Monolog
SEPI
Karya Putu
Wijaya
Ketika bapakku meninggal, aku mendapat inspirasi. Bapak adalah orang yang praktis dan
realistis. Ia seorang yang bijaksana,
luhur budi pekertinya dan ekonomis. Ia
pasti tidak suka segala bentuk kemubaziran, termasuk yang menyangkut jasadnya sendiri.
Setelah tiga jam berpikir terus menerus,
akhirnya aku memutuskan untuk memotong kedua tangan bapak dan kemudian memasangnya
di tubuhku sendiri. Aku juga hampir saja
hendak memotong kedua kakinya, tapi dokter memprotes, sebab ia melihat ada
penyakit di kaki itu.
Tangannya saja cukup, kau cukup mewarisi
ringan tangannya, tidak perlu darah petualangan di kakinya, jangan nanti kamu
keluyuran ke sana ke mari seperti gombal kata dokter.
Sebenarnya aku tidak setuju, tapi apa
boleh buat. Hanya saja aku masih punya usul kecil. Bagaimana kalau anunya itu yang dicangkok, kelihatannya
masih bagus.
Dokter merenung sebentar, kemudian
mengambil mikroskop, lalu memeriksa dengan teliti. Akhirnya dengan sebuah alat ia mencoba ngetes
alat vital itu. Ternyata kalau ada
enerji, anunya bapak masih berfungsi dengan baik. Apalagi ukurannya termasuk gagah.
Aku hampir saja tertawa ngakak karena
bangga, tapi dokter menggelengkan kepala.
Tidak mungkin, katanya tegas, secara ethis ini akan menimbulkan skandal,
secara praktis pasti akan mengakibatkan krisis moral dan dari segi hukum bisa diancam
sebagai mengkampanyekan Oedipus Kompleks, karena termasuk barang impor yang
tidak sesuai dengan politik kepribadian kita. Dus resikonya sangat berat.
Lho tidak apa, Dokter. Itu malah bagus,
ini kan
eksperimen, makin banyak tantangannya, akan makin tinggi nilainya sebagai pencarian. Ini adalah sebuah revolusi yang tak berdarah
dan murah. Sebuah kebangkitan nasional
tanpa pembunuhan, kecuali memanfaatkan orang yang sudah dibunuh oleh Tuhan.
Dokter tetap menggeleng. Tidak, katanya, aku tidak berambisi bikin revolusi,
tidak mau ikut menanggung resikonya.
Meskipun aku edan, aku belum gendeng.
Jadi aku tidak bisa selalu mengatakan bisa, bisa, meskipun memang bisa,
karena masih ada factor-faktor X yang selalu aku perhitungkan di dalam pengembaraanku
mencari kebahagiaan di dunia fana ini.
Ahhh sudah, sudah, dokter kok jadi
sentimentil sekarang. Sudah kerjakan
saja, biar nanti saya yang menanggung akibatnya. Dokter tinggal menyumbangkan
ketrampilan, tanggungjawabnya urusan saya, Anda harus bisa berpikir praktis. Cobalah sedikit revolusioner Dokter.
Saya revolusioner, jiwa saya cukup
revolusioner.
Tetapi dalam hati tok. Itu tidak cukup. Ayo pasang saja alat vital itu, kan mubazir kalau
dibusukkan di tanah. Coba apalagi yang
bisa kita manfaakan. Matanya? Jantungnya?
Buah pinggangnya? Atau giginya?
Dokter menggeleng.
Masalahnya begini, Saudara Merdeka, jawabnya. Organ-organ tubuh
ini memang kelihatannya baik, tetapi dia sudah terlatih untuk melakukan sesuatu
dengan pola tertentu, pola berpikir almarhum. Ideologinya, filsafat hidupnya,
gayanya, aksinya dan kebiasaan-kebiasaannya sudah terbina. Sulit untuk mengubahnya lagi. Saya bisa mencangkokkan ini di tubuh saudara,
saudara Merdeka, tetapi saya tidak bisa menjamin bahwa dia akan bersedia tunduk
di bawah perintah saudara. Bayangkan
kalau terjadi sebaliknya, kalau seandainya kemudian Anda sendiri yang
diperintahnya. Bayangkan,buat apa anda
bernama Merdeka kalau pada akhirnya tidak merdeka? Ini baru satu resiko saja,
yang lain ....?
Aku jadi tertawa.
Dokter, kalau saya bodoh, memang bisa
saja alat vital papa memerintah saya, tetapi saya kan tidak sebodoh itu. Percuma dong kita lahir belakangan kalau tidak
lebih pinter dari bapak-bapak kita. Ini
dialektika kehidupan seorang Merdeka.
Jadi dokter, kecemasan Anda manusiawi tetapi sebenarnya tidak
rasional. Dus pasang sajalah!
Apanya yang dipasang?
Alat vital itu!
Dokter bingung.
Jadi anda ingin punya dua?
Bukan hanya dua. Kalau bisa sepuluh juga saya mau. Dan dengar, saya tidak mau dipasang di tempat
yang sama. Itu namanya tidak
kreatif. Saya ingin anda berimprovisasi
sedikit. Pasangsaja di sini!"
Dengan tidak ragu-ragu lagi kemudian aku
menunjuk ke tengah-tengah jidatku. Di
sini, tepat di sini, seakan-akan anunya bapak itu menjadi pipa penyalur
langsung dari apa yang dikerjakan oleh
otak, jadi bukan penyalur apa yang dihasilkan oleh perut!
Dokter bengong dan menggelengkan kembali
kepalanya. Aku langsung marah.
Apa sih ini, apa sih? Dokter kok lamban sekali, dari tadi cuma
bengong dan menggeleng-menggeleng.
Langsung saja pasang sebelum anunya busuk. Ayo.
Saya tidak perlu membentak bukan?!
Dokter menggeleng lagi, lalu mendekatkan
mulutnya berbisik: begini Saudara Merdeka, soalnya bukan apa-apa. Eksperimen begini juga sudah pernah dicoba,
cuma kemudian tidak diteruskan karena hasilnya kurang memuaskan. Maksud saya setelah dipasang, karena organ
ini biasa terletak di bagian bawah, dekat dengan tanah, ia menolak untuk
diletakkan di atas. Lalu ia berontak
sedemikian rupa, sehingga kita terpaksa berjalan dengan kepala di bawah dan
kaki di atas.
Aku tercengang.
Bagaimana dokter tahu itu?
Ya karena, karena, karena, eksperimen itu pernah saya coba sendiri, kata
dokter dengan tersipu-sipu.
Aku bersorak. Hebat-hebat! Sayang dokter tidak punya darah revolusioner yang
sejati. Justru itu yang saya inginkan.
Jalan dengan kepala terbalik dengan mengingkari hukum gravitasi bumi, jailah, yes,
apa itu tidak sedep. Ayo dokter, jangan
buang waktu, tancep saja sekarang!
Walhasil, setelah digertak, akhirnya
dokter mau juga memasang alat vital bapakku itu di keningku Dan sebagaimana
yang dikatakannya, begitu selesai pemasangan, aku langsung tidak bisa lagi
tegak di atas kakiku sendiri, karena kepalaku jadi terlalu berat. Terpaksa kemudian aku berjalan dengan kedua
tanganku.
Bagaimana rasanya, tanya dokter dengan
cemas.
Aku tertawa cekakakan. Hebat-hebat
dokter. Bukan hanya dunia jadi terbalik,
tapi segala nilai-nilai juga terbalik.
Yang buruk jadi indah. Yang keras
jadi lembut. Yang tidak cinta jadi
cinta. Yang tidak adil jadi adil dan
yang salah jadi betul. Fantastis. Saya puas dengan akrobatik ini!
Dokter heran tapi terpaksa ikut bergembira
melihat aku puas.
Hanya saja sebulan kemudian, aku datang lagi. Dengan tergesa-gesa dari luar kamar praktek aku sudah
berteriak histeris.
Dokteerrrrrrrrr!
Dokter meloncat dan memelukku.
Ada apa?
Aku kesepiannnnnnnn! Kenapa tidak kamu bilang aku bisa kesepian
berjalan terbalik sendirian.
Kenapa tidak kamu bilang dulu!"
Dokter menggeleng.
Maaf aku lupa Ka, aku lupa Merdeka.
Copot lagi-copot lagi, aku tidak mau
kesepiannnnn! Hayo!
Dokter menggeleng.
Kenapa?
Aku bisa memasangnya, tapi aku tidak
bisa mencopotnya.
Bohong!
Kamu bisa. Kamu hanya tidak mau!
Dokter terus menggeleng.
Kenapa kamu tidak mau?
Tiba-tiba dokter itu menangis. Matanya yang tua masih bisa mengeluarkan air
mata. Tubuhnya gemetar.
Sudahlah, sudahlah Merdeka, tetap saja
begitu. Tetap saja begini berjalan
dengan kepala di bawah, biar kesepian, tahan saja, itu baik, itu akan lebih
mudah, maksudku itu akan lebih bermanfaat.
Aku sudah tua, aku sudah capek ngomong sama orang, mereka tidak akan percaya.
Lebih gampang buatku kalau ngomong pakai contoh. Sudahlah, biar saja, bijaksanalah, kuatkan
imanmu, jadi pahlawan, jadilah contoh, supaya yang lain-lain tidak perlu
mengulangi keedananmu!
Dokter tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Ia jatuh pingsan. Aku tinggal sendirian di
antara alat-alat yang ajaib dalam dekapan bau obat-obatan yang telah mencapai
taraf kemajuan yang begitu tinggi.
Hatiku bertambah kosong, makin sepi, makin sepi saja tanpa titik henti.
0 Response to "SEPI"
Post a Comment