MATINYA TOEKANG KRITIK
– Sebuah Teater
Monolog –
Karya Agus Noor
Terdengar detak nafas waktu…
Sebelum pertunjukan – sebelum
dunia diciptakan – denyut waktu itu mengambang memenuhi ruang – semesta yang
hampa. Seperti denyut jantung. Terdengar detak-detik waktu bergerak. Seperti
merembes dari balik dinding. Seperti muncul dan mengalir menyebar di antara
kursi-kursi yang (masih) kosong…
Ketika para penonton mulai masuk
ruang pertunjukan, mereka mendengar waktu yang terus berdedak berdenyut itu.
Mereka mendengar suara detik jam yang terus berputar. Suara ddetak-detik waktu
yang bagai mengepungnya dari mana-mana.[1] Sementara pada satu bagian panggung,
mereka menyaksikan kursi goyang yang terus bergerak pelan seakan mengingatkan
pada ayunan bandul jam. Bergoyang-goyang. Kursi itu temaram dalam cahaya.
Terlihat selimut menutupi kursi itu, seperti ada orang yang tertidur abadi di
atas kursi itu. Waktu berdenyut. Kursi terus bergoyangan.
Sesekali menggema dentang
lonceng, terdengar berat dan tua.[2]
Kemudian bermunculan orang-orang
berjubah gelap,[3] lamban berkelindan, seperti bayangan yang muncul dari
rerimbun kabut waktu. Mereka bergerak menuju kursi goyang yang berayun-ayun
pelan itu, berputaran mengepungnya, seperti para immortal yang tengah melakukan
ritus purba.[4] Dan cahaya bagai gugusan kabut yang berputaran. Sampai kemudian
sosok-sosok berjubah menjauhi kursi goyang itu.[5]
Kini, di bawah cahaya yang
kepucatan, di kursi itu terlihat Raden Mas Suhikayatno, tokoh dalam monolog
ini. Dia terlihat terlelap, bagai tertidur di rahim waktu yang abadi. Tapi ia
juga terlihat gelisah, seperti dikepung mimpi. Makin lama ia terlihat semakin
resah. Dan ia tiba-tiba tersentak meledak, tepat ketika terdengar jerit waktu:
dering jam weker terdengar dari semua sudut. Jutaan jam weker berdering
serentak di seluruh dunia. Disertai dentang berualang-ulang. Gema lonceng
gereja. Bermacam-macam suara. Tumpuk-menumpuk. Mengembang dan menyusut.
Kelebatan gambar-gambar.[6] Semua seperti muncul dan menggulung-gulung dalam
ingatan Raden Mas Suhikayatno: Suara pesawat supersonik. Badai menggemuruh
beergulung-gulung. Teriakan-teriakan. Suara perang. Suara-suara kemerosak
gelombang radio. Di antara suara-suara itu terdengar suara Bung Karno
membacakan Proklamasi[7] … lalu menghilang. Muncul suara lain, suara iklan yang
lebih modern, lalu kemerosak gelombang radio lagi. Suara-suara dan
gambar-gambar yang terus mengalir. Suara Bung Karno pidato berapi-api. Lenyap
lagi. Dentang lonceng. Jam berdering. Suara Presiden Soeharto berpidato di
depan MPR.[8] Gambar-gambar masa silam.[9] Gambar bertumpuk-tumpuk terus
menerus. Kemudian perlahan menghilang…
Dan kesenyapan perlahan menjalar.
Hanya terdengar waktu yang terus berdeyut.
Di kursi goyang itu. Raden Mas
Suhikayatno terlihat begitu kelisah. Meracau kacau. Sampai kemudian dia
terjaga, terengah-engah gelisah, kebingungan.
RADEN MAS SUHIKAYATNO:[10]
(Mengigau risau) Ini jam
berapa?.. Tahun berapa?…
Sunyi, hanya terdengar desah
nafas waktu yang pelan…
DENMAS:
(Pelan-pelan terbangun, berteriak
memanggil) Bambaaang.[11] Bammbanggg!!! (Jeda) Di mana anak itu… (Kembali
berteriak, jengkel) Bambaaaannggg!!… Ya, ampun, Mbang… Baru jadi pembantu saja
sudah susah kalau dibutuhkan. Gimana nanti kalau jadi presiden! (Kembali
berteriak memanggil) Mbaaanggg….. Bambanggg!!!
Terus saja sunyi, hanya terdengar
desah nafas waktu. Raden Mas Suhikayatno kemudian bersandar di kursi goyang.
Terlihat begitu kesepian. Seperti mengeluh. Seperti mendesah…
DENMAS:
Ini kutukan… Ataukah kemuliaan….
Terdengar jam tua bertendang,
kemudian ada ketukan-ketukan, seperti suara tik-tak jam berdetak.
DENMAS:
(Seakan hanyut oleh gema suara
yang didengarnya, kemudian bertanya entah pada siapa) Kalian dengar suara itu?…
Tua dan purba. Kalian bisa merasakan? Begitu lembut… bersijengkat lembut
mendatangimu.
Suara tik-ak itu pelan konstan,
seirama bicara Raden Mas Suhikayatno.
DENMAS:
Suara waktu! Berabab-abad aku
mendengarnya… Terdengar di keretap hujan…, diantara kereta yang menderu…
Dengung di sayap lebah… Desah di setiap pencintaa… (Menjadi melankolis dan
merasa bahagia, seperti menghayati butiran-butiran waktu yang merembes ke dalam
tubuhnya) Ya, itu suara waktu…
Tiba-tiba suara tik-tak itu
berubah cepat – berdetak-detak dipukul-pukul jadi suara ketukan orang jualan
siomay. Dan terdengar teriakan pedagang itu, “Maaayy…. Siomay…”
DENMAS:
(Jengkel, berteriak ke arah
‘pedagang siomay’ itu) Brengsek! (lalu ngomel sendiri) Saya kira suara waktu!…
(Tergeragap, seperti tersadar, ingat sesuatu) Waduh… Jangan-jangan saya memang
sudah ditinggalkan waktu. Terlambat! Ini ‘kan tanggal tujuh belas!
Raden Mas Suhikayatno cemas,
gelisah…
DENMAS:
(Berteriak memannggil
mencari-cari pembantunya) Bambaaangg… cepet ambilkan jas saya! Mereka pasti
sudah menunggu saya….
Terdengar celetukan dari para
pemusik; “Hai, Mas… Gelisah begitu kenapa?…”
DENMAS:
Saya mau ikut upacara tujuh
belasan di Istana Negara…
Terdengar jawaban dan celotehan
dari para pemusik: “Tujuh belasan apa!… Merdeka saja belum, kok!… Mas, ini
masih jaman pra sejarah. Homo sapien saja belum ada… Adanya homoseks… dst”
Raden Mas Suhikayatno jadi
bingung, tak percaya. Linglung kembali duduk di kursi goyang…
DENMAS:
Apa saya menderita amnesia, ya?
(Menunjuk kepalanya) Waktu seperti ingatan yang bertumpuk-tumpuk. Saya mengira
Minggu… ternyata Rabu. Sering saya mendapati diri saya berada di waktu yang
salah.
Bersamaan dengan itu terlihat
lagi tumpukan gambar-gambar berbagai peristiwa, menyorot ke arah Raden Mas
Suhikayatno, seperti ingatan-ingatan yang berpusaran dalam kepalanya…
DENMAS:
Ini tahun berapa sebenarnya… Ini
tahun berapa…
Sampai terlihat gambar
orang-orang bersorban putih, berbaris berteriak.[12] Tapi bersa-maan itu
terdengar suara derap dan ringkik kuda…
Tiba-tiba terdengar suara,[13]
bernada menggema: “Ta-hun… 1.9.9.8…”
DENMAS:
(Bingung, tak percaya) 1998??
Yang bener!
Suara itu terdengar lagi,
menegaskan: “Ta-hun… 1.9.9.8…”
DENMAS:
Bukannya ini tahun 1828?
Suara itu kembali menegaskan
dengan nada sama: “Ta-hun… 1.9.9.8…”
DENMAS:
Lha itu siapa…, orang-orang yang
pakai seragam putih-putih itu…
Suara itu menjawab: “Mereka
pasukan jihad.”
DENMAS:
Pasukan Jihad? (Sadar berada di
waktu yang salah, waktu yang tak sebagaimana dikiranya) Saya kira pasukan
Pangeran Diponegoro… (Bertanya meyakinkan) Bener, ini bukan tahun 1828?!
Suara itu memotong tegas
menggema: “In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8… In-i Ta-hun… 1.9.9.8…”
DENMAS:
(Jengkel) Iya! Iya! Tapi
ngomongmu nggak usah bergaya begitu dong! Malah kayak film hantu. Persis
Uka-uka![14]
Tiba-tiba suara itu menjawab
dengan biasa, memaki: “Oo asu!”
DENMAS:
Eeeh, malah memaki! Saya kutuk
jadi Presiden Indonesia, mampus kamu! (Seperti tiba-tiba sadar, dan mencoba
menjelaskan, ke arah penonton) Lho iya kan? Jadi Presiden Indonesia itu seperti
dapat kutukan kok! Apa sih enaknya jadi Presiden Indonesia, coba? Di Indonesia,
profesi presiden itu profesi yang sama sekali tidak menarik. Dari dulu kerjanya
gitu-gituuuu melulu: selalu nyusahin rakyat. Kalau kalian termasuk golongan
orang kreatif, tolong deh, nggak usah punya cita-cita jadi Presiden Indonesia.
Malah nanti tidak kreatif.
Tugas, kewajiban dan tanggung
jawab Presiden Indonesia itu monoton kok. Dari tahun ke tahun, sia pun yang
jadi presiden, ya tugasnya tetap sama: meningkatkan angka… pengangguran;
menambah jumlah devi… apa? Devisit uang Negara…; mencari pijaman luar negeri,
menaikan harga BBM… Sama sekali nggak kreatif kan. Mbosenin.
Saya ngomong gitu, bukan karena
saya dengki nggak jadi presiden, lho. (Seperti orang yang jijik pada sesuatu)
Hiiihhh…., saya nggak mau jadi presiden.
Jangankan Presiden Indonesia…
ditawarin jadi raja Hastina saja saya tidak mau kok. Emoh! Padahal Romo Semar
sendiri lho yang nawarin. Katanya, saya ini lebih pantas jadi raja Hastina,
ketimbang Yusdhistira, si Pandawa paling tua itu.
Saya ingat betuk kok waktu itu…
Itu jaman ketika belum ada kerajaan-kerajaan di Jawa. Tapi saya sudah ada.
Sudah tua dan imut seperti ini.
Waktu itu terjadi krisis di
Hastina, karena Pandawa kalah main dadu. Romo Semar langsung tergopoh-gopoh
menemui saya. (Bergaya wayang orang) “Kakang Raden Mas Suhikayatno, kamu harus
menyelamatkan Hastina. Kamu harus jadi raja Hastina!” (Pause) Dengan halus saya
menjawab, (kembali bergaya wayang orang) “Maaf, Dimas Semar…, maaf. Bukannya
menolak, Dimas Semar. Tapi Maaf, Dimas Semar…, maaf. Saya sama sekali tidak punya
cita-cita jadi raja di dunia wayang. Maaf lho, Dimas Semar…, maaf. Sekali lagi,
maaf Dimas Semar… maaf…” [15]
Itulah track record saya… Saya
memilih konstinten sebagai Tukang Kritik yang martabat. Itu yang saya pegang
teguh sejak dulu. Sejak zaman Musa, zaman Babilonia… Sejak zaman saya masih
jadi pacar gelapnya Cleopatra. Saya menolak diagung-agungkan seperti Julius
Caecar. Saya menolak jadi tangan kanan Napoleon…, karena dia kidal.
Saya ini terlalu low profile
untuk dijadikan pemimpin…
Itulah sebabnya, dulu saya sempet
berantem sama Gajah Mada – karena saya menolak membantunya. Padahal kami temen
sepermainan sejak kecil. Temen gaul gitu loh![16] . Suka main gundu dan mencuri
buah maja sama-sama.
(Kepada para pemusik) Sssttt…,
saya mau cerita…. Tapi ini rahasia lho ya… Jangan disebar-sebarin. Nanti
penonton tahu… (Bergaya membisik, seolah berahasia, tapi bersuara keras hingga
suara itu tetap saja sampai didengar penonton) Dulu…, semasa remaja, si Gajah
Mada itu hobinya ngintip lho!… Nggak nyangka ‘kan, orang yang doyan ngintip
begitu, bisa menyatukan Nusantara
Para pemusik menaggapi, tak
mempercayai.
DENMAS:
Dibilangin nggak percaya!! Saya
ini sering diajak dia ngintip perempuan yang lagi mandi (Sok gaya) Saya,
sebagai orang yang menghargai perempuan, ya jelas tidak mau… Tidak mau
ketinggalan ikut ngintip.
Nah, suatu senja…. (Mulai bergaya
mempraktekkan apa yang dikisahkannya) si Gajah Mada mau ngintip nih… Ia
mengendap-endap, sembunyi di balik belukar dan pepohonan. Persis Jaka Tarub
ngintip bidadari mandi. Saya ngikut dibelakangnya, gemeteran… Takut ketahuan.
Saya bilang, “Mad, Mad… Mada… kita pulang saja yuk…” Tapi dia tak mau. Dia
malah naik ke pohon. Welah, sial! Di pohon itu ada sarang lebah, dan si Gajah
Mada menyenggolnya. Langsung tawon-tawon itu menyerbu wajahnya…. Wuuut…wuuut…
Itulah sebabnya, seperti pada gambar di buku sejarah yang sering kalian lihat:
Gajah Mada bengkak wajahnya…[17]
Raden Mas Suhikayatno berjalan ke
arah meja yang di tempatkan sedemikian rupa menurut kebutuhan tata setting dan
artistik. Meja itu bergaya kuno, dengan sepasang kursi yang juga tua.
Mengingatkan pada perabot seorang priyayi Jawa. Ada cangkir dan gelas di atas
meja itu. Juga majalah dan koran yang tak rapi. Raden Mas Suhikayatno yang
kecapaian karena terus-terusan bercerita, segera duduk di kursi. Menikmati
minuman. Tapi kaget tersedak…
DENMAS:
(Menyemburkan minuman dari
mulutnya, ngomel dan mengeluh) Astaga… Bambang! Ini kan teh dua hari lalu.
(Berdahak seperti mencoba mengeluarkan sesuatu dari kerongkongannya) Saya
sampai tersedak cicak! Bambanggg!!! Bambanggg….. (Jeda) Bener-bener punya bakat
jadi presiden dia: kagak dengar meski sudah diteriakin… Alias budeg! Kata
orang, budeg itu memang penyakit permanen presiden.
(Mengomel sambil mengambili
majalah dan koran) Meja sampai berantakan begini… (Mencari-cari sesuatu di
tumpukan koran dan majalah itu, sambil terus ngomel dan memanggil) Mbang, apa
ada surat buat saya?… Saya ‘kan sudah bilang, semua mesti rapi. Biar saya tidak
bingung begini. Dibilangin dari dulu, eh tetap nggak didengerin. Apa sih
susahnya ndengerin. Dibilangin baik-baik, eh malah ngata-ngatain, “Dasar Tukang
Kritik sirik!”
Saya ngritik bukan karna sirik.
Saya ngritik karena saya ingin semuanya baik. Hingga hidup bertambah baik. ‘Kan
enak kalau semua kelihatan baik. Saya nggak seneng kalau kamu jorok. Baju
kotor. Jangan kayak seniman: celana dalem, lima minggu sekali baru ganti.
Dikritik memang sakit… Itu tak
seberapa. Sebab orang yang suka mengritik itu justru lebih merasa sakit, bila
kritiknya nggak didengerin. (Jeda) Untung saya cukup sabar sebagai Tukang
Kritik. Saya nggak pernah marah, meski disepelekan. Buat apa marah? Nggak ada
gunanya…… (Lalu berteriak memanggil pembantunya lagi, pelan) Mbang… Bambangg….
Orang itu mesti yang sabar…. Bambaaangg… (Lama-lama teriakannya makin tinggi
dan bernada marah) Diancuk! Mbang, mana surat itu!… Bambaaang!! (ke arah
penonton, masih mengeram marah) Kalian lihat sendiri kan, dia selalu
menyepelekan saya… tapi saya tetep sabar… (kembali berteriak marah) Kamu taruh
mana surat itu?!
(Sampai kemudian merasa
disepelekan, dan mulai mengeluh kepada siapa pun yang mendengarnya, mengeluh ke
arah penonton) Sakiiittt ati saya. Sakit, sakit, sakitttttt kik kik kit….
Kadang saya pikir, buat apa saya teriak-teriak marah begitu. Buat apa saya
terus-terusan mengritik… Kadang saya merasa lelah juga kok jadi Tukang Kritik.
Saya pingin berhenti mengritik. Tapi kalau berhenti mengritik, saya sendiri
yang malah sakit. Baru semenit tidak mengritik, mulut saya langsung
pegel-pegel. Sehari tidak mengritik, langsung bisulan pantat saya.
Yaah, barangkali memang beginilah
resiko jadi orang yang sudah terlanjur dicap sebagai Tukang Kritik. Saya cuma
dianggap kutu pengganggu. Tapi saya menerima dengan lapang dada semua perlakuan
itu. Saya sabar, sabaarrr… saya sabar… (tapi kata ‘sabar’ itu diucapkan dengan
intonasi mengeram tajam) Meski kalian terus menyepelekan orang macam aku[18]…
Orang yang kalian cibir sebagai Tukang Kritik!! Kalian hendak mengapusku dari
ingatan zaman. Kalian menatapku dengan mata penuh penghinaan…
Raden Mas Suhikayatno tersengal
kelelahan, kepayahan di puncak kemarahannya. Kemudian ia berjalan ke meja lagi.
Marah. Mengeram. Kalap mencari-cari sesuatu di tumpukan koran dan majalah yang
langsung diacak-acaknya hingga berhamburan kemana-mana.
DENMAS:
Kalian memang mau melupakanku!
Kalian mau melupakanku! Melupakanku!
Kemudian teriakan dan kemarahan
itu perlahan melemah. Raden Mas Suhikayatno terisak, terhuyung-huyung menuju
kursi goyangnya. Ia duduk di kursi goyang itu dengan tubuh gemetar. Meraih
selimut dan segera menutupi tubuhnya yang gemetaran…
DENMAS:
(Terdengar seperti menghiba,
seperti suara orang yang bersikeras mempertahankan harga dirinya)) Apa salah
saya? Saya selalu tulus mengritik kalian… Tapi kenapa kalian memperlakukan saya
begini?
Tak ada yang lebih menyakitkan,
selain dilupakan…
(Mengagah-gagahkan diri, sikap
seorang terhormat di hadapan kematian) Penjarakan saya! Ayo! Bunuh saya!…. Itu
jauh lebih terhormat bagi Tukang Kritik macam saya…
(Lalu kembali gemetaran) Alangkah
mengerikan dilupakan….
Kemudian Raden Mas Suhikayatno
memegangi dadanya. Ia dihantam nyeri yang sangat. Kemudian berteriak serak
dengan sisa-sia tenaganya. Teriakan itu terdengar tertahan di kerongkoannya,
DENMAS:
Bambaaaannggg…. Obat saya… Obat
saya… Tolong… Air… Bam-banggg… Bammmmbaaannggg….
Suara Raden Mas Suhikayatno makin
lama makin pelan, makin terdengar sebagai rerancauan. Cahaya di kursi goyang
itu menggelap, ketika Raden Mas Suhikayatno sudah menutupi seluruh tubuhnya.
Kursi itu hilang dalam gelap. Hanya terdengar suara Raden Mas Suhikayatno yang
terus memanggili pembantunya: “Bambaaang…. Bambaaang…
Baaammmbaanngg…. dst…” [19]
Sementara itu, dari sebelah kiri
kanan kursi, muncul sosok hologram yang sama persis dengan Raden Mas
Suhikayatno. Tubuh dan wajahnya. Pakaiannya. Persis. Kedua sosok hologram itu
memandang ke arah kursi goyang yang kini terlihat pucat di bawah cahaya yang
menyorotnya, bergoyang-goyang, tertutup selimut – dimana seolah-olah ada Raden
Mas Suhikayatno yang gemetaran di balik selimut itu. Untuk menegaskan itu,
kursi goyang mestilah terus berayun-ayun pelan,[20] dan terus terdengar
rintihan suara Raden Mas Suhikayatno yang sesekali meracau demam, sesekali
memanggili pembantunya. Kedua hologram itu mulai bicara. Sebut saja mereka
dengan nama Hologram 1 dan Hologram 2.[21]
HOLOGRAM 1:
Dia kelelahan…
HOLOGRAM 2:
Dia berusaha bertahan…
HOLOGRAM 1:
Nasibnya akan sama, seperti para
Tukang Kritik lainnya… Pingsan di kursi kekuasaan!
HOLOGRAM 2:
Dia sedang menghimpun kekuatan…
Sementara suara erang Raden Mas
Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua
hologram itu..
HOLOGRAM 1:
Dia sedang belajar menerima
kekalahan…
HOLOGRAM 2 :
(Kepada hologram satunya) Kau
sinis karena tak percaya takdir!
HOLOGRAM 1:
Aku tak menyerah pada takdir,
karena tak ingin jadi kentir! Atau jadi kaum munafik sepertimu…
Sementara suara erang Raden Mas
Suhikayatno terkadang masih mengambang terdengar di sela percakapan dua
hologram itu..
HOLOGRAM 2:
Tapi aku tak menyerah… Seperti
dia yang juga tak menyerah. Seperti semua Tukang Kritik yang hidup sepanjang
sejarah…
HOLOGRAM 1:
Taik! Tukang kritik tak lebih
cuma kaum munafik! Munafik! (menuding dan menghardir, terus-menerus) Munafik!
Munafik….
Teriakan ‘munafik’ itu terus
terdengar berulang-ulang, makin meninggi, dan dua sosok hologram itu lenyap.
Sementara kursi goyang berayun cepat, gelisah. Raden Mas Suhikayatno yang
disergap suara-suara itu kian meracau. Memanggil-manggil nama pembantunya.
Suara Raden Mas Suhikayatno, makin lama makin meninggi : “Tidak… Tolong….
Bambang…. Bambang…..” [22]
Sampai kemudian
‘teriakan-teriakan itu’ menghilang. Tetapi kursi goyang itu terus
bergoyang-goyang gelisah…
Muncul Bambang,[23] membawa sapu
lidi, tergopoh-gopoh mendekati kursi goyang.
BAMBANG:
Iya, Tuan…. Ada apa, Tuan….
Maaf…… Ya, Tuan…
Bambang bingung dan gugup
memandangi kursi goyang itu, melihat majikannya yang meracau memanggil-manggil
namanya: “Bambang… Baammbbaaangg…” Sampai kemudian suara itu berhenti. Raden
Mas Suhikayatno tertidur lelap. Diam. Tak ada suara…
BAMBANG:
(Sambil membetulkan selimut,
seakan-akan menyelimuti majikannya agar lebih tenang tidurnya) Kasihan Tuan…
Terdengar suara, seakan ada benda
jatuh atau sesuatu yang mengejutkan.
BAMBANG:
Sssssttttt… Tolong, jangan
berisik. Biar Tuan bisa istirahat… Kasihan dia. Akhir-akhir ini kelihatan
gelisah. Bingung. (Jeda) Yaa, sebenarnya dari dulu sih Tuan saya itu orangnya
membingunkan. Saking membi-ngungkannya, sampai-sampai saya juga ikut bingung.
Tuan saya orangnya eksentrik.
Kerjanya nyalahin orang. Ada ajah yang diomelin. Inilah, itulah. Saya dikatain
ginilah, gitulah. Tiap hari kerjanya ngritiiiiikkkk melulu. Apa saja
dikritiknya… Kalau Anda pakai kaos kuning, dan dia ngelihat, pasti langsung
ngritik: “Ih kuning kayak tai…” Nanti kalau Anda ganti pakai kaos merah, tetep
saja dikritik: “Ih, apa hebatnya kaos merah!”… (Begitu seterusnya). [24]
Bambang kemudian melihat majalah
dan koran yang berhamburan berantakan, dan segera memberesi.
BAMBANG:
(Sambil memeberi koran majalah
itu) Nanti kalau bangun, pasti ngomel-ngomel… (seolah menirukan majikannya)
“Ngapain kamu berantakin! Dasar nggak becus jadi pembantu!” (pause) Saya memang
nggak becus atuh jadi pembantu. Nama saya ajah Bambang. Mana teh ada pembantu
namanya Bambang. Saya mah pantesdnya jadi presiden, uiy… Meski jerawatan gini!
Yang nyebelin, nanti kalau udah
saya beresin, tetep ajah saya diomelin… (kembali menirukan majikannya) “Siapa
yang suruh ngrapiin! Lihat, halamannya jadi sobek gini!” (pause) Begini salah,
begitu salah. Begitulah Tuan saya. Di dunia ini nggak ada yang bener dimatanya.
Bambang mau menaruh koran dan
majalah itu di satu tempat, tetapi mendadak terdengar suara Raden Mas
Suhikayatno, setengah mengigau: “Jangan di situ…”
BAMBANG:
(Kaget mendengar suara itu) Gila
kan…lagi tidur ajah masih tetep suka ngritik!
Lalu membawa kembali koran-koran
itu dan menaruh di ajah meja, agak dilempar begitu saja. Dan Langsung terdengar
suara Raden Mas Suhikayatno, meracau: “Yang bener… yang rapi…”
BAMBANG:
(Gemes, jengkel) Hhhhhmmm. Gemes
aku! Sebel aku! Binguuuuuuuu-unngggg!!!
Kalian bisa bayangkan, bagaimana
stressnya saya jadi pembantu Raden Mas Suhikayatno Purwokerto ini… Sejak kecil
saya jadi pembantu di sini. Bapak saya juga jadi pembantu di sini. Kakek saya.
Juga simbah buyut saya. Begitu juga simbahnya simbah, simbanhnya simbahnya
simbah saya… semua jadi pembantu di sini. Turun temurun dikutuk jadi pembantu!
Tapi Simbah saya pernah bilang,
“Jadi pembantu seperti ini bukan kutukan, Le.[25] Tapi keberuntungan. Kita ini
orang-orang pilihan, Le. ”
Jadi, trah saya itu trah
pembantu. Asli. Orisinil. Darah saya itu darah murni seorang pembantu. Kalau di
dunia sihir, saya ini disebut penyihir murni. Bukan penyihir keturunan mugle,
seperti Harry Potter.[26] Jadi darah pembantu yang mengalir di tubuh saya ini
termasuk jenis darah yang ningrat. Jenis pembantu priyayi. Ini kasta tertinggi
di tingkatan pembantu. Kalau kasta paling rendah ya kasta pembantu jenis TKI
itu… Disiksaaaa melulu…
Kadang saya ini merasa nggak jauh
beda kok sama para priyayi raja-raja itu. Paling beda dikit lah. Mereka
turun-temurun jadi raja, saya turun-temurun jadi pembantu. Kalau raja-raja itu
punya gelar, sebenernya saya juga berhak menandang gelar… Mereka bergelar Amangkurat
I. Karena pembantu, saya cukup bergelar Amongtamu I. Nanti, keturunan saya akan
bernama Amongtamu II…, Amongtamu III, dan seterusnya. Atau bisa juga menyebut
diri mereka sebagai Hamengkukusan atau Hamengkudapan. Pokoknya yang berbau-bau
dapur lah. Karena sebagai trah pembantu, kami memang mesti mawayu hayuning
dapur.
Mengambil sapu lidi yang tadi
dibawanya, kemudian mulai menyapu…
BAMBANG:
Tapi ya ada senengnya juga kok
jadi pembantunya Raden Mas Suhikayatno ini…. Beliau itu orang hebat. Dia itu….
Mendadak terdengar suara Raden
Mas Suhikayatno, mengigau, seperti memanggil: “Mmbaaaang…. Bambanggg….”
BAMBANG:
(Tergeragap) Ehh… iya, Tuan….
(kepada penonton) Tuh ‘kan, apa saya bilang. Beliau itu orang hebat. Seperti
wali. Kalau digunjingin langsung kerasa…
Raden Mas Suhikayatno terus
meracau, dan Bambang buru-buru mendekat ke kursi goyang itu.
BAMBANG:
Iya, Tuan…. Saya cuma ngobrol.
Ada tamu… Tidak, tidak ngantar surat… Cuma nonton… Surat? Dari tadi kok
nyari-nyari surat terus?! Maksud Tuan surat apa? Surat gadai? Surat tagihan?
Surat tilang? … Nggak ada surat apa pun, Tuan… WR. Suratman juga nggak ada…
(kemudian sadar kalau maji-kannya ternyata tertidur).
Terdengar bunyi dengkur…
BAMBANG:
(Bernada ngedumel) Wahhh,
lama-lama Tuan ini mirip Gus Dur… diajak ngomong kok malah tidur.
Lalu dengan pelan, takut
membangunkan, Bambang berjalan menjahui kursi goyang itu. Kembali bicara kepada
penonton.
BAMBANG:
Tadi sampai mana?…
(Mengingat-ingat) Eemm. Oh, ya… hebat…
Dia itu terkenal banget sebagai
Tukang Kritik nomor wahid. Banyak versi cerita seputar sosoknya. Kisah
kelahirannya saja ada lebih 1.501 versi. Ada yang mengisahkan ia lahir dari
bonggol pisang. Ada yang bilang ia muncul begitu saja dari kabut waktu. Tapi
ada juga bilang: dia itu anak hasil kawin silang manusia dan genderuwo.
Bambang menenggok ke arah kursi
goyang, agak ketakutan. Takut kedengeran…
BAMBANG:
Kalau dilihat dari tampangnnya,
ada benernya juga sih cerita itu… Serba tanggung. Cakep enggak, buruk iya.
Setengah manusia, setengah makhkuk sengsara… Beda jauh ‘kan sama saya? [27]
Bahkan ada yang percaya: dia
sudah ada sejak permulaan dunia. (Bergaya menduga-duga) Jangan-jangan dia itu
sesungguhnya pacar pertama Hawa, sebelum Hawa akhirnya menikah sama Adam…
Tiba-tiba gugup, dan langsung
mendekat ke arah penonton…
BAMBANG:
Sebentar…. Saya harus klarifikasi
sebentar soal Adam dan Hawa dulu. Biar tak terjadi salah interpretasi. Biar
tidak diprotes. Dianggap melecehkan. Adam di sini bukan Adam manusia pertama
yang jadi nabi itu lho, tapi Adam Malik… Sedangkan Hawa…. (bingung sendiri dan
mikir mencari-cari) hmmm.., kalau Hawa apa ya? Oh ya, Hawa itu maksudnya Hamid
Hawaludin…[28]
Sejak saya di sini, Beliau ya
begitu-gitu terus. Nggak tua-tua. Seperti nggak bisa mati. Dulu Kakek saya
pernah bilang, (Menirukan suara Kakeknya) “Tukang Kritik sejati seperti dia
nggak bakalan mati! Dia itu legenda setiap zaman. Tahu tidak, di zaman Yunani…
dia mengubah namanya jadi Socrates.”
Itu kata Kakek saya. Saya sih
percaya-pecaya saja. Lagi pula, kalau dirunut secara etimologi, ada benernya
juga kok: Socrates… ‘Sok-krates’… asal katanya ‘Sok’ dan ‘protes’. Sok-protes.
Nah, Raden Mas Suhikayatno ini kan juga seneng protes. Jadi antara Socrates dan
Suhikayatno, bisa jadi emang orang yang sama… Yah, minimal namanya sama-sama
berawalan S.
Menurut sahibul hikayat, Raden
Mas Suhikayatno ini memang dikenal memiliki banyak nama. Dia pernah dikenal
sebagai Gallileo. Di Perancis dia dipanggil Voltaire. Tapi begitu di Jawa
dipanggil Empu Gandring. Lalu jadi Gandhi waktu di India.
Kata Kakek saya, (kembali
menirukan suara Kakeknya) “Mereka memang berbeda nama… Tapi lihat, apa yang
mereka lakukan… Mereka semua sesungguhnya orang yang sama.” (Jeda. Ragu) Iya
juga sih… Tapi gimana nalarnya ya: dari Gandring kok jadi Gandhi? Aneh kan
kalau nanti di tulis: Gandhi bin Gandring…
Nama Raden Mas Suhikayatno ini
juga meragukan kok. Ini nama beneran, atau nama jadi-jadian.
Anda kau tahu, yang namanya legenda,
pasti banyak nggak masuk akalnya. Apalagi ini legenda menyangkut seorang tokoh.
Tahu sendirilah, syndrome para tokoh: suka membesar-besarkan peran mereka dalam
sejarah. Saya kira, majikan saya ini pun mengindap syndrom macam itu…
Bambang sejenak memandang ke arah
kursi goyang, takut omongannya kedengaran Raden Mas Suhikayatno. Tapi langsung
tenang ketika melihat tak ada reaksi dari arah kursi goyang.
BAMBANG:
Saya nggak menghinanya lho…
Bagaimana pun saya hormat kok sama Beliau. Memang dia suka banget ngritik. Tapi
pada dasarnya dia baik kok.
Kalau dirasa-rasa, terasa betul
kok kebenaran dalam kritik-kritiknya. Kritikannya tulus. Jujur.
Soalnya orang yang suka mengritik
itu kan banyak macamnya. Ada yang mengritik asal mengritik. Ada yang mengritik,
supaya dianggap berani dan kritis. Ada yang selalu mengkritik, agar dapat
perhatian. Ada yang terus-terusan mengkritik, karena sudah nggak sabar nunggu
giliran duduk di kursi kekuasaan. Di luar pagar teriak-teriak, begitu udah di
dalam malah tambah rusak.
Tuan saya ini nggak silau
kedudukan. Dari dulu ya di situ terus duduknya. Nggak pindah-pindah. Ditawari
jadi Presiden Indonesia yang pertama juga nggak mau…
Untung juga ya dia nggak jadi Presiden
Indonesia. Bisa berabe kalau yang jadi presiden pertama dia. Kalau Sukarno sih
memang pantes. (Mengeja dengan nada melodius) Su-kar-no. Terdengar enak
ditelinga. (Meniru suara pembawa acara upacara) “Inilah presiden pertama kita:
Sukarno…”. Gagah betul kan kedeengarannya… Lha kalau dia? (Kembali meniru suara
pembawa acara upacara) “Ladies and gentlement, inilah presiden pertama Republik
Indonesia: Su..ka..yat…yat…yat…yat.. no…no…” Diberi echo ajah tetep kagak enak.
Su-ka-yat-no… Nama yang amat sangat tidak nasionalistis!
Lagi pula nama Kayat kan berbau
kekiri-kirian. Ka-yat. Kedengaran seperti “rak-yat”. Jenis nama-nama yang bisa
membawa nasib buruk buat para pemiliknya. Contohnya: Mu-nir…[29]
Terdengar suara erangan dari arah
kursi goyang: “Bambaaangggg… Bambaanggg…. Jam berapa…”
Cepat-cepat Bambang pura-pura
sibuk menyapu.
Terdengar suara Raden Mas
suhikayatno bertanya: “Ini jam berapa…. Ini Tahun berapa…”
BAMBANG:
(Sambil terus pura-pura sibuk
menyapu) Jam 4… Tahun 2011…
Raden Mas Suhikayatno terus
mengigau memanggil nama “Bambang” sesekali-kali. Bambang tetap sibuk menyapu.
Sampai kemudian suara igauan Raden Mas Suhikayatno berhenti…
BAMBANG:
(Melihat sebentar ke arah kursi
goyang itu, lalu segera ke arah penonton) Ngegosip lagi aahhh…
Saya ingat. Empat tahun lalu.
Tepatnya tahun 2008. Ya. Tahun 2008. Kira-kira 8 bulan sebelum penyenggaraan
Pemilu. Raden Mas Suhikayatno diminta jadi pimpinan KPU. Tapi dia nggak mau.
Takut terlibat karupsi berjamaah seperti KPU periode sebelumnya…
Saat Pemilihan Presiden tahun
2009, Beliau juga diminta jadi wakil SBY. Soalnya Jusuf Kala maju sendiri jadi
Capres didukung Partai Golkar.
Waktu itu memang banyak pengamat
yang bilang, kalau majikan saya dan SBY itu pasangan ideal. Lebih cocok,
begitu. Ya, setidaknya dibanding wakil SBY sebelumnya, yang dianggap terlalu
kreatif, dan terlalu banyak inisiatif. [30]
Saya sih nggak terlalu ngerti
politik. Nggak tahulah, gimana kelanjutannya. Yang jelas, pada Pemilihan
Presiden tahun 2009 itu pemenangnya adalah calon yang didukung Partai Panji
Tengkorak. Yakni, Butet Kertaredjasa.[31] Inilah pertama kalinya, seorang
seniman berhasil menjadi presiden di Indonesia…. Gimana seniman ngatur Negara
ya? Ngurus hidupnya sendiri saja ruwet…
Tahu, apa program pertama Butet Kertaredjasa
sebagai presiden? Mengganti nama-nama jalan. Nama jalan yang tadinya dipenuhi
nama tentara, diganti dengan nama para seniman. Jalan Gatot Subroto diganti
menjadi Jalan Sapardi Djoko Damono. Jalan S. Parman diganti Jalan S. Bagio.
Pokoknnya semua jalan diberi nama seniman. Dari jalan tol, jalan tembus, sampai
jalan buntu. Bahkan Jalan Taman Lawang[32] juga diganti menjadi Jalan Djaduk
Ferianto. [33] Hanya satu nama jalan yang tidak di ganti. Yakni Jalan Gajah
Mada. Karena Gajah Mada itu teman sepermainan majikan saya.
Sampai kemudian, terdengar suara
Raden Mas Suhikayatno, meracau memanggil: “Bambangggg… Pukul berapa
sekarang…..”
BAMBANG:
(Tergopoh mendekati kursi goyang)
Iya Tuan…. Jam 8 malam… Mau air panas sekarang?
Suara Raden Mas Suhikayatno
datar: “Capek… Ini tahun berapa?”
BAMBANG:
(Sudah duduk bersimpuh di dekat
kursi goyang itu) Tahun 2011, Tuan… Saya pijit ya…
Suara Raden Mas Suhikayatno masih
lelah datar: “Kamu yakin… Bukan tahun 3050?…”
BAMBANG:
(Sambil seakan-akan memijiti kaki
Raden Mas Suhikayatno) Wah, kejauhan loncatnya, Tuan… Nggak ada itu di naskah…
Suara Raden Mas Suhikayatno masih
lelah datar: “Saya yakin ini tahun 3050… Samar-samar saya melihat bayangan
bertumpuk-tumpuk….”
BAMBANG:
(Sambil terus memijat, tapi juga
melihat ke arah kejauhan) Ooo, itu Borobudur dibikin jadi tingkat lima, Tuan…
Suara Raden Mas Suhikayatno masih
lelah datar: “Apa surat itu sudah datang?.. Siapkan pakaian saya…”
Bambang segera bergegas mengambi
baju majikannya.
BAMBANG:
(Menyerahkan baju yang diambilnya
ke arah kursi goyang itu) Yang ini kan… (Lalu membentangkannya di selimut) Saya
pijit ya, Tuan.. (Ia kemudian kembali memijiti kaki Raden Mas Suhikayatno –
terdengar desah nafasnya yang keenakan dipijit – terus ke atas, tiba tiba ia
melonjak kaget, sementara tangannya terbenam masuk selimut seakan dicengkeram
majikannya) Enak Tuan… Aduh, Maaf Tuan… Sumpah nggak sengaja mijit yang itu.
Saya kira tangan Tuan… Tapi kok lembek…. Aduuhhh… Sakit, Tuan… Aduhhhh….
Tangan Bambang terpiting, ia
kesakitan berdiri. Lalu pelan-pela ia mengubah diri menjadi Raden Mas
Suhikayatno. Perubahan ini terjadi dengan perubahan situasi: dari Bambang yang
dipuntir tanggannya, menjadi Raden Mas Suhikayatno yang memuntir tangan Bambang.
Kini Raden Mas Suhikayatno
memakai selimut di pundak dan menutupi tubuhnya hingga seperti berjubahkan
selimut itu, berdiri dari kursi goyang, memegangi tangan pembantunya….
DENMAS:
Kurang ajar! Bener-bener tidak
punya tata karma. Barang keramat milik majikan kok dimain-mainin… Enak tau!
Kamu mau apa kok grayang-grayang begitu…
PAUSE: berubah jadi Bambang
(melepas selimut itu), bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….
BAMBANG:
Ampun, Tuan… Saya cuma mau
ngetes… onderdil tuan masih tokcer tidak…
PAUSE: berubah jadi Raden Mas
Suhikayatno (kembali memakai selimut), berdiri memandangi ke arah pembantunya
yang bersimpuh dekat kakinya.
DENMAS:
Eee…menghina ndoromu ini ya?!
Biar prostat sering kumat, tetap saja masih kuat… Dari Ken Dedes sampai Ken
Norton, sudah membuktikan ‘keampuhan’ saya… (menggeliat, menguap) Tolong air
putih… (seakan ke arah pembantunya yang beringsung pergi) Eh, sekalian tusuk
gigi… (Jeda sejenak, terus mengeliat dan olahraga kecil melemaskan otot. Sampai
kemudian seolah-olah menerima gelas, berkumur, menyembur-nyemberkan air kumur
ke samping kursi, kemudian memakai tusuk gigi)
PAUSE: berubah jadi Bambang,
bersembah ketakutan di depan kursi goyang itu….
BAMBANG:
Sekarang Tuan mau mandi dulu, apa
langsung sarapan?…Sikat gigi? Sikat gigi sudah saya siapin. Odol masih ada…
Kalau tusuk gigi sudah habis, yang Tuan pakai itu ajah bekas yang kemarin..
PAUSE: berubah cepat jadi Raden
Mas Suhikayatno,
DENMAS:
(Membentak marah sambil sekan
membuang tusuk gigi yang tadi dipakainya, dan bergerak mau memukul) Bajigur!
(Seolah pembantunya lari ketakutan) Sial benar saya punya pembantu macam kamu.
Awas kamu, ya! (Mengambil baju yang tadi dibawakan pembantunya dan mulai
memakainya, sambil berteriak ke arah tadi pembantunya menghilang) Hai, sini!…
Ngapain kamu malah naik genting begitu. Sudah, nggak usah alasan mau benerin
atap. Ayo, turun! Disuruh turun kok malah mendelik. Kamu itu bener-benar
keterlaluan kok. Ayo turun! Cepet turun! Bambang, kamu dibilangin kok ngeyel
buanget sih! Sudah nggak becus, ngeyel lagi… Ayo toh turun, Mbang! Turun!
(Kepada penonton) Jangan salah
faham ya… Saya ini nyuruh turun Bambang pembantu saya. Bukan Bambang yang lain…
(Kembali seakan ke arah
pembantunya itu, mulai sabar) Bambang… Ayo toh turun… Sekarang kamu lihat di
kotak surat, ada surat buat saya tidak. Nggak ada? Coba kamu cari di bawah
keset, mungkin nyelip di situ… Nggak ada juga? Ya sudah, sekarang kamu nunggu
saja di halaman. Iya! Siapa tahu tukang pos itu lewat…
Raden Mas Suhikayatno berbicara
di atas sembari juga meneliti tupukan koran dan majalah di atas meja,
mencari-cari sesuatu. Memeriksa, membacanya…
DENMAS:
(Tampak kecewa, ketika tahu tidak
menemukan surat yang diharapkannya) Pasti mereka lupa mengirimkannya! (Menimbang,
menduga, mengira-kira) Lupa mengirimkan, apa tidak mau mengirim-kan? Mereka
anggap saya ini siapa?
Maaf, saya bukannya mau
mengungkit-ungkit. Tapi hargai dong sejarah saya. Apa dikira Tukang Kritik
macam saya nggak menyumbangkan apa-apa? Bagaimana jadinya bangsa ini kalau
nggak ada orang macam saya. Sayalah yang memulai sejarah. Orang macam sayalah
yang menggerakkan sejarah. Orang-orang yang berani menyampaikan kritik.
Waktu negeri ini masih dijajah
Kumpeni…, kalian pikir siapa yang berani sama Kumpeni? (bisa ke arah pemusik,
yang merespon suasana, bisa ke arah penonton) Siapa coba yang berani melawan
Kumpeni?!… (Dijawab sendiri) Si Pitung.
Kalian terlalu meremehkan peran
saya. Apa kalian pikir saya tidak kenal Ki Hadjardewantara, Cokroaminoto, Agus
Salim, Sjahrir dan Hatta? Saya sangat kenal mereka…, meski mereka tidak kenal
saya. Mereka semua itu sahabat-sahabat saya. Saya selalu menemani mereka
berdiskusi hingga dini hari. Ketika mereka diskusi.., saya menemani membikinkan
kopi.
Ini sejarah, Bung! Kebenaran
paling kecil pun harus ditulis. Saya tak ingin sejarah kita penuh kebohongan.
Meski banyak yang bilang: sejarah sesungguhnya tidak lebih dari berbagai macam
versi kebohongan!
(Mengambil albun foto di atas
meja, dan seolah menunjukkan pada setiap oranag) Coba kalian lihat lagi
foto-foto sejrah bangsa ini. Yang ini! Yang ini! Lihat foto pembacaan
Proklamasi….
Di layar terlihat foto Pembacaan
Proklamasi itu.[34]
DENMAS:
Perhatikan dengan cermat. Itu, di
sebelah kanan… Kalian pasti tidak melihat saya. Hanya bidang kosong hitam.
Disitulah mestinya saya berdiri. Tapi kalian telah menghitamkannya…
Selama ini saya diam. Kalian
menulis para pendiri bangsa berjumlah 68. Saya rela nama saya tak disebutkan.
Sebab, ditambah nama saya, berarti jadi 69. Angka 69 kan bisa sitarsirkan
macam-macam…
Tapi kenapa kalian hanya menyebut
para Bapak bangsa?! Dimana para ibu yang melahirkan mereka? Ibu-ibu Bangsa yang
merawat dan membesarkan sejarah bangsa ini?
Sungguh…, saya tak menuntut
apa-apa….
Tidakkah kalian ingat di tahun
1995, lebih limabelas tahun lampau, di zaman Soeharto… Ketika semua bungkam…
Tukang Kritik seperti sayalah yang mempertaruhkan nyawa. Ketika koran dan
majalah di breidel… Ketika kalian masih takut bicara demokrasi… Tidakkah kalian
ingat saya…
Bagaimana mungkin, kini kalian
perlahan-lahan mengapus saya dari ingatan…
(Meninggi) Sayalah yang selalu
mengritik! Karena saya punya suara… Siapa yang bisa membunuh suara? Suara bisa
kamu bungkam. Tapi tidak mungkin kamu bunuh. Kamu tak mungkin bisa membunuh
saya…
Di puncak kemarahan, Raden Mas
Suhikayatno terhuyung… Bersandar di kursi goyang, kelelahan. Dadanya sakit. Ia
memanggil-manggil pembantunya….
DENMAS:
Bambaaang…. Toloooonggg…. obat
saya…. (lalu meracau) Kalian tidak bisa membunuh saya… Saya suara zaman… Gema
yang terus berpan-tulan…
Suara racauan Raden Mas
Suhikayatno terus terdengar, makin pelan dan tenggelam, tak jelas. Pada Saat
itulah, pelan-pelan muncul suara nyanyian. Seperti angin yang muncul dari
pusaran waktu. Pada saat ini video menggambarkan waktu yang berdenyut, semesta
yang mengembang dan mengerut. Gerigi mesin waktu yang bergemeretak bergerak.
Gambar-gambar itu tumpah pecah ke seluruh panggung. Nyanyian itu, kau dengarkah
nyanyian itu?
Yang berdiam di rahim waktu
Engkau siapakah itu?
Kami mendengar di desau hujan
Keluhmu pelan tertahan
Kami melihat ada yang berkelat
Engkaukah itu berbaring lelap
Di pusaran waktu
Di rahim waktu
Siapakah itu?
Bersamaan gema lagu yang meredup,
muncul dua hologram itu lagi. Memandangi Raden Mas Suhikayatno yang mengerang
gelisah dalam tidurnya.
HOLOGRAM 1:
Lihatlah dia yang selalu tertidur
tapi setiap saat merasa terjaga… Ia menderita disiksa mimpi-mimpi yang ia kira
kenyataan hidupnya
HOLOGRAM 2:
Bangun… Ini sudah tahun 2028.
HOLOGRAM 1:
Ia masih tersesat di abad silam…
Terdengar genta waktu menggema.
HOLOGRAM 2 :
Tahun 2045
Terdengar lagi genta waktu
menggema
HOLOGAM 1:
Tahun 2066
HOLOGRAM 2:
Kau dengarkah yang berdenyut di
jantungmu. Suara-suara yang menge-pungmu.
Sementara itu Raden Mas
Suhikayatno terbangun, antara tidur dan jaga, memangdangi sekililing yang bagai
tak dikenalinya
DENMAS:
Di mana saya…
HOLOGRAM 1:
Kamu ada di mana kamu merasa ada…
HOLOGRAM 2:
Kamu tak ada di mana-mana…
Raden Mas Suhikayatno kebingungan
menatap sosok bayang-bayang itu…
DENMAS:
Siapa kamu!
HOLOGRAM 1:
Aku Tukang Kritik yang berjalan
melintasi waktu… Akulah kamu yang selalu menyebunyikan wajahmu… Mereka yang
membanggakan diri jadi Tukang Kritik, padahal bermuslihat pura-pura baik.
DENMAS:
Tidak….Tidak….
HOLOGRAM 2:
Kamu marah karena kamu dilupakan.
Kamu selalu menunggu surat itu datang. Surat yang akan mencatat namamu di barisan
para pahlawan…
DENMAS:
(Berteriak-teriak memanggil
pembantunya) Bambanggg!!! Bambanggg!!!
HOLOGRAM 1:
Lihat sekelilingmu… Ini tahun
2070… Kamu terselip dipojokan sejarah. Tak ada lagi yang mengingatmu. Tak ada
lagi yang membutuhkanmu.
DENMAS:
(Terus berteriak-teriak )
Bambanggg..!!! Bambanggg!!!….
Terdengar genta waktu menggema,
berulangkali. Sementara Raden Mas Suhikayatno terus berteriak memanggil
pembantunya. Memegangi kepalanya yang kesakitan. Gelombang waktu berpusaran
dalam kepalanya.
Terdengar terompet pergantian
tahun. Dua sosok hologram itu perlahan menghilang. Hanya tinggal terdengar
suaranya di sela pekik keramaian dan sorak-sorai menyambut pergantian tahun…
Cahaya kembang api meledak warna-warni!
TERDENGAR SUARA MEKANIS :
Tahun 3001.
TERDENGAR SUARA MEKANIS :
Tahun 3002.
Gerigi mesin waktu berderak-derak
bersama lengking terompet pergantian tahun dan pijar kembang api warna-warni,
berpijar di langit kota modern…
TERDENGAR SUARA MEKANIN :
Tahun 3003.
TERDENGAR SUARA MEKANIS :
Tahun 3004.
TERDENGAR SUARA MEKANIS :
Tahun 3005.
DENMAS :
(Menjerit keras melengking
panjang) Baambbbaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa-aaaaaaannnnnnggggggggggggggg……..
Cahaya tiba-tiba benderang dan
semua keriuhan dan suara seketika berhenti. Sepi. Panggung seperti ruang steril
hampa udara. Pucat perak…
Raden Mas Suhikayatno tersandar
di kursi goyang diterangi cahaya terang monokrom. Raden Mas Suhikayatno
memandang bingung sekeliling…
Video-multimedia menghadirkan
gambar-gambar gedung menjulang, siluet kota-kota ultra modern. Jalan-jalan
layang metalik, mobil-mobil terbang. Kota futuristik. Raden Mas Suhikayatno
jadi terlihat terpencil dan kecil dibawah semua bayang-bayang gedung-gedung
menjulang itu. Ia hanya memandangi semua itu seperti orang bingung…
DENMAS:
Pernahkan kalian merasa begitu
kesepian seperti yang kini saya rasakan?… Kesepian karena kehilangan peran… Mau
apa saya… Semua sudah serba rapi. Tertib. Terkomputerisasi. Tak ada lagi yang
bisa dikritik…
Raden Mas Suhikayatno
menggerak-gerakkan kepalanya, memain-mainkan tangannya seperti kanak-kanak yang
bermain menciptakan bayang-bayang. Tapi Ia kemudian segera bosan. Apa pun yang
ia lakukan, ia segera merasa bosan.
DENMAS:
Makan sudah… Baca sudah… Tidur
sudah… Masturbasi sudah… Apa lagi ya?
Muncul Robot pembantu rumah
tangga.[35] Dibalut pakaian ketat perak. Mekanis. Robotik. Robot itu membawakan
minuman dalam gelas bening….
ROBOT :
Good morning… Good morning…
Robot itu memberikan minuman
kepada Raden Mas Suhikayatno, yang segera menimun isi gelas itu…
DENMAS:
(Setelah meminum) Bahkan minuman
pun sudah pas betul… Saya tidak bisa mengritik kurang pahit atau kurang manis…
Bahkan yang namanya bau, panas, dingin… semua sudah sesuai dengan keinginan
setiap orang! Ternyata negeri adil makmur tentram karta raharja bukanlah
utopia…
Raden Mas Suhikaatno lalu dengan
males menyerahkan gelas itu lagi kepada robot itu…
ROBOT:
Thank you… thank you… Kamsiah…
Lalu Robot pergi…
DENMAS:
Itu tadi hasil cloning Bambang…
pembantu saya yang sudah mati tahun 2022 lalu. Dia keturunannya yang ke 4.
Bergelar Raden Mas Bambang Mangkukulkas XI. Dengan kode mesin: PRT 3005 GX …
Cahaya datar. Monokrom. Raden Mas
Suhikayatno kembali merasa bingung. Kesepian. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Duduk tak betah. Berdiri tak betah. Berjalan tak betah. Ia tak tahu harus
bagaimana.
Sampai para pemusik berkomentar:
“Kenapa, Mas?… Kok bingung begitu?”
DENMAS:
Bingung mau ngritik apa… Punya
pembantu saja robot. Nggak bisa disiksa pakai setrika… Zaman macam apa ini, kok
semua serba tertib! Serba teratur.
Raden Mas Suhikayatno duduk
bingung. Membuka-buka majalah. Koran. Tabloid sepintas lalu. Bosan…
DENMAS:
Semua berita baik… Nggak ada
pembunuhan. Nggak ada gossip artis kawin cerai… Bosen!
Lalu kembali kepada para pemusik.
DENMAS:
Ayo dong kalian bikin keributan…
Apa saja deh! Merkosa kambing juga boleh… Mau ya? Ya? Apa kalian seneng hidup
tertib begini. Sekali-kali bikin masalah ‘kan ya nggak papa. Gini saja, kalian
saya bayar… Kita demonstrasi ramai-ramai…
Para pemusik menanggapi. Tanpa
ekspresi. Kompak. Menggeleng serempak. Mengang-guk serempak. Mekanik.
Karena tak memperoleh tanggapan
sebagaimana yang diharapkan, Raden Mas Suhikayatno segera menuju ke kursi
goyang. Duduk di sana. Kembali kesepian…
DENMAS:
(Memandang sekeliling) Inilah
jaman di mana bahkan nabi pun sudah tidak lagi diperlukan…(Kembali
memain-mainkan tangan,, seperti orang menghitung berulang-ulang) Makan
sudah…tidur sudah… mandi sudah… makan sudah… tidur sudah… mandi sudah… makan
sudah….. tidur sudah… mandi sudah… (gerakan tangan dan tubuhnya makin lama
makin seperti orang yang menderita autis)
Suara Raden Mas Suhikayatno
terdengar seperti bandul yang berayun-ayun monoton. Terdengar juga detak waktu
yang menyertai nada suara Raden Mas Suhikayatno itu.
Mendadak seperti terdengar suara
letusan yang mengagetkan. Raden Mas Suhikayatno meloncat kaget, gembira…
DENMAS:
(Begitu bahagia, mengepalkan
tangan senang) Yes! Cihuuiiyyy! Akhirnya ada mahasiswa yang mati tertembak! …
Alhamdulillah… Akhirnya ada yang bisa dikritik… (Bersemangat) Ayo, kita protes!
Ayo… (Jeda) Apa? (mendadak loyo) Bukan mati tertembak? Cuma mati bahagia… Kok
tidak heroik ya matinya…
Kembali duduk kecewa. Kembali ke
kursi goyang…
DENMAS:
(Kembali memain-mankan tangan,,
seperti orang mengitung berulang-ulang) Makan sudah…tidur sudah… mandi sudah…
makan sudah… tidur sudah… mandi sudah… makan sudah….. tidur sudah… mandi sudah…
(Gerakan tangan dan tubuhnya kembali makin lama makin seperti orang yang
menderita autis)
Sampai kemudia suara Raden Mas
Suhikayatno perlahan melemah, dan menghilang…
Kini yang terdengar hanya detak
waktu yang monoton. Bersamaan itu cahaya yang monokrom dan datar itu perlahan
menyurut. Kursi goyang itu terlihat tenang di bawah sorot cahaya yang kuat
pucat. Waktu mendengung panjang. Menggelisahkan.
Kemudian mucul Robot itu.
Berjalan mekanik mendekati kursi goyang. Tangan Robot itu terulur kaku ke
depan, membawa selembar surat…
ROBOT:
Good morning…. Good morning…
Bangun, Tuan… Wake up… Wake up… Bangun, Tuan… Ada surat… Ada surat… Bangun,
Tuan… Bangun, Tuan… Ada surat… Ada surat…
Tapi Raden Mas Suhikayatno tak
bergerak. Kursi goyang itu tetap tenang. Robot itu terus memanggil-manggil
mekanik. Sampai semua cahaya perlahan meredup. Tinggal menyorot ke arah kursi
goyang yang tetap tenang itu. Suara robot itu terus-menerus terdengar
berulang-ulang. Berulang-ulang…
Semua cahaya menggelap perlahan.
PERTUNJUKAN SELESAI
Yogyakarta, 2003-2005
[1] Secara tekhnis, suara
detak-detik jam itu bisa muncul dari sound system yang ditata sedemikian rupa
hingga suara itu seperti muncul dari mana-mana dan memenuhi gedung pertunjukan.
Bisa juga secara manual dengan menempatkan banyak jam weker di berbagai titik
di dalam gedung pertunjukan, di bawah kursi penonton, dsb. Dimana nanti, semua
jam weker itu berdering, dengan menempatkan kru pertunjukan untuk mewujudkan
tekhnis tersebut. Atau di dinding ruang penonton dipasangi banyak jam aneka
rupa dengan penunjuk angka/jarum waktu yang berbeda-beda. Mungkin juga dengan
tata artistik yang mempertegas suasana, dengan intensi lukisan semacam “waktu
yang memelelah” karya Salvardore Dali. Sementara, bila memakai
video/multimedia, bisa divisualisasikan denyut waktu itu secara visual, seperti
ada jarum waktu raksasa yang memenuhi panggung, atau gerigi-gerigi mekanik
waktu pada jam yang saling bergerak berderak. Pendeknya, secara artistik bisa
dikembangkan menurut interpretasi masing-masing.[2] Dentang lonceng ini juga
bisa menjadi penanda pertunjukan. Dimulai dentang sekali. Dua kali. Lalu tiga
kali, sebagai tanda pertunjukan di mulai. Atau puncaknya sampai berdentang 12
kali, baru mulai pertunjukan.
[3] Para aktor pendukung/para
pemusik dan aktor yang akan memainkan monolog ini.
[4] Adegan ini berfungsi untuk
memberi kesempatan aktor-pemeran duduk di kursi goyang itu. Pada bagian
sebelumnya, di kursi itu hanya terlihat selimut yang merungkupi kursi goyang
untuk mengesankan seakan-akan ada orang yang duduk dan tertidur di atas kursi
goyang itu. Sejak adegan ini, di kursi goyang itu sudah meringkuk
aktor-pemeran.
[5] Bila mereka para pemusik,
mereka bergerak ke tempat yang sudah ditentukan menurut kebutuhan pertunjukan.
Bila mereka para aktor pembantu, bisa langsung silam ke sisi-sisi panggung.
[6] Ini bila memakai multimedia,
dalam hal ini gambar video. Gambar-gambar dari efek video inilah yang menyorot
ke arah panggung. Gambar-gambar itu dibiarkan pecah, tak perlu disorotkan ke
sebuah layar, tapi diproyeksikan ke arah di mana kursi goyang itu berada.
[7] Suara ini wajib ada.
Suara-suara lain bebas dikembangkan sesuai kebutuhan dramatik suara.
[8] Suara ini juga mesti ada.
Bisa dimunculkan juga pidato Soeharto ketika menyatakan diri mundur dari
jabatan presiden. Juga suara khas Habibie. Suara Megawati. Gus Dur. Sesilo
Bambang Yudhoyono. Suara-suara itu muncul berjauhan, tumpang tindih (tidak
mesti runut-linear), seperti mencul dari gelombang radio yang serak dan rusak,
di antara ilustrasi musik.
[9] Gambar-gambar masa silam ini
bisa diambilkan dari potongan-potongan film yang menggambarkan masa silam.
Misalkan film The Ten Comandement, yang menggambarkan adegan Nabi Musa, film
King Arthur atau The Great Alexander, atau mungkin film Diponegoro,
dokumentasi-dokumentasi video/film. Bisa juga ilustrasi gambar yang
menceritakan perjalanan waktu – dari seri National Geografhic, misalnya. Atau
membuat sendiri.
[10] Untuk efektifitas penulisan,
selanjutnya akan disebut “Denmas”.
[11] Bambang adalah tokoh
pembantu dalam monolog ini. Nama Bambang dipakai, karena ketika naskah ini
ditulis, nama Presiden RI adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Kelak, bila presiden
berganti dan naskah ini dipentaskan, maka nama Bambang harus diganti dengan
nama presiden yang sedang menjabat. Pilihan nama seperti itu dimaksudkan
sebagai cara untuk menunjukkan: bahwa jabatan presiden itu sesungguhnya
“pembantu rakyat”. Yakni Pembatu yang “diperintah konstitusi” untuk bekerja
mensejahterakan rakyat yang menggaji dan membayarnya melalui bermacam pajak.
[12] Gambar ini juga diupayakan
ada, karena berkait adegan selanjutnya. Kecuali bila Ada interpretasi lain, dan
ingin mengembangkan adegan sendiri. Bagaimana pun, sebagai teks pertunjukan,
teks ini sangat terbuka untuk dikembangkan berkaitan dengan situasi, keadaan
dan kesiapan pementasan.
[13] Suara ini bisa berasal dari
pemusik, atau dari suara aktor pembantu atau kru pentunjukan lainnya. Suara ini
bergaya seperti tengah memberikan pengumuman
[14] Uka-uka, pada saat naskah
ini ditulis, sangat popular sebagai ikon hantu. Di lain waktu, bisa diganti
ikon hantu yang lebih popular ketika naskah ini dipentaskan.
[15] Adegan wayang orang ini bisa
diplesetkan (dideformasi) pada bagian yang memungkinkan. Pengulangan kata
“maaf” di adegan ini sendiri terinspirasi dari tokoh Mpok Minah di serial Bajaj
Bajuri yang selalu mengulang-ulang kata “maaf” seperti itu.
[16] “Gaul gitu loh” adalah
ungkapan yang popular dan ngetrend dikalangan anak muda pada zaman monolog ini
ditulis. Sebagai ungkapan popular dan ngetrend, itu pasti terkait dan terbatasi
mode. Bila monolog ini dipentaskan pada situasi yang (sudah) berbeda, maka
ungkapan ini pun mesti disesuaikan dengan uangkapan yang saat itu sedang
ngetrend.
[17] Adegan berkisah ini sifatnya
“main-main” dalam konteks permainan dramatik. Bisa dikembangkan sebagai upaya
memperkaya “main-main” itu. Gaya aktor menceritakan itu cair, ditambah-tambahi,
dan para pemusik bisa ikut berceloteh menanggapi, misalnya.
[18] Perhatikan perubahan kata
ganti orang pertama, dari “saya” menjadi “aku”. Ketika Raden Mas Suhikayatno
menyebut dirinya dengan “aku”, maka ego dia sudah mengempal. Ada dendam dan
kegeraman di situ, yang menyulut kemarahannya. Dan itu muncul sebagai ekspresi
terakhir untuk menunjukkan harga diri dan keberadaannya.
[19] Ketika cahaya di kursi
goyang sudah gelap, maka aktor-pemeran Raden Mas Suhikayatno segera beringsut
dari kursi itu, untuk berganti peran. Selimut dirungkupkan ke kursi goyang,
hingga mengesankan masih ada Raden Mas Suhikayatno di kursi goyang itu. Sambil
beringsut dan pergi itulah, aktor terus memanggil-manggil nama pembantunya itu.
Atau untuk efek tertentu, suara itu bisa saja sudah direkam sebelumnya. Jadi
selama aktor berganti kostum/berganti peran, suara memanggil-manggil terus
terdengar. Atau, suara itu bisa digantikan oleh suara aktor pembantu/pemusik,
yang diusahakan mirip dengan intonasi dan warna suara si aktor.
[20] Dengan teknik tertentu, di
bagian kursi goyang itu bisa dipasangkan tali senar, dimana seorang kru bisa
menarik dan mengulur senar itu agar kursi goyang terus terayun-ayun.
[21] Hologram adalah bentuk
visual yang berupa efek pemadatan cahaya, sehingga bisa menghadirkan sosok atau
benda dari proyeksi cahaya. Bila tekhnologi ini belum bisa diaplikasikan dalam
pertunjukan ini, maka sosok hologram bisa berupa bayangan pada layar dari
video/multimedia., berupa visual dari tokoh Raden Mas Suhikayatno, yang sudah
dibuat sebelumnya. Tapi bila itu juga tidak mungkin, 2 sosok hologram itu bisa
diperankan oleh aktor lain, yang secara casting mirip dengan aktor pemeran
Raden Mas Suhikayatno. Tinggal mak up dan kostum disamapersiskan.
[22] Suara ini bisa digantikan
oleh aktor pembantu, atau sudah direkam sebelumnya
[23] Dimainkan oleh aktor yang
sama, yang memerankan Raden Mas Suhikayatno, setelah berganti kostum.
[24] Di bagian ini bisa
dikembangkan dengan interaksi dengan penonton, dimana aktor bisa secara
cair-keluar dari peran, memberi komentar tentang baju, cara duduk, atau apa pun
dari seorang penonton. Fungsinya untuk menegaskan “kenyinyiran” Raden MAs
Suhikayatno yang sedang diceritakan oleh tokoh Bambang itu. Tentu dengan
mempertimbangan alur dramatik secara keseluruhan.
[25] Le, berasal dari Thole
(bahasa Jawa), yang merupakan panggilan kepada anak laki-laki. Panggilan ini
bisa diganti menurut kebutuhan tempat dan etnis lainnya, tergantung di etnis
mana pentas ini berlangsung.
[26] Mugle adalah istilah para
penyihir untuk menyebut “manusia”, dalam buku Harry Potter karya J.K. Rowling.
Penyihir keturunan mugle artinya penyihir yang punya unsur darah manusia dalam
trah keluarganya.
[27] Ini “joke alusif”, karena
sesungguhnya dua orang itu sama, karena dimainkan oleh aktor yang sama.
[28] Ini adalah joke yang
kontekstual, dimana pada saat monolog ini ditulis, nama Hamid Awaludin – yang
disini kemudian diplesetkan menjadi Hamid Hawaludin – cukup popular di
masyarakat. Bila jaman berganti, dan nama itu tidak cukup dikenal, mana harus
ada penyesuaian atas joke ini.
[29] Bisa dikembangkan dengan
berinteraksi dengan menyebut nama-nama tokoh yang hadir, yang kira-kira
dianggap kritis pada saat ini. Pada saat ini, sebagai contoh nama Te-ten,
Bas-ri…
[30] Teks pada bagian ini sangat
kontekstuak, yang terkait dengan situasi dimana naskah ini ditulis pertama
kali. Bila pada suatu saat, konstelasi politik berubah, dan mungkin sudah
terjadi pergantian pemerintahan/presiden, maka nama dan konteknya mestilah
disesuaikan. Misalkan naskah ini dipentaskan tahun 2015, maka “waktu kisah dan
peristiwa dalam lakon ini” juga mesti disesuaikan – dimajukan kira-kira sepuluh
tahun ke depan.
[31] Penyebutan Butet
Kertaredjasa di sini, karena monolog ini pertama kali akan dimainkan oleh dia.
Apabila naskah ini dipentaskan oleh aktor lain, maka nama aktor yang memainkan
itulah yang disebut.
[32] Taman Lawang adalah wilayah
yang berkonotatif “permesuman”. Tiap daerah punya lokasi seperti itu.
[33] Di sini penyebutan nama-nama
itu juga situasional. Yang penting nama itu familiar dengan audiens. Dan bisa
juga “menggarap” beberapa nama seniman yang kebetulan saat itu hadir
menyaksikan pertunjukan. Jadi penyebutan nama-nama itu fleksibel, dan kira-kira
tak menjadi preseden yang bisa merugikan pementasan itu sendiri.
[34] Dalam gagasan saya, bila
pertunjukan ini menggunakan media video, maka slide foto bisa disertakan
menyertai adegan ini. Dimana dilayar muncul berganti-ganti foto-foto
dokumentasi sejarah, dari zaman pergerakan sampai mungkin foto Soeharto
menyatakan pengunduran dirinya, Gus Dur yang didorong di atsas kursi roda, dst.
Gambar slide itu seakan adalah gambar di albun yang diperlihatkan oleh Raden
Mas Suhikayatno. Komentar-komentar Raden Mas Suhikayatno selanjutnya bisa
dikembangkan berkaitan dengan foto-foto yang muncul pada layar. Bila secara
tekhnis sulit, berarti tak ada slide foto-foto itu.
[35] Di sini akan disebut sebagai
Robot. Peran robot dimainkan oleh aktor yang bertubuh kecil. Bisa laki. Bisa
perempuan. Tapi kostum robot mesti tidak menyarankan identifikasi jender itu.
0 Response to "MATINYA TOEKANG KRITIK"
Post a Comment