Monolog
Ibu kita Raminten.
Diangkat dari novel karya Muhamad Ali
Teks Pra-
lakon: Ikun Sri Kuncoro
1. Yang aku bayangkan adalah ruang pengadilan. Tapi ruang ini sekaligus juga
harus hadir secara simbolik sebagai sebuah kungkungan, yang dengan itu berarti
ia juga menindas, entah sebagai sebuah sistem (termasuk tata nilai, di sini)
atau sesuatu hal yang lain yang muaranya pada konstruksi sosial.
2. Maka, bayangannya adalah pilar-pilar tiang dengan berbagai ukuran yang
secara kompositif memberi efek visual menekan karena stage dalam pembayangannya
hanya berisi sebuah tempat duduk terdakwa (Raminten), maka tiang-tiang ini
harus dipermainkan dengan cahaya yang memberi aksentuasi atas suasana monolog
Raminten. Jika ditemdukan ikon lain yang lebih menggugah tentu itu yang
diharapkan.
3. Andai potensi teaternya mampu, yang aku bayangkan dari teater ini hanyalah
teater auditif: sebuah rangkaian irama bunyi yang memukau (membuat penonton
betah) yang muncul dari wilayah tekanik ucapan dan ilustrasi musik.
Sehingga, Raminten tidak perlu beranjak dari kursi terdakwanya untuk sebuah
spektakel yang lain.
4. Tetapi sejujurnya saya juga tak mengelak, andai prosesi latihan, proses
penciptaan teater yang sesungguhnya memberikan penawaran lain yang sering tak
terduga dan tak dibayangkan pada awalnya. Karena, sebenarnya, di situlah letak
keajaiban teater.
Marilah dimulai saja:
Panggung itu gelap, ketika lamat-lamat detak sepatu
membentur ubin hadir semakin nyata dan berselah-selih dengan suara “ngremo”
antara bunyi gamelan dan tembang, juga dentam besi dari gembok dan kerangkeng
penjara. Sampai suasana menjadi.
Lalu dalam kelam itu sidang dibuka oleh suara hakim:
Hakim (Off Stage): Sidang perkara pembunuhan Prihartono
warga negara Indonesia kelahiran Hongkong, dengan agenda utama pembelaan
terdakwa II Saudari Raminten yang akan disampaikan oleh terdakwa sendiri,
dengan ini dinyatakan dibuka.
Lalu lampu merayap pelan pada Raminten yang duduk di
kursi terdakwa.
RAMINTEN
Trima-kasih. Sebagaimana dinyatakan kepada saya dan telah
saya jawab, saya tidak akan menambahkan atau mengurangi. Saya... hanya akan
melihatnya dan mengatakannya dari sisi diri saya tentang peristiwa apa yang
telah saya jalani dan tentang apa yang telah bapak dan ibu simpulkan atas diri
saya.
Saya, malam itu, tanggal 22 Desember 2004 memang berada
di kamar bapak Prihartono di jalan Ahmad Yani no. 1. Tetapi seperti yang telah
saya katakan, kenapa saya di rumah itu? ... Saya, ... dipaksa Stambul ... Anak
saya.
Malam itu, Stambul pulang. Dan seperti beberapa malam
sebelumnya, Stambul membujuk saya.
Setelah berbulan-bulan tidak pulang—juga, ketika bapaknya
meninggal—beberapa malam sebelum peristiwa itu Stambul membujuk saya untuk
menjadi gundik bapak Prihartono.
Menurut Stambul, hidup saya akan lebih baik kalau saya
bersedia bekerja pada Pak Prihartono. Katanya, Pak Prihartono sedang
membutuhkan seorang tukang pijat. Yang diinginkan adalah seorang tukang pijat
yang muda. Tapi Stambul yakin bahwa tak akan ada perempuan muda yang bersedia menjadi
tukang pijat Pak Pri.
Stambul, anak saya itu, dari pada saya hidup seperti ini:
nganggur, kelaparan dan kesepian. Hidup bukan mati pun tidak. Lebih baik ikut
Pak Prihartono. Meskipun tua, Pak Pri duitnya banyak. Pak Pri akan memberi uang
berlimpahan, cukup makan, cukup pakaian, dan saya hanya disuruh memijat-mijat.
Hanya itu saja. Memijat.
Memang, sejak Markeso meninggal, saya hidup dari
belas-kasih tetangga. Setiap hari tetangga-tetangga memang saya dtang mengantar
makanan untuk saya. Itu berjalan lebih dari tiga bulan lamanya. Dan, mungkin
akan lebih lama lagi seandainya peristiwa ini tidak terjadi.
Sepeninggal Markeso, saya memang malas melakukan apa
saja. Saya tidak keluar rumah. Saya memang tidak pernah bekerja sejak saya
menjadi istri Markeso. Saya, Stambul, dan Markeso, hidup hanya dari hasil
Markeso mbarang, mengamen sebagai ludruk garingan. Atau ludruk ontang-anting:
sendirian mengamen dengan menembang, menari dan ngremo. Dan kami hidup.
Dulu Markeso bekerja sebagai kernet angkot. Sebelum
bertemu saya. Sebelum kami menikah. Saya masih ingat benar ketika kami bertemu.
Waktu itu usia saya baru 15 tahuanan. Seperti biasa, saya membantu bapak yang
berjualan obat keliling, menggelar perlak untuk alas menata dagangan bapak.
Ketika itu sebuah angkot berhenti menurunkan dan menaikkan penumpang. Entah
kenapa, ketika mendengar dari mesinnya saya tiba-tiba berhenti dan entah kenapa
saya jadi memandangnya. Saya melihat Markeso, meloncat turun dan melayani para
penumpang turun. Waktu itu, mungkin Markeso masih berusia 20-an. Ia sibuk
mempersilakan penumpang turu, membantu menurunkan barang lalu sibuk menawarkan
pada orang-orang yang barangkali akan ikut dalam angkotnya. Lalu tiba-tiba ia
berpaling. Sejenak kami berpandangan. Lalu ia teruskan menawarkan angkotnya,
dan saya meneruskan menata obat-obatan dagangan bapak. Tapi entah kenapa,
setiap kali saya mendongak melihatnya, ia selalu juga sedang melihat saya..
Seterusnya, wajh Markeso selalu saya ingat dan setiap kali bapak berjualan di
pasar itu, saya selalu berharap melihatnya lagi.
Tak sampai setahun saya pun menikah dengan Markeso. Kami
keluar dari rumah bapak dan menyewa rumah bedeng yang murah di pemukiman padat.
Markeso berhenti sebagai kernet angkot dan memilih menjadi pengamen. Dari hasil
mengamen itulah kami hidup. Dan setahun kemudian lahirlah Ruba’i.
Kami pun cemas. Bagaimanakah kami harus hidup dari hasil
mbarang Markeso dengan tambahan seorang bayi? Untuk hidup berdua kami, kadang
makan hanya 2 kali/ entah dari mana pikiran itu datang, tiba-tiba kami
memutuskan untuk menyerahkan Ruba’i pada orang yang bersedia memungutnya. Dan
kebahagiaan kami pun pulih kembali begitu ada orang datang dan sangat
berterimakasih kepada kami ketika mereka menerima Ruba’i.
Tapi sungguh kami tidak menjualnya. Memang, Pak Rus, yang
memungut Ruba’i memberikan uang ungkapan kebahagiaannya pada kami. Tetapi, Pak
Rus sendiri yang menyatakan itu hanya sebagian ungkapan kebahagiaan karena ia
mendapatkan kesempatan dari Tuhan untuk bisa membesarkan seorang bocah. Dan
kami pun berpesan agar nama Ruba’i tak diganti dengan nama lainnya.
Begitulah. Nasib Lastri pun sama ketika setahun kemudian
adik Ruba’i itu lahir. Kami yang membayangkan nasibnya tidak bersekolah, makan
dan pakaian yang tidak akan tercukupi, menyerahkan Lastri pada Bu Broto begitu
usianya telah lebh dari tiga bulan. Orang-orang pun mengira terutama
tetangga-tetangga kami, bahwa kami telah menjual anak-anak kami. Apalagi pada
tahun berukutnya Gani lahir dan Pak Irham memintanya untuk membesarkannya.
Juga, ketika Fitri lahir, Alamsyah, dan Samsi pada
tahun-tahun berikutnya. Ketiganya diminta oleh Pak Subandi seorang pengusaha
oli yang anak-anaknya sudah besar semua.
Tetapi sungguh kami tidak menjual anak-anak kami. Kami
selalu meminta agar mereka tidak mengganti nama anak-anak kami dan kami selalu
tahu pada siapa anak-anak kami serahkan.
Anak ketujuh kami, Joko, kami serahkan pada pedagang
koran, Pak Hasan namanya. Falhi, anak kedelapan kami serahkan pada Pak Badawi,
seorang guru agama di SD kampung sebelah. Dewi diminta Ibu Kartika yang telah
menjanda. Ningsih dan Ningrum anak kembar kami dibesarkan Pak Widodo dan Pak
Alam. Sedangkan Anwar diminta oleh Pak Effendi, seorang pelaut.
Memang, terkadang ada saja dari mereka yang mengambil
anak kami, tidak saja memberikan uang begitu mereka bawa anak-anak kami.
Sering, ada saja yang telah memberikan kepada kami uang sejak bayi-bayi itu
masih ada dalam kandungan. Mereka bilang, agar bayi yang saya kandung tidak
kekurangan gizi sehingga saya harus menjaga makanan yang saya makan. Itu
pengakuan mereka. Bapak-bapak dan ibu-ibu boleh tidak percaya. Tapi begitulah
mereka mengatakannya kepada kami, setiap kali pada setiap bulan mereka
memberikan uang itu ketika saya mengandung anak yang hendak mereka minta.
Begitulah kami mengandung anak-anak kami. Kami memberikan
bayi-bayi kami kepada orang lain lantaran kami tahu, kami tak akan bisa
menghidupinya. Kami tak akan pernah sanggup menyekolahkan, dan kami tak akan
bisa mendidiknya sendiri. Kami bahkan tidak bisa membayangkan, apa yang akan
terjadi seandainya anak-anak kami besarkan pada lingkungan kami yang pepat oleh
rumah-rumah bedeng kemiskinan kami. Kami sudah melihat apa yang terjadi dengan
anak-anak tetangga kami; yang dekil, yang kurus, yang tak bersekolah, dan kami
sudah tahu apa yang terjadi pada saat besarnya nanti.
Tetapi kenapa kami bisa beranak sampai 12, sampai 13,
hanya kemiskinak kami yang tahu. Saya dan Markeso tak punya pekerjaan lain
begitu maghrib tiba. Setiap kali pulang ngamen, Markeso tak akan pergi lagi.
Dan kami hanya akan bersembunyi dalam bedeng gubuk kami. Kami jarang, atau
malah tidak pernah bermain ke gubuk tetangga kami. Mengunjungi mereka lebih
sering hanyalah mengunjungi sumpah serapah yang mengutuk nasib dan kehidupan.
Berjalan-jalan ke pertokoan hanya akan tersiksa sebagaiamana, mungkin, tiba di
neraka. Neraka bagi kami adalah menyaksikan melimpahnya barang-barang yang
ditawarkan tanpa pernah bisa membelinya. Neraka bagi kami adalah kelaparan yang
tak pernah lekang.
Dan Markeso, suami saya, adalah laki-laki yang tahu
bagaimana membangun surga di dalam gubuk kami. (JIKA ADA TRANSISI TEATER BISA
DIAWALI DI SINI). Tangan yang kasar, bau keringatnya yang sengak, mulutnya yang
bertembakau, selalau saja bisa mendatangkan surga di bedeng kami yang pengap
bila sudah berbaring di dekat saya.
Saya ingat benar, apa yang dikatakannya di suatu malam:
“Ram, sungguh buruk nasib kita. Bayangkan kepada siapa
kita akan menitipkan hidup kita kalau kita sudah tua dan ak mampu lagi buat
bekerja? Kita akan jadi tua bangka, nantinya.
Apakah akan ada yang ingat kepada kita, Ram? Satu saja
dari 12 anak yang kita buang itu?
Kamu jangan marah, Ram. Tapi apalagi kalau bukan
membuangnya? Memberikannya kepoada orang lain sama artinya dengan membuang.
Meskipun, kita tetap meminta agar nama-nam anak-anak itu tidak diganti.
Meskipun kita tahu dan hapal, siapa-siapa saja yang telah memungut anak kita.
Tetapi, kita tetaplah melepaskan tanggungjawab itu. Atau, ka mu lebih suka aku
menyebutnya menjual, Ram? Kamu lebih keberatan, kan? Meskipun kenyataannya kita
tidak hanya menerima ucapan terimakasihnya dalam sejumlah uang, tetapi juga
menerima uang belanja selama kamu hamil dan selama tiga bulan awal menyusui
hanya agar bayimu tidak kekurangan gizi. Tapi apa kenyataannya, Ram? Kita juga
menumpang makan dari uang membeli bubur dan susu itu.
Kita memang telah menjual bayi-bayi itu. Atau mungkin
kita telah menjualnya. Tetapi sungguh, sekarang aku justru sangat ketakutan
kepada siapa kita akan menitipkan hidup kita kalau kita sudah tua. Kita akan
menjadi tua, Ram. Kita akan, menjadi tua bangka dan tidak punya siapa-siapa.
Tidak, Ram. Tidak.
Kita harus punya anak lagi, harus. Dan kita juga harus
memeliharanya sendiri. Kita harus membesarkannya. Karena, karena aku tidak
yakin 12 anak kita akan ada yang bersedia menerima kita pada waktu kita telah
menjadi bangka. Ayo, Ram. Kau harus hamil. Harus hamil lagi. Dan kita harus
berani memelihara anak sendiri. Kita harus membesarkannya. Kita akan
menyekolahkannya, akan mengajarinya bermain, akan mengajaknya berjalan-jalan.
Apapun yang kita punya.”
(WAKTU LEWAT DALAM HITUNGAN BANYAK BULAN. INI ZAMAN
KETIKA RAMINTEN TENGAH MENGANDUNG ANAK KE-13. USIA PERUTNYA MUNGKIN 7 ATAU 8
BULAN. ANDAI TEATER DIPERMAINKAN SET BISA BERUBAH: AKU MEMBAYANGKAN
PERISTIWANYA DI DALAM GUBUK BEDENG RAMINTEN. ADAPUN TOKOHNYA ADALAH MARKESO.
WAKTUNYA SORE SEPULANG DARI MENGAMEN. JADI, MINIMALNYA, AKTOR MEMBAWA SATU ALAT
YANG DIGUNAKAN MENGAMEN. SEMISAL, KEDANG KECIL. LALU MENGAMEN SEBENTAR DI
WILAYAH PENONTON. JIKA SANGGUP, AKTOR BERIMPROVISASI SEBENTAR DENGAN PENONTON.
TETAPI ANDAI TETAP DIPERTAHANKAN KONSEP AWAL SEBAGAI TEATER AUDITIF. MAKA YANG
TERJADI DALAM SESAAT HANYALAH SEMACAM LAMPU PADAM. DAN KETIKA CAHAYA TUMBUH
PENGADILAN ITU BERLANJUT.)
RAMINTEN:
Sore itu Markeso datang dengan wajah yang bungah. Aku
sudah mendengar teriaknya sejak dari luar:
“Ram.., Ram..., Raminten..
Ini yang namanya rezeki nomplok. Aku bertemu dengan
Mas-mas seniman. Jangan salah ucap lagi dengan “si Niman.” Aku ditraktirnya.
Dibayari makan sepuasku, dan masih diberi duit. Sekarang kamu percaya, kan?
Anak memang selalu membawa rezekinya sendiri. Aku juga menemukan nama untuk
anak kita: Stambul. Kamu pengen ngerti apa itu Stambul? Itu artinya, sandiwara.
Drama. Orang-orang pinter, mas-mas seniman itu, menyebutnya titer. Mas seniman
tadi yang bilang. Jangan takut kalau nama itu membebani anak kita. Nanti kita
selamati dengan tiga ekor ayam yang masih kita punya. Dengan selamat tiga ekor
ayam pasti tidak akan ada aral yang melintangai Stambul. Kamu tahu, kan? Nabi Ibrahim?
Nama Ibrahim memberikan sesaji satu ekor kambing untuk mengganti nyawa anaknya,
Nabi Ismail. Nah, karena kita bukan nabi maka cukup ayam saja: tiga ekor.
Nama itu tentu akan membawa berkah. Kalau sudah besar,
Stambul, Stambul akan menjadi seniman sandiwara. Titer. Tapi kalau nanti dia
ternyata perempuan, aku lebih suka kalau dia menjadi penyanyi ndangdhut. Kita
harus dibelikan teve agar bisa menonton dia.
Aku jadi tidak sabar menunggu 2 atau 3 bulan lagi.
Tabungan kita rasanya cukup untuk membayar Bu Bidan. Kamu ingin anak kita,
laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin anak kita laki-laki. Kamu ingin
anak kita, laki-laki apa perempuan? Kalau aku, aku ingin anak kita
laki-laki. Aku akan mengajarinya main kendang, menembang. Aku akan mengajarinya
menari. Maka, kalau sudah besar dia akan menjadi...
(KALIMAT ITU TIDAK SELESAI. DAN RAMINTEN TERISAK. DI SINI
TRANSISI UNTUK MASUK KE TOKOH STAMBUL.)
RAMINTEN:
Apa yang terjadi dengan Stambul setelah besar adalah apa
yang tidak pernah kami harapkan. Bahkan, membayangkan pun, kami; tidak. Sore,
apabila Markeso telah pulang dari mengamen, Stambul pastilah akan datang.
“Ram..., Raminten... Di mana Markeso? Aku sudah
melihatnya pulang, tadi. Mar..., Markeso... Atu, uang itu sudah diberikan
padamu? Mana? Mana? Berikan padaku! Kalau tidak kamu berikan padaku, kepada
anakmu, akan kamu berikan kepada siapa hasil kerja bapakku? Atau kalian belum
makan? Baik, kita bagi tiga uang itu. Aku minta bagianku, dan kalian ambil
bagian kalian. Atau begini saja. Berikan uang itu semua padaku, nanti aku akan
membelikan kalian makan malam ini. Daripada kalian harus keluar, naik-turun,
tebing sungai ini, tentu hanya akan membuat kalian lapar lagi. Iya, kan? Nah,
biarkan aku sekalian membelikan kalian makan untuk malam ini. Setuju, kan?
Ram, aku dengar dari para tetangga, kamu dulu menjual 12
kakakku selagi masih bayi. Kenapa itu tidak dilakukan lagi? Biar aku nanti yang
mencari pembeli. Aku punya banyak kenalan. Dan aku dengar harga bayi sangat
mahal sekarang. Malah, Ram, ada yang bisa menjualkan dengan harga yang lebih
tinggi lagi bila kamu bersediah dioperasi selagi bayi itu berusia 3 bulan dalam
kandunganmu. Kita tidak perlu mengeluarkan biaya operasi itu, Ram. Kita hanya
tinggal menerima harga bayi itu. Katanya untuk dibikin sop, atau diawetkan
untuk diminum sebagai jamu. Kamu tidak tertarik, Ram? Hanya mengandung tiga
bulan, Ram. Dan kit abisa pindah dari bedeng ini. Kamu tidak bosan tinggal di
gubuk yang berdempet-dempet ini? Kamu tidak bosan terus melarat seperti ini? (Kere
kok ra jeleh.) ah, aku yakin, Markeso pasti setuju. Di mana? Di mana
Markeso sekarang?
Mar... Markeso... Mar. Kamu sembunyikan di mana Markeso?
Tapi uang itu sudah diberikan padamu, kan? Mana, berikan padaku. Nanti aku
belikan kalian makan, malam ini. Atau..., baik..., aku belikan juga makan
sampai besok pagi. Bagaimana? Mana sekarang uangnya? Ayo, berikan. Berikanlah
\ram. Aku kan anakmu.
Ram, aku memang pernah mencuri. Sering, malah. Aku juga
kadang memeras. Atau, memaksa. Tapi, aku tidak mau melakukan itu pada kalian.
Ayolah, Ram. Berikan uang itu padaku. Jangan paksa aku menjadi pemeras, atau
penjahat pada kalian. Ram, meskipun orang-orang selalu mengatakan aku sama
jahatnya denan kalian yang telah menjual kakak-kakakku, tapi aku tetap tidak
ingin jahat pada kalian dengan memaksa kalian menyerahkan uang itu padaku.
Kalian itu Ram, berikan uang itu padaku. Ayolah, nanti aku belikan nasi untuk
malam ini, besok pagi, dan juga siangnya. Bagaimana? Ayolah, Ram. Jangan suruh
aku untuk kasar padamu.
Ram, kalian tahu apa yang dikatakan orang-orang di luar?
Mereka bilang, kalian; kamu dan Markeso, lebih jahat daripada aku. Mereka juga
bilang bahwa kalian bodoh. Kata mereka, kalau dulu kalian membesarkan sendiri
anak-anak kalian, kalian akan beruntung. Kalian bisa menjualnya ke luar negeri,
sekarang. Dan kalian bisa terus menerima kiriman uangnya. Kata mereka, kalian
bisa menjualnya sebagai babu, sebagai buruh pabrik, bahkan kalau perlu kalian
bisa menjualnya sebagai pelacur.
Aku tidak bisa membayangkannya, Ram. Andai 12 kakakku
kamu jual ke luar negeri. Apa yang akan terjadi pada kita saat ini, Ram? Aku
pasti, sudah tentu, tidak perlu menunggu saban sore hanya untuk meminta uang
Markeso yang hanya receh itu. Bayangkan, Ram, 12 anak dalam satu tahun. Kalau
mereka mengirim satu juta saja satu orang sekali dalam satu tahun, kita sudah
harus menghabiskan uang segepok itu setiap bulan. Itu hanya sekali mereka
mengirimkan. Kalau setiap anakmu itu mengirimkan dua kali saja dalam satu
tahun, apa kita tidak repot untuk menghabiskannya? Ah.., Markeso pasti tidak
perlu bekerja seperti topeng monyet itu. Keliling kota, mengumpulkan recehan.
Markeso, pasti akan duduk-duduk setiap hari dengan rokok
kreteknya yang berbau menyan itu. Atau, ah.., jangan-jangan dia akan kawin
lagi. Beranak-pinak banyak, dan pasti dikualnya lagi.
Kita akan hidup enak, Ram, hanya dengan 12 kakakku yang
mengirimkan uang bergiliran. Dasar, kamu memang bodoh, Ram. Dan karena kamu
bodoh, maka kamu pun tidak mau memberikan uangmu padaku sekarang untuk
kubelikan nasi. Mana? Di mana sebenarnya uang itu? Atau, aku harus mengambilnya
sendiri? Kamu sembunyikan di mana? Di bawah tikar? Dalam besek pakaianmu? Atau
kau simpan dalam kutangmu? Mana biar aku ambil sekalipun kau sembunyikan dalam
celana dalammu.”
(ADA SESUATU YANG BERUBAH DI DALAM PANGGUNG).
Begitulah Stambul memaksa saya. Syukurlah, semenjak itu
dia tidak kembali lagi. Dia tidak pernah pulang lagi. Tapi suaranya yang terus
menuduh saya menjual kakak-kakaknya tak bisa saya lupakan. Dan malam itu, saya
dan Markeso tak lagi bisa makan. Uang seharian Markeso mengamen telah
dirampasnya. Semua.
Kepergian Stambul memang membuat kami lega, meskipun
terkadang kami merasa kehilangan juga. Bagaimanapun Stambul adalah anak kami.
Anak yang kami niatkan untuk kami asuh sendiri. Kami besarkan, dan kami harap
untuk bisa merawat hari tua kami. Lambat-laun kami memang bisa melupakan dan
mengikhlaskannya. Kami terkadang bersyukur tidak membesarkan sendiri ketiga
belas anak-anak kami. Kalau yang terjadi adalah apa yang sudah dinasibkan pada
Stambul pastilah rumah bedeng kami hanya akan menjadi sarang, perampas,
pemabuk dan pelacur. Anak-anak kami.
Lalu datanglah peristiwa itu. Beberapa bulan setelah
Markeso meninggal. Stambul datang. Dia meminta saya untuk menjadi tukan pijat
Pak Prihartono. Saya tidak hanya menolaknya. Tetapi juga, dengan sangat
terpaksa, mengumpatinya. Dan dia pergi.
Tetapi beberapa malam kemudian, dia tidak hanya meminta
saya. Dia, bahkan, telah memaksa dan menyeret saya. Saya digelandang sampai
rumah Pak Prihartono. Dan saya diseretnya sampai ke dalam kamar. Diseretnya..
Diseretnya saya...
Di dalam kamar itu saya tidak tahu berapa saya telah
dijualnya. Tapi saya dengar apa yang dikatakan Prihartono pada Stambul:
“Brengsek. Aku bilang akan memberikanmu 250 ribu kalau
yang kamu bawa perempuan muda. Tapi apa yang kamu bawa sekarang? Mayat tua. Apa
matamu sudah tidak bisa membedakan perempuan muda dengan orang yang sudah bau
tanah? Sekarang bawa uang itu kalau mau. Kalau tidak, bawa juga pergi
nenek-nenek itu. Aku bisa minta orang lain mencari apa yang aku inginkan. Dasar
goblok.”
Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan di kamar
mandi itu. Saya seperti tidak bisa berpikir. Tidak bisa menalar. Ketika, saya
lepas baju saya dan menuruti perintahnya untuk membersihkan diri.
Lalu terdengar suaranya lagi:
“Kenapa lama? Cepatlah keluar.”
Dan ketika saya keluar dari kamar mandi, saya tidak
berani melihat matanya. Saya hanya bisa mendengar perintah-perintahnya:
“Stop. Berhenti di situ. Buka bajumu. Rokmu. Kutangmu.
Celana dalammu. Berbaliklah. Aku ingin melihatmu dari belakang.
Nah, mendekatlah. Sekarang pijitlah aku. Kamu bisa
memijat juga ternyata. Atau kamu sudah menyiapkannya? Karena menjadi pelacur
tentu tak bisa selamanya? Pintar juga kamu punya otak. Kalau kamu mau, kamu
bisa juga bekerja di sini. Kamu pasti bisa memasak, kan? Kerjamu hanya memasak,
membersihkan rumah, menyeterika, dan memijit. Kamu tidak usah mencuci karena di
sini sudah ada mesin cucinya. Berapa kamu minta dibayar setiap bulan? 150 ribu,
mau? Aku juga akan mengijinkan kamu menerima panggilan memijat dari orang lain
apabila aku tidak sedang ingin dipijat.
Ya, terus ke bawah. Jangan sungkan-sungkan. Aku juga
ingin dipijat di bagian itu. Ayo! Kenapa berhenti? Pijatlah di mana saja aku
ingin kau memijatnya. Aku telah membayarmu. Aku berhak menyuruh apa saja
padamu. Aku bahkan berhak tidak hanya memintamu memijat. Aku bahkan berhak
memintamu untuk melayaniku.”
(ADA PERKOSAAN PERSETUBUHAN YANG KASAR, DI SINI)
Lalu tiba-tiba Stambul datang. Saya sudah tidak bisa
mendengar apa yang mereka percakapkan. Saya takut. Saya bingung. Saya sedih,
marah tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang terjadi di situ tak bisa
semuanya saya ingat.
Sesekali saya memang mendengar dan melihat Stambul
menggertak dan meminta uang. Sesekali saya mendengar Prihartono yang
membentak-bentak Stambul. Saya ingat Markeso. Andai dia masih hidup, aakah dia
juga akan membiarkan saya digelandang Stambul?
Lalu saya mendengar kaca pecah. Ketika saya berpaling
saya melihat Stambul bergulat dengan Prihartono. Saya tidak tahu bagaimana
perkelahian itu terus terjadi. Pikiran saya kacau. Saya bingung. Saya sedih.
Saya takut. Tapi juga marah. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya ingin
menangis tapi sudah tidak bisa. Saya ingin berteriak. Tapi saya telah
kehilangan suara saya.
(RAMINTEN TERUS BICARA. TANGANNYA BERGERAK-GERAK. TAPI
SUARA ITU TAK ADA. LAMPU MENYUSUT. HINGGA MENEMUKAN KELAM.)
0 Response to "Ibu kita Raminten"
Post a Comment