Naskah Monolog
SANG ORATOR
Karya Lee Birkin
LAMPU GELAP. LAMAT-LAMAT
TERDENGAR SUARA KERIUHAN DEMONSTRASI BURUH, MENJADI BACKSOUND SAMPAI LAMPU DI
SALAH SATU SUDUT PANGGUNG MULAI MENYALA. DI SANA SUDAH NAMPAK SOSOK PEREMPUAN
YANG SUDAH SIAP BERORASI. PEREMPUAN ITU MEMAKAI SERAGAM KERJA PABRIK LENGKAP
DENGAN IKAT KEPALA, DIA MEMBAWA SERTA MEGAPHONE. DIA MEMBUNYIKAN TERLEBIH DULU
ALARM MEGAPHONE TERSEBUT LANTAS MULAI BERORASI.
“SAUDARA-SAUDARI, SENASIB SEPENANGGUNGAN.
ADALAH HAK MANUSIA, HAK RAKYAT BANGSA INI MENDAPATKAN KESEJAHTERAAN HIDUP! JUGA
KITA, KAUM BURUH! BERTAHUN-TAHUN KITA MEMERAS KERINGAT, MELAKUKAN KEWAJIBAN
KITA SEBAGAI PEKERJA DI PABRIK INI! TAPI APA YANG KITA DAPAT?!! UPAH YANG TAK
LAYAK! EKSPLOITASI TENAGA DAN JAM KERJA! TAK ADA JAMINAN
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA! BANYAK TEMAN KERJA KITA YANG DILECEHKAN SECARA
SEKSUAL! PEMECATAN SEPIHAK!
TERLALU
LAMA KITA DIAM! TERLALU LAMA KITA DIHANTUI RASA TAKUT! KITA HARUS BERGERAK!
MELAWAN PENINDASAN ITU SEMUA! DENGAN TANGAN KITA SENDIRI! SEKARANG, HANYA SATU
KATA; LAWAN!* HIDUP BURUH! HIDUP BURUH!....”
SAMPAI LAMPU FADE OUT, ORASI ITU
DIIRINGI LAGU MARS SALAH SATU ORGANISASI BURUH. DI TENGAH PANGGUNG, LAMPU FADE
IN DAN MENYOROT SOSOK PEREMPUAN ITU LAGI YANG SUDAH BERGANTI KOSTUM. DIA
MEMAKAI PAKAIAN KERJA KANTOR (SELAYAKNYA WANITA KARIR). DIA SEDANG DUDUK
MENGHADAP MEJA RIAS DI KAMARNYA. DI MEMEGANG DAN MEMERHATIKAN BINGKAI PHOTO
MILIKNYA.
Ha...ha...ha.... begitu semangatnya aku waktu itu. Aku seperti singa yang
mengaum diantara ribuan penghuni hutan. Semua mata tertuju padaku, mereka diam.
Entah karena isi orasiku atau karena kalimat-kalimat itu keluar dari mulut
perempuan yang selama ini terkesan pendiam. Aku tak peduli! Yang pasti, waktu
itu aku hanya menyuarakan apa yang kurasakan selama di pabrik itu.
Merekapun bertepuk tangan sesudah orasiku itu. Lima menit, ya lima menit.
Seperti penghargaan penonton atas sebuah pertunjukan teater yang memuaskan.
Yel-yel yang aku berikan, mereka sambut membuat gema yang riuhnya mengalahkan
deru mobil di jalan raya.
Aku, Sunarti. Sang orator.
LAMPU MATI. TAK BERAPA LAMA LAMPU
KEMBALI MENYALA, DAN SUNARTI SUDAH BERADA DI DEPAN MEJA RIAS, BERDIRI MENYANDAR
KE GAWIR MEJANYA.
Bagi rekan kerjaku sesama operator, aku mungkin dianggap pahlawan karena
telah mewakili mereka yang tak berani bicara, mewakili mereka yang hanya bisa
keluh kesah di belakang. Yang bisanya hanya corat-coret di dinding toilet
dengan spidol atau lipstick, berisi umpatan-umpatan pada atasan.
-
Wahai manajer tampan; pergilah ke neraka!-
-
Kepada supervisor cabul; jadi dukun aja lu!-
Begitulah jadinya kalau hidup ditekan tapi tak dilampiaskan secara benar.
Sejak demonstrasi itu, hidupku berubah, aku semakin berani membela
rekan-rekan kerjaku di depan atasan. Walau aku bukanlah pengurus serikat
pekerja. Pernah satu kali Mugiyem mengadu padaku perihal ia dijatuhi SP 1
karena tidak masuk kerja, alias mangkir. Padahal dia sudah memberi alasan bahwa
dia tidak masuk kerja karena menstruasi, itupun sudah disertai surat keterangan
istirahat dari dokter. Tapi mereka tak menerima alasan itu. Bahkan Giyem
dituduh, menstruasinya adalah rekayasa dia untuk tidak masuk kerja.
Jelas aku marah. Kutinggalkan kerjaanku lantas kulabrak supervisor edan
itu.
SUNARTI BERLAKU SEOLAH-OLAH DIA
SEDANG BERHADAPAN DENGAN ATASANNYA YANG SEDANG DUDUK DI KURSINYA. DIA
MENGGEBRAK MEJA.
Apa betul ibu meng-SP Giyem? Atas dasar apa? Bukankah ia sudah menyerahkan
surat keterangan dokter?
-
Kami tetap tak bisa menerima surat itu. Kamu harus
tahu, pabrik ini sedang banyak order dan kita dikejar target. Kau tahu berapa
kerugian perusahaan kalau seorang saja bolos kerja? Kami meng-SP Giyem sebagai
pelajaran buat semua karyawan -
Pelajaran katanya, pelajaran yang mana dan siapa gurunya yang menjelaskan
perempuan tak boleh menstruasi kalau lagi banyak order? Aku pikir pelacur
sekalipun akan istirahat dari melacurnya kalau lagi datang bulan.
Lantas kukatakan perihal proses biologis menstruasi, kujelaskan pula soal
hubungan industrial antara buruh dan majikan. Saat itulah mukanya memerah, lalu
ia menyuruhku keluar. Tapi aku bergeming dan terus melontarkan pikiran-pikiran
sosialisku. Hingga akhirnya ia menamparku di pipi ini.
–
kau telah berani menentang atasanmu!-
Eh, jangan anggap karena aku wanita, lantas dapat perlakuan seperti itu
akan menangis. Menangis, sebuah kata yang sudah kuhapus dari kamus besar
hidupku. Tamparan perawan tua itu selayaknya minyak tanah yang disemburkan dan
memperbesar api dalam dadaku. Kutampar ia, kujambak rambutnya dan kujedotkan
jidatnya ke meja kerjanya. – itu pelajaran buatmu perawan tua! -
SUNARTI MELUDAH. NAMPAK IA
TERENGAH-ENGAH SETELAH MEMVISUALKAN CERITANYA. KEMUDIAN IA MULAI MENGATUR
NAPASNYA KEMBALI.
Tebakan jitu!. Aku memang di PHK sesudah peristiwa itu. Tapi aku tidak
menyesal, setidaknya teman-teman kerjaku sadar bahwa mereka, walaupun butuh
uang bukan berarti harus melacurkan kemanusiawian. Buktinya mereka berani
menggelar demonstrasi-demonstrasi menyangkut hak mereka.
SUNARTI BERANJAK KEMBALI KE
KURSINYA.
Kenapa bertanya tentang suamiku? Ia baik-baik saja. Kalau kalian berfikir
rumah tangga kami berantakan sesudah kejadian itu, kalian salah. Justru yang
mendorong keberanianku adalah Mas Naryo, suamiku. Kini ia memburuh di pabrik
sepatu, di tempat kerjanya ia dikenal dengan julukan “Si Petir”.
Sudah tujuh pabrik ia jajaki. Dan semuanya hampir sama permasalahannya.
Berkutat di soal upahlah, tunjanganlah, cutilah, uang makanlah dan segala tetek
bengek perburuhan. Dia selalu dipercaya rekan kerjanya sebagai penyalur
aspirasi mereka. Dan suamiku yang sudah melalap paham Karl Mark, selalu
menggebu-gebu mengangkat semua masalah itu ke permukaan.
Mas Naryo tidak pernah mau jadi pengurus serikat pekerja, camkan itu!
Baginya serikat pekerja sudah bukan lagi DPRnya para buruh, melainkan jadi
organisasi penjilat bokong atasan agar mudah dapat jabatan. Ya, memang tidak
semuanya seperti itu. Tapi kan diatas rata-rata. Kebijakan yang seharusnya
memperbaiki hidup buruh dikorbankan untuk keuntungan pribadi.
Aku jadi ingat, ketika ia pertama kali bekerja di pabrik garmen, saking jengkelnya
pihak perusahaan pada tingkah Mas Naryo yang sulit dikendalikan, segala macam
cara mereka tempuh. Agar ia diam! Itu intinya. Pernah sesudah sebuah
demonstrasi ia ditawari menjadi grup leader atawa mandor di bagiannya. Terang
Mas Naryo menolak, karena bukan itu yang diinginkannya. Sebab itu pihak
manajemen mencari jalan lain. Mem-PHKnya dengan sedikit pesangon.
Maka disusunlah sebuah skenario yang melibatkan karyawan lain bagian. Hari
itu Mas Naryo kehujanan sewaktu berangkat kerja, sudah pasti seragam dan
sepatunya basah. Maka pergilah ia ke loker dan mencopot sepatunya untuk
dikeringkan. Lantas ia memakai sandal, entah punya siapa. Ia pun beranjak ke
bagiannya.
Tak ada masalah awalnya, sampai tengah hari. Tiba-tiba ia dipanggil ke
kantor dan disuruh menghadap personalia. Walah dalah, Mas Naryo dituduh mencuri
sandal temannya di loker. Mas Naryo tidak terima tuduhan itu lantas ia minta
bukti.
Maka dipanggilah Sugondo, ia mengaku bahwa ia melaporkan kehilangan sandal
di loker, dan ketika ia melihat sandal itu dipakai Mas Naryo, ia melaporkannya.
Mereka tak menerima alasan yang diberikan suamiku. Perdebatan sengit pun tak
terelakkan. Alhasil ia di SP 3 dan dirumahkan sampai pemberitahuan selanjutnya.
Welah dalah. Dalam kasus ini pun serikat pekerja juga telah ikut permainan,
terbukti pembelaan yang mereka berikan hanya formalitas biasa dan diakhiri
dengan kalimat -maaf kami tidak bisa bantu lebih jauh lagi. Kasusmu berat.-
disitulah awal Mas Naryo patah arang pada yang bernama serikat pekerja.
Lha kok bicarain soal suamiku sih? aku disini kan hendak menceritakan
pengalamanku di pabrik sebagai orator ulung. Yo wis tak lanjutke yo...
Lima belas tahun aku bekerja di tiga buah pabrik, ya agak jauh dari garmen,
sepatu dan tekstil. Kesejahteraan buruh di bidang itu selalu memprihatinkan,
terlebih karena mayoritas pekerjanya adalah kaum perempuan dan majikannya
adalah orang Asia juga.
Akh... lupakanlah. Miris aku mengenang semua itu.
Komunitas warga pinggir kota! Diketuai oleh Mas Naryo, aku membantunya
dengan menjadi wakil. Tugasku lebih ke lapangan, berhubungan dengan
elemen-elemen masyarakat bawah. Membangun kekuatan massa! Itulah kerjaanku. Mas
Naryo sendiri lebih kepada membangun jaringan di atas, mencari celah yang bisa
dimasuki secara finansial. Kami memiliki prinsip kerja; siapa yang bisa bayar
kami lebih banyak, maka kami berikan kekuatan massa yang dibutuhkan.
Sst... ini rahasia. Jangan bilang siapa-siapa. Kami tengah menyiapkan
sebuah aksi besar soal kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Ada yang mau
ikut? Setiap kepala kami hargai seratus ribu. Dana darimana? Tak usahlah tahu
kalau dana itu kami dapatkan dari rival politik pemerintahan sekarang.
Dan aku sudah menyiapkan orasi yang aku pikir lebih dahsyat daripada
janji-janji partai waktu pemilu kemarin.
Seperti ini:
‘SAUDARA-SAUDARA SEBANGSA SETANAH AIR,
SEJAK REFORMASI DULU KITA SUDAH SEPAKAT BAHWA KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME
HARUS DIBERANTAS. TAPI APA KENYATAANNYA! MASIH SAJA SEMUA ITU TERJADI. BAHKAN
DI LEMBAGA HUKUM TERTINGGI BANGSA INI, YANG MENGURUS PEMBERANTASAN KORUPSI
MALAH TERIMA SUAP! MAU JADI APA NEGERI INI! SUDAH JELAS, INI BUKTI DARI
KETIDAKBECUSAN PEMERINTAH SEKARANG! HANYA SATU SOLUSI, GANTI PEMIMPINNYA! GANTI
KABINETNYA! SEKARANG!’
PEMAIN MENYANYIKAN LAGU MAJU TAK GENTAR. DIAKHIR LIRIK, LAMPU MEREDUP DAN
MATI.
SELESAI
0 Response to "SANG ORATOR"
Post a Comment