, tak ada kembang api….
Terus menanami bendera-bendera putih itu, sampai hampir memenuhi semua
sudut kuburan. Sementara itu bagai doa yang mengiringi upacara kecil SIWI,
terdengar suara gemeremang, seperti suara-suara orang bertahil. Seperti
suara-suara orang berdoa yang menggigil. Begitu gaib. Suara itu menjadi bagian
dari upacara penguburan yang tengah dilakukan SIWI
Istirahatlah dengan damai. Tak usah kalian mengutuk mereka
yang membantai kalian. Aku tahu, kalian marah dan menyimpan dendam karena
kematian kalian yang terasa begini hina. bagikupara pembantai kalianlah yang
jauh lebih hina. Siapa pun yang membantai kalian, sungguh luar biasa
menjijikkan. Memuakkan! Kukira hanya setan — setidaknya mereka yang bersekutu
dengan kekuasaan setan — yang bisa melakkan pembantaian macam ini.. Celakanya,
kita tak pernah tahu siapa mereka itu. Ya…bagi mereka…orang-orang macam kalian
lain tak lebih dari seekor hama
yang selalu dianggap mengancam hasil panen kekuasaan mereka. Padahal mereka
tidak pernah menanam. Tidak pernah, kecuali memaksa memeras keringat orang lain
untuk bercocok tanam. Mereka tak lebih dari mandor-mandor yang menganggap
kekerasan sebagai kebenaran.
Sambil terus menanam bendera-bendera putih kecil itu, dalam benak SIWI
berkecamuk kegelisahan bercampur kecemasan. Sampai kemudian terdengar suara
tangis bayi yang menyayat-nyayat. Tangi itu mula-mula terdengar sesekali,
membuat SIWI menajamkan pendengarannya. Lalu tangin itu menghilang. Siwi
kembali menanam bendera-bendera putih itu denga khusyuk. lalu kembali terdengar
suara bayi melengking, SIWI mencari sumber suara. Tapi sia-sia. Suara bayi itu
selalu mendadak lenyap ketika SIWI mendekat.
SIWI
Aneh… Jangan-jangan bayi itu anak jin yang dibuang ke kuburan ini. Tapi untuk
apa jin itu membuang anaknya sendiri? Dia bukan termasuk mahluk yang tidak
bertanggungjawab seperti manusia yang gemar membuang bayi dari hasil hubungan
yang tak resmi.
Kembali terdengar suara tangis bayi. Kali ini segera di susul tangis
bayi-bayi yang lain.Tangis bayi itu bagai bermunculan dari segala penjuru,
menjadi nyanyi keperihan yang berkumandang memenuhi malam. SIWI benar-benar
dikepung suara bayi….
SIWI
Saya curiga, suara-suara itu adalah tangis arwah bayi. Saya
curiga…… ada begitu banyak bayi dibunuh. Jangan-jangan…..pembantaian tidak
hanya menelan korban orang-orang tua…tapi juga bayi-bayi….
SIWI bergerak ke sekeliling panggung. Ia berjalan di antara hamparan
mayat-mayat…. sampai kemudian ia terpekik kaget ketika di antara timbunan
mayat, ia menemukan puluhan mayat bayi.
SIWI:
Edan!!! Ternyata dugaan saya tidak meleset. Mereka juga membantai bayi-bayi….
Bayi-bayi pun dibunuh tanpa ampun. Bayi-bayi pun dibantai secara beruntun.
Rupanya mereka tak ubahnya raksasa yang meramu nyawa bayi menjadi jamu, yang
direguk supaya bisa hidup abadi. Gila. Langkah generasi sedang dimatikan.
Generasi demi generasi dilenyapkan dari rahim zaman, untuk diganti mesin-mesin
yang hanya bisa patuh….
SIWI mencoba mengubur puluhan mayat bayi itu dengan khidmat, sambil
menembangkan keperihan…. terkadang ia seperti menimang-nimang….
SIWI (Menembang)
Di bening matamu kuberkaca
mencari makna duka lara
Di tangismu kudengar nyanyian
adakah itu nyanyian Tuhan….
Tidurlah tidur anak kehidupan
Tidurlah tidur dalam kedamaian….
Sambil terus menembang, Siwi mengubur dan menancapkan bedera-bendera
putih itu. Ia tak pernah menyadari, betapa puluhan mata menatapnya dari balik
belukar. Sampai kemudian SIWI terkejut, ketika puluhan orang bertopeng telah
mengepungnya. SIWI merayap mundur. Orang-orang bertopeng terus mengepung….
Ketika SIWI menyadari bahwa ia tak punya kesempatan untuk meloloskan diri, ia lalu
mencoa memberanikan diri untuk menghadapi puluhan orang bertopeng itu.
Keberaniannya bangkit, seperti keberanian orang yang sudah tak punya pilihan.
Maka SIWI mencoba berdiri tegar, meski tetap saja gemetar. Ia berusaha berkata
tegas meski tetap saja cemas. Di puncak kegeramannya ia mengaum:
SIWI
Barangkali otakku terlalu beku untuk bisa mengurai silang sengkarut persoalan
yang membuat begitu banyak orang takut. Atau barangkali aku terlalu gegabah
untuk menjamah masalah yang mendadak tumpah ruah. Atau barangkali, aku terlalu
nekad, terlalu berani untuk memasuki rimba persoalan yang nggegirisi ini…
Kalau akhirnya kuputuskan untuk bersaksi, bukan karena aku
ingin jadi pahlawan. Bukan. Sebab kepahlawanan itu rapuh. Dan kepahlawanan itu
dari hari ke hari semakin merosot harganya. Aku bersaksi karena aku sekadar
ingin menebus rasa bersalah, dan rasa berdosa saya terhadap mayat-mayat sahabat
saya. Sebab selama ini aku lebih banyak diam, lebih banyak bungkam…. Ternyata
tidak selama diam itu emas.
Kenapa tragedi kemanusiaan yang jelas dan gamblang, selalu
dibuat ngambang ?
Kenapa orang yang sudah jelas bersalah, justru dilindungi dan diberi ampunan ?
Kenapa orang-orang yang jelas menjadi korban justru dinistakan dan diberi
hukuman ?
Aku jadi curiga, ada begitu banyak kepentingan sedang dipertahankan.
Aku jadi curiga, ada begitu banyak nama yang hendak diselamatkan demi
kehormatan yang dipaksakan. Kehormatan yang dipahatkan dan dijulangkan di
antara nisan-nisan tak bernama.
Aku jadi curiga, ada begitu banyak fakta sedang
ditenggelamkan.
Aku jadi curiga banyak kisah nestapa, hanya dijadikan cerita yang asyik untuk
dopidatokan.
Aku jadi curiga terhadap segala kecurigaan yang dibudidayakan untuk menciptakan
ketakutan.
Aku jadi curiga terhadap semua sandiwara yang dimainkan.
Aku jadi curiga, bahwa kecurigaanku pun selalu dicurigai
Aku jadi curiga….
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Mendadak ada jaring-jaring besar turun yang memerangkap SIWI. SIWI
berjuang keras untuk lolos dari jaring itu. Ia berteriak-teriak marah dan terus
bergulat mencoba meloloskan diri dari belitan jaring raksasa itu. Tapi jaring
itu ternyata lebih kuat.. Jaring itu terus membungkus, meringkus. Siwi terus
saja mengerjat meronta-ronta mencoba membebaskan diri. Teriakannya kian lama
kian melemah. tenaganya terkuras, lantas perlahan lemas. Lampu perlahan
meredup.Kemudian terdengar sayup suara jeruji dipukuli, seperti bagian awal.
Dentang itu perlahan mengeras, dan mengeras. Sampai panggung menggelap. Dan
yang tersisa hanya cahaya yang bagai lembing perak menimpa kisi-kisi jeruji.
Sementara dentang jeruji dipukuli masih sesekali terdengar….
SELESAI
.
Bantul 26 Februari 2000
0 Response to "MAYAT TERHORMAT"
Post a Comment