Monolog
Kenang- kenangan seorang wanita pemalu *)
Karya W.S Rendra
DI PANGGUNG TAMPAK SILHUET JENDELA
DENGAN GAYA ARSITEKTUR INDONESIA TAHUN 50-AN. DIBALIK JENDELA ITU,
BAYANG-BAYANG SEORANG PEREMPUAN. SAYUP-SAYUP TERDENGAR JUGA LAGU KENANGAN DARI
SEBUAH RADIO. LALU SUARA SEORANG PEREMPUAN, LEMBUT LALU MENANGGUNG KESEDIHAN.
SUARA :
Sekarang, aku
akan menulis sebuah pengakuan. Pengakuan yang pertama dan terakhir kalinya.
Sangat berat menulis pengakuan semacam ini aku tak akan bisa dengan jelas
menerangkan mengapa. Saat ini kenang-kenangan itu sangat menguasai diriku seakan-akan
menjadi satu dengan darahku dan meracuni seluruh tubuhku. Aku jadi lemas
karenanya. Perasaan semacam inilah yang mendorongku untuk menulis pengakuan
ini.
Pagi tadi, aku
melihat pohon kemuning didepan beranda telah berbunga lagi. Suara burung
bercicitan sambil berlompatan direranting. Cahaya matahari terasa amat sentosa.
Hal ini kembali mengingatkan ku pada karnaen ketika pertama kali ia menyatakan
cintanya kepada saya. Pagi hari seiring dengan bunga-bunga kemuning yang mekar
dan jatuh. Ya… mungkin setiap detik sejak hari ini saya tak akan bias melepaskan
diri dari kenang-kenangan pada karnaen……….. (Fade out)
SEMENTARA SUARA ITU MASIH TERDENGAR, DIPANGGUNG
TAMPAK SEBUAH BANGKU PANJANG DENGAN LATAR LANSKAP PADANG ILALANG. ADA JUGA
JALAN SETAPAK YANG MELIUK DIANTARA RIMBUN ILALANG ITU. DARI ARAH JALAN INI
TAMPAK SEORANG PEREMPUAN BERSEPEDA KIAN MENDEKAT KEARAH BANGKU KAYU ITU. ANGIN
PAGI MENDESIR PELAN. TAK BERAPA LAMA PEREMPUAN ITU TELAH DUDUK TERMANGU DIBANGKU
KAYU.
Sekarang umur saya 53 tahun. Dahulu
waktu pertamakali saya berjumpa dengan Karnaen, saya masih 17 tahun, masih
senang memakai rok dan dolanan bergerombol dengan anak-anak gadis
lainnya. Dan Karnaen?
Ah, bagaimana saya memberi gambaran
tentang dirinya. Ia luar biasa. Caranya berjalan mengesankan bahwa dia seorang
pemuda yang bebas yang penuh kegembiraan dalam hidupnya. Rambutnya sangat
hitam, berombak, panjang sebahu. Alisnya tebal. Ia tidak begitu tinggi, tapi
juga tidak rendah. Kalau ia memasuki ambang pintu rumah, kira-kira ia lebih
rendah satu setengah jengkal dari puncaknya. Badannya tegap. Ia selalu
tersenyum pada siapa pun dan pandai melucu. Ia selalu mempunyai dongeng,
teka-teki, dan cerita yang bisa membuat siapapun terpingkal-pingkal atau pun
terharu mendengarnya. Ia juga pandai menulis dan membacakan sajak-sajak.
Apabila tertawa suaranya keras sekali. Ia mempunyai banyak teman laki-laki dan
perempuan. Ia selalu diterima oleh siapapun. Kadang-kadang, kalau kami sedang
main rujakan, tiba-tiba ia datang dengan satu atau dua teman
laki-lakinya dan mereka langsung ikut melahap rujak tanpa permisi dulu
(TERTAWA)
…kami para gadis langsung memukuli
mereka. Tapi karnaen tak pernah lari kalau saya yang memukulnya. Ia malah
seperti menyerahkan badannya sambil memandangi saya. Saya malu… dan bila sudah
begitu, Karnaen mulai melucu dan mencari perhatian. Saya tak bisa menahan tawa
tapi juga tak berani menunjukkan muka padanya. Lalu dia malah makin menjadi
meledek hingga saya lari ke dalam rumah dan tak keluar lagi, diam di kamar
sambil mengenangkan bagaimana lucunya dia dan bagaimana menyenangkannya.
( PAUSE )
Suatu hari, saat saya dan teman-teman
sedang dolan-dolan bersepeda ke tempat tamasya, seorang teman saya
berkata. Karnaen pernah bilang padanya bahwa dia tertarik pada saya. Mendengar
itu muka saya jadi merah dan teman-teman mulai meledek dan menjodoh-jodohkan
saya dengan Karnaen. Saya jadi berkeringat, gugup, dan malu sekali.
Saya membantah dan menolak
dijodoh-jodohkan seperti itu. Tapi teman-teman saya tak mau berhenti. Akhirnya,
karena tak tahan dengan ledekan teman-teman, saya memutar haluan sepeda dan
tidak mengubris teriakan mereka. Sejak saat itu saya selalu menjauhi Karnaen.
Saya tidak marah padanya, tapi kalau berjumpa dengannya saya jadi
berdebar-debar dan malu sekali. Kadang-kadang saya suka juga sembunyi-sembunyi
memperhatikannya. Dan betapa malunya saya dahulu waktu mengetahui bahwa
rupa-rupanya ia tahu sering saya perhatikan. Sebelumnya, saya memang sering
omong-omong dengannya. Tapi lantaran ulah teman-teman menjodohjodohkan kami
saya jadi sering salah tingkah kalau diajaknya ngomong. Kalimat saya selalu
pendek-pendek “Ya….”,”Tidak….”,”Entah”….dan muka saya selalu menunduk. Karnaen
menyangka saya tidak senang padanya. Dan jika Karnaen menanyakan mengapa saya
jadi bersikap aneh seperti itu, saya malah bingung lalu melarikan diri. Tentu
saja saya tidak marah padanya. Bagaimana sebenarnya perasaan saya terhadapnya? Bagaimana
ia,…ah, berat mengatakannya….sukar untuk menerangkan dengan tepat…. saya
bingung….saya berdebar-debar…saya tak bisa menguasai diri lagi… Dan saya tak bisa
mengatakan itu kepadanya. Saya hanya bisa lari.
Rupanya lama-lama Karnaen merasa jengkel
dengan sikap saya itu. Ia pun lalu tak pernah mendekati saya lagi. Kalau
kebetulan ia berada di antara saya dan kawan-kawan, ia tak memperhatikan saya
lagi. Ia selalu bercanda dengan gadis-gadis lain. Terutama dengan si Endang.
Dan semua orang tahu Endang memang menaruh simpati pada karnaen. Saya merasa
sakit hati kalau Karnaen memperhatikan Endang. Saya lantas memasang muka cemberut
pada Karnaen dan terjadilah ketegangan di antara kami. Ketegangan tanpa
katakata, yang hanya bisa kami rasakan masing-masing. Saya menunjukkan sikap
marah dan Karnaen menunjukkan sikap acuh tak acuh. Sandiwara semacam ini
berlangsung lama juga. Karnaen sungguh menjengkelkan sekali! tapi saya tak bisa
menghapuskan dia dari lamunan saya. Justru karena kejengkelan itu saya malah
selalu terkenang-kenang padanya. Saya malu pada diri saya sendiri….. Suatu
sore, ketika saya sedang duduk belajar di bawah pohon kemuning di depan rumah, tiba-tiba
saya lihat Karnaen sudah berdiri di depan saya. Saya tak menyadari bagaimana ia
telah datang. Waktu itu, kedua orang tua saya tidak ada di rumah. keadaan rumah
sangat sepi. Saya sangat terkejut dengan kedatangan Karnaen yang tiba-tiba itu.
Kemudian muncullah rasa takut saya. Saya berdebar-debar. Tetapi lalu ia
berkata:
Jangan takut.
barangkali kedatangan saya telah mengejutkan kamu, saya menyesal sekali
Perkataan dan suaranya menyejukkan hati.
Ia tersenyum lalu saya membalas senyumannya. Kemudia ia berkata lagi.
Kau tak
keberatan saya mampir sebentar, kan?
Saya tersenyum saja tapi tak menjawab.
Ia tersenyum lebih lebar dan duduk di bangku sebelah saya. Kemudian ia berkata
lagi.
Berhari-hari
saya merasa gelisah. Saya merasa sikapmu terhadap saya akhir-akhir ini aneh
sekali, maksud saya lain dari biasanya. Marahkah kau pada saya?
Saya diam saja menundukkan kepala. Ia
lalu bertanya lagi.
Seandainya kau
marah pada saya. Apa sebabnya? Cobalah katakan. Jangan diam saja begitu.
Katakan terus terang. Mungkin saya bisa mengubah apa-apa saja yang menyebabkan
kau marah bicaralah….
Saya tetap diam saja. Tapi waktu ia
mendesak terus, saya pun menjawab dengan suara yang sangat seret: “Saya tidak
marah, kok”. Kemudian ia bertanya lagi, apa artinya segala kelakuan saya yang
ganjil itu. Bagaimana saya bisa menerangkan hal itu padanya, sedang saya
sendiri bingung mengapa saya jadi bersikap aneh seperti itu. Jadi saya diam
saja. Ia tak henti-hentinya bertanya tentang hal itu. Bahkan ia juga bertanya,
apakah saya telah membencinya? Atas pertanyaan itu saya tidak menjawab apa-apa.
Saya hanya memandang kepadanya dengan pandangan yang menunjukkan bahwa saya
tidak benci kepadanya, tapi rupa-rupanya ia takmengerti arti pandangan mata
saya. Dan lama-lama ia tampak jadi bingung dengan pertanyaan-pertanyaannya
sendiri. Ia berdiri, lalu mondarmandir di depan saya dan tak bertanya lagi.
Setelah beberapa saat kami saling diam, ia berkata:
Baiklah,
bagaimanapun sikapmu pada saya, saya akan mengatakan bahwa saya sangat
mencintaimu. Ya, ini harus saya katakana. Saya sangat mencintaimu…
Saya jadi gemetar. Sya merasa setengah
pingsan dan kurang menyadari apakah saya masih berpijak di bumi. Kemudian ia
memegang tangan saya dan berkata lagi:
Katakanlah
apakah kau juga membalas cinta saya?
Pertanyaan itu diakhiri dengan mencium
telapak tangan saya. Saya merasa geli dan bulukuduk saya berdiri. Ketika dia
cium sekali lagi tangan saya, saya jadi lemas. Saya lalu menarik tangan saya
dan lari ke dalam rumah, mengunci pintu. Karnaen berteriak-teriak memanggil
saya, tapi saya tak mau keluar lagi. Setelah beberapa lama, saya intip dia dari
jendela, saya lihat ia masih berdiri sambil menatap pintu tanpa berkedip,
sedang di atasnya bunga-bunga kemuning terserak diantara daun-daunnya yang
hijau.
Saya merasa kasihan kepadanya. Saya
ingin mengatakn bahwa saya pun mencintainya.Sangat, sangat, sangat,sangat
mencintainya. Dan saya merasa terbang keawang-awang ketika ia mencium tangan
saya. Seharusnya ia telah tahu itu. Tak usah saya mengatakannya. Saya tak tahu
bagaimana mengatakannya. Pada malam harinya di atas tempat tidur, saya terlena
memikirkan apa yang terjadi di bawah kemuning sore tadi. Bayangkanlah! Karnaen,
seorang pemuda simpatik yang banyak dipuja gadis-gadis, telah menyatakan
cintanya kepada saya. Adakah kebahagiaan yang lebih indah dari itu? Saya belai
tangan saya yang diciumnya, saya lekatkan pada pipi saya.
PADANG ILALANG DI HEMBUS ANGIN. LANGIT
BERSIH BURUNG-BURUNG TERBANG MELINTAS KAKI LANGIT.
Keesokan harinya waktu saya berjumpa
dengan Karnaen dalam perjalanan kesekolah. Saya berdebar-debar dan gugup. Ia
menyertai saya dan bertanya bagaimana jawaban saya atas pertanyaannya kemarin.
Saya malah gelisah karena ia berjalan persis di sebelah saya, saya malu pada
teman-teman dan saya tak bisa menjawab pertanyaannya. Lalu saya berlari
meninggalkannya, mengejar teman-teman yang berjalan di depan saya dan menyertai
mereka.
Waktu pulang sekolah, saya lihat Karnaen
menunggu saya di depan gerbang sekolah dengan sepedanya. Saya tak berani
keluar. Teman-teman saya mulai meledek. Saya sangat malu. Tetapi tiba-tiba kami
semua terdiam, karena kami melihat Karnaen melambaikan tangannya memanggil
Endang. Mereka berdua ngomong-ngomong dan tertawa sebentar. Kemudian mereka
berdua pergi. Karnaen membonceng Endang. Melihat itu, kerongkongan saya seperti
tersumbat dan hampir menitikkan air mata. Hati saya panas sekali! Dan saya
merasa tersinggung didepan teman-teman! Rupanya Karnaen juga tersinggung denagn
sikap saya pagi itu dan saya pun sangat marah padanya. Kalau kebetulan kami
bertemu, saya memalingkan muka saya dan Karnaen makin acuh tak acuh. Saya
jengkel sekali....!
Bagi saya ia serupa api yang indah di
dalam gelap malam yang sepi. Bila didekati akan terasa hangat dan nyaman, tapi
bila terlalu dekat saya takut terbakar. Ah, mengapa sesulit ini jalan yang
harus saya tempuh. Saya lalu menceritakan semua itu pada Tuti, satu-satunya
sahabat kepercayaan saya. Saya katakan pada Tuti, bahwa saya sangat mencintai
Karnaen tapi saya sangat bingung dan gelisah. Tuti pun menghibur dan
menenangkan hati saya dan menjamin semuanya akan beres.
Tanpa sepengetahuan saya, semua yang
saya ceritakan kepada Tuti itu, disampaikannya kepada Karnaen dan tersiar ke
semua teman-teman. Saya tidak tahu mengapa hal itu sampai diketahui semua
orang. Menurut Tuti, Karnaenlah yang menyebarkan ceritanya. Ia berbuat begitu
karena terdorong kegembiraannya. Namun saya tak bisa membenarkan hal itu. Saya
merasa kehilangan muka. Saya malu!
Kalau berjumpa dengan Karnaen saya
terpaksa bersikap dingin. Sebaliknya Karnaen makin berani mendesak dan
menyerang saya. Semuanya lalu kehilangan keindahannya. Lebih-lebih ketika teman
laki-laki ikut menyindir-nyindir perihal cinta saya pada Karnaen. Akhirnya saya
merasa bahwa diri saya telah dianggap rendah dan murah! Saya tak bisa menahan
diri lagi. Dengan sangat marah saya katakan kepada mereka bahwa berita saya
mencintai Karnaen itu hanyalah bohong belaka! Dan saya tambahkan bahwa saya
sangat membenci Karnaen! Tak mungkin Karnaen akan mendapatkan saya! Sebentar
saja omongan itu sudah tersebar dan sampai juga pada Karnaen. Saya tak menyadari
apa yang akan terjadi karena hal itu! dan saya memang tak akan memperdulikannya!
Beberapa hari kemudian Karnaen datang ke
rumah, tapi saya tak mau menemuinya. Saya minta kepada ibu saya untuk
mengatakan bahwa saya tidak ada di rumah. Namun, saya merasa bahwa karnaen tahu
kebohongan saya itu. Keesokan harinya, saat saya keluar gerbang untuk berangkat
kesekolah. Karnaen menghadang saya di situ. Ia berkata dengan suara yang serak:
Kau tak usah
takut atau terkejut. Saya tak akan menjamahmu. Saya cuma akan berkata: kau ini
kejam. Saya mencintaimu dengan tulus dan rela, saya berusaha mencintaimu dengan
jujur dan terbuka. Tapi kau mempermainkan saya. Seandainya kau tak mencintai
saya, kengapa tak kau katakan saat saya pertama kali menyatakan cinta saya?
Seandainya kau berterus terang bahwa kau tak mencintai saya tentu saya tak akan
sakit hati dan akan mengundurkan diri dengan rela. Tapi rupanya kau ingin
mempermainkan perasaan saya...
Kau tak
mencintai saya tapi tak mau melepaskan saya. Kau ingin dipuja. Kau beri saya
sedikit harapan supaya saya tetap memujamu. Tapi sebenarnya harapan itu cuma
palsu. Kau mempermainkan perasaan orang. Sekali waktu kau pasti akan
mendapatkan balasannya. Kau katakan pada Tuti bahwa engkau pun membalas cinta
saya. Saya sangat girang dan menceritakan hal itu pada teman-teman. Tapi kau
malah mengingkarinya dan mengatakan sebaliknya pada teman-teman. Kau tak
ragu-ragu mempermalukan saya di depan teman-teman. Bagi laki-laki kehormatan
dan harga diri itu sangat penting. Tapi harga diri dan kehormatan saya itu
telah kau injak-injak. Saya tak bisa memaafkan kau lagi. –Besok saya berangkat
ke Jakarta. Saya akan meninggalkan Klaten untuk selama-lamanya. Saya sudah
kehilangan muka disini. Saya akan masuk heiho.
Barangkali kita
tak akan berjumpa lagi.Untuk terakhir kalinya saya katakan, saya sangat
mencintaimu. Saya tak mungkin melupakanmu. tapi saya tak bias memaafkanmu..
Bagi saya, engkau seperti racun dalam darah. Tapi saya akan tetap mencintaimu.
Sesudah kalimat terakhir itu. Dia terus
pergi begitu saja. Semua kata-katanya saya dengarkan seakan ada sebilah pisau
yang tertancap di dada saya. Saya ingin berlutut dan mencium kakinya tapi tak
kuasa. Saya linglung... saya menangis... dan saya merasa remuk didalam. Waktu
ia pergi saya hampir tak kuasa berdiri lagi. Saya tak bisa melihat dengan jelas
sosok tubuhnya ketika ia berlalu meninggalkan saya pengelihatan saya tertutup oleh genangan air mata. Sebuah pemandangan
yang samar memisahkan saya dari padanya.
Hari itu saya tak sanggup pergi ke
sekolah. Tuti menjenguk saya. Saya ceritakan semua pada Tuti bahwa Karnaen
telah salah menyangka. Dan Tuti sekali lagi meyakinkan pada saya bahwa saya tak
boleh putus asa... Esoknya Karnaen tetap pergi ke Jakarta Tuti telah berusaha
menjelaskan pada karnaen apa yang menyebabkan dia salah paham. Saya
mencintainya sangat mencintainya. Tapi sebuah tenaga yang gaib menyebabkan saya
tidak mampu mengucapkannya. Saya sangat lemah.
Saya tak bisa melupakan Karnaen. Ia
telah menyumpahkan cinta yang ikhlas dan suci. Saya pun dalam hati telah
menyumpahkan cinta dan kesetiaan untuknya. Saya akan menantinya. Entah kapan ia
akan kembali saya akan tetap menantinya. Saya akan tunjukkan, meskipun saya tak
bisa mengucapkan cinta kepadanya. Saya akan menantinya. Terus menanti.
Lalu datanglah kabar bahwa Karnaen telah
masuk heiho dan di kirim ke Burma selama dan pulang dalam wujud jenazah.
Karnaen gugur di Burma. Tapi saya akan tetap menjadi miliknya. Apakah ia pulang
dalam keadaan sehat, cacat, atau mati, ia tetap kekasih saya. Dan sebagaimana
bumi yang hanya mengenal satu matahari, hati saya pun hanya mengenal satu
kekasih. Usaha kedua orang tua saya untuk mengawinkan saya, selalu saya tolak.
Di dalam hati, saya merasa telah menjadi istri Karnaen. Saya sangat patuh,
bakti, dan setia kepadanya. Seorang istri yang baik selalu membuatkan makanan
yang enakenak untuk suaminya. Menjahitkan saputangan-saputangan yang bagus
untuk suaminya.
PEREMPUAN ITU TIDAK DAPAT MELANJUTKAN
KALIMATNYA, SELURUH KATA-KATNYA TERTELAN KESEDIHAN. LALU IA DUDUK TERCENUNG DI BANGKU.
ANGIN MENDESIR PELAN .SORE ABU-ABU.
3Agustus 1985
*) Alih bentuk ke dalam oleh Iswadi
Pratama
**) Heiho : Pasukan pembantu balatentara
Jepang Perang Dunia II
0 Response to "Kenang- kenangan seorang wanita pemalu"
Post a Comment