MaRKeNDoS






MaRKeNDoS(sebut aku Upi)
Karya Yusef Muldiyana








Monolog
MARKENDOS
(sebut aku Upi)
Karya Yusef Muldiyana


(Pada mulanya hanyalah suatu kegelapan; tak ada cahaya apa pun barang setitik. Alunan musik menyuarakan kengerian alam. Sepoy angin, jatuhan tetes hujan di atas seng tua, gaung malam, jangkrik dan kodok serta tangisan rembulan kedinginan makin lama makin suara, makin suara makin keras. Pada sat gema itu telah mencapai pada puncak kebisingan, tampak perlahan redup cahaya mulai terlihat menghangati panggung. Belum terlihat ada manusia di sana, hanya benda-benda lapuk di sebuah gudang pabrik yang sudah mati. Makin bertambah waktu, cahaya makin terang; belum tampak ada mahluk hidup. Hening….lama sekali…., maka tampak sebuah benda memasuki ruangan sambil bergerak-gerak. Benda itu tak lain sebuah kotak; kardus bekas lemari es berukuran besar; bergerak bahkan menari mengikuti irama music, sungguh sebuah dus yang energik, semangat dan bergairah namun menggambarkan suatu kepanikan, gelisah dan ketakutan. Beberapa saat dia berhenti, lalu bergerak lagi. Berhenti dan bergerak lagi, terus begitu hingga akhirnya terdiam karena merasa jenuh atau sampai pada puncak kelelahan.)

(Kepala seseorang perempuan muda dengan rambut kusut dan wajah ada luka di keningnya, nongol dari dalam kotak itu. ia celingak-celinguk melihat-lihat keadaan sekitar, lalu bergerak menuju pintu kea rah luar sambil menggeser-geserkan kardusnya dan berkata)

Pasti si keparat itu sudah pergi jauh. Dia nggak ngelihat gua sembunyi di sini. Laki-laki belang! Bukan hidungnya saja yang belang tapi segala-galanya! Terutama otak dan hatinya.
Enak saja dia mau perkosa gua, padahal dia orang punya bini dan anak tiga. Dia bukan cowok yang kemarin, juga bukan cowok yang waktu itu hampir berhasil menelanjangi gua sebelum gua tending “margonda”nya hingga dia terkapar di dekat tanah dekat kebun haji Malik.

(Sejenak ia memandang kekosongan, menerawang, seakan menembus zaman.)

Memang susah juga menjadi wanita cantik, menarik dan sekaligus sexi kayak gua. Suka membuat nekad syahwat laki-laki. Seringkali gua alami peristiwa seperti apa yang terjadi pada malam suram, dikejar-kejar lelaki penuh nafsu yang ingin meremas-remas “Luisfigo” gua, ingin mengobok-obok “Jamhuro”gua, dia juga ingin mengelus-elus “Ahapedeg”gua yang amat mulus dan dia pengen makan “sondrow” gua yang rimbunnya minta ampun bagai lautan pedalaman Afrika, yang bisa membuat laki-laki CERDAS alias ngacer bodas. Tegasnya dia ingin sekali markendos ama gua.

(Nyadar)

Kenapa aku ini? Aku ini kenapa? Aku kenapa? Kok aku jadi ngomong gua-gua seperti orang betawi? Seperti sinetron-sinetron cinta remaja lolot dan ogeb, buatan orang-orang lolot dan ogeb, yang dibiayai oleh produser goblok yang sengaja merusak budaya bangsa kita dengan karya-karya ciptaannya, dengan dalih bahwa apa yang dilakukannya sesuai dengan keseharian kehidupan, sesuai dengan keinginan remaja? padahal sebetulnya hanya untuk mengeruk keuntungan semata. Najis! Najis! Kesenian bukan keseharian bung, kesenian membutuhkan kecerdasan dan keseriusan dan bukan semata-mata untuk mengepulkan asap dapur. Gue elu, gue elu, semua orang gue elu. Orang garut, orang Subang, orang Tasik, orang Ciamis, orang Cianjur, semua gue elu seperti orang Jakarta, ingin dibilang orang Ibukota, keren ya kalau dibilang orang Ibukota? Padahal di Ibukota banyak siasat dan maksiat. Banyak perselisihan dan kekeliruan. Orang Ibukota banyak yang bertingkah! Banyak orang Ibukota yang berdosa. Pantas saja waktu itu Ibukota kebanjiran. Bahkan sering dilanda banjir. Maaf ya, buat orang kota, bukan saya sentiment, tapi kenyataannya gitu kok. Saya kan pengalaman. Saya omong begini bukan tanpa fakta dan data. Bersama teman-teman senasib dan sependeritaan. Du ileeehhh…penderitaan, tapi emang hidup saya penuh derita kok. Penuh cobaan, penuh godaan setan pokoknya penuh lika-liku lah.

(Terdengar ada suara langkah di luar, dia bergerak bersama kardusnya, ia mendekati pintu.)

Tukang Odeng lewat, bukan laki-laki belang tadi.

(Kembali ke tempat semula)

Bertahun-tahun saya tinggal di Ibukota. Bertahun-tahun saya bekerja dan berjuang mencari nafkah di Ibukota, dan apa yang saya dapatkan? Di sana saya mendapat ilmu, terutama ilmu Markendos.

(Terdengar lagi suara, kembali ia bergerak ke arah pintu.)

Rupanya ada pelacur menunggu pria yang ingin memarkendosnya. Eh, dia bukan wanita tapi waria.

(Menggelengkan kepalanya, lalu memperhatikan sosok waria yang dilihatnya.)

Eh, kok kayak si Atet?

(Beat)

Peduli ah! Mau si Atet, mau si Teguh, mau si Keko, apa urusanku?

(pause)

Sana! Markendoslah rame-rame, agar kalian bunting rame-rame, bikin aib rame-rame! Perempuan-perempuan markendos rame-rame, sehingga mereka lupa bahwa kewajiban sesungguhnya adalah ‘ngarendos’

Terdengar suara jerit wanita yang sedang berlari karena dikejar laki-laki, terdengar derap langkah kaki kian mendekat. Kemudian jauh lagi. Upi kembali bergerak ke arah jendela



Itu dia! Laki-laki yang tadi mengejarku! Kini dia mengejar perempuan lain, kayaknya dia mengejar pembantu. Huh! Belum terlampiaskan tuh nafsu!? Perawan mungkin yang dia kerjar. Ah, mungkin juga bukan. Susah membuktikan apa dia perawan atau bukan tanpa pemeriksaan medis, seperti banyak orang saya ini perawan…padahal sesungguhnya….

(Diam)

Laki-laki yang ngejar dan ingin memperkosa saya itu mungkin tidak akan terlalu bernafsu mengejar jika ia tahu bahwa saya bukan seorang perawan. Kalau dia tahu sumurku sudah tidak ada pinggirannya. Alias the jip of bol

(diam lagi sejenak seolah berpikir)

Saya sih bukan tidak pernah markendos, bukan tidak senang ‘markendos’ bukan tidak mau ‘markendos’, tapi markendos dengan siapa dulu? Nggak mau saya markendos dengan sembarang orang. Apalagi gratisan. Ogah!

(Ia menjatuhkan badannya sehingga kardus itu turut terjatuh ke lantai. Lantas ia berusaha keluar dari kardus, maka keluarlah ia. Ia cari-cari sesuatu dalam kardus itu. ia menemukan tas. Ia buka tas merogoh-rogoh isinya.)

Tinggal go-ceng? Sial! Recehan tadi mana ya? Jatuh. Hilang lagi!

(tiba-tiba mengenang sesuatu)

Andai saja mas Godi yang mengajak markendos, tentunya saya tidak akan menolak.

(memandang kea rah pintu masuk lalu berjalan mendekati pintu dan lihat keluar dari lubang jendela, jiika memang di sana terdapat jendela)

Rupanya malam semakin larut. Desir angin kian semilir.

(merasa ganjil dengan ucapannya sendiri)

Cuih! Ngomong apa saya ini? Puitis banget, kayak pementasan drama pada umumnya. Terpaksa saya harus mengulang bagian ini.

(Ia memandang kea rah pintu lalu berjalan mendekati pintu dan melihat keluar dari lubang jendela, jika memang di sana terdapat jendela. Lalu ia bicara dengan gaya berlebihan, bahkan terlalu ekspresif)

Ow..ow..ow rupanya malam semakin larut. Wah, malah tambah aneh, tambah tidak realistis. Habis naskahnya memang begitu. gimana nih pengarang? Kok gaya bahasanya tidak wajar? Kok tidak mencerminkan keseharian? Payah! Katanya ekting itu kudu wajar. Karangan itu harus komunikatif. Tapi ini….?

(ia mendapatkan gagasan)

Ya sudah, sekarang aku mau pakai  caraku sendiri. Aku mau pakai kalimat-kalimat sendiri. Improvisasi. Tidak peduli pengarangnya marah atau tidak. Tak peduli sutradara yang galak itu melemparku dengan kursi. Pokoknya aku ingin bebas. Bebas sebebas-bebasnya. Karena bertahun-tahun aku tidak menemukan kebebasan. Aku baru mencoba untuk bebas dan menyiapkan langkah-langkah tegar untuk menjalani hari-hari baru dengan semangat baru. Akan kuraih matahari dalam kebebasan. Kukejar angin dalam kebebasan hingga tiba di ujung masa depan yang gemerlapan.

(tertawa kecil dan sinis tapi panjang)

Baiklah aku pakai kalimat-kalimat sendiri, kata-kata sendiri, penafsiran sendiri, omong sendiri, tertawa sendiri, menangis sendiri, segala-galanya sendiri, karena aku sendiri

(ia menangis tersedu-sedu)

Ssst…sst….

(menyadarkan diri sendiri)

Jangan menangiis dulu Upi! Belum waktunya! Belum jelas apa yang kamu tangisi! Bahaya menangisi sesuatu yang tidak jelas. Ketawa dan nangis orang gila saja banyak sekali penyebabnya. Nah kamu? Kamu itu gak jelas.

(berubah ekspresi)

Tetapi saya sedih, sedih, sedih. Itulah penyebabnya.

(berubah lagi)

Tetap saja gak jelas. Gak jelas.

(kembali berubah)

Oh, jadi mesti jelas gitu? Jadi barusan kurang keras? Baik!.

(ia nangis keras sekali, makin waktu makin keras bunnyinya, seru sekali. Tumpahkan segala kesedihan yang tertanam dalam hidupnya. Tangisannya seolah kegilaan yang bergejolak dalam alam bawah sadar. Lambat laun ia sadari perbuatannya, sekonyong ia hentikan tangis seperti sebuah kendaraan bermotor yang melaju kencang dan berhenti secara mendadak karena pedal remnya diinjak sopir. Kembali dirinya disadarkan)

Apa-apan ini heh!? Jep! Jep! Berhenti! Jangan teriak-teriak! Kenapa kamu ini? Eling…eling…. (tiga kali ia menampar mukanya sendiri) malah berisik! Kalau laki-laki tadi mendengar suaramu, bagaimana?
(diam sesaat)

Benar juga orang-orang penuh nafsu setan itu tahu aku ada di sini, mereka akan ke sini dan….gawat!

(berpikir sejenak)

Sampai dimana tadi?

(Ia memandang ke arah pintu masuk dengan gaya berlebihan; music menghentak, ia berjalan mendekati pintu dengan gerak berlebihan. Lalu ia melihat ke luar dari lubang jendela jika memang di sana terdapat jendela; juga dengan tingkah berlebihan; musik bertalu)

Malam telah beruban. Desir angin kian laju, kitari alam yang kian panjang janggutnya. Samar kerlip bintang yang pemalu tak sanggupmenembus kelam. Tak sanggup menghangatkan sukmaku yang menggigil. Namun tak lama lagi aku datang menjumpai kalian wahai bintang-bintang. Akan kuhangatkan juwaku ditempatmu, akan kubakar gairah kalbu beku agar mencair dan mendidih. Malam semakin larut. Aku harus pulang. Tak betah tinggal digudang ini sendirian.

(Kembali ia memandang arah pintu. Ia berjalan keluar; meninggalkan gudang(Panggung). Beberapa saat panggung kembali kosong, yang tampak hanya barang-barang bekas, usang, lapuk dan kotor. Sarang laba-laba tampak dimana-mana. Musik menyuarakan suara lain yang menggambarkan suatu kegetiran hidup atau boleh juga melukiskan penderitaan tak bertara. Terlihat cahaya kilau meyilaukan pandangan disusul sura petir dan geledeg yang menggetarkan alam. Hujan kembali turun dengan deras, Suara angin, lolongan anjing, tembakan-tembakan Guntur terdengar demikian mencekam. Upi muncul lagi digudang itu dengan kepala dilindungi plastik pengganti payung. Pakaiannya basah, rambutnya basah, tubuhnya basah karena terguyur hujan. Ilistrasi music kembali terdengar. Perlahan-lahan Upi berjalan kearah depan mendekati penonton. Ia tatap satu persatu penonton yang berada dalam kegelapan itu, lalu berkata dengan suara berat).

(Upi bernyanyi tentang hujan. Kemudian ia membaca Koran tentang Piala Oscar. Upi pun menghayal. Setelah itu ia membaca Koran lagi tentang Perkembangan Dunia Mode. Upi pun menghayal lagi).

Nama saya Supriatin. Asal Klaten. Anda boleh memanggil saya, Upi. Kini Upi sedang teringat masa sepuluh tahun lalu, saat Upi masih pacaran dengan Hernowo. Seorang pria yang lumayan ganteng bekerja pada sebuah pabrik batik di kota Solo. Saat itu Upi telah memasuki tahun kedua jadi seorang penganggur setelah tamat SMP. Tak mampu Upi melanjutkan ke SMA, karena kesulitan biaya.

(Upi melakukan Tarian Tradisional Jawa).

Sedikit-sedikit Upi bisa menari. Belajar nari di Sanggar Seni punya bule Tini sau Atadara kandung Ibu. Kadang-kadang dari nari suka dapat uang jajan dan traktir kedua adik, Yoyo dan Yayu. Atau uangnya dipakai berduaan sama Hernowo, makan baso di warung Nini Towong.

(Berhenti menari).

Hernowo itu orangnya banyak ngatur, sok laki-laki, dan cemburunya kelewat besar. Penuh Syak Wasangka. Pada hal dia sendiri yang pernah berkata, “Upi, kamu itu harus berfikir positif”. Orang yang tidak mampu berfikir positif  biasanya cenderung memandang segala sesuatu dengan penuh Syak Wasangka dn mereka-reka apa yang belum terjadi. Sayangnya rekaan-rekaannya itu tidak pernah berupa hal yang menyenenangkan. Sebaliknya, yang terbayang hanya hal-hal sulit dan menyusahkan. Alhasil, hati dan pikiran tidak pernah lapang. Penuh curiga. Belum apa-apa sudah gundah, gelisah dan tegang”. Itulah kalimat-kalimat yang pernah diucapkan Hernowo sepulan nonton Ramayana di Prambanan, sebelum pada akhirnya ia mencium bibir Upi. Tapi omongannya ia langar sendiri. Belum apa-apa sudah curiga dan cemburu jika sedikit saja Upi berbincang dengan lelaki lain.

(Berjoged Dangdut)

Upi pertama kenal dengan Hernowo, pada suatu malam di sebuah panggung dangdut. Lagu demi lagu telah dikumandangkan dari lagu Kuda Lumping, Sakit Gigi, Aku Bukan Pengemis Cinta, Tidak Semua Laki-Laki, Cintaku Terbagi Dua, Hello Dangdut hingga Gubuk Derita; waktu itu belum ada lagu SMS, belum ada lagu Missed Call, lagu MailBox juga belum ada lagu Mbah Dukun.

(Makin Panas Dalam Joged).

Suwarsih teman Upi berkata sambil jogged pula

(merubah gaya joged)

Upi memandang laki-laki itu, akhirnya terjadilah pandangan-pandangan. Kami terus berjoged. Saling pandang dan saling mendekat. Setelah kami berdekatan, ia tersenyum, Upi pun tersenyum. Kembali kami berjoged, ia tersenyum lagi. Upi pun tersenyum lagi. Lantas keluar kata dari mulutnya “siapa namanya jeng?” saya jawab “Upi”. Kemudian dia tersenyum lagi. Upi pun senyum lagi”Namanya bagus” katanya. Lalu giliran Upi nanya “Kalau nama mas, siapa?” “Hernowo” jawabnya. Dari mulutnya tercium bau arak. Bukan bau minuman keras seperti Joni Walker, Jack Daniel atau Contrue, tapi bau Clu; arak tradisional daerah kami.

(berhenti berjoged)

Seminggu setelah itu, kami jadian dan pacaran berbulan-bulan lamanya. Upi juga teringat waktu di Tawangmangu. Di hamparan rumput yang luas kami bercinta sambil menyanyi-nyanyi model film India. Dia serasa Sahrul Khan dan Upi sendiri sebagai Karina Kapur.

(melakukan gerak pencak silat)

Upi belajar silat pada perguruan silat mang Warsana, yang masih ada pertalian saudara dengan Suwarsih. Suwarsih itu Bapaknya kelahiran Sleman. Walaupun Ibunya besar di lamongan tapi ia kelahiran Ciamis.

(melakukan gerakan senam)

Upi juga sering ikut senam di sanggar senam Ira. Gak bayar alias gratis karena mbak Ira itu kakak sepupu Upi.

(berhenti bergerak)

Ibu Upi berniat jualan jamu untuk membantu dan meringankan usaha Bapak dalam mendapatkan uang. Bapak bekerja sebagai kuli bangunan yang penghasilannya tidak seberapa. Yoyo mesti masuk SMP dan Yayu masuk SD. Upi jadi malu sendiri melihat hal itu. Upi berniat kerja juga. Suatu hari datanglah tante Wida dari Jakarta yang mengaku-aku sebagai penyalur tenagakerja. Ia mengajak Upi untuk ikut ke Jakarta. Upi akan dididik jadi tenaga kerja dan dikirim ke luar negeri dengan gaji yang memuaskan. Upi menerima tawaran tante Wida dan Upi pergi ke Jakarta meskipun Upi harus memutuskan hubungan dengan Hernowo. Kami bertengkar sengit. Hernowo tidak setuju dengan rencan Upi. Tapi Upi tetap pada keputusan untuk menerima ajakan tante Wida, karena Upi perlu uang untuk membantu orang tua Upi.

(long pause)

Upi tinggal di suatu tempat penampungan bersama kawan-kawan lain, tapi Upi berbulan-bulan belum juga mendapat giliran untuk di berangkatkan ke luar negeri.

(tari dugem)

Waktu demi waktu berpacu menambah usia jaman. Upi juga tak dikirim menjadi pekerja. Upi menjadi seorang wanita pemuas nafsu laki-laki. Upi malu pulang ke kampong, Upi sadar diri Upi berlumur dosa, tapi Upi butuh duit untuk hidup.

(gerak kreatif)

Dua tahun lamanya Upi hidup sebagai perempuan malam. Berbagai lelaki telah Upi layani. Tapi hanya satu laki-laki yang berkesan di hati Upi. Namanya mas Godi. Ia tidak pernah ngapa-ngapain Upi. Ia hanya senang ngobrol-ngobrol sambil ingin mengetahui seluk beluk kehidupan Upi. Ternyata mas Godi itu penulis novel yang sedang melakukan penelitian untuk novel terbarunya. Novelnya  yang terkenal adalah ‘rahasia istri muda’.

(diam bagai patung lalu menarik napas panjang)

Suatu hari Tike, teman seprofesi datang sambil membawa surat kabar “Upi kamu sudah baca berita ini?” katanya sambil menyodorkan Koran itu. saya baca berita yang menerangkan bahwa Darsini teman kami telah terjangkit virus HIV, dia menderita AIDS. Ini bukan berita pertama yang memberitakan soal penyakit itu. minggu yang lalu Murni seorang PSK juga dinyatakan positif menderita penyakit itu.

(diam lagi)

Beberapa hari kemudian Tike datang lagi dengan membawa surat kabar baru. “Upi, ini ada berita yang lebih heboh” Upi membaca judul berita di surat kabar itu “bayi berusia enam bulan terjangkit virus HIV” bayi itu anak Murni.

(menarik napas pendek berulang-ulang)

Upi jadi ketakutan. Kalau penyakit itu menjangkiti pada diri Upi. Upi ingin menghentikan pekerjaan itu. tapi apalagi usaha Upi selain itu? berhari-hari Upi mikirin itu.

(melakukan gerakan sebagai buruh tekstil)

Upi mengutarakan keinginan untuk menghentikan pekerjaan yang memalukan itu pad mas Godi. Dengan senang hati mas Godi menghargai keputusan Upi, malah mas Godilah yang mengusahakan hingga akhirnya Upi bekerja sebagai buruh di pabrik tekstil. Berbulan-bulan Upi bekerja. Upi ingin segera mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk dikirim ke Klaten. Tapi uang terkumpul baru ratusan ribu rupiah. Kalau uang sudah terkumpul dua juta rUpiah barulah akan Upi kirimkan pada Bapak dan Ibu. Upi merasa rindu pada kedua orang tua dan sudah tak sabar ingin bertemu Yoyo dan Yayu. Sudah sebesar apa mereka sekarang?

(gerakan-gerakan gosip dan bicara dengan berganti-ganti warna vocal)

“Upi itu pelacur lho!”, “Si Upi itu perempuan naka!”, “masa sih mantan pelacur diterima kerja di sini?”,”Apa benar si Upi itu WTS?”,”benar, saya pernah melihat dia dibawa om-om masuk hotel cabul”,”Ayo kita laporkan pada pimpinan agar dikeluarkan dari pabrik ini!”.”jangan, kasihan. Lagipula dia kan sudah berhenti dari pekrjaan lamanya”,”Pelacur itu tidak perlu dikasihani”,”Pelacur juga manusia, punya hati dan nurani”,”Betul! Jangan kalian samakan dengan pisau belati!”,”Pelacur juga seperti pelangi, ciptaan Tuhan”,”Ia melakukan semua itu karena butuh uang”,”Dia itu orang tak beriman, ahlaknya ahlak setan”

(berhenti bergerak)

Bekerja sebagai buruh penuh liku-liku dan persaingan keras diantara teman kerja. Sikut menyikut bukan hanya terjadi di kelas pejabat saja, tapi di golongan bawahpun sikut menyikut untuk meraih kedudukan acapkali terjadi. Di antara teman sepekerjaan ada yang mengetahui bahwa Upi adalah seorang WTS. Gunjing demi gunjing akhirnya hal itu tersebar sampai ke tingkat direksi. Dan banyak karyawan laki-laki ingin markendos dengan Upi. Selain Upi berwajah cantik, Upi juga dikaruniai tubuh yang sangat “Juves”. Juves itu istilah yang Upi buat untuk mengganti kata Sexy. Tak heran banyak lelaki yang ingin markendos Upi.

(Gerakan bekerja)

Hari demi hari Upi semakin semangat dalam bekerja. Sebulan lagi bekerja, uang tabungan Upi genap dua juta rupiah. Berarti sebulan lagi Upi akan pulang ke Klaten bertemu kedua orang tua dan kedua adik.

(Gerakan berbeda)

Suatu hari tersiar kabar, kampong Upi terkena musibah gempa bertepatan dengan uang Upi yang telah terkumpul dua juta rupiah. Upi segera pulang ke kampung. Malang tak dapat dihalang, rumah orang tua Upi telah sirna termakan gempa; kedua orang tua Upi serta kedua adik Upi. Upi sebatang kara. Upi betul marah pada Tuhan, kenapa Tuhan tega menimpakan semua ini pada kami. Kamu kejam Tuhan. Tuhan tidak sayang Upi. Tuhan tidak membiarkan Upi bertemu dengan orang tua dan adik-adik Upi sedetik saja. Upi lantas pergi menuju kuburan dimana kedua orangtua dan adik Upi dimakamkan.

(ia berjalan menuju kuburan yang jaraknya sekitar dua kilo meter dari rumah yang terkena gempa, sesampainya, ia mencari kuburan orang tuanya.)

Begitu menemukan kuburan Ibu, Bapak dan kedua adik Upi. Entah kenapa Upi tiba-tiba seperti orang bisu, Upi bersimpuh dan menangis di atas kuburan Ibu.

(berkata-kata seperti orang bisu)

Lalu Upi memandang kuburan ayah

(menangis tersedu dan berkata seperti orang bisu)

Kesedihan Upi bertambah menakala Upi mendekati kuburan Yoyo dan Yayu

(Kembali bisu)

Seminggu kemudian Upi kembali ke Jakarta. Kembali bekerja.

(Gerakan bekerja)

Sebulan kemudian Upi terkena PHK, karena pimpinan perusahaan berniat mengurangi jumlah pekerja.

(Gerak perlahan)

Tuhan masih sayang sama Upi. Sayang sekali. Setelah sekian lama menganggur, datanglah lowongan kerja sebagai pembantu rumah tangga. Upi diterima bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Rudi Lee, seorang tionghoa kawan Sonny Soeng. Sampai sekarang Upi bekerja di situ. Lihatlah kening Upi, luka diterkam anjing milik tuan Rudi ketika Upi berusaha mengambil kutu di telinga anjing itu. tiap malam Upi selalu dibayang-bayangi wajah Bapak, Ibu dan yoyo dan yayu. Sering Upi bercakap-cakap dengan mereka, tapi semuanya hanya ada dalam mimpi, hanya ada dalam alam maya, hanya ada dalam khayalan Upi. Upi juga sering dihantui oleh suara gelak hernowo yang selalu tertawa puas mengejek Upi. Ya, Hernowo kini telah berbahagia dengan istri dan anak-anaknya.

(gerak gosip)

“pembantu Rudi Lee, asyik lho”,”kalau ketemu dia aku selalu ingin memperkosanya”,”saya sih ingin menjadi suaminya”,”Beta ingin sekali memoligami dia”,”Dia masih gadis atau sudah janda?”,”Jangan-jangan dia pernah dikerjai Rudi lee”,” Dia pantas menjadi artis”,”Saya pernah mendengar dia menyanyi, suaranya mantap seperti biduan”,” Saya pernah mengintip dia ketika sedang jogged di kamarnya”,”saya pernah mengintip dia dari lubang kunci kamar pembantu ketika dia mandi”,” Gue pernah ngikutin dia jalan sampe pasar”,” Kuring mah sok ngadaregdeg ari panggih jeung si Upi teh”,”Dia pernah saya kejar-kejar sampai pintu gerbang Rudi Lee, habis saya kebelet ingin memperkosanya”

(tenang)

Itulah seluk beluk kehidupanku. Penuh kesedihan, penuh penderitaan, penuh hal-hal yang menjengkelkan tapi penuh juga hal-hal menggelikan. Di gudang tua ini ingin kuhabiskan seluruh airmataku agar aku tak bisa lagi emnangiis atau tertawa sepuas-puasnya.

(tiba-tiba Upi tertawa kera dan lama sekali setelah ia tertawa ia menangis pedih dan perih lalu tersedu lama sekali. Lalu terbias kemarahan dari mata dan raut wajahnya. Lalu seluruh tubuhnya menggigil kedinginan. Tubuhnya bergetar, gigi bersuara bergemeretak.

Ya Tuhan, kenapa aku ini? Kenapa tiba-tiba aku menggigil begini? Penyakit apa ini? Kumohon tuhan jangan beri dulu aku penyakit, aku belum mau mati, ijinkan aku bebruat kebaikan sebanyak-banyaknya. Aku belum mau menemui ajal dalam keadaan masih berlumur dosa.

(Upi semakin mengigil, tubuhnya kian bergetar, kini mulutnya menganga seolah menatap cahaya Tuhan. Keadaan ini lama berlangsung. Upi terdiam seperti patung. Terdengar sebuah lagu yang dinyanyikan entah siapa)

Hentikan impian
Tataplah kenyataan
Bumi kembali berdarah
Saudara kita terluka
Di sana sini ada jeritan
Di sana sini teriakan
Di sana sini banyak ratapan
Di sana sini kesedihan
Negara dilanda bencana
Negara dilanda gempa
Ulurkan tanganmu untuk sesame
Bantulah saudara-saudara kita
Anak kehilangan Bapak
Istri kehilangan suami
Anak dan istri
Mencari nafkah
Untuk hidup


TAMAT

0 Response to "MaRKeNDoS"