KASIR KITA
Sebuah Drama Monolog Satu Babak
Karya : Arifin
C. Noer
(RUANG TENGAH DARI SEBUAH RUMAH YANG CUKUP MENYENANGKAN BAGI
SUATU KELUARGA YANG TAK BEGITU RAKUS. LUMAYAN KEADAANNYA SEBAB LUMAYAN PULA
PENGHASILAN SIPEMILIKNYA SEBAGAI SEORANG KASIR DI SEBUAH KANTOR DAGANG YANG
LUMAYAN PULA BESARNYA.
KASIR KITA ITU BERNAMA “MISBACH
JAZULI”.
SANDIWARA INI DITULIS KHUSUS UNTUK LATIHAN BERMAIN.
SEBAB INI SANGAT SEDERHANA SEKALI DAN SANGAT KECIL SEKALI.
DAN SANDIWARA INI KITA MULAI PADA SUATU PAGI. MESTINYA PADA WAKTU ITU IA SUDAH
DUDUK DEKAT KAS REGISTER DI KANTORNYA, TAPI PAGI ITU IA MASIH BERADA DI RUANG
TENGAHNYA YANG KELIHATANNYA LESU SEPERTI WAJAHNYA.
TAS SUDAH DIJINJINGNYA DAN IA SUDAH MELANGKAH HENDAK PERGI
TAPI URUNG LAGI UNTUK KESEKIAN KALINYA. IA BERSIUL SUMBNG UNTUK MENGATASI
KEGELISAHANNYA TAPI TAK BERHASIL).
Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh
sayang, sandiwara ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan bahwa
kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya; bahkan ia
berharap tak akan pernah mengalami peristiwa serupa ini. Ya, betapa tidak
saudara? Sangat susah!!
(DILETAKKANNYA TASNYA)
saya sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik
sekali. Kecantikannya itulah yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila.
Sungguh mati, saudara. Dia sangat cantik. Sangat jarang Tuhan menciptakan
perempuan cantik. Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya
menyusahkan dunia. Luar biasa, saudara. Bukan main cantik istri saya.
Hampir-hampir saya sendiri tidak percaya bahwa dia adalah istri saya.
Wong, saya berani sumpah! Dulu sebelum ia menjadi istri
saya, tatkala saya bertemu pandang pertama kalinya disuatu pesta, berkata saya
dalam hati: “Maulah saya menyobek telinga kiri saya dan saya berikan padanya
sebagai mas kawin kalau suatu saat ia mau menjadi istri saya”. Tuhan Maha Murah.
Kemauan Tuhan selamanya sukar diterka. Sedikit banyak rupanya Tuhan suka akan
surprise. Buktinya?! Meskipun telinga saya masih utuh toh saya telah berumah
tangga dengan Supraba selama lima
tahun lebih. Aduh, cantiknya. Saya berani mempertaruhkannya kepala saya bahwa
bidadari itu akan tetap bidadari walaupun ia telah melahirkan anak saya yang
nomor dua, saya hampir tidak percaya pada apa yang saya lihat. Tubuh yang
berbaring itu masih sedemikian utuhnya. Cantiknya. Cobalah, seandainya suatu
ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada di antara mereka,
saya yakin, saudara pasti memilih istri saya biarpun saudara tahu bahwa dia
seorang janda. (LESU)
Ya, saudara. Kami telah bercerai dua
bulan yang lalu. Inilah kebodohan yang sejati dari seorang lelaki. Kalau saja
amarah itu tidak datang dalam kepala, tak mungkin saya akan sebodoh itu
menceraikan perempuan ajaib itu.
Semua orang yang waras akan menyesali
perbuatan saya, kecuali para koruptor sebab mereka tak mampu lagi menyaksikan
harmoni dalam hidup ini, padahal harmoni adalah keindahan itu sendiri. Dan
istri saya, harmonis dalam segala hal. Sempurna! (MENARIK NAFAS) Bau parfumnya!
Baunya! Seribu bunga sedap malam dikala malam, seribu melati di suatu pagi.
Segar – segar!
(TELEPON BERDERING)
Itu dia! Sebentar. (RAGU-RAGU) Selama
seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya: “Sarapan apa
kau, Mas?” Kemarin saya jawab: “Nasi putih dengan goreng otak sapi.” Pagi ini
saya akan menjawab…(MENGANGKAT PESAWAT) Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo?
Hallo!!! (MELETAKKAN PESAWAT) Salah sambung. Gila! Saya marah sekali.
Teleponiste itu tidak tahu perasaan samasekali. (TIBA-TIBA) Oh, ya! Jam berapa
sekarang? (GUGUP MELIHAT ARLOJI) Tepat! Delapan seperempat. Saya telah
terlambat tiga perempat jam. Maaf, saya mesti ke kantor. Lain kali kita sambung
cerita ini atau datanglah ke kantor saya. PT Dwi Warna di Jalan Merdeka.
Tanyakan saja nama saya di sana Kasir Jazuli. Maaf, sampai ketemu. (MELANGKAH
CEPAT. SAMPAI DI PINTU SEBENTAR IA RAGU TAPI KEMUDIAN IA TERUS JUGA)
AGAK LAMA
KASIR KITA MASUK LAGI DENGAN LESU
Mudah-mudahan perdagangan Internasional dan
perdagangan Nasional tidak terganggu meskipun hari ini saya telah memutuskan
tidak masuk kantor. Tidak, saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya
punya bakat pemalas. Saudara bisa bertanya kepada Pak Sukandar kepala saya
tentang diri Misbach Jazuli.
Tentu Pak Sukandar segera akan mencari
kata-kata yang terbaik untuk menghormati kerajinan dan kecermatan saya. Kalau
saudara mau percaya, hari inilah hari pertama saya membolos sejak enam tahun
bekerja di PT. Dwi Warna. Seperti saudara saksikan sendiri badan saya demikian
lesunya, bukan? Oh Tuhanku! Hanya Engkaulah yang tahu apa yang terjadi dalam
diri saya. Saya rindu kepada istri saya yang sedang ditimpa rasa penyesalan dan
saya takut masuk kantor berhubung pertanggung jawaban keuangan…
TELEPON BERDERING
Sekarang pasti dia! (MENUJU PESAWAT)
saya sendiri tidak tahu kenapa selama seminggu ini ia selalu menelpon saya. Apa
ia mungkin mengajak rujuk kembali dan…tak tahu saya. Saya sendiripun sebetulnya
mengharap ia kembali dan…tapi tidak – saya tidak boleh menghina diri sendiri
begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang salah. Yang menyebabkan peristiwa
perceraian ini. Sebab itu dia yang selayaknya meminta maaf kepada saya. Toch
saya laki-laki berharga: Saya punya penghasilan yang cukup. Laki-laki gampang
saja menarik perempuan sekalipun sudah sepuluh kali beristri. Pandang perempun dengan
pasti, airmuka disegarkan dengan sedikit senyum, dan suatu saat pura-pura
berfikir menimbang kecantikannya, dan kemudian pandang lagi, dan jangan
sekali-kali kasar, wajah lembut seperti kita berdo’a, dan kalau perempuan itu
menundukkan kepalanya berarti laso kita telah menjerat lehernya. Beres! Nah,
saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi dia yang salah! Nah, saudara sudah
tahu sifat saya. Saya sombong seperti umumnya laki-laki, dan kesombongan saya –
mungkin juga karena sedikit rasa rendah
diri, tidak: Bukankah saya punya tampang yang tidak begitu jelek?
TELEPON BERDERING LAGI
Pasti istri saya. (MENARIK NAFAS) Saya telah mencium
bau bedaknya. Demikian wanginya sehingga saya yakin kulitnya yang menyebabkan
bedak itu wangi. Oh, apa yang sebaiknya saya katakan?…Tidak! Saya harus tahu
harga diri! Kalau dia kumaafkan niscaya akan semakin kurang ajar. Saudara tahu?
Mengapa semua ini bisa terjadi? Oh, kecantikan itu! Bangsat! Selama ini saya
diusiknya dengan perasaan-perasaan yang gila. Edan!
Saudara tahu? Dia telah berhubungan lagi dengan
pacarnya ketika di SMA! Ya, memang saya tidak tahu benar tidaknya prasangka
itu. Tapi cobalah bayangkan betapa perasaan saya. Suatu hari secara kebetulan
saya pulang dari kantor lebih cepat dari biasanya dan apa yang saya dapati?
Laki-laki itu ada di sini dan sedang tertwa-tawa; dengar: tertawa-tawa – Ya,
Tuhan. Cemburuku mulai menyerang lagi. Perasaan cemburu yang luar biasa.
TELEPON BERDERING LAGI
Pasti dia: (MENGANGKAT PESAWAT) Misbach Jazuli
disini, hallo? (SEGERA MENJAUHKAN PESAWAT DARI TELINGANYA) Inilah ular yang
menggoda Adam dahulu: Perempuan itu menelpon dalam keadaan aku begini. Jahanam!
(KASAR) Ya, saya Jazuli: ada apa? Nanti dulu: Jangan dulu kau memakai kata-kata
cinta yang membuat kaki gemetar itu! Dengar dulu! Apa perempuan biadab! Kau
telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menyebabkan semuanya
semakin berantakan dan membuat aku gelisah dan takut seperti buronan! Dengar?
(MELETAKKAN PESAWAT DENGAN MARAH) Betapa saya marah. Sesudah beberapa puluh
ribu uang kantor saya saya pakai berfoya-foya, apakah ia mengharap saya
mengangkat lemari besi itu ke rumahnya. Gila!
Ya, saudara. Saya telah berhubungan dengan seorang
perempuan beberapa hari setelah saya bertengkar di pengadilan agama itu. Saya
tertipu. Uang saya ludes. Uang kantor ludes. Tapi saya masih bisa bersyukur
sebab lumpur itu baru mengenai betis saya. Setengah bulan yang lalu saya
terjaga dari mimpi edan itu. Betapa saya terkejut; waktu menghitung beberapa
ribu uang kantor ketut. Dan sejak itulah saya ingat istri saya. Dan saya selalu
mendengar tangis anak-anak saya. Tambahan lagi istri saya selalu menelpon sejak
seminggu belakangan ini. Tuhanku! Bulan ini bulan Desember, beberapa hari lagi
kantor saya mengadakan stokopnam. Inilah penderitaan itu.
(MEMANDANG POTRET DI ATAS RAK BUKU) Sejak seminggu
yang lalu saya pasang lagi potret itu. Tuhan, apakah saya mesti menjadi penyair
untuk mengutarakan sengsara badan sengsara jiwa ini? Apabila anak-anak telah
tidur semua, dia duduk di sini di samping saya. Dia membuka-buka majalah dan
saya membaca suratkabar. Pabila suatu saat mata kami bertemu maka kamipun
sama-sama tersenyum. Lalu saya berkata lembut; “Manis, kau belum mengantuk?”
Wajahnya yang menakjubkan itu menggeleng-geleng indah dan manis sekali. Dia
berkata, juga dengan lembut: “Aku akan menunggu kau, Mas.” Saya tersenyum dan
saya berkata lagi: “Aku hanya membaca koran, Manis.” Dan lalu dia berkata: “Aku
akan menunggui kau membaca koran, Mas”. Kemudian kamipun sama-sama tersenyum
bagai merpati jantan dan betina. Kubelai
rambutnya yang halus mulus itu. Duh wanginya. Nyamannya. Lautan minyak wangi
yang memingsankan dan membius sukma.
Pabila dia berkata seraya menengadah: “Mas”. Maka segera kupadamkan
lampu di sini dan lewat jendela kaca kami menyaksikan pekarangan dengan
bunga-bunga yang kabur, daun-daun yang kabur, dan langit biru bening dimana
purnama yang kuning telor ayam itu merangkak-rangkak dari ranting ke
ranting…(TIBA-TIBA GANTI NADA) Hah, saya baru saja telah menjadi penyair
cengeng untuk mengenangkan semua itu. Tidak – tidak! Laki-laki itu…sebentar.
Saya belum menelpon kekantor, bukan? Sebentar.
DIANGKATNYA PESAWAT ITU
Hallo, minta 1237 Utara. Hallo!…Saudara Anief…?
Kebetulan…Ya, ya. Begini. Sudah dua hari ini saya tidak enak badan…Ya, ya…ya,
mungkin pula influenza. (BATUK DAN MENYEDOT HIDUNGNYA) Yang pasti batuk dan
pilek. Saudara…ya?…Ya, ya Saudara Anief, saya akan merasa senang sekali kalau
saudara sudi memintakan pamit saya kepada Pak Sukandar…terima kasih…Ya? Apa?
Saudara bertemu dengan istri saya di sebuah restoran? (NADA SUARANYA NAIK) Apa?
Dengan laki-laki? (MENAHAN AMARAHNYA) Tentu saja saya tidak boleh marah,
saudara. Dia bukan istri saya. Ya, ya…Hallo! Ya, jangan lupa pesan saya pada
pak Sukandar. (BATUK DAN MENYEDOT HIDUNGNYA LAGI) Saya sakit. Ya pilek. Terima
kasih. (MELETAKKAN PESAWAT TELPON)
Seharusnya saya tak boleh marah. Bukankah dia bukan
istri saya lagi? Ah, persetan! Pokoknya saya marah! Cemburuan kumat lagi.
Saudara bisa mengira apa yang terdapat dalam hati saya. Saudara tahu apa yang
ingin saya katakan pada saudara? Saya hanya butuh satu barang, saudara. Ya,
benar saya butuh pistol saudara. Pistol. saya akan membunuh mereka sekaligus.
Kepala mereka cukup besar untuk menjaga agar peluru saya tidak melesat dari
pelipisnya. (NAFASNYA SUDAH KACAU) Kalau mayat-mayat itu sudah tergeletak di
lantai, apakah saudara fikir saya akan membidikkan pistol itu ke kening saya?
Oh, tidak! Dunia dan hidup tidak selebar daun kelor, saudara! Sebagai orang
yang jujur dan jangan lupa saya adalah seorang ksatria yang sportif, maka tentu
saja secara jantan saya akan menghadap dan menyerahkan diri pada pos polisi
yang terdekat dan berkata dengan bangga dan heroik: “Pak, saya telah menembak
Pronocitro dan Roromendut”. Tentu polisi itu akan tersenum. Dan kagum campur
haru. Dan bukan tidak mungkin ia akan memberi saya segelas teh. Dan baru
setelah itu membawa saya ke dalam sebuah sel yang pengap.
Hari selanjutnya saya akan diperiksa. Ya, diperiksa.
Lalu diadili. Ya, diadili. Saudara tahu apa yang hendak saya katakan pada
hakim? Kepada hakim, kepada jaksa, kepada para panitera dan kepada seluruh
hadirin akan saya katakan bahwa mereka pengganggu masyarakat maka sudah
sepatutnya dikirim ke neraka jahanam. Bukankah bumi ini bumi Indonesia yang
ketentramannya harus dijaga oleh setiap warganya?
Saudara pasti tahu seperti sayapun tahu hakim yang
botak itu akan berkata seraya menjatuhkan palunya: “Seumur hidup di
Nusakambangan!” Fikir saudara saya akan pingsan mendengar vonis semacam itu?
Oh, tidak saudara. Saya akan tetap percaya pada Tuhan. Tuhan lebih tahu
daripada hakim yang berkacamata itu. Lagi saya sudah bersiap-siap untuk dibuang
ke Nusakambangan. Di pulau itu saya hanya akan membutuhkan beberapa rim kertas
dan pulpen. Ya, saudara. Saya akan menjadi pengarang. Saya akan menulis riwayat
hidup saya, dan proses pembunuhan itu yang sebenarnya sehingga dunia akan sama
membacanya. Saya yakin dunia akan mengerti letak soal yang sejati. Dunia akan
menangis. Perempuan-perempuan akan meratap.
Dan seluruh warga bumi ini akan berkabung sebab
telah berbuat salah menghukum seseorang yang tak bersalah. Juga saya yakin
hakim itu akan mengelus-ngelus botaknya dan akan mencucurkan airmatanya sebab
menyesal dan niscaya dia akan membuang palunya ke luar.
Itulah rancangan saya. Saya sudah berketetapan hati.
Saya sudah siap betul-betul sekarang. Siap dan nekat. O, nanti dulu. Saya ingat
sekarang. Saya belum punya pistol. Dimana say bisa mendapatkannya? Inilah
perasaan seorang pembunuh. Dendam yang cukup padat seperti padatnya kertas
petasan. Dahsyat letusnya! Saya ingat Sherlocks Holmes sekarang. Agatha
Christi, Edgar Allan Poe. Sekarang saya insyaf. Siapapun tidak boleh
mencibir segenap pembunuh. Sebab saya
kini percaya ada berbagai jenis pembunuh di atas dunia ini. Dan yang ada di
hadapan saudara ini bukan pembunuh sembarang pembunuh. Jenis pembunuh ini
adalah jenis pembunuh asmara. Nah, saya telah mendapatkan judul karangan itu.
“Pembunuh Asmara!” Lihatlah! Dunia telah berubah hanya dalam tempo beberapa
anggukan kepala. Persetan! Dimana pistol itu dapat saya beli? Apakah saya harus
terbang dulu ke Amerika ke kota Dallas? Tentu saja tidak mungkin. Sebab itu
berarti memberikan mereka waktu untuk melarikan diri sebelum kubekuk lehernya.
Oh, betapa marah saya. Darah seperti akan meledakkan kepala saya. Betapa.
Sampai-sampai saya ingin menyobek dada ini.
Oh, saya sekarang merasa bersahabat sekali dengan
Othello, saudara tentu kenal di, bukan? Dia adalah tokoh pencemburu dalam
sebuah drama Shakespeare yang terkenal. Othello – Dia bangsa Moor sedang saya
saya bangsa Indonesia namun sengsara dan senasib akibat kejahilan cantiknya
anak cucu Hawa.
TELPON BERDERING
SEPERTI SEEKOR HARIMAU IA
Itu dia (MENGANGKAT PESAWAT DENGAN KASAR) Hallo!!!
Ya, di sini Jazuli!!!! Kasir!!! Ada apa? (TIBA-TIBA BERUBAH) Oh, maaf pak. Pak
Sukandar, kepala saya. Maaf, pak. Saya kira istri saya, saya baru saja
marah-marah…Ya, ya memang saya…Ya, ya. (TERTAWA) Ya, pak. (BATUK DAN MENYEDOT
HIDUNGNYA) Influensa…Ya, mudah-mudahan…Ya, pak…Ya… Saudara dengarlah. Dia mengharap
saya besok masuk kantor untuk pemberesan keuangan…Ya?…Insya Allah, pak…Ada
pegawai baru?…Siapa? Istri saya, pak? (TERTAWA) Ya, pak. (BATUK DAN MENYEDOT
HIDUNGNYA) ya, pak. Terima kasih. Terima kasih, pak. Besok. (MELETAKKAN
PESAWAT) Persetan! Saya yakin istri saya betul-betul kehabisan uang sekarang.
Apakah saya mesti mengasihani dia? Tidak! Saya mesti membunuhnya. (SEAKAN
MENUSUKKAN PISAU) Singa betina! Ya, sebaiknya dengan pisau saja. Pisau.
TELEPON BERDERING
Persetan! Skarang pasti dia – (MENGANGKAT PESAWAT)
Kasir di sini! Kasir PT. Dwi Warna!! Apalagi? Jahanam! Ular betina yang telah
menjadikan saya koruptor itu! Jangan bicara apa-apa! Tutup mulut! Mulutmu bau
busuk! Aku bisa mati mendengar kata-katamu lewat telpon! Cari saja laki-laki
lain yang hidungnya tebal – penggoda bah! Cari yang lain! Toch kamu seorang
petualang! (MELETAKKAN PESAWAT) Jahanam! Apakah saya mesti membunuh tiga orang
dalam seketika? O ya. Tadi saya sudah memikirkan pisau. Ya, pisaupun cukup
untuk menghentikan jantung mereka berdenyut. (GERAM) Sayang sekali. Pengarang
sandiwara ini bukan seorang pembunuh sehingga hambarlah cerita ini. Tapi tak
apa. Toch saya sudah cukup marah untukmembunuh mereka. Namun sebaiknya saya
maki-maki dulu alisnya yang nista itu. Saya harus menelponnya! (MENGANGKAT
PESAWAT) kemana saya harus menelpon? Tidak! (MELETAKKAN PESAWATNYA) Lebih baik
saya rancangkan masak-masak dulu semuanya sekarang. Demi Allah, saudara mesti
mengerti perasaan saya. Bilanglah pada istri-istri saudara: “Manis, jagalah
perasaan suamimu, supaya jangan bernasib seperti jazuli”. Ya, memang saya
adalah laki-laki yang malang. Tapi semuanya sudah terlanjur. Sayapun telah
siap. Dengan menyesal sekali saya akan menjadi seorang pembunuh dalam sandiwara
ini. (SEPERTI MENDENGAR DERING TELPON) Hallo? Jazuli di sini. Jazuli. (SADAR)
Saya kira berdering telpon tadi. Nah, saudara bisa
melihat keadaan saya sekarang. Mata saya betul-betul gelap. Telinga saya
betul-betul pekak. Saya tak bisa lagi membedakan telepon itu berdering atau
tidak. Artinya sudah cukup masak mental saya sebagai calon pembunuh. Tapi
seorang pembunuh yang baik senantiasa merancangkan pekerjaannya dengan baik
pula seperti halnya seorang kasir yang baik. Mula-mula, nanti malam tentu, saya
memasuki halaman rumahnya. Saya berani mempertaruhkan separoh umur saya pasti
laki-laki itu di sana. Dalam cahaya bulan yang dihalangi kabut: saya bayangkan
begitulah suasananya. Bulan berkabut,
udara beku oleh dendam, sementara belati telah siap tersembunyi di pinggang
dalam kemeja, saya ketuk ointu serambinya.
Mereka pasti akan terkejut. Lebih-lebih mereka
terkejut melihat pandangan mata saya yang dingin, pandangan mata seorang
pembunuh.
Untuk beberapa saat akan saya pendangi saja mereka
sehingga badan mereka bergetar dan seketika menjadi tua karena ketakutan. Dan
sebelum laki-laki itu sempat mengucapkan
kalimatnya yang pertama, pisau telah tertancap di pusarnya. Dan pasti istri
saya menjerit tapi sebelum jeritnya itu cukup dapat memanggil tetangga-tetangga,
maka belati ini telah bersarang dalam perutnya tentu. Saya akan menarik nafas.
Kalau mayat-mayat itu telah kaku terkapar di lantai, saya akan berkata:
“Terpaksa. Jangan salahkan saya. Keadilan menuntut balas.” (TIBA-TIBA PENING DI
KEPALA) Tapi kalau sekonyong-konyong muncul kedua anak saya? Ita dan Imam? Dan
kalau mereka bertanya: “Pak, ibu kenapa, pak? Pak, ibu Pak?” (MEMUKUL-MUKUL
KEPALA) Tuhanku! (DUDUK. DIA MELAMUN SEKARANG. DUA ORANG ANAKNYA, ITA DAN IMAM,
5 DAN 4 TAHUN MENARI-NARI DI SEKELILINGNYA. DI TENGAH RUANG TENGAH ITU DENGAN SEBUAH
NYANYIAN KANAK-KANAK. BUNGAKU)
Saudara- saudara bisa merasakan hal ini? Mereka
sangat manisnya. Lihatlah. Saya tak bisa marah lagi. Sayapun tak bisa lagi
peduli pada apa saja selain kepada anak-anak yang manis itu. Saya tidak mau
tahu lagi apakah laki-laki itu jahanam apakah tidak. Saya hanya tahu anak-anak
itu sangat manisnya. Betapa saya ingin melihat lagi bagaimana mereka menangis.
Betapa saya ingin melihat lagi bagaimana mereka tertawa. Tak ada yang lain
mutlak harus dipertahankan kecuali anak-anak itu. Saudara- saudara mengerti
maksud saya? Apakah hanya karena cemburu saya mesti merusak kembang-kembang
yang tengah bermekaran itu?
BALERINA-BALERINA KECIL ITU
MENARI BAGAI MALAIKAT-MALAIKAT KECIL
Semangat hidup yang sejati dan keberanian yang
sejati itu timbul dalam diriku begitu saya ingat Ita dan Imam anak-anak saya.
Seakanmereka berkata : “pak, susullah ibu, Pak. Pak, ke kantorlah, Pak”. Ya,
Ita. Ya, Imam.
MALAIKAT-MALAIKAT KECIL ITU
GAIB MENJELMA UDARA
Saya harus pergi ke kantor. Akan saya katakan semuanya
pada Pak Sukandar. Saya akan mengganti uang itu setelah besok saya jual
beberapa barang dalam rumah ini. Setelah semuanya beres saya akan memulai lagi
hidup dengan tenang dan tawakal kepada Tuhan. Hari ini hari Jum’at, di mesjid
setelah sembahyang saya akan minta ampun kepada Allah.
Saya tak mau tahu lagi apakah laki-laki Rahwana atau
bukan. Saya tak mau tahu lagi apakah Sinta itu serong atau tidak. Saya tak
peduli. Tuhan ada dan laki-laki yang macam itu dan perempuan itu ada dalam
hidup saya. Semuanya harus saya hadapi dengan arief, sebab kalau tidak
Indonesia akan hancur berhubung saya menelantarkan anak-anak saya. Ita dan
Imam.
TELPON BERDERING
Jahanam! Kalau saudara mau percaya, inilah sundal
itu. Setiap kali saya tengah berfikir begini, jahanam itu menelpon saya.
(MENGANGKAT PESAWAT)
TELPON ITU BERDERING
Jahanam! Inilah sundal itu!
Sesudah uang kantor ludes, apakah dia mengharap rumah ini dijual? (MENGANGKAT
PESAWAT) Ya! Misbach! Misbach Jazuli! (TERSIAP DARAHNYA) Saudara, jantung saya
berdebar seperti kala duduk di atas kursi pengantin. Demi Tuhan, tak salah ini
adalah suara istri saya. Oh, saya telah mencium bau bedaknya. Hutan mawar dan
hutan anggrek. Ya, manis. Saya sendiri. Saya yakin diapun sefikiran dengan
saya. Saya akan mencoba menyingkap kenangan lama. Hallo?…tentu. Tentu…kenapa
kau tidak menelpon tadi?…Ya, ke kantor, bukan? Memang saya agak sakit (AKAN
BATUK TETAPI URUNG) Ya?…Manis, kau ingat, laut pantai, pasir, tikar,
kulit-kulit kacang…Ah, indah sekali, bukan?…tentu. Tentu…Ha?…Ya?… Bagaimana?…Kawin?
Kau? Segera?… – Lihatlah, niat baik selamanya tidak mudah segera terwujud.
Apa…? Apa…? …Ha??? Saudara, gila perempuan itu. Apakah ini bukan suatu
penghinaan? Dia mengharap agar nanti sore saya datang ke rumahnya untuk melihat
apakah laki-laki calon suaminya itu cocok atau tidak baginya. Gila. Hm, rupanya
laki-laki yang dulu itu cuma iseng saja. Ya, tentu…BISA! (MELETAKKAN PESAWAT
DENGAN KASAR) Jahanam. Saudara tentu mampu merasakan apa yang kurasakan.
Beginilah, kalau pengarang sandiwara ini belum pernah mengalami peristiwa ini.
Beginilah jadinya. Saya sendiripun jadi bingung untuk mengakhiri cerita ini.
(TIBA-TIBA) Persetan! Persetn pengarang itu! Jam berapa sekarang? Persetan
semuanya! Yang penting saya akan ke kantor meski sudah siang. Dari kantor saya
langsung ke mesjid. Dari mesjid saya langsung ke rumah mertua saya. Langsung
saya boyong semuanya. Anak-anak itu menanti saya. Persetan! Sampai ketemu.
Selamat siang. (MELANGKAH SERAYA MENYAMBAR TASNYA. TIBA-TIBA BERHENTI. SETELAH
MENGELUARKAN SAPUTANGAN DAN BATUK MENYEDOT HIDUNGNYA) Saya influensa, bukan?
Black Out. Selesai.
____*____
Bandung, Juli 2001
Tik Ulang,
OCKY SANDRA
KARYA : ARIFIN C. NOER
0 Response to "KASIR KITA"
Post a Comment