Monolog
TOLONG
Karya N. RIANTIARNO
ATIKAH (SEKETIKA
TERGERAGAP, BANGUN, MENGEJAR KE JENDELA, BERTERIAK)
Tolong! Siapa saja di situ,
tolong! Saya di sini! Tolong! Ada manusia di sini. Perempuan. Saya. Tolong!
Jangan pergi! Berhenti! Datanglah, datang! Lekas! Saya di sini. Saya butuh
pertolongan. Berhenti! Dengar teriakan saya! Dan datang ke mari! Jangan pergi …
tolong .. jangan pergi .. tolong ..
(LEMAS. TERKULAI. KATA-KATA
TERAKHIRNYA NYARIS TAK TERDENGAR)
Tidak ada yang sudi menolong
saya. Tidak ada yang datang. Saya dilupakan.
Sudah berapa lama saya disini?
Tidak tahu. Sudah berapa lama saya disiksa, macam binatang? Saya juga tidak
tahu. Apa saya binatang?
Empat dinding ini, hanya satu
jendela berjeruji besi jauh di atas sana. Tembok yang tebal. Tidak ada
perabotan. Hanya tikar dan bantal. Tidak ada selimut. Saya tahu, tidak mungkin
lolos dari penjara ini jika tidak ada yang sudi menolong. Mustahil saya
selamat, jika tidak ada mukjijat.
(SEAKAN MELIHAT BAYANGAN DI
DEPANNYA)
Mudasir? Kamu Mudasir?
Bagaimana caranya kamu masuk kamar ini? Mudasir? Kenapa? Tidak kenal saya lagi?
Saya Atikah. Isterimu. Dulu, kamu mengantar saya ke Jakarta. Kita berpisahan di
Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Kamu cerita di surat, sehabis mengantar
saya kamu langsung pulang ke kampung mengurus sawah. Sampai setahun lebih kita
saling berkirim surat. Sesudah musibah datang, surat-suratmu tidak datang
lagi.
Jangan pergi, Mudasir. Jangan
tinggalkan saya. Apa saya sudah tidak punya daya tarik lagi? Kamu dulu sering
bilang saya cantik. Saya memang cantik. Kecantikan yang alami, tanpa gincu dan
bedak. Kamu suka saya apa adanya. Kamu sering bilang begitu. Ini saya, Atikah.
Saya tahu, penyiksaan ini bikin saya tidak secantik dulu lagi. Kalau ada cermin
di kamar ini, mungkin saya bisa segera tahu. Wajah saya bisa saja sudah seperti
gombal busuk. Bacin dan tidak layak dipandang-pandang. Bikin jijik ya?
Tapi, Mudasir, kamu menikahi
saya lahir batin ‘kan? Kamu bukan hanya menikahi wajah saya? Kalau memang benar
kamu di sini, tolong saya. Keluarkan saya dari sekapan ini. Lalu kita pulang
kampung bersama-sama. Tidak perlu melapor kepada Police Raja Diraja, tidak guna
melapor kepada Menteri Tenaga Kerja. Kita warga negara Indonesia, bukan warga
negara Philipina. Beruntunglah mereka yang berasal dari Philipina. Bahkan
presiden mereka pun peduli kepada nasib para tenaga kerjanya, terutama yang
bekerja di manca negara. Kita? Kalau banyak uang, diperas sampai habis tulang
sumsum. Tapi kalau ada musibah, pura-pura tidak tahu, diabaikan.
Mudasir, itu kenyataan. Kita
binatang penghasil devisa negara. Sebutan pahlawan hanya slogan. Bukan
kenyataan. Cuma khayalan para birokrat yang baru menduduki kursi jabatan. Agar
kelihatan bekerja di mata atasan, dan disebut punya kesetiakawanan yang kuat
terhadap sesama warganegara.
Sudahlah, Mudasir, bicara
tentang kekacauan penanganan terhadap para TKW seperti saya, selalu bikin dada
seketika sesak. Lebih sesak lagi dada kita, karena kenyataan yang terang
benderang itu tidak pernah diakui sebagai kenyataan. Mengapa? Karena mereka
malas menanganinya. Tidak sudi tangan kotor dan enerji dihamburkan. Ya. Karena
tidak ada uang komisi yang berlimpah dalam setiap kasus yang menimpa para TKW.
Lagipula perlu kemampuan diplomasi agar pejabat-pejabat kita dihargai oleh
orang asing. Kenyataannya, para pejabat kita lebih sering jadi bahan tertawaan
diplomat-diplomat asing. Karena dianggap malas dan bodoh, tapi sok pintar.
Problem bahasa pun jadi hambatan. Mana bisa memenangkan perkara jika pembahasan
dilakukan dengan bahasa tarsan? Sebelum maju pun sudah kalah lebih dulu.
Akibatnya, kita yang selalu menjadi korban. Dikorbankan.
Mudasir, ke marilah, mendekat,
agar kita bisa saling menyentuh. Mengapa tetap berdiri di sudut itu? Di situlah
tempat saya buang air besar dan kecil. Di ruang ini tidak ada kamar mandi dan
wc. Ini hanya sebuah kamar, entah tadinya dipakai untuk kamar siapa. Dan
mengapa saya sampai disekap di kamar ini, tidak bisa saya tulis di surat. Mana
mungkin berkirim surat? Saya tidak punya kertas, pulpen, amplop, prangko. Di
sini tidak ada apa-apa. Terang kalau siang karena matahari, dan malamnya gelap
pekat karena tidak ada lampu. Saya tersiksa, Mudasir. Tersiksa. Mengapa tidak
menolong?
Lihat, bekas-bekas luka di
sekujur badan? Sebelum dijebloskan ke dalam kamar ini, saya dipukuli. Semua
anggota keluarga majikan ikut memukuli. Pipi, dahi, kepala, punggung, dada,
perut, paha, dan semua anggota tubuh saya, jadi bulan-bulanan mereka. Mereka
memukuli saya dengan tangan, kepalan, kaki, tongkat besi, setrikaan. Saya tidak
berdaya, seperti bola disepak ke sana ke mari tanpa bisa membela diri.
Saya berteriak, menangis,
bertanya, apa salah saya? Jawabannya hanya geraman dan teriakan pula. Lalu
pukulan lagi, bertubi-tubi. Apa salah saya, teriak saya? ‘Kamu Indon bangsat,
bajingan, pencuri, maling, tidak tahu diri!’ Hanya teriakan itu yang saya
dengar. Kata-kata yang diteriakkan berulang kali. Saya Indon. Bangsat.
Bajingan. Pencuri, Maling. Tidak tahu diri. Apa salah saya? Demi Tuhan, saya
samasekali tidak pernah mencuri. Saya bukan maling. Tapi tidak ada sidang
pengadilan yang tidak memihak, supaya bisa diperoleh pembuktian, saya bukan
seperti yang mereka tuduhkan. Yang ada hanya ruang ini. Penjara ini. Sesudah
dipukuli, kepala saya ditutupi karung, lalu saya diseret. Sebelum pintu
dikunci, karung mereka buka dan ternyata, saya di sini. Dalam kamar ini. Sampai
sekarang.
Sudah berapa lama saya di
sini? Lihat! Luka-luka di sekujur tubuh saya sudah mulai mengering. Bisajadi
sudah lebih dari sebulan. Bagaimana saya bisa bertahan? Mereka kasih saya makan
dua kali sehari. Minuman di termos plastik yang bocor. Saya makan minum dengan
piring dan gelas yang kotor.
Mudasir, kamu tidak akan bisa
membayangkan perlakuan apa yang sudah saya terima selama ini. Saya memang lebih
pantas disebut anjing. Saya dianggap bukan manusia lagi. Kekuatan hukum
nampaknya tidak berdaya dalam hal ini, sebab aparatnya lebih sering pilih
kasih. Mana mungkin mereka membela saya yang anjing, Indon lagi. Saya, yang
datang hanya untuk merampok uang mereka. Tentu mereka akan lebih percaya kepada
sesamanya, yang sebangsa. Dan kaya. Bukan kepada anjing seperti saya.
Tapi, Mudasir, demi Tuhan,
saya bekerja. Saya memperoleh upah karena saya bekerja. Saya bukan pemalas.
Saya bangun sebelum subuh. Membersihkan rumah, menyapu, mengepel, mengelap
perabotan. Saya mencuci, menyeterika, memasak, mengurus taman. Saya sendirian
di rumah sebesar ini. Pekerjaan baru selesai sekitar pukul sembilan malam. Itu
pun, tidak selalu begitu. Jika ada tamu, saya harus melayaninya. Kadang saya
memasak tengah malam, itu jika para tamu berminat makan malam.
Tidak apa. Semua saya lakoni
dengan gembira dan ikhlas. Saya tahu diri. Sebagai pelayan, yang datang dari
tanah sebrang, saya tidak berani menuntut macam-macam. Yang harus saya lakukan
adalah bekerja dengan rajin. Tidak mengeluh. Semua kondisi saya terima. Setahun
saya terima gaji. Dan kamu tahu sendiri, Mudasir, sebagian saya tabung,
sebagian saya kirim ke kampung. Di dalam surat kamu menulis, sudah menerima
kiriman ringgit saya. Kamu juga menabung. Kontrak kerja saya lima tahun. Saya
bertekad, di ujung tahun ke lima, saya pulang bawa ringgit sebanyak mungkin
agar kita bisa membeli beberapa petak sawah, untuk modal hidup di masa
depan.
Pada bulan ketigabelas, suatu
malam, majikan lelaki mendatangi saya. Nampak mabuk dia. Waktu itu, sekitar
pukul sebelas. Nyonya majikan dan anak-anaknya menginap di rumah famili di luar
kota. Jadi, di rumah sebesar ini, hanya ada kami berdua. Dia masuk kamar,
menutup pintu, duduk di pinggir ranjang dan menatap saya dengan diam. Buru-buru
saya duduk di kepala ranjang, balas menatap dia dengan mata heran. Saya sampai
tidak sempat bertanya, lebih tepatnya tidak berani karena terperanjat. Ya, saya
tidak sempat menanya apa maksudnya masuk kamar saya. Tapi sebagai perempuan,
naluri saya bilang, ada sesuatu yang tengah menggoda majikan saya itu. Dan saya
mulai ketakutan. Keringat dingin mengucur deras.
Kemudian dia berbaring. Dan
dengan isyarat tangan, menyuruh saya berbaring di sampingnya. Saya
menggelengkan kepala, tubuh gemetaran. Dia melotot dan kembali memberi isyarat
dengan tangan agar saya segera berbaring di sampingnya. Saya tetap menggeleng,
dan duduk meringkuk di sudut dengan waspada. Dia bangkit. Saya pikir dia
berniat menerkam saya. Saya sudah siaga. Saya siap memukul jika hal itu dia
lakukan. Tapi, untunglah, hal itu tidak terjadi. Dia bangkit, berdiri, menatap
saya dengan mata menyala, lalu berjalan menuju pintu, membuka pintu, menutupnya
lagi dengan keras. Terdengar langkahnya semakin menjauh.
Saya menghela nafas panjang
dan menangis. Saya bersyukur kepada Tuhan karena malam itu tidak terjadi
apa-apa atas diri saya. Ya, saya selamat dari perkosaan majikan. Saya mengunci
pintu dan menangis sampai subuh.
Ah, Mudasir, saya baru sadar,
barangkali, itulah satu-satunya kesalahan saya: menolak hajat majikan. Itu
makanya saya ditendangi, dipukuli dan disiksa macam begini. Siksaan memang
tidak segera saya alami. Maksud saya, sampai bulan kelimabelas, keadaan masih
berjalan normal. Tapi, di bulan ke enambelas, majikan lelaki saya mulai
mengeluh kehilangan uang. Dan siapa lagi yang bisa dituduh kalau bukan saya?
Pelayan yang miskin, Indon lagi, setara anjing. Pukulan-pukulan dan tamparan
mulai saya terima dari nyonya majikan. Kadang dari anak lelaki mereka. Saya
diam saja, dan tentu tidak sudi mengaku sebagai pencuri. Jelas. Saya tidak
mencuri. Saya rajin sembahyang. Saya selalu ingat surga dan neraka. Saya takut
hukuman akhirat. Dan saya sangat percaya kepada hukum sebab-akibat .
Pada bulan keenambelas itulah,
nasib masa depan saya ditentukan. Anak lelaki majikan mengaku kehilangan uang,
begitu juga anak perempuan mereka. Lalu majikan lelaki, kembali mengeluh hilang
uang lagi. Kali ini jumlahnya banyak. Sayalah itu, kambing hitam yang harus
menanggung akibat. Ya. Saya dipukuli lagi. Bertubi-tubi. Dengan setrikaan
panas, karena waktu itu saya sedang menyeterika. Saya berteriak kesakitan. Dan
di hari itu pulalah saya dihajar, diseret, lalu disekap di kamar ini. Memang
aneh. Ya, penyiksaan ini sungguh sangat tidak jelas konsepnya. Tapi kenyataan.
Penyiksaan ini memang jelas-jelas bukan impian. Saya mengalaminya.
Tapi ada apa sesungguhnya
dengan majikan saya? Ada apa sesungguhnya dengan mereka, bangsa yang sekarang
ini banyak menampung para pekerja asal Indonesia? Dulu mereka betul-betul
saudara serumpun, senantiasa menjaga sopan santun, sangat menghormati dan
banyak belajar dari kita. Mereka pernah mengangkut banyak cendekiawan kita
untuk mengajari mahasiswanya, tentu, dengan iming-iming gaji yang sangat
besar.
Dalam tempo pendek mereka
menjadi bangsa yang kaya-raya. Jadi, tak perlu lagi belajar dari Indonesia.
Mereka jauh lebih maju. Lalu mereka mulai menanam modal, di mana-mana dan
menerima berbagai jenis modal asing pula. Puluhan ribu pekerja dari luar negri
dibawa masuk, karena memang dibutuhkan. Tapi, pekerjaan kasar bukan lagi bagian
bangsa ini. Para imigranlah yang mengerjakan. Bagian mereka, terutama,
memikirkan bisnis dan kemajuan diplomasi politiknya. Sambil, mencaploki kawasan
negri tetangga, selangkah demi selangkah. Mereka berani membuka kasino, dan
hasil pajaknya yang besar dipakai untuk membangun negri. Semua tahu, sebagian
besar para penjudi datang dari Indonesia. Artinya, uang berjumlah besar
mengalir dari Indonesia, dan, untuk membangun negri jiran.
Sukses bertubi-tubi, bikin
percaya diri mereka semakin besar. Lahir banyak orang pintar, diplomat handal
yang disegani barat. Tapi mereka sadar tidak memiliki kebudayaan dan kesenian
asli. Semua bersumber dari negri tetangganya, Indonesia. Maka, dengan uang,
mereka mulai mengangkut para seniman. Tugasnya mencipta kesenian baru agar bisa
disebut asli asal dari tanah mereka sendiri. Tak puas dengan itu, mereka nekad
pula mencuri berbagai jenis kesenian, flora dan fauna. Semuanya, dengan sangat
yakin diaku sebagai milik mereka. Kini, mereka ibarat ‘orang kaya baru’ yang
yakin bisa membeli apa saja. Lintang pukang mereka membeli apa saja.
Jika saja perkaranya berhenti
sampai masalah curi-mencuri jenis kesenian, mungkin saya tidak akan sesengsara
seperti sekarang. Tapi mentalitas ‘orang kaya baru’ itu sudah sedemikian
meracuni hampir setiap orang di negri ini. Mereka yakin bisa membeli apa saja. Mereka
yakin, dengan uang, mereka berhak menyiksa siapa saja.
Para pekerja yang bekerja
untuk mereka, lebih sering dianggap sebagai budak yang layak disiksa jika
dianggap telah melakukan kesalahan atau tidak sudi menuruti hajat seronok
mereka.
Mereka tak lagi takut kepada
hukum. Bukankah uang mampu membungkam mulut hukum? Di zaman modern seperti
sekarang, mentalitas majikan yang berkuasa sepenuhnya atas para pekerja, muncul
lagi. Mereka mengibaratkan diri sebagai penguasa Romawi, pemilik ribuan budak. Dan
mereka merasa berhak untuk menyiksa atau membunuh semua budaknya itu.
Mudasir, mengapa diam saja?
Kamu tidak percaya cerita saya? Demi Tuhan, saya bersumpah, masih suci. Tidak
ada lelaki lain yang berani menyentuh kehormatan saya. Dan jika itu terjadi,
saya bisa bunuh orang, atau bunuh diri. Itu tekad saya. Lelaki satu-satunya
bagi saya adalah kamu. Saya sesuci Dewi Sinta. Janganlah kamu jadi Rama yang
meragukan kesucian Sinta. Saya tetap setia dan sampai kapan pun akan saya
pertahankan kesetiaan itu, meski dengan resiko berkorban nyawa. Percayalah
kepada saya, Mudasir.
Jangan pergi, jangan
berpaling, jangan tinggalkan saya. Saya butuh kehadiranmu. Nyata atau hanya
khayalan, tidak penting lagi. Saya butuh kamu, biarpun kamu tidak nyata.
Kamulah satu-satunya harapan. Saya juga tahu, kamu marah karena dulu langsung
saya tinggal pergi untuk bekerja di negri ini, padahal kita menikah baru tiga
bulan. Tapi, itulah rencana saya. Mengumpulkan modal hidup, agar kita tidak
sengsara. Saya berharap kamu sudi memahami. Tidak mungkin di negri sendiri saya
mampu menggaet penghasilan sebesar saya bekerja di negri ini. Berapa gaji
paling besar seorang Pembantu Rumah Tangga di Jakarta? Di negri ini, saya bisa
memperoleh limakali lipat dari gaji mereka. Dan itu sangat menggiurkan.
Ya, betul. Saya tahu,
menggiurkan tapi dengan resiko yang sangat besar. Apalagi untuk perempuan
semuda saya. Saya, yang kamu sering bilang, cantik dan menarik. Saya tahu. Tapi
saya sudah menghitung semua resiko. Saya yakin bisa menahan setiap godaan.
Sebesar apa pun godaan itu. Ajaran agama jadi pegangan. Nasehat orangtua. Dan
terutama, ikrar pernikahan kita. Banyak tameng yang akan membentengi saya
sehingga saya tidak jatuh ke dalam maksiat. Lakon saya terjadi dalam dunia
nyata, bukan dalam dunia maya, bukan di layar putih. Saya Atikah, dan saya
bukan bintang film.
Mudasir, bagaimana Mak dan
Bapak? Mereka sehat-sehat? Encok Bapak sudah sembuh? Saya pernah kirim uang,
lumayan besar jumlahnya, bapak bisa berobat ke dokter dengan uang itu. Membeli
obat yang asli, bukan obat eceran di kios rokok. Asma Emak, masih sering
kambuh? Saya pernah kirim alat hisap, ingat? Alat itu sangat bermanfaat jika
asmanya kambuh. Pakai! Jangan ragu. Lagipula uang kiriman saya juga sangat
cukup untuk membeli tablet-tablet pencegah asma. Bukan tablet kodian yang
dijual murah, tapi obat paten dari dokter. Saya yakin, pasti asmanya sembuh.
(TERDENGAR LANGKAH ORANG)
Mudasir, kamu dengar? Ada
langkah orang, menuju ke sini. Tunggu sebentar.
(TERIAK)
Tolong. Siapa saja di situ,
tolong. Saya di sini. Ada orang di sini. Perempuan. Saya. Tolong. Jangan pergi.
Berhenti. Tolong saya. Tolong. Jangan pergi! Dengar teriakan saya, dan datanglah
ke sini. Saya butuh pertolongan. Jangan pergi .. tolong .. tolong ..
(LANGKAH SEMAKIN MENJAUH
DAN HILANG. SEPI SEJENAK)
Tidak ada yang sudi menolong
saya. Tidak ada yang datang. Saya dilupakan.
Mudasir? Mudasir? Di mana
kamu? Kamu juga pergi? Mudasir. Mudasir. Kamu juga pergi. Semua pergi. Saya
ditinggal sendiri. Mana mungkin saya bisa bertahan? Saya sudah habis. Tidak ada
siapa-siapa lagi, tidak ada harapan. Bahkan bayangan suami juga pergi, tega
meninggalkan saya. Dia tidak sudi menemani saya lagi. Dia meninggalkan saya,
tanpa pesan ..
Saya rela mati. Kalau memang
saya harus mati. Tapi saya wajib menceritakan dulu semua peristiwa yang saya
alami ini. Entah kepada siapa. Ya. Kepada siapa saja yang mau mendengar. Saya
akan ceritakan sampai rinci. Sampai hal-hal paling kecil. Yang salah harus
menerima hukuman. Saya tidak rela mati tanpa orang tahu, apa yang sebenarnya
terjadi atas diri saya. Kesalahan saya harus dijelaskan. Siksaan yang saya
derita harus dijelaskan. Manusia dilahirkan dengan derajat yang sama. Tidak ada
manusia yang berhak menyiksa manusia lain. Nasib manusia tidak bisa ditentukan
oleh manusia lain. Hanya Tuhan Yang Maha Esa yang berhak menentukan nasib
manusia. Saya dianiaya tanpa sebab, tanpa penjelasan. Adilkah itu?
Tapi terus terang, saya lelah
meminta tolong. Entah sudah berapa ratus kali saya berteriak meminta tolong.
Dan tidak ada yang datang untuk menolong. Apakah ada yang merasa kehilangan
saya? Sehari dua hari hilang, bisa dimaklumi. Tapi sebulan? Itu seharusnya sudah
bisa membikin masyarakat curiga. Bisa saja dianggap telah terjadi
pembunuhan.
Pembunuhan. Apa yang saya
alami bukan pembunuhan tubuh, tapi pembunuhan mental, pembunuhan politik. Kita
berkali-kali dianggap sebagai binatang, tidak punya wibawa. Mengapa? Agar rasa
percaya diri hilang. Dan kita dipaksa merasa hanya sebagai bangsa pelayan,
bangsa pembantu rumah tangga. Tak ada lagi kebanggaan, karena kita lebih miskin
dan lebih kacau dibanding negri jiran yang kaya raya itu. Kita
berkali-kali dilecehkan tanpa sanggup membela diri. Kita sering diabaikan. Jadi
bahan tertawaan. Kita sering dihapus dari peta dunia, tapi kita tidak pernah
merasakannya.
(BERTERIAK)
Tolong! Tapi jangan tolong
saya. Tolonglah kita semua. Kita di pinggir jurang. Bangun! Tolong! Tolong!
Jangan jadikan diri kita ongol-ongol!
CAHAYA PADAM
SELESAI
0 Response to "TOLONG"
Post a Comment