Monolog
Surti dan Tiga Unggas
Karya Gunawan Mohammad
SEBUAH RUANG DENGAN DUA PERMUKAAN.
DI ATAS TAMPAK SEBUAH KATIL TERTUTUP KAIN.
DI BAWAH: SEBUAH GAWANGAN DENGAN BANDUL, SELEMBAR MORI DUA
KACU YANG SUDAH SEBAGIAN DIBATIK, SEBUAH DINGKLIK, SEBUAH WAJAN DI ATAS ANGLO,
SEBUAH TEPAS. SELEMBAR TAPLAK. BEBERAPA CANTING. SEBUAH BANGKU.
DI LATAR BELAKANG BISA DITAMBAHKAN LAYAR, TEMPAT DIPROYEKSIKAN
SATU ATAU BEBERAPA FOTO HITAM-PUTIH, DARI TAHUN 1945-AN. ATAU TAK PERLU
APA-APA.
PEREMPUAN ITU 33 TAHUN. NAMANYA SURTI.
SENDIRI.
__
BUNYI KECREK.
Saya ingin bercerita panjang. Saya hanya bisa melakukannya
jika saya sendirian, seperti sekarang, ketika rumah kosong.
Saya ingin mengatakan tentang satu hal yang tak pernah bisa
saya katakan dengan lurus. Saya selalu bingung di mana awalnya, di mana
akhirnya. Barangkali semua cerita seharusnya demikian, tapi saya tahu saya
harus memilih. Tidak gampang. Tidak gampang.
Tapi mungkin lebih baik saya mulai dengan tiga ekor burung
ini. Tiga sawunggaling. Lihat, mereka sudah terlukis pada kain mori itu,
selembar tiruan corak Cirebonan, meskipun belum juga selesai.
Sayalah yang membatiknya. Yang satu bernama Anjani, yang
kedua bernama Baira dan yang ketiga Cawir. Supaya mudah diingat. Seperti dalam
alfabet: A – B – C.
Mereka-lah yang menemaniku selama ini. Tiap malam mereka
hinggap di dahan pohon asam yang saya goreskan pada lembar mori ini seminggu
sebelumnya. Ya, di sini. Lihat. Mereka hinggap sabar di dekatku, sejak empat
hari sebelum suamiku ditembak mati.
Saya tak yakin apakah mereka melakukan itu karena merasa
berutang budi. Mengapa pula mereka harus berutang budi kepada saya? Tak perlu.
Tidak perlu. Saya bukan pembatik. Ini semua saya kerjakan karena saya harus
mengisi waktu, di hari-hari seperti ini. Saya cuma meletakkan cucuk canting ke
kain, mengikuti pola. Mungkin canting itu yang mendatangkan mereka. Bukan saya.
Tapi sudahlah. Pendeknya ketiga ekor burung itu, seperti
saya katakan tadi, menemaniku. Amat menyenangkan. Malam seperti ini siapapun
membutuhkan teman. Kamis yang lalu ada tembak menembak di utara pasar, dan
orang takut ditangkap. Sudah dua belas hari lamanya tentara musuh menduduki kota
ini, sudah dua belas hari lamanya pasukan gerilya mencoba menghalau mereka, dan
orang merasa lebih baik tinggal di rumah.
Saya beruntung. Saya beruntung karena burung-burung ini ada
di sini.
Saya kira Anjani dan kedua temannya tahu, mereka bukan lagi
sekedar garis dan titik yang keluar dari canting – gambar-gambar yang diam. Dan
saya bersukur, mereka tak merasa asing.
Kepada Anjani saya janjikan warna merah kembang sepatu.
Kepada Baira warna biru laut Selatan, dan Cawir mungkin ungu. Saya menyukai
mereka.
Saya tahu, tiap jam tiga pagi – saat saya tertidur di dipan
itu — mereka mengerahkan tenaga, melepaskan diri dari kain mori, dan terbang ke
luar. Saya selalu merasa mendengar jendela dibuka hati-hati, dan sayap mereka
berkebat, tapi saya tak sepenuhnya bangun. Sering saya terlalu capek dan tak
bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang tidak. Lagipula, saya tak ingin
membuat mereka merasa sungkan; tiap makhluk, juga yang lahir dari canting kecil
ini, punya hak berjalan-jalan.
Saya tahu mereka akan pulang sebelum matahari terbit.
Saya percaya itu. Atau lebih baik saya katakan, saya ikhlas,
kalau pun mereka tak mau kembali lagi.
Jika itu terjadi, saya kira saya toh masih bisa membatik
lagi. Saya tidak tahu kapan kain ini akan selesai. Saya tidak mau menentukan
waktu. Buat apa? Membatik itu kesabaran. Seperti bercerita – tak jelas mana
yang seharusnya awal, mana yang akhir. Membatik itu membiarkan semuanya
berjalan sendiri. Membiarkan daun-daun muncul, burung datang, dan baris-baris
menjalani nasibnya, membentuk diri jadi kawung atau parang rusak, atau jadi
sebuah gambar daun pakis.
Sudah saya janjikan pada Anjani, kain ini tak akan saya
jual. Ia akan saya pakai sendiri, dan kelak saya akan mewariskannya ke Nanik,
anak saya satu-satunya. Ia akan .jadi pengganti kain lama yang dipakai
membersihkan darah dari kepala jenazah.
Mungkin kalian perlu tahu, jenazah suami saya tak
dimandikan. Tidak perlu, kata orang-orang tua. Darah yang masih basah di
pelipisnya itu hanya diusap agar tidak menutupi muka. Lobang yang diterobos
peluru itu biar saja begitu, kata mereka. Itu yang jadi saksi.
Apa kau bilang, Baira? Saksi di hadapan siapa? Ya, ya, saya
juga tidak tahu. Mereka bilang Tuhan, tapi saya tak yakin Tuhan perlu saksi.
Dan mengapa pula Gusti Allah harus repot? Pada suatu malam seorang ditembak
mati oleh seregu serdadu, yang menangkapnya sebagai musuh dalam perang – itu
hal yang sama sekali tidak istemewa. Selama beribu-ribu tahun berjuta-juta
orang sudah mengalaminya. Bagi Tuhan tak ada yang luar biasa.
Dan itulah yang menyedihkan. Saya tidak bisa mengatakan,
kematian suami saya bukan sesuatu yang spesial.
SURTI DUDUK DI DINGKLIK.
BUNYI KICAU BURUNG, SEBENTAR.
Benar, Cawir, benar Baira, sudah saatnya saya perlu bicara
sedikit tentang suami saya. Meskipun saya tak begitu yakin saya bisa
menyimpulkan.
PEREMPUAN ITU MENIUP CANTING.
CAHAYA MEREDUP.
SUARA DERAP SEPATU PASUKAN BERBARIS, MAKIN LAMA MAKIN
MENJAUH. BISA DITAMBAHKAN SUARA ABA-ABA, LAMAT-LAMAT .
BUNYI KECREK.
Empat hari sebelum suamiku ditembak mati di lapangan dekat
markas itu, ia tampak berjalan ke luar rumah, dari pintu belakang.
Ia mengenakan baju cina hitam dan sebuah caping gembala
bebek yang lebar. Dengan kasutnya yang tua, yang dibelinya di Semarang, ia
berjalan melompati genangan air. Sore tadi hari hujan.
“Aku akan mencari mimpi”, begitu katanya, berpamitan.
Ia memang kadang-kadang melakukan itu: mencari mimpi. Ia
bilang mimpi selalu memberinya isyarat tentang sesuatu yang akan datang,
memberinya arah apa yang harus dilakukannya – jika ada yang dapat dilakukannya.
Untuk mencari mimpi, menjelang tengah malam ia akan
menghilang dari kamar, pergi ke sebuah sudut di kebun, di bawah pohon randu
itu, dan berbaring di sana di atas sehelai lampit. Ia akan tertidur satu dua
jam, terkadang lebih, dan di saat itulah mimpi datang, begitulah yang
dikatakannya.
Ia jarang sekali bercerita kepada saya apa yang terungkap
dari mimpinya. Maka saya tak begitu peduli ketika malam itu ia keluar rumah.
Ada tetangga yang melihatnya melewati titian dari batang
nyiur di selatan itu, yang tebingnya menakutkan, sebab selalu ada hantu –
selalu ada sesuatu yang seperti wajah perempuan kesakitan bergantung-gantung di
sebatang dahan pohon lengkeng. Tapi suami saya tak pernah takut diganggu
mahkluk halus. Ia pernah mengatakan, kakeknya telah menaklukkan para gendruwo.
Saya tak tahu apa yang terjadi setelah ia sampai di titian
itu. Tapi malam itu Cawir terbang lebih awal. Ketika itu saya berbaring dalam
keadaan demam. Cawir-lah yang kemudian bercerita kepada saya, persisnya 15 jam
setelah suami saya ditembak mati. Begini.
CAWIR: “Dari ketinggian 500 meter aku lihat suamimu. Ia
menyeberangi titian itu. Melihat dia, hantu perempuan menutup wajahnya yang
menakutkan. Dengan daun-daun. Aku bertanya kenapa ia berbuat begitu. Ia
menjawab, “Karena orang itu akan mati sebelum hari Sabtu”.
Bulan kelihatan rendah. Di dekat gunuk. Suamimu tentu saja
tak melihatnya. Capingnya yang lebar menutupi pandangan ke atas. Lagi pula ia
berjalan dengan mata melihat ke bawah. Seperti mencari jejak.
Dua tikungan setelah pohon rasamala yang besar itu, ia
berhenti. Lalu ia berjalan ke arah kiri. Banyak semak dan ilalang di sekitar
itu. Seseorang telah menunggunya di sana. Aku dengar ia bertanya kepada
suamimu: “Pak Jen? Saya Kusno, juru kunci makam”.
“Oh, sudah lama menunggu?” , sahut suamimu.
“Belum, Pak. Pak Jen baik-baik saja, ‘kan? Mari, ikuti saya.
Makamnya tak jauh dari sini.”
Mereka berjalan searah dengan sebuah parit. Jalan tipis itu
akhirnya sampai ke sebuah pintu gerbang besi yang rendah.
Di balik gerbang itu kulihat sederet kijing yang retak dan
berlumut. Di sudut Barat ada sebuah kuburan yang jauh lebih besar ketimbang
yang lain. Ia terletak di sebuah pondok beratap genting. Nisannya tinggi
bertuliskan huruf Arab. Seperti kaligrafi yang kaku, patah-patah.
Di dasar makam itu, ada pinggiran dari pualam. Dari tempat
aku hinggap, bidang itu tampak kosong. Di situlah Kusno, si juru kuncil,
membentangkan sehelai tikar pandan.
Lalu kedua laki-laki itu duduk berjongkok. Kepala mereka
tertunduk. Dari ketinggian, aku tak bisa melihat apakah mata mereka terpejam.
Aku tak tahu apakah mereka berdoa, atau bersemadi. Aku tak tahu berapa lama
mereka begitu.
Hanya kulihat di langit bulan makin sudah jauh dari gunuk
ketika juru kunci itu meninggalkan suamimu sendirian.
Lalu suamimu menyiapkan diri. Ia berbaring di atas tikar di
atas bidang marmer itu. Malam terasa makin gelap.
BUNYI KECREK
SURTI: Apa nama kuburan itu? Pekuncen Sunan Jero?
CAWIR: Aku tak tahu. Aku kira suamimu juga tak tahu.
SURTI: Tapi dia ke sana, Cawir, mau mencari mimpi.
CAWIR: Aku sebenarnya tak yakin. Apa yang didapatnya dari
mimpi?
SURTI: Ya, apa yang didapat suami saya dari mimpi? Beberapa
hari lamanya saya bertanya-tanya, kepada diri saya sendiri, haruskah saya
mendengarkan pertanyaan Cawir itu. Apa saya yakin suami saya mencari mimpi?
Terus terang, saya tak kenal betul laki-laki itu, suami
saya. Kami menikah tak lama setelah ia keluar dari penjara di Tegal. Itu tahun
1934, ketika umur saya sudah 20 dan dia 27. Kami dikawinkan dengan cara
sederhana tapi rasanya penting benar hari itu. Selama empat tahun ia dihukum
karena dituduh menghasut-hasut buruh kereta api. Saya ingat, ia ke luar dari
penjara dan esok harinya datang ke rumah orang tua saya: tubuhnya yang tinggi
tampak tipis, tapi matanya memandang tajam.
Ia memang kawan ayah, meskipun umur mereka berbeda
seperempat abad. Saya tak tahu kapan mereka berkenalan. Saya hanya mengenalnya
selama beberapa minggu sejak ia bebas dan sering bertamu ke rumah kami. Ayah
menyukainya. Ia selalu dipanggil “Jen”, tapi nama sebenarnya Marwoto. “Ia orang
pergerakan yang baik”, kata ayah tentang suami saya.
Sudah beberapa belas tahun ayah berhenti jadi mandor pabrik
gula Pajarakan, sudah lama ia jadi kepala kantor lelang ikan, tapi ia masih
suka bercerita tentang perlawanannya terhadap Belanda-Belanda perkebunan itu –
yang menurut ayah, telah merampok air irigasi punya petani. Mungkin karena ayah
hanya bisa bicara tentang politik kepada anak-anaknya, terutama sejak ibu
meninggal.
Mas Jen berbeda. Ia mengerti saya tak tertarik kepada
soal-soal pergerakan. Tapi mungkin juga ia mengira saya tak akan paham –
meskipun saya lulus HIS dan dia tidak.
Apakah saya mengenalnya betul, setelah kami kawin? Saya
tidak tahu. Ia tak banyak bicara. Sekarang saya ingat: saya tak pernah
diperkenalkan kepada orang tuanya. Ia hanya bilang ayah dan ibunya masih hidup,
tapi jauh di Sumenep. Ketika kami menikah, hanya ada seorang yang disebut
sebagai kakaknya yang mendampingi. Kemudian saya tahu laki-laki itu bukan
kakaknya. Tampaknya ayah dan ibu saya tahu menantunya berdusta. Entah kenapa,
mereka diam.
Tapi ia suami yang bertanggungjawab. Ia tak menterlantarkan
anak isterinya. Ia bekerja jadi pegawai adiministrasi sekolah Taman Siswa di
dekat kantor wedana. Sampai Jepang datang. Sampai kami punya Nanik. Sampai kami
bisa mengibarkan bendera Merah Putih di depan rumah.
Tapi kemudian pasukan Belanda datang lagi, dan kota kami
diduduki.
Sejak itu, suami saya sering tak pulang. Saya tambah rajin
membatik. Dua orang pengobeng dari Pasar Pagi itu sudah jarang datang, tapi
saya senang Nyah Oei masih mau membantu saya dengan mori yang sudah diolah.
Saya bersukur ia masih mau membeli batikan saya. Dari Taman Siswa, suami saya
tak menerima gaji lagi.
Ia mencari mimpi, katanya.
Cawir tak yakin bahwa itu soalnya. Ah, biarlah.
SURTI DUDUK, MENUTUPI PANGKUANNYA DENGAN TAPLAK
MENGAMBIL CANTING DAN MENCELUPKANNYA KE DALAM MALAM.
Malam ini saya akan menambah titik-titik pada sayap Cawir,
dan membuat ranting tempat ia nanti hinggap. Leleh malam ini tak begitu bagus.
Saringannya sedikit rusak. Tapi saya ingin membatik – saya takut sesuatu, tapi
tak tahu apa.
LAMPU REDUP.
KETIKA TERANG PELAN-PELAN KEMBALI, SURTI
BERDIRI DI TENGAH PANGGUNG.
BUNYI KECREK.
Surti memberiku nama Anjani. Sawunggaling pertama, unggas
yang kelak akan berwarna merah kembang sepatu. Aku sebenarnya tak menyukai
terbang malam – aku lebih menyukai hangat di sela-sela angin. Tapi tiap lewat
tengah malam, aku tak betah melekat pada kain di gawangan. Kanji pada mori itu
masih kaku, menyesakkan. Tetesan terakhir canting itu menyengat.
Tiap jam 4 pagi, aku melesat ke sini. Cawir dan Baira
biasanya sudah lebih dulu terbang, entah ke mana. Pucuk mahoni ini punya dahan
dengan lengkung yang menyenangkan.
Dan aku bisa melihat macam-macam.
Dari sini pula kemarin malam kulihat orang-orang itu
bergerak, satu demi satu. Mungkin lima orang, mungkin enam. Tak begitu jelas.
Mereka menyeberangi kali dari arah dusun nelayan di Timur Laut, mengenakan baju
yang ditungu, warnanya coklat gelap. Tapi aku tahu mereka bukan pencari ikan.
Aku terbang lebih dekat, hinggap di atas pokok nyamplung. Dari sana kuketahui,
mereka – satu demi satu berangsur-angsur muncul di tebing Barat di tepi desa
Milingan — semuanya berenam. Salah satu dari mereka seorang perempuan. Hanya
dia dan seorang laki-laki yang bertopi baja yang tak membawa bedil.
Mereka tak berbicara. Dari balik pedati-pedati pengangkut
balok jati yang diparkir di lapangan bekas pabrik gula itu tampak tiga orang
merangkak, maju ke arah bangunan sekolah dengan halaman yang luas itu: di sana
sejumlah laki-laki berkulit putih, dalam pakaian serdadu dan bersenjata,
membuat bivak. Sebagian besar tertidur, di bawah udara terbuka.
Sebagian duduk, bermain kartu atau membaca. Ada lagu siul,
pelan.
Beberapa belas menit kemudian sebuah granat meledak. Lalu
sebuah lagi. Beberapa saat senyap, lalu terdengar teriakan-teriakan kesakitan,
dan perintah dalam bahasa yang tak kukenal. Pasti banyak korban di tempat
tentara pendudukan itu, tapi aku tak mau melihat. Yang kulihat hanya nyala
mesiu dari laras bedil: tembakan-tembakan yang panik, marah, seperti tanpa
henti, ke arah yang tak tentu.
Bersama itu, samar-samar tampak tiga orang gerilya itu
bergerak kembali dari sebelah semak-semak lima meter dari kedua sisi bivak.
Kali ini mereka tak merangkak. Mereka lari membungkuk berbareng sekaligus, ke
selatan dan timur.
Tapi mereka tak bisa jauh melangkah. Mereka rupanya tak
melihat lima orang tentara Belanda berjaga di antara rumpun bambu petung yang
lebat empat meter di luar halaman sekolah itu. Serdadu-serdadu itu menembak.
Kali ini serentetan tembakan yang lebih teratur terdengar. Satu demi satu
ketiga gerilyawan itu terjungkal.
Aku gugup, aku ngeri, aku cepat-cepat terbang pulang dan
hinggap di dahan mempelam dekat dapur. Kucoba menenangkan napas, sebelum masuk
lewat jendela dan melekat ke kain mori kembali. Aku ingin tidur.
BUNYI KECREK.
SURTI: Kau tak lihat suamiku di sana, Anjani?
ANJANI: Aku tak melihatnya.
SURTI: Mungkin Cawir tahu.
ANJANI: Kau selalu percaya kepadanya, Surti.
BUNYI KECREK.
SURTI: Mengapa aku tak bisa percaya kepada Cawir?
Mengapa saya tak bisa percaya? Empat jam setelah Anjani
kembali, Cawir muncul, dan dengan cepat bertengger di gawangan ini. “Aku
melihat suamimu”, katanya.
Saya kepingin bertanya lebih jauh. Tapi pagi datang. Cahaya
matahari pucat, seperti biasa, meskipun kini sinar itu seperti memasuki langit
yang makin kosong. Cawir hilang dari ruang ini. Ia kembali ke dalam gambar.
Dan saya tertidur. Sampai tengah hari.
Malamnya, saya duduk di dekat gawangan, menunggu. Tapi Cawir
tak juga hendak bercerita. Saya membujuknya. Dia tetap tak mau. Saya menyerah.
Saya pun pura-pura tak peduli, meneruskan batikan sampai
menjelang pukul 12. Saya selesaikan bagian isen-isen, yang amat rumit, sampai
mata saya lelah. Saya mengantuk. Saya pandangi Cawir. Dan ketika saya guritkan
setitik malam di dekat paruhnya, saya dengar ia menghela napas. Ia mulai
bersuara. Inilah ceritanya.
BUNYI KECREK
CAWIR: Ketika esok malamnya Jen, suamimu, kembali di kuburan
itu, aku sudah hinggap di atas pokok kamboja yang menaungi makam wali yang
dihiasi kaligrafi patah-patah itu. Aku tak tahu dari mana ia datang, kalau
tidak dari rumah ini, Surti.
Kali ini ia tak ditemani juru kunci. Ia mengenakan baju
surjan yang bergaris-garis gelap, dan berbaring menelentang dengan mata
terpejam. Tangan kanannya memegang sebilah keris yang masih disarungkan. Tak
ada tikar pandan di bawah tubuhnya. Ia hanya berbantalkan sebuah bundelan —
tampaknya setumpuk buku, tapi mungkin juga pakaian — yang menopang bagian atas
lehernya, hingga kepalanya setengah tegak.
Entah kenapa, waktu itu aku merasa sesuatu akan terjadi.
Dan benar. Tak lama kemudian, kulihat seorang perempuan
muncul dari dalam gelap, tiba-tiba, tak kuketahui dari sisi kiri atau dari sisi
kanan kijing. Ia berdiri di sebelah Jen, suamimu. Ia membungkuk memandanginya,
seperti ada yang hendak dikatakannya.
Apakah perempuan itu sebuah mimpi? Aku kira tidak, Surti.
Tapi aku tak tahu pasti. Ia semampai dengan rambut yang dijalin panjang.
Kulitnya hitam manis. Ia mengenakan kain jlamprang dengan warna yang tampak
tua.
BUNYI KECREK
SURTI: Siapa dia?
CAWIR: Aku tak pernah melihatnya.
SURTI: Ia mengatakan sesuatu?
CAWIR: Aku tak tahu. Tapi suamimu membukakan matanya,
memandang dengan tajam, agaknya ke arah wajah perempuan itu, dan berkata dengan
suara berat: “Seluruh wilayah ini berbahaya.”
Dan pada saat itulah seakan-akan tubuh perempuan itu
terangkat dari tanah. Kudengar ia bersuara, jelas tapi halus: “Aku tak bisa
takut lagi”.
BUNYI KECREK
SURTI: Itukah jawabannya?
CAWIR: Mungkin. Atau itu hanya pernyataan yang tak menjawab
apa-apa.
Aneh juga rasanya – tapi seluruh malam itu memang tak lazim.
Kata Cawir lagi, suami saya bangkit dari posisi berbaring dan duduk setengah
bersandar ke kijing. Perempuan itu pun bersimpuh di depannya. Ia membuka tas
pandan yang tadi disandangnya, dan dari situ ia keluarkan sepucuk pistol Colt,
lalu sebuah arloji saku. “Ini yang ditinggalkannya untukmu”, katanya sambil
memberikan kedua benda itu ke tangan Jen.
“Itu pesannya kemarin malam, sebelum berangkat ikut
serangan. Ia seperti tahu ia akan mati tertembak,” katanya lagi.
Pelan-pelan perempuan itu menambahkan: “Tatam gugur sehari
setelah ia berumur 23”, katanya lagi.
“Tak ada yang bisa menyelamatkan mayatnya?”, tanya Jen.
“Tak seorang pun tahu di mana mayatnya”, perempuan itu
menjawab. “Penduduk di dekat pantai kemudian hanya menjumpai jenazah Widi dan
Jumhana terapung-apung di muara, dengan beberapa lobang luka di kepala dan di
leher. Tentara Belanda membuang mereka ke sungai.”
Jen terdiam.
“Kamu mau tahu apa yang dikatakan Tatam dalam perjalanan ke
arah bivak Belanda itu?”
Jen hanya diam.
“Dia bilang kamulah orang yang paling dia benci.”
Jen terdiam.
“Kamu tua bangka yang merebut perempuan yang dicintainya,
perempuan yang diharapkannya – sementara kamu sudah beranak-istri. Kamu serakah
dan tidak adil.”
Jen terdiam.
“Tatam gugur dengan sakit hati.”
Perempuan itu menutupi wajahnya dengan telapak tangan.
“Aku tak bisa memaafkan diriku”, ia setengah tersedu. “Aku
yang bersalah – aku meninggalkan anak muda yang mau mengorbankan semuanya, aku
memilih kamu, seorang tua yang seharusnya mati, seorang yang seharusnya tak
dilindungi siapapun lagi, seorang yang semestinya mencegah hidup Tatam dan anak
muda jadi cerita keberanian. Aku tak bisa memaafkan diriku: aku selalu
memaafkan kamu. Aku selalu melihat ada alasan dalam lakumu, selalu ada tujuan. Mungkin
itu yang membuat kamu tidak bahagia: selalu ada alasan, selalu ada tujuan.
Entah kenapa aku terpikat oleh ketidak-bahagiaanmu itu.
Ketika kamu mendekatkan tubuhku ke tubuhku buat pertama kalinya, aku ingat kamu
berkata: “Aku seorang pesimis yang tak bebas, yang harus membuat kita menang” –
dan aku luluh. Aku terhanyut. Kamu komandan gerilya yang ganjil, dan aku merasa
tak punya siapa-siapa lagi. Kesepian itu mungkin juga berahi.”
BUNYI KECREK
SURTI: Siapa perempuan itu?
CAWIR: Aku tak tahu, Surti.
SURTI: Perempuan itu menangis?
CAWIR: Tak jelas, Surti.
Ia meletakkan kepalanya ke lutut Jen dan Jen mengelus-elus
rambut itu. Untuk beberapa lama suamimu tetap saja tak berkata apapun. Kemudian
aku dengar suaranya: “Tatam memberikan pistol dan arloji ini kepadaku, buat
apa? Untuk mengingatkan bahwa aku juga harus mati? Aku tak akan menyimpannya
seterusnya. Wilayah ini berbahaya. Aku tak akan bisa pergi.”
Pada saat itu kudengar suara sedu sedan – mungkin suara itu
datang dari perempuan itu, tapi mungkin bukan, sebab aku seperti mendengarnya
dari nisan-nisan lain yang mengisi ruang pemakaman.
Lalu kulihat suamimu mencabut keris yang ada di tangannya.
Ajaib, bulan jadi hilang. Seluruh makam jadi putih sebagian dan biru-hitam
sebagian. Aku tak bisa melihat apa-apa, bahkan juga dahan kamboja di kakiku.
Sebagian ruang seakan-akan selembar kain mori pucat yang belum selesai dihiasi
goresan pensil. Sebagian lain seakan-akan seperti dicelup nila: amat gelap.
BUNYI KECREK
SURTI: Dan kau tak melihat mereka lagi.
CAWIR: Ya. Aku tak melihat mereka lagi.
Biarkan aku tidur, Cawir. Aku ingin tidur.
LAMPU REDUP.
KETIKA LAMPU PELAN-PELAN KEMBALI TERANG, KITA LIHAT SURTI
DUDUK DI SEBUAH BANGKU AGAK JAUH DARI GAWANGAN.
BUNYI KECREK
Apa yang kau katakan, Baira? “Yang menemui mimpi, akan
membentuk mimpi.”
Kau benar.
Kau katakan lagi, mimpi itu seperti pringgondani. Tidur
adalah mori putih yang menampung semuanya tanpa pola: garis-garis ruwet; ukel
naga yang ke sana ke mari. Tapi kita coba juga menceritakannya – dan kata-kata
kita pun membentuk, memotong-motong, menyembunyikan, melupakan
sebagian-sebagian.
Aneh, bahwa kita masih yakin bahwa mimpi itu tak berubah.
LAMPU REDUP
BUNYI KECREK
LAMPU TERANG KEMBALI
Tiga jum’at sebelum ia ditembak mati, suami saya pulang dari
kepergian malamnya. Di tempat tidur saya membaui harum yang tak lazim di
tubuhnya. Tapi saya tak mau bertanya. Saya tahu, saya tak akan dapat jawab yang
membuat hati tenang, dari mana harum itu, perempuan manakah yang baru
ditidurinya, ataukah ia mandi dalam air kembang seperti kadang-kadang
dilakukannya di dekat sungai.
Wajahnya pucat.
“Semalam aku tidur di sebuah makam wali”, katanya tanpa saya
tanya. “Dan mimpi itu datang. Menakutkan.”
“Mengapa menakutkan? Mengapa mimpi itu penting?”
“Kami akan kalah.”
“Siapa ‘kami’?”
“Gerilya”
Tapi ia tak mau bercerita lebih lanjut.
Saya diam, berbaring di sebelahnya. Tak bisa tidur, sampai
dinihari. Ada rasa marah dalam hati. Laki-laki di sebelah saya itu, suami saya,
makin tak ingin saya kenal. Saya merasa, saya tak termasuk dalam kelompok yang
disebutnya sebagai “kami”.
Tapi salahkah dia? Saya mulai berpikir. Hanya ada beberapa
orang yang akan mati dalam perang ini, untuk banyak orang yang akan hidup. Yang
akan mati berdiri di sisi yang berbeda – dan saya tak ada di sana.
Mungkin Jen tak bersalah. Tapi saya sakit hati. Saya bangkit
dari ranjang, berjalan menuju gawangan. Saya harus membatik.
Pada dinihari itu saya mulai lagi nyeceki. Mengisi pola
tiik-titik itu seperti tak habis-habisnya. Melelahkan. Menjelang fajar, saya
begitu mengantuk. Saya tertidur di dipan di luar kamar.
Tapi saya merasa berjalan jauh ke sebuah pesisir. Ada sebuah
teluk. Laut bergelombang, hujan agak deras. Saya kedinginan. Tiba-tiba, dari
balik teluk, muncul sebuah jung panjang. Ada sekitar 20 orang mendayungnya. Di
bawah tiang utama, di ancik-ancik yang agak tinggi, saya lihat seorang tua,
berjubah ungu gelap, melambai-lambai ke arah saya.
Saya lari ke dekat ombak dan bereru, “Halo, halo, halo”,
atau dengan kata-kata semacam itu. Jung itu bergerak mendekat ke pantai, tapi
pelan sekali dan orang tua itu berseru, “Bersimpuhlah!”.
Saya bersimpuh. Orang tua itu berkata lagi, “Akan kuberi kau
tiga butir nangka yang manis, dan kau harus makan”.
Tiba-tiba dari telapak tangannya tiga burung mandar terbang.
Di paruh mereka ada biji nangka yang kuning mengkilap, menyilaukan. Saya
berdiri, bersiap menerimanya. Tapi tiba-tiba saya jatuh terduduk. Sesuatu
memukul tubuh saya – ketika saya menengok, saya lihat Baira muncul, dengan sayap
yang besar, di samping saya. Warnanya berapi-api. “Jangan bergerak”, katanya.
Sambil berkata itu, ia meloncat, menyerbu, menabrak
burung-burung mandar yang datang itu.
“Baira!”, saya berteriak. “Apa yang kau lakukan?”
Baira tak menjawab. Di udara itu ia bertempur. Saya lihat
sejenak ketiga burung mandar itu terpelanting – tapi segera sesudah itu, saya
lihat Baira jatuh. Sesuatu melukai sayapnya. Saya menjerit. Saya lari ke
arahnya, tapi seperti tak sampai-sampai.
Hujan makin lebat. Ombak makin besar. Saya lihat jung itu
bergerak menjauh, ke tengah laut, dan orang tua berjubah ungu itu
melambai-lambai. Tapi saya tak tahu apa yang dikatakannya.
Saya peluk Baira. Darah mengalir dari belikatnya. Matanya
redup. “Akulah Jatayu, burung yang menolong Sita”, terdengar ia berkata.
“Mereka mengirimkan tiga peluru untuk membunuhmu. Tapi mereka kugagalkan.”
Saya menangis. Saya peluk sawunggaling yang luka itu, dan
saya terbangun.
SUARA KECREK
Aneh. Jen saya dapatkan berdiri di pintu kamar. Wajahnya
sedih. Dipegangnya telapak tangan saya, dan saya tak akan lupa apa yang
dikatakannya saat itu: “Kamu berikan tiga biji nangka yang amat manis kepadaku.
Aku tak menyukainya. Tapi aku tahu kau mau aku memakannya. Aku harus pergi.”
LAMPU REDUP.
SUARA TRUK DAYANG DAN BERHENTI.
LAMPU TERANG KEMBALI.
Pada tanggal ke-14 bulan Puasa, suami saya ditembak mati.
Seminggu sebelum itu, tiga kali saya seperti melihat seorang
lelaki berdiri di luar halaman rumah, memandangi kamar ini. Ia bertopeng:
kepalanya tertutup sebuah kantung bantal dengan sepasang lobang pas pada
matanya. Saya takut.
Ketika saya ceritakan ini kepada suami saya, ia hanya
mengatakan: “Kota ini ketakutan. Semua orang merasa diawasi mata-mata musuh.
Akan selalu ada orang yang berdiri mengamati kamarmu, orang yang mengenakan
topeng, supaya tak dikenali dan supaya kau tahu ada orang yang tak mau
dikenali, dan mereka berkeliaran di sekitarmu. Topeng itu teror, Surti, dan
teror itu topeng.”
Tapi saya tak melihat khayal.
Saya benar-benar melihat laki-laki itu memandangi kamar ini:
tubuhnya kurus, tinggi, topengnya putih, hampir tak bergerak. Saya berani
bersumpah: ia muncul lagi sebentar, hanya semenit, di depan pintu pada hari
suami saya ditangkap. Persisnya, pada tanggal ke-14 bulan Puasa.
Di dalam gelap pagi itu, ketika saya membuka pintu depan
untuk mulai menyapu pekarangan, saya lihat dua orang tentara Belanda berdiri
dengan senjata disiapkan di pagar halaman rumah kami.
Malam sebelumnya sudah saya rasakan ada yang tak biasa sedang
terjadi. Dari kamar tidur, saya dengar bunyi sepatu-sepatu karet membuat
langkah di jalan kecil tak jauh dari rumah kami.
Suami saya pasti mendengarnya. Lewat tengah malam itu adalah
senggama kami terakhir. Saya peluk tubuhnya – ia berkeringat. Tapi ia seperti
tak mau berhenti sampai saya menjerit dengan nikmat yang mengagetkan – dan ia
berbisik: “Musuh ada di dekat rumah ini.”
Pagi itu di depan pintu setelah pagar halaman, saya lihat
orang bertopeng berdiri, lalu menghilang.
Pada pukul 7, tentara Belanda itu masuk. Mereka mendobrak
pintu kamar, menyepak pintu ke arah dapur, menggebrak pintu ruang tempat suami
saya menyendiri — sebuah kamar dengan gambar Bung Karno dan buku-buku. Tapi
mereka tak dapat menemukan suami saya. Saya juga tak tahu bagaimana ia bisa
melarikan diri. Setengah jam mereka mencari, menggeledah, membuka semua lemari,
dan sia-sia, sampai akhirnya orang bertopeng itu muncul lagi – kali ini di
tengah rumah – dan ia menunjuk ke sudut kebun.
Di bawah pohon asam kranji yang tua itu, mereka melihat Mas
Jen duduk di bangku, seakan-akan tak sedang terjadi sesuatu yang luar biasa di
sekitarnya. Lima prajurit menariknya berdiri, tiga prajurit mengikat tangannya.
Saya menangis. Tapi saya lihat dia memandang saya dengan mata menyesali kenapa saya
menangis.
Ia pucat pasi, rahangnya tampak mengeras.
Ia dinaikkan ke dalam truk, dan sejak itu ia tak kembali.
Yang kembali memasuki rumah kami justru beberapa orang Belanda dan seorang
berkulit hitam; mereka menggeledah dan mengambil buku-buku. Mereka menyobek
gambar Bung Karno dengan bayonet.
“Suami nyonya orang komunis”, kata orang berkulit hitam itu.
Paginya seorang datang, seorang yang tak hendak
memperkenalkan diri dan hanya menyebut ia baru tiba dari Indramayu. Ia
berbisik: “Bung Jen, suami Zus Surti, ditembak mati tadi malam. Semuanya
dirahasiakan.”
Lalu orang itu pergi.
Saya tak tahu siapa yang merahasiakan dan kepada siapa
kematian suami saya harus dirahasiakan. Mungkin semua itu tak perlu. Menjelang
senja hari ada tiga orang yang membawa pulang jenazah suami saya dengan sebuah
dokar. Saya tak mengenal mereka; tapi saya merasa, salah satu di antara mereka,
yang bertubuh kurus panjang, adalah laki-laki bertopeng yang muncul ketika
suamiku ditangkap. Kini saya bisa melihat matanya: mata itu bagus, dengan alis
yang agak tebal. Saya menatapnya dengan tajam, tapi ia tak membalas tatapan
saya. Ia menunduk, lalu menunjuk ke tubuh yang berdarah itu: “Ada tiga lobang
di kepalanya; ada tiga butir peluru yang membunuhnya”.
Tiga butir peluru! Tiba-tiba saya teringat akan mimpi itu.
.
BUNYI KECREK.
LAMPU REDUP. DALAM REMANG-REMANG KITA BISA LIHAT SURTI
MEMBERSIHKAN CUCUK CANTING DENGAN SEHELAI IJUK, MENGIPASI BARA PADA ANGLO, AGAR
MALAM DALAM WAJAN ITU JADI CAIR KEMBALI.
BERSAMA BARA YANG MENYALA, LAMPU MULAI TERANG.
Lihat, sayap Baira luka. Bulu-bulunya rusak. Ia berdiri
miring di atas pola, seakan-akan hendak lenyap bersembunyi pada garis-garis
parang yang gagal. Saya takut ia akan hilang dari mori ini.
Menurut nenek saya, burung sawunggaling datang dari sebuah
benua yang terbelah. Dalam belahan itu ada lahar yang tiap pagi mengeras. Lahar
jadi cermin. Burung sawunggaling adalah makhluk cermin. Tiap kali kita
memandangnya, wajah, gerak, dan kata-kata kita dipantulkannya kembali.
Mungkin itu sebabnya saya harus berhati-hati.
Kalian lihat, bukan, Baira cacat? Saya harus memperbaikinya.
A-B-C harus lengkap. Saya akan bersihkan saringan malam, saya akan pakai
canting yang paling siap. Saya harus selesaikan ini.
Harus saya selesaikan.
LAMPU MULAI REDUP.
DARI BALIK KATIL MUNCUL SESOSOK TUBUH LAKI-LAKI, PUTIH
DIURAPI, TELANJANG ATAU SETENGAH TELANJANG. IA BERJALAN
MEMBELAKANGI PENONTON, KE BALIK PANGGUNG.
TERDENGAR SUARA KICAU BURUNG.
LAMPU PADAM.
__
Jakarta, 4 Agustus 2008.
0 Response to "Surti dan Tiga Unggas"
Post a Comment