MONOLOG
” “NAMAKU SKIZO
karya Herlina Syarifuddin
Ibu kandungku yang
‘mungkin’ bisa jadi seorang skizofrenia
membuat misteri dalam
perjalanan hidupku dengan jalan
mengganti namaku
setiap 10 tahun sekali.
Terlahir ke dunia, ku diberi nama NEU.
Menjelang usia 10 tahun, namaku berubah menjadi OPAT.
Beranjak di usia 20 tahun menjadi DOMASO.
Di 30 tahun berganti BISION.
Kemudian pada saat 40 tahun ku dipanggil CLAUS.
Pada saat ku berusia 50 tahun, ibu meninggal dunia dan
meninggalkan sepucuk surat
padaku yang inti
isinya adalah
nama baru yang akan kusandang sampai akhir hayatku.
Dan nama itu adalah
SKIZO.
“Selamat datang….selamat datang
di dunia yang paling tenang dibanding dunia di luar sana . Mari silahkan duduk di tempat yang
menurut anda paling nyaman. Jangan takut pada kami, karena kami sama dengan
anda. Kami juga masih punya hati nurani. Karena kalau tidak punya, tak mungkin
kami menawarkan tempat duduk untuk anda. Saya yakin pasti dalam hati anda semua
bertanya-tanya dan berasumsi bahwa ini adalah settingan atau bagian dari
skenario. Anda keliru. Karena kami sendiri tidak paham apa itu setting apalagi
skenario. Kami hidup apa adanya. Tak ada akting. Bagi kami, ketika akting
terjadi maka dunia akan hancur. Topeng akan merebak dimana-mana. Dan saya yakin
saat inipun anda anda sekalian juga memakai topeng. Tapi kami, pantang
bertopeng. Karena topeng membuat kami menjadi seperti ini. Dulu, terlalu banyak
topeng yang kami pakai. Tapi ternyata tidak ada satupun topeng yang melekat
persis dan rapi di wajah kami. Saking seringnya kami berganti-ganti topeng,
sampai akhirnya topeng-topeng itu melukai wajah asli kami. Topeng-topeng itu
telah merusak wajah asli kami. Kini, kami sendiri lupa bagaimana wajah asli
kami pada saat itu, sebelum kami mengenal topeng. Dan betapa sulitnya kami
mencari-cari kembali kemana perginya wajah asli kami. Seperti halnya jika kita
terluka. Tak kan
mungkin bisa sembuh 100% seperti sebelum terluka. Pasti masih ada bekas.
Kalaupun ingin sembuh total, butuh biaya yang tak terkira. Dan ketika biaya itu
terluapkan habis-habisan, memang benar luka lama bisa sembuh 100%, tapi akan
muncul luka baru, stress karena sudah habis-habisan keluar biaya. Dan akan
begitu seterusnya. Lingkaran setan. Saya yakin, anda sendiri juga tidak tahu
apakah sekarang anda berwajah asli atau sedang memakai topeng. Tapi saya yakin,
ketika nanti saya tanya, anda tak mungkin menjawab jujur. Itulah manusia di
luar sana .
Ketidakjujuran beredar dimana-mana seperti virus. Tidak seperti kami disini.
Kami tidak bisa membedakan mana jujur dan mana tidak jujur. Bagi kami, semua
teman-teman disini jujur. Karena itu kami tenang disini. Bisa jadi kenapa kami
bisa masuk kesini karena waktu kami masih di luar sana , kami banyak melakukan ketidakjujuran.
Walaupun ketidakjujuran itu tidak merugikan kepentingan umum. Tapi malah
merugikan diri kita sendiri. Ketidakjujuran itu akhirnya menjadi penyakit bagi
kami. Tapi saat ini kamipun tidak paham apakah ketidakjujuran itu sudah lepas
dari diri kami ataukah masih mengakar kuat. Hanya Yang Membuat kita Bisa
Bernafas hingga kini yang tahu jawabnya. Karena Dia Maha Jujur. Masih tak
percaya? Silahkan tanyakan sendiri padaNya. Karena aku sendiri tak pernah
bertanya padaNya. Karena ku sendiri tak tahu bagaimana cara bertanya padaNya.
Karena ku sendiri tak pernah bertemu denganNya. Karena ku sendiri tak tahu
dimana Dia berada. Karena ku sendiri tak tahu bagaimana sosokNya. Karena ku
sendiri tak pernah mendengar tapak kakiNya apalagi suaraNya. Kalaupun pernah,
mungkin pada saat aku lagi terlelap. Dan kalaupun benar-benar terdengar,
mungkin cuma sebatas sayup-sayup saja. Mungkin juga itu cuma hayalanku saja.
Karena bisa jadi itu cuma suaraku sendiri. Yach, ku berdialog dengan suaraku
sendiri. Ku bertanya, dan ku jawab sendiri.
Mak....nyapo sampeyan koyok ngene nang aku? Yen aku ra mbok pengeni lair, opo’o
ra biyen-biyen aku mbok pateni mak...tinimbang sampeyan akhire ra nggedhekne
aku. Mesakke simbah. Saben dino nunggoki aku nang rumah sakit. Lah, sampeyan
dhewe nandi mak? Mulai ceprot aku lair sampe gerang ngene, ra tau aku ngrasakke
banyu susumu mak... Yen ditakoni wong-wong, mosok yo aku ngomong anake simbah?
Tapi simbah dhewe ra pengen aku ketemu sampeyan mak. Simbah dhewe wis loro ati marang
sampeyan mak. Menurut cerita simbah, kelahiranku itu jadi bahan taruhan paman
dan kakek dari pihak emak. Mereka ingin anak pertama harus laki-laki. Jika
bukan laki-laki, mereka tidak mau mengakui sebagai ponakan ataupun cucu. Kok yo
becik tenan nyowoku dipadhake dadu. Murah tenan aku iki yo? Luwih murah soko
regane gedhang sak curung. Tapi kalau bapakku sendiri orangnya pasrah. Laki
perempuan, sama saja yang penting selamat dan sehat. Apa ini berpengaruh dengan
yang namanya marga atau farm? Kutemukan surat
kelahiranku yang ternyata fotocopian juga. NEU. Hanya itukah namaku? Hanya 3
huruf saja? Betapa pelitnya orangtuaku memberi nama. Yang jelas kutahu, sejak
lahir aku sudah diasuh sama simbah. Waktu usia 5 bulan aku sempat dirawat di
rumah sakit karena sakit panas tinggi. Tangan dan kakiku diikat disamping
tempat tidur. Karena kalau tidak diikat, jari-jari tanganku bakal berdarah
karena aku gigit-gigit terus. Tiap malam yang menjagaku cuma simbah. Emakku
jarang datang. Mungkin memang benar, karena kalah taruhan, jadi aku dianggap
‘tiada’ oleh mereka. Lantas, kemana bapakku? Ternyata bapakku sudah pergi
bersama wanita lain. Beruntung aku masih punya simbah dari bapak. Aku sadar,
karena sakit hati simbahku kepada emak, akupun jadi ikutan benci sama emak.
Kalau sudah seperti ini siapa yang berdosa dan siapa yang durhaka? Aku sendiri
tak ingin temukan jawabnya. Berkali pula kucoba tanamkan rasa sayang pada
emakku, tapi selalu saja ada tolakan dalam batinku. Aku tidak tahu, hati dan
otakku sudah diracuni apa sama simbah, sampai aku tak mau mengakui kalau dia
adalah emakku. Prinsip simbah, wong tuwomu kae yo sing nggedhekno kowe,
nyekolahno, ngewei mangan kowe. Nglairno iku gampang. Wong nggawene penak kok.
Akeh ibu ra nggenah nang ndunyo iki. Procot kerono kebobolan trus isin karo
tonggo, dibuak. Suk, nggawe neh. Pernah suatu kali aku ingin main ke emak yang
rumahnya cuma saling berpunggungan tembok dengan rumah simbah, tapi simbah
melarang. Simbah bilang, nyaopo awakmu dolan rono, sing ono paling yo ora
direken. Ah, ya sudahlah. Kasihan simbah. Biarkan beliau tenang di alamnya.
Samar-samar kuingat, aku tinggal bersama emak dengan terpaksa semenjak
meninggalnya simbah.
Oh, letih sekali
aku hari ini. Tak bergairah. Rasanya jenuh sekali. Teman-teman..kalian jenuh
tidak hari ini? Kenapa aku malas sekali hari ini ya? Hari apa sekarang? Ah,
bagiku semua hari sama saja. Semua hari menjenuhkan. Semua hari muram dan
kelam. Pekat. Tak ada satupun hari yang berarti bagiku. Kenapa aku masih hidup
juga sampai sekarang ya? Toh, aku tak berarti apa-apa bagi kehidupan. Aku cuma
sampah yang jadi tontonan orang-orang di luar sana . Dan mereka cuma menonton saja. Tanpa
bisa berbuat apa-apa. Menemanipun tidak. Mereka ‘pura-pura’ datang pada saat
aku tak butuh ditemani. Tapi mereka pergi pada saat aku butuh mereka. Alangkah
membosankan hidupku.
Ssttt,
sepertinya aku dipanggil. Tuh, kalian dengar kan ? Ya..ya, aku disini. Sebentar..., nanti
aku kesitu. Biasa, sahabatku si Opat, tak akan tenang kalau sehari saja tak
curhat padaku. Yach, aku ini bisa dibilang tempat sampah. Tapi aku sendiri
bingung, kemana aku harus mencari tempat sampah yang lain kalau aku ingin
curhat. Karena sahabatku itu egois. Hanya mau didengar, tapi tidak mau
mendengar. Payah dia. Ups, nanti dia sewot lagi, ketahuan aku omongin. (merespon
suara) Ya..sebentar. Kalian mau aku kenalkan dengan Opat? Kebetulan sekali
hari ini dia merayakan ulang tahunnya yang ke-17. Ayo kita kesana, kita hibur
dia. (pindah lokasi)
(Sebuah
ruangan yang beratmosfir kebencian pada seorang ibu. Tampak sebuah manekin
perempuan yang sudah hancur. Ada pula kertas-kertas yang bertuliskan AKU
BENCI EMAK! EMAKKU BUKAN IBUKU! MATI SAJA KAU, MAK! Opat mengamuk seperti
orang kesetanan. Membakar tulisan. Menyayat boneka.)
Lah, kok malah
masih mimpi. Opat, bangun nak. Teman-temanmu sudah datang. Jangan terkejut,
karena hal ini sudah biasa terjadi. Setelah dia bangun, semua akan kembali
normal. Sejak meninggalnya simbah, Opat lebih banyak menghabiskan waktu di
dalam kamarnya. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan dia. Aku terlalu
menuruti ego saudara-saudaraku. Aku ingin Opat bisa sayang padaku. Aku sengaja
mengganti namanya, karena aku tak ingin mengingat kembali masa laluku saat aku
melahirkan dia. Tapi Opat tetap tak mau terima. Happy birthday to you...happy
birthday to you...Ayo sayang, tiup lilinnya. Opaaatttt!!! Selamat ulang tahun
ya nak. Tepuk tangan donk. Sekarang kau potong kuenya. Nih, pisaunya. Ayo Opat.
Kenapa bengong? Cepat kau potong kue itu. Teman-temanmu tak sabar tuk mencicipi
kue tart ini. Atau pisau ini yang akan menjadikanmu kue itu Opat.
(membaca
tulisan diatas kue tart sambil masih terkantuk) SELAMAT ULTAH OPAT. Opat
lagi? Mak, aku Neu, bukan Opat. Siapa Opat mak? Ini tahun ke-7 aku harus
merayakan ulang tahun dengan nama Opat. Simbah tidak kenal Opat mak. Simbah
hanya tau Neu. Aku tak mau simbah nanti bingung mencariku mak. (mengambil pisau
dari tangan emak kemudian mulai mencacah kue tart) Neu, dimana kamu? Mengapa
kau pergi tinggalkan aku tanpa pamit? Emak, kau kemanakan Neu? Aku ingin Neu
kembali. (terkejut) Apa yang sudah kulakukan? Kue ini hancur oleh tanganku
sendiri?
(tertawa
puas) Bagus Opat...bagus. Kau telah berhasil menghancurkan masa lalumu.
Lupakan simbah. Simbah sudah tiada. Yang ada kini adalah emak. Emak yang
menyayangimu. Kini emak ingin kau telan habis masa lalumu itu. Jangan sampai
ada yang tersisa. Ayo Opat...cepat...sebelum masa lalu itu bangkit kembali.
Lumat habis masa lalumu Opat. Emak tidak ingin mendengar kata simbah lagi
meluncur dari mulutmu Opat.
(seperti
terhipnotis kata-kata Emaknya, Opat melumat habis kue tart yang telah hancur itu
seperti kuda lumping yang melakukan ritual makan pecahan kaca. Dan Opat jatuh
pingsan. )
Ah, ternyata
nama Opat tak lagi tepat disandangnya. Usia 20 tahun adalah usia kedewasaan
bagi Opat. Saatnya Opat melihat dunia yang sebenarnya. Aku ingin Opat juga
merasakan sakit hatiku dikhianati oleh kaum lelaki. (emak berpikir)
Ya...DOMASO. Sepertinya nama itu terdengar indah di telinga. Semoga nama ini
membuat Opat menjadi sosok yang baru, sosok yang bisa mewakili kebencianku pada
lelaki. Kau harus berbakti pada emak, Domaso. Apapun kata emak, kau harus
turuti, kalau kau tak ingin masuk neraka nantinya.
Hai
cowok...boleh kenalan? Namaku Domaso. Aku seorang penari. Dan kau? Caso,
mengingatkanku pada nama pelukis dunia. Oh, ternyata kau seorang pelukis juga.
Sebuah paduan yang cantik. Penari dan pelukis. Ku ingin menari diatas kanvasmu,
dan kau buat lukisan di atas tubuhku. Tertantang? Tapi aku ingin kau tarik
kuasmu dengan garang. Aku benci kelembutan yang verbal. Kelembutan verbal
membuatku menjadi makhluk yang lemah. Aku tak pernah puas ketika harus menari
dengan kostum yang cantik. Tapi aku akan puas ketika menari dengan kostum yang
mengikat kuat tubuhku sehingga ruang gerakku menjadi sempit. Dan aku akan
merasakan kesakitan itu sebagai keindahan bagiku. Keras, brutal dan ganas
adalah kelembutan yang memuaskanku. Kenapa kau diam? Kau takut? Atau jijik?
Sepertinya Tuhan
telah mempertemukan kita. Aku juga bukan seorang pelukis yang gemar melukis
obyek yang tenang dan sejuk. Nanti kau akan lihat lukisan-lukisanku. Obyek
lukisanku rata-rata berwarna merah. Dan seringkali aku melukis dengan darah
asli. Entah darahku sendiri, darah binatang, atau darah manusia lain. Tapi aku
tidak membunuh mereka. Aku beli darah itu dari rumah sakit. Terkadang, aku
ambil darah tikus atau kucing yang mati di tengah jalan. Jika ingin darah
segar, aku nongkrong di pasar daging. Dan aku mulai melukis diantara lalu
lalang pembeli dan penjual daging di pasar itu. Kau ingin aku lukis dengan
darahku?
Aku tak ingin
egois. Aku ingin darahku dan darahmu saling bercanda. Kau sapu kuasmu yang
berlumur darahmu ke tubuhku, dan ku akan menari diatas kanvasmu dengan sampurku
yang telah basah oleh darahku sendiri. Setelah itu, kita bikin pameran tunggal
dari karya kolaborasi yang fantastik ini.
Kau tampak
sensual dimataku. Sepertinya aku mulai jatuh cinta padamu.
Tidak! Aku harap
kau tarik kembali kalimat itu. Jangan pernah kau jatuh cinta padaku kalau kau
ingin selamat. Jangan pernah katakan kalimat menjijikkan itu lagi, kalau kau
masih ingin menjalani hari-harimu sebagai pelukis. Kau tahu, tak ada kehidupan
lelaki dalam kamusku. Lelaki telah merusak kehidupan emakku dan aku. Lelaki
telah membuat simbahku meninggal. Biarlah hubungan kita mengalir indah sebagai makhluk
yang kosong, tanpa identitas lelaki atau perempuan. Hubungan yang hanya sebatas
kepuasan dalam berkarya. Karena karya itulah belahan jiwaku. Bukan jenis
kelamin.
Aku pantang
menarik kembali ucapanku. Kan
kutunggu sampai kau sadar bahwa akulah belahan jiwamu. Aku sudah terbiasa
menunggu. Proses yang panjang akan menghasilkan karya yang hidup. Pikirkan ini
matang-matang. Aku pergi tapi untuk kembali padamu, jika waktunya tiba. Selamat
tinggal....
Sejak kepergian
si Casso, Domaso makin garang. Setiap berkenalan dengan lelaki dan lelaki itu
mulai jatuh cinta padanya, Domaso lantas meluapkan kebenciannya lewat profesi
lelaki yang dikenalnya itu. Pura-pura ia merengek meminta hasil karya dari
lelaki yang dikenalnya itu sebagai kenang-kenangan. Karena cintanya pada Domaso
yang teramat sangat, tak ada satupun lelaki yang menolak saat diminta apapun
yang dia punya. Terkumpullah beberapa karya para lelaki yang telah masuk
jeratan cinta pura-pura Domaso. Entah kebetulan, mayoritas Domaso berkenalan dengan
para seniman.
Sebentar lagi,
riwayat kalian akan tamat di tanganku. Kalian tak kan lagi bisa menjadi pelukis, penulis novel
atau cerpen atau puisi, perancang busana, dan pencipta lagu. Aku akan membuat
pameran spektakuler untuk menghancurkan karir kalian semua. Kalian layak
mendapatkan ini semua. Kenapa juga kalian harus terlahir sebagai lelaki dan
bertemu denganku? Andai kalian bukan lelaki...... Emak, permainan berikutnya
akan segera kita mulai. Bersiaplah untuk tersenyum. Akan kubalaskan sakit
hati emak pada bapak yang entah kemana saat ini. Semoga dia telah mati dan
dilumat belatung. Dan juga sakit hatiku sendiri pada paman dan kakek yang tak
pernah mengharapkanku. Tradisi emak mengganti nama padaku sepertinya bisa
menjadi strategi untuk menghilangkan identitas masa laluku. Aku lelah. Semoga
aku temukan nama yang cantik dalam mimpiku.
(mengigau)
Bision...Bision...Bision.....!!! (terbangun) Ya mak....sebentar. Sepi
sekali. Emak....mak.... Aku beranjak ke meja makan karena lapar. Ada secarik kertas disana.
“Mak ke pasar dulu. Di dalam lemari ada nasi goreng kalau kau lapar.” Jadi...,
suara siapa tadi? Aha...akhirnya aku temukan juga nama itu.
BISION....wow....cukup unik. Terima kasih mimpi. Aku akan mulai bekerja untuk
menghancurkan karya-karya itu. Minggu depan genap aku berusia 30 tahun. Dan
hari itu akan kujadikan target untuk membuka PAMERAN KELAMKU sekaligus
meresmikan nama baruku, BISION. Pameran dari karya-karya para lelaki bodoh itu.
Kan ku undang
mereka untuk menonton instalasi yang spektakuler. Tak sabar aku membayangkan
reaksi konyol dari para lelaki itu setelah memandang karyanya nanti. Karya yang
telah bergulat bersama mereka dalam kurun waktu yang panjang. Dan akan hancur
hanya dalam hitungan detik.
Walau aku sudah
mulai terbiasa dengan nama yang berganti-ganti, di sisi lain mulai terbersit
tanya dalam hati, kenapa emak selalu mengganti namaku setiap kali peristiwa
hidupku mengalami klimaks di tahun menuju kematangan? Kenapa emak selalu ingin
mengubur masa laluku dengan cara mengganti namaku? apakah emak dulu juga sering
diganti namanya oleh simbah atau emak sendiri yang mengganti namanya sendiri?
Tiap kali ada dorongan hati tuk ingin bertanya, energi sosok garang nan aneh
emak kembali menciutkan nyaliku. Dan tanya itu akhirnya hanya mampu kuteriakkan
dalam hati. Entah kenapa, emak menutup rapat masa lalunya agar akupun tak boleh
tahu. Biarlah itu menjadi misteri emak sendiri bersama Tuhan. Dan akupun sudah
mulai terbiasa menjalani kehidupan yang misteri ini bersama emak. Misteri
apakah emak benar-benar sudah mencintaiku sebagai anaknya sendiri ataukah cuma
sebagai formalitas publik daripada dianggap sebagai orangtua yang tidak
bertanggungjawab kepada anaknya? Akupun mulai mencoba untuk mencintai emakku.
Tapi tiap kali rasa itu mulai hadir, bayang-bayang kata-kata almarhumah simbah
tentang emak langsung membentengi. Ya sudah, akhirnya kukubur kembali saja rasa
itu, daripada nantinya aku jadi tambah terpuruk dan energiku terbuang sia-sia
karena terbawa arus sedih yang menurutku ya... sudah kadaluarsalah...
(berputar
satu lingkaran penanda waktu berjalan) Ouw...sepertinya saudara-saudara
sudah tak sabar untuk menyaksikan Pameran Kelamku. Ok, kalau begitu mari kita
bersama-sama menuju kesana. (pindah lokasi ke sebuah lorong yang di
sepanjangnya terdapat lukisan yang sudah sobek kanvasnya, sebuah buku novel
yang halamannya sobek berceceran, buku kumpulan cerpen yang sudah terbakar
sebagian, buku antologi puisi yang basah dan hampir hancur, manekin yang
berbalut busana lelaki tapi sebagian kainnya terbakar, dan buku kumpulan lirik
lagu ciptaan seseorang yang sudah menjadi sobekan-sobekan kecil. Perjalanan
para penonton diiringi suara koor dari para pasien yang bunyinya “Mari
melangkah menuju cahaya...” Kalimat itu terus diulang-ulang sampai para
penonton mengambil posisi yang nyaman. Dan Sibion mulai berpidato.)
(bertanya
pada para pasien) Bagaimana teman-teman, apakah para undangan istimewaku
sudah hadir semua? Bagus. Baiklah, segera akan saya buka pameran ini. Ok, selamat
sore para undangan yang telah bersedia hadir di pembukaan Pameran yang kuberi
tajuk Pameran Kelam ini. Terima kasih saya ucapkan spesial kepada para pemilik
karya yang telah dengan ikhlas memberikan sebagian dari hasil karyanya sebagai
wujud rasa cinta anda kepada seseorang yang bernama Domaso. Kembali lagi untuk
yang kesekian kalinya saya tahu, saudara-saudara pasti bertanya kenapa Domaso
saya sebut sebagai seseorang yang lain dan bukan saya sendiri. Satu hal penting
yang harap anda ketahui adalah bahwa yang berdiri di hadapan anda saat ini
bukanlah Domaso. Domaso adalah masa lalu saya yang kelam. Maka dari itu, di
hari ulang tahun saya ini, saya ingin mengubur masa lalu itu dengan nama yang
baru yakni SIBION. Yach...Sibion. Jadi, jika anda ingin menghujat atau marah
atas apa yang telah dilakukan Domaso terhadap karya-karya anda, semua sudah
terlambat. Saya, Sibion, hanya mendapat mandat untuk menjalankan wasiat
terakhirnya sebelum Domaso terkuburkan. Yakni menggelar Pameran Kelam ini. Satu
lagi pesan Domaso, pameran ini akan digelar selama 10 tahun. Jadi tidak boleh
ada satupun yang menyentuh karya-karya ini kecuali saya, termasuk ibu saya
sekalipun. Jika ada yang berani menyentuh apalagi membongkar, jangan salahkan
saya kalau anda tidak akan dapat tidur dengan nyenyak. Sama sekali tak ada
maksud menakuti atau meneror kehidupan anda. Karena masing-masing dari kita
juga punya kehidupan yang tidak ingin diganggu. Saya paham, pasti dalam benak
anda masing-masing saat ini bergejolak kata,”Dasar sakit jiwa ya nih
orang...Atau mungkin orang aneh atau apalah itu namanya.” Tapi saya tidak akan
peduli dengan gunjingan-gunjingan kalian terhadapku dan juga ibuku. Toh, kami
tak pernah mengusik kehidupan pribadi kalian. Kami hanya ingin berbagi suasana.
Ada kebahagiaan,
pasti ada kesedihan. Ada
terang, pasti ada gelap. Itulah bumi dan langit. Saling melengkapi. Kami hanya
ingin berbagi rasa sakit. Sakit yang mendalam dan berakar kuat. Mungkin kalian
akan berpersepsi pada arti balas dendam. Tapi bagiku, istilah itu terlalu naif.
Dan bagi para undangan istimewaku yang karya-karyanya saat ini saya pamerkan,
kalau anda ingin melihatku bahagiam relakan karya kalian hancur olehku. Seiring
dengan hancurnya harapan kalian untuk meraih cintaku. Biarkan aku selalu
tersenyum memandangi karya-karya ini setiap hari. Kehancuran rasa cinta kalian
adalah kepuasan batin dan kebahagiaanku. Rasanya sudah terlalu panjang saya
berpidato. Casso, Poe, Thoven, Coelho, Girbow dan para undangan yang
lain...kupersembahkan rasa kelam ini untuk anda. Seiring hela nafas saya, maka
Pameran Kelam ini saya buka.....(hela nafas, gemuruh tepuk tangan).
Sekarang, saya persilahkan anda semua untuk menikmati Pameran Kelam ini.
Agh....kepalaku
tiba-tiba pening. Mungkin lelah dan terlalu bersemangat. Sementara semalam
hanya tidur 2 jam karena menyiapkan pameran ini. Sambil menahan sakit,
kupandangi satu persatu wajah para undangan yang sedang menikmati karya-karya
yang mungkin menurut kacamata mereka tak ada satupun yang indah. Pandangan kengerian,
sadis dan penuh tanya. Sengaja aku tidak ingin memberikan penjelasan apapun
kepada mereka. Biarlah mereka bertanya dalam hatinya masing-masing. Dan aku
sangat puas menikmati wajah-wajah penuh tanya itu, kalau emak boleh punya
misteri masa lalu, kenapa aku tidak? Dan kini saatnya akupun punya misteri itu.
Satu persatu para undangan pergi. Suasana di lorong ini semakin kelam saja
kurasa. Di tahun-tahun awal sejak pameran ini kubuka, banyak sekali pengunjung
yang datang. Ada
yang hanya melihat-lihat, ada pula yang menjadikannya sebagai bahan penelitian
mereka. Tapi, mereka akhirnya pulang dengan kecewa karena sama sekali tak
mendapatkan info apapun dariku. Aku memilih tetap bungkam sambil mentertawakan
kesia-siaan mereka.
Tapi,
perlahan-lahan setiap kali para pengunjung itu datang, aku merasa lorong ini
semakin menyempit saja. Entah kenapa.... Tahun berganti tahun terus melaju dan
menginjak di tahun terakhir target pameran ini kugelar, nafasku terasa makin
sesak. Karena bagiku lorong ini nampak benar-benar menghimpitku. Semakin sesak
kurasa setiap kali kuberjalan melewati karya-karya ini. Karya-karya itu seperti
bergerak dan melotot padaku dan seperti hampir mau mencekikku. Pandangan
amarah. Padahal setiap hari aku selalu memperhatikan mereka. Setiap hari lorong
ini selalu kubersihkan agar instalasi ini tampak tidak usang. Tak kuat dengan
fenomena ini, ku berdialog dengan emak. Dan kata emakku, itu tandanya namamu
sudah berganti, namun kau tak sadari hal itu. Lantas siapakah nama itu mak?
Tiba-tiba mata mak menerawang dan beberapa detik kemudian terucap dari
mulutnya...CLAUS.. Claus? Sepertinya semakin indah terdengar dari Sibion. Dan
aku tersenyum. Tapi tiba-tiba mendadak senyumku berubah muram. Hati kecilku
merasa tidak nyaman dengan nama itu. Aku sendiri tidak tahu, entah mengapa.
Tapi emakku orangnya pantang menarik kembali segala ucapan yang telah dia
muntahkan. Sebagai baktiku, aku terima nama itu. Semenjak namaku berganti
Claus, aku selalu mengalami ketakutan setiap kali hendak masuk ke lorong pameran
kelamku. Baru beberapa langkah saja, nafasku terasa sesak. Ada apa ini? Karya-karya itu mendadak menjadi
besar melebihi tubuhku. Dan manekin itu, tiba-tiba menjadi sosok kanibal yang
hendak melahapku hidup-hidup. Setiap tidur, aku selalu bermimpi masuk ke dalam
ruang sempit dan aku tak bisa keluar lagi dari sana , karena tiba-tiba pintunya berubah
menjadi tembok. Ku coba menjerit meminta bantuan emakku, tapi emakku hanya
tersenyum saja. Tapi aku tak bisa mengumpat pada emakku. Tatapan garang nan
anehnya selalu meluluhkan energiku setiap kali aku ingin melawan emak. Hari
itu, mimpiku semakin dahsyat. Saat kupejamkan mata, dan beberapa detik kemudian
perlahan mataku terbuka, ternyata aku sudah berada di dalam tubuh sebuah
manekin. Aku meringkuk seperti bayi. Bangunan kulit manekin itu sungguh kuat.
Dan aku tak punya daya untuk keluar. Aku teriak sekencang mungkin. Tapi suaraku
kembali lagi padaku. Oh, Tuhan...kenapa emak tega melakukan ini padaku? Kenapa
emak tiba-tiba memberiku nama yang membuatku makin tersiksa? Aku merintih, tapi
airmataku tak jua mengalir membasahi pipiku. Apakah airmata sudah mulai lelah
dan benci padaku? Ku coba panggil masa laluku satu persatu, siapa tahu mereka
bisa membantuku. Ku panggil Neu, Opat, Domaso, Sibion..... Tak ada satupun yang
menyahut kecuali pantulan suaraku sendiri. Aku lelah untuk menjerit dan mulai
kehabisan nafas. Saat aku merasa mulai melayang, tiba-tiba aku dikejutkan oleh
suara tangisan. Emak? Tapi suara tangisan itu terasa asing bagiku. Itu bukan
tangis emak. Tangis itu kudengar tidak satu orang tapi beberapa. Spontan aku
teriak, emaaakk!!! Entah kekuatan darimana, teriakan itu seperti ledakan bom
dan menghancurkan manekin yang menyelubungiku. Emak! Emak mana? Kenapa kalian
memandangku sinis begitu? Kenapa kalian semua menangis? Ada apa ini? Tiba-tiba mataku tertuju pada
sosok yang terbujur dan seluruh tubuhnya tertutup kain. Emak? Kubuka perlahan
kain itu. Dan......spontan airmataku keluar sejadi-jadinya. Saat itu pula, rasa
cintaku kepada emak tiba-tiba hadir.....utuh, tanpa benteng kata-kata
almarhumah simbah. Tapi.......emak..... Kenapa kau curang padaku kali ini mak?
Biasanya kau selalu menaruh pesan di secarik kertas saat kau hendak pergi
kemanapun kau ingin pergi. Tapi sekarang? Kenapa mak? Dimana kau taruh kertas
itu? Aku ingin tahu kemana kau hendak pergi saat ini? Seseorang lantas
menyodorkan kertas padaku. Gemetar tanganku membuka kertas itu.
“Nak,
maafkan emak. Mungkin emak sudah mulai lelah menulis pesan buatmu. Sekarang,
sudah saatnya kau terbebas dari kekangan misteri emak.
Sebenarnya
emak juga mencintaimu nak.
Tapi
emak tidak ingin ungkapkan hal itu sebelum saatnya tiba.
Nah,
saat inilah waktu yang tepat.
Sekarang,
jika kau ingin merasakan cinta emak abadi di hatimu,
sandanglah
nama SKIZO sampai akhir hayatmu nak.
Jika
kau berganti nama, kau akan merasakan cinta emak lambat laun pupus.
Tapi
jika kau tetap menyandang nama itu, emak akan selalu ada di hatimu nak.
Dan
pada saat kau mulai kuat menyandang nama Skizo,
perlahan
tapi pasti kau akan temukan jawaban dari misteri emak
yang
selama ini kau ingin tanyakan nak.
Selamat
tinggal nak......”
Hai...kenapa
disini ramai sekali? Siapa kalian? Darimana datangnya kalian? Ada urusan apa kalian datang kesini?
Oh...oh..oh...aku tahu. Pasti kalian ingin menyaksikan kepedihan dan
kebodohanku. Pasti kalian ingin tahu apa yang telah kuperbuat disini setelah
lama ku tak bersua dengan kalian. Ya kan ?
Akui saja! Apa yang kalian ingin dapatkan dariku...hah?! Puas kalian! Kemana
saja kalian selama ini? Kenapa tega kalian tinggalkan aku sendirian disini?
Mana hati nurani kalian? Mana arti kebersamaan kita selama ini? Mana arti
kesetiakawanan kalian padaku? Kalian semua jahat...bengis...tak punya hati
nurani. Kalian tak ubahnya seperti binatang. Dan aku, habis manis sepah
dibuang. Setelah tahu aku seperti ini, kalian tinggalkan aku perlahan-lahan.
Aku sepi. Sendiri. Kemana kalian? Kemana? Mana? Beraninya kesini ramai-ramai.
Kalian ingin mempermalukan aku di depan teman-temanmu yang lain. Kejamnya
kalian. Aku benci kalian. Aku benci kalian semua. Aku tak kenal kalian. Aku tak
mau kenal kalian lagi. Lagaknya ingin menengok, menjenguk. Untuk apa? Semua
telah berlalu. Tak ada yang bisa diulang. Nasi telah basi. Tatapan mata kalian,
seolah-olah iba. Munafik! Kenapa baru sekarang kalian datang? Aku tak butuh
kalian lagi. Pergi kalian! Pergi! Biarlah aku sendiri dalam kesendirianku. Tak
usah berbasa-basi tuk kasihan padaku. Kenapa masih diam saja? Mengerti tidak
kalian? Apa perlu aku teriak-teriak biar seluruh orang disini mendengar? Aku
bilang, pergi! Masih juga berlagak tuli. Kawan-kawan...bantu aku tuk usir
orang-orang ini. Aku tidak butuh mereka lagi. Aku tidak kenal siapa mereka ini.
Mereka ini sosok-sosok pengacau ketenangan kita. Ayo kita usir
ramai-ramai...ayo...!!! (mengajak para pasien untuk mengusir para penonton)
Eits....tunggu
dulu! Jangan usir mereka. Biarlah mereka disini. Bukankah kita butuh mereka?
Bukankah mereka adalah teman tuk temani sepi kita? Aku takut sendirian. Aku
ingin kalian ada disini. Temaniku. Sudah lama aku tak bercerita. Karena sudah
lama aku sendiri. Jadi tak tahu kepada siapa ku ingin bercerita. Terlalu lama
kusimpan cerita ini. Entah, apakah masih renyah tuk didengarkan. Karena aku
sendiri lupa dimana kusimpan ceritaku. Andai kalian ingin mendengar ceritaku, kan kucari pelan-pelan
dimana kusimpan cerita itu. Bagaimana? Maukah kalian mendengarkan ceritaku?
Tapi sebelumnya, bantulah aku mencari ceritaku ini. Aku sungguh-sungguh lupa
dimana kutaruh cerita ini. Di selipan mana dan kapan terakhir aku menyimpannya.
Aku benar-benar tidak ingat lagi. Bantu aku tuk temukan. Tapi aku sendiri tak
tahu harus darimana mulai mencarinya. Adakah saran? Ayolah, jangan diam saja.
Kalian kenapa jadi seperti patung begini. Aku jadi seperti orang sakit jiwa
yang ngomong sendirian tanpa lawan. Tega ya kalian menonton kegilaanku
sendirian. Kalian kira, diamnya kalian tidak sakit jiwa. Jangan salah. Dalam
diam, terpendam berjuta masalah. Hanya karena kalian malu saja tuk
mengungkapkan. Tapi aku bisa membaca dari wajah-wajah kalian. Masalah kalian
tak lebih sama beratnya dengan masalahku. Tapi karena kalian pandai
menyembunyikannya, sehingga aku pun sulit tuk membaca satu persatu. Lagi pula
buat apa juga aku pusing-pusing membaca masalah kalian. Toh, tak juga
meringankan. Otakku masih lelah tuk berpikir. Otakku tak lagi bisa jalan
seperti dulu. Otakku kini tumpul. Karena telah lama kuajak istirahat. Otakku
telah lama kutidurkan. Atau mungkin otakku sedang asyik bermain-main entah
kemana. Dan aku tak kuasa mengejarnya. Fisikku sudah tak kuat lagi. Aku biarkan
dia bermain sesuka hatinya. Biarlah dia bebas. Karena telah lama dia tak
temukan kebebasan. Dulu otakku tersiksa. Aku kasihan padanya. Mungkin saja dia
sekarang sedang bercanda dengan hatiku. Yach...hatikupun dulu pernah sakit. Tak
mampu kucarikan obat. Sampai akhirnya terlanjur. Aku menyesal karena tak bisa
obati hatiku. Kini dia tak utuh lagi. Kini hatiku telah cacat. Mungkin sudah
bopeng. Tak lagi halus. Aku tak mampu hibur hatiku lagi. Dia sudah lama
terpuruk. Dan tak mau bangkit lagi. Setiap kali kucoba bangkitkan, dia lari
menjauhiku. Seakan aku ini momok yang patut dijauhi. Momok yang patut
disingkirkan dari muka bumi ini. Berat nian jika ku harus mengkorek kembali
kisah lama itu. Kisah yang membuatku tinggal disini. Di rumah tenang ini.
Panjang sekali jalanan dan liku yang harus kulalui tuk menguak kembali kisah
itu. Dan aku sendiri mungkin sudah lupa harus melewati jalan yang mana dulu.
Nanti jika aku tersesat di tengah jalan, apa kalian mau memanggilku kembali
atau sekedar melemparkan kompas untukku? Andaipun kompas itu sudah di tanganku,
mungkin aku juga sudah tak paham lagi mana utara dan mana selatan. Bagiku semua
arah sama saja. Arah yang menyesatkan. Aku telah lama tersesat pada arahku
sendiri.
Ssst....sepertinya
ada yang memanggil... Emak.....emak....sepertinya suara emak tuh. Ya,
mak....aku disini. Sebentar lagi aku kesitu..... Ayo, siapa mau ikut aku....???
0 Response to "NAMAKU SKIZO"
Post a Comment