MARSINAH
MENGGUGAT - 1
Karya Ratna Sarumpaet (Satu Merah Panggung)
ALAM
DILUAR ALAM KEHIDUPAN. DISEBUAH PERKUBURAN.
MARSINAH
SEORANG PEREMPUAN MUDA, USIA 24 TAHUN, SEORANG BURUH KECIL DARI SEBUAH
PABRIK ARLOJI DI PORONG, JAWA TIMUR,
TANGGAL 9 MEI 1993 DITEMUKAN MATI TERBUNUH., DIHUTAN JATI DI MADIUN. DARI HASIL
PEMERIKSAAN OTOPSI, DIKETAHUI KEMATIAN
PEREMPUAN MALANG INI DIDAHULUI PENJARAHAN KEJI, PENGANIAYAAN DAN PEMERKOSAAN
DENGAN MENGGUNAKAN BENDA TAJAM. KASUS
KEMATIAN PEREMPUAN INI KEMUDIAN RAMAI DIBICARAKAN. BANYAK HAL TERJADI. ADA KEPRIHATINAN
YANG TINGGI YANG MELAHIRKAN BERBAGAI PENGHARGAAN. TAPI PADA SAAT BERSAMAAN
BERBAGAI PELECEHAN JUGA TERJADI DALAM
PROSES MENGUNGKAP SIAPA PEMBUNUHNYA.
SETELAH MELALUI PROSES YANG AMAT PANJANG DAN TAK MEMBUAHKAN APA-APA,
KASUS UNTUK JANGKA WAKTU CUKUP PANJANG,
DAN SEKARANG., SETELAH MARSINAH
SEBENARNYA SUDAH MENGIKHLASKAN KEMATIANNYA MENJADI KEMATIAN YANG SIA-SIA,
TIBA-TIBA SAJA KASUS INI DIANGKAT KEMBALI. MENDENGAR HAL ITU MARSINAH SANGAT
TERGANGGU, DAN MEMUTUSKAN UNTUK MENENGOK SEBENTAR KE ALAM KEHIDUPAN, TEPATNYA,
PADA SEBUAH ACARA PELUNCURAN SEBUAH BUKU YANG DI TULIS BERDASARKAN
KEMATIANNYA. INILAH UNTUK PERTAMA
KALINYA MARSINAH MENGUNJUNGI ALAM KEHIDUPAN. KAWAN-KAWAN SENASIB DI ALAM KUBUR
TAMPAKNYA KEBERATAN. DAN DARI SITULAH MONOLOG INI DIMULAI.
____________________________________________________________________
ADA
SUARA-SUARA MALAM. PERTUNJUKAN INI TERJADI DI SEBUAH PERKUBURAN. MARSINAH
TAMPAK MERINGKUK DI SEBUAH BALE, GELISAH.
DIA
TERTEKAN, RAGU AKAN KEPUTUSAN YANG DIBUATNYA.
Kalau
saja dalam kesunyian mencekam yang dirasuki hantu- hantu ini aku dapat
merasakan kesunyian yang sebenar-benarnya
sunyi. Kalau saja dalam kesunyian
ini aku dapat menutup telingaku dari
pekik mengerikan, raung dari rasa lapar, derita yang tak
habis-habis. Kalau saja sesaat saja aku
diberi kesempatan merasakan betapa
diriku adalah milikku sendiri....
DIKEJAUHAN,
TERDENGAR SUARA ORANG-ORANG YANG SEDANG MEMBACAKAN AYAT-AYAT, YANG SEMAKIN LAMA
TERASA SEMAKIN DEKAT DAN SEMAKIN ENGGEMURUH. MARSINAH BANGKIT PERLAHAN, MURUNG.
Apa gerangan kata Ayahku tentang waktu yang
seperti ini.... Kejam rasanya seorang diri, diliputi amarah dan rasa benci.
Tersekap rasa takut yang tak putus-putus menghimpit..... Ketakutan yang tak
bisa diapa-apakan..... Tidak bisa bunuh, atau dilawan.....
MARSINAH
SEPERTI MENDENGAR SUARA-SUARA DARI MASA LALUNYA, SUARA-SUARA DERAP SEPATU, YANG
MEMBUATNYA GUSAR.
Suara-suara
itu.... Dia datang lagi.... Seperti derap kaki seribu serigala menggetar
bumi....
Mereka
datang menghadang kedamaiku..... mereka
mengikuti terus..... Bahkan sampai ke liang kubur ini mereka mengikutiku
terus....
Kalau
betul maut adalah tempat menemu kedamaian..... Kenapa aku masih seperti ini?
Terhimpit
ditengah pertarungan-pertarrungan lama....
Kenapa pedih dari luka lamaku masih terasa menggerogoti hati dan perasaanku...... Kenapa amarah dan kecewaku
masih seperti kobaran api membakarku ?
TERDENGAR
SUARA SESEORANG NEMBANG, LIRIH..... TEMBANG ITU SESAAT SEOLAH MENGENDURKAN
KETEGANGAN MARSINAH. DIA BICARA, LIRIH.
Dengan
berbagai cara nek Poeirah, nenekku,
mengajarkan kepadaku tentang
kepasrahan..... Dia mengajarkan
kepadaku bagaimana menjadi anak yang menerima dan pasrah...... Pasrah itu yang kemudian menjadi
kekuatanku..... Yang membuatku selalu
tersenyum menghadapi kepahitan yang
bagaimanapun. Kemiskinan keluargaku yang
melilit...... Pendidikanku yang harus terputus ditengah jalan.....
Perempuan
ini jugalah yang mengajarkan kepadaku betapa hidup membutuhkan
kegigihan...... Tapi kegigihan seperti
apa yang bisa kuberikan sekarang......
Pada saat mana aku sudah menjadi arwah seperti ini, dan mereka masih
mengikutiku terus ?
Sulit
mungkin membayangkan bagaimana dulu kemiskinan melilit keluargaku......
Bagaimana setiap pagi dan sore hari aku harus berkeliling menjajakan kue bikinan Nenekku, demi seratus
duaratus perak. Aku nyaris tak pernah bermain dengan anak-anak sebayaku. Kebahagiaan masa kecilku
hilang...... Tapi aku ikhlas...... Karena dengan uang itu aku bisa menyewa
sebuah buku dan membacanya sepuas-
puasnya.
Berupaya
meningkatkan pendidikanku yang pas-pasan..... Merindukan kehidupan yang lebih
layak.... Berlebihankah itu ? Memiliki cita-cita..... Memiliki harapan-harapan.....
Berlebihankah itu ?
Lalu
kenapa cita-citalah yang akhirnya memperkenalkanku pada arti kemiskinan yang sesungguhnya. Kenapa harapan-harapanku
justru menyeretku berhadapan dengan ketidak berdayaan yang tak terelakan ?
DERAP
SEPATU DARI MASA LALU ITU KEMBALI MENGGEMURUH MEMBUAT MARSINAH KEMBALI TEGANG.
Itulah
kali teakhir aku datang ke Nganjuk. Ketika Nenekku, tidak seperti biasanya,
berkeras menahanku. Dia bicara banyak tentang firasat. Aku tahu dia membaca
kegelisahanku...... Tapi aku terlalu gusar untuk menggubris
nasehat-nasehatnya..... Dan sampai akhirnya aku meningggalkan Nganjuk, aku
tidak pernah menjelaskan kepadanya, kenapa saat itu Sidoarjo menjadi begitu penting untukku.....
MARSINAH
MENDADAK SEDIH LUAR BIASA.
Apa
yang harus kukatakan ? Apa yang dimengerti perempuan tua itu tentang hak bicara
? Tentang pentingnya memperjuangkan
hak? Dia hanya mengerti turun ke sawah sebelum matahari terbit, dan
meninggalkannya setelah matahari terbenam, karena perut tiga orang cucu yang diasuhnya harus selalu terisi.
MARSINAH
MULAI GUSAR HALUS, SUARA-SUARA DI MASA LALUNYA DULU MULAI MENGIANG DITELINGANYA.
Barangkali
kalian menganggap apa yang kulakukan ini tidak masuk akal..... Barangkali
kalian menganggapnya perbuatan sinting.... Tapi aku harus pergi...... Dengan
atau tanpa kalian, aku akan pergi.....
Setelah
empat tahun lebih aku merasa mati sia-sia, mereka tiba-tiba kembali
mengungkit-ungkit kematianku. Kematian
Marsinah murni kriminal. Kematian Marsinah tidak ada hubungannya
dengan pemogokan buruh. Kematian
Marsinah berlatar belakang balas dendam.Dan hari ini, sebuah buku yang ditulis
atas kematianku, diluncurkan. Gila !
Aku
? siapa aku ? Seorang perempuan miskin yang dimasa hidupnya tidak punya
kemampuan membeli sebuah bukupun untuk dibaca atau dibanggakan.....
Apa
yang mereka inginkan dariku? Mereka menggali tulang-tulangku. Dua kali mereka
membongkar kuburanku, juga untuk sia-sia, terkontaminasi..... Bangsat!
Ini
mungkin bagian yang paling aku benci. Mereka selalu menganggap semua orang
bodoh. Mereka selalu menganggap semua
orang bisa dibodohi.
HENING
LAGI.....
Tapi
itulah mungkin betapa aku, kita-kita ini,
sesungguhnya adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang dipilih untuk sebuah
rencana besar, dan sekaranglah saatnya. Pada saat kita sudah tidak eksist. Pada saat kita sudah tidak mungkin
dibunuh karena kita toh sudah
terbunuh. Mereka boleh dongkol atau
mengamuk sekalian mendengar apa yang
kita ucapkan. Tapi menggebuk kita ? Masa
arwah mau digebuk juga ?
SUARA
-SUARA MASA LALU ITU KEMBALI TERDENGAR. BEBERAPA SAAT
MARSINAH
TAMPAK TEGANG DAN TERGANGGU, TAPI DIA MELAWANNYA.
MELANGKAH
SATU-SATU, IA MENGADAHKAN MUKANYA BICARA
PADA
SUARA-SUARA
YANG MENGGANGGUNYA ITU.
Suara-suara
itu.... Mereka mengikutiku terus.....
Aku tahu mereka akan menggangguku lagi.
Aku tahu mereka akan terus menggangguku. Aku tidak takut dan aku tidak
akan berhenti..... Aku akan berdiri
ditengah peluncuran buku itu, dan aku akan menghadapi mereka disana.
Algojo-algojoku.....
Orang-orang yang dulu begitu bernafsu menghabisi hidupku. Berbaur dengan mereka
yang dengan gigih telah berusaha menegakan keadilan atas kematianku. Lalu aku
akan menikmati bagaimana mereka satu demi satu berpaling menghindari tatapanku,
atau menundukkan kepala; atau lari lintang pukang di kejar dosanya sendiri. Dan
sebuah peluncuran buku yang lazimnya dipenuhi tawa, tepuk tangan dan sanjungan itu
akan berubah menjadi sebuah upacara
mencekam, Marsinah, muncul menggugat' Belati berlumur darah itu muncul didepan
matamu, setelah sekian lama kau mengira,
kau telah berhasil melenyapkannya dari
tuntutan keadilan.
KETIKA
SUARA-SUARA DI MASA LALU ITU MEREDA, MARSINAH JUSTRU
TAMPAK
SEMAKIN MURUNG DAN GUSAR. IA MENJATUHKAN TUBUHNYA
DILANTAI,
LETUH. IA BICARA SEPERTI PADA DIRINYA SENDIRI.
Aku
melihat begitu banyak tangan berlumuran darah.....Aku melihat bagaimana
keserakahan boleh terus berlangsung, para pemilik modal boleh terus mengeruk
keuntungan, para Manager dan para pemegang kekuasaan boleh terus-menerus
bercengkerama diatas setiap tetes keringatku.
Tapi seorang buruh kecil seperti diriku berani membuka mulutnya menuntut
kenaikan upah ? Nyawanya akan
terenggut.
Dan
sekarang lihat bagaimana mereka menjadikan kematianku bagai jembatan emas demi
kemanusiaan; Demi ditegakkannya keadilan; Demi perbaikan nasib buruh.
MARSINAH
TERTAWA, GETIR.
Memperbaiki
nasib buruh.... Dari 1500 menjadi 1700, dari 1700 menjadi 1900.... Satu gelas
teh manis dipagi hari, satu mangkok bakso disiang hari, lalu satu mangkok lainnya di malam hari. Itu takaran mereka tentang kebahagiaan
seorang buruh, yang dituntut untuk memberikan seluruh tenaga dan pikirannya,
tanpa boleh mengeluh.
Mereka
bermain diantara angka-angka. Mereka tidak pernah mempertimbangkan apakah
sejumlah angka mampu memanusiakan seorang buruh. Dan mereka menepuk dada karena
itu.
Memperbaiki
nasib buruh.... Mana mungkin kematian seorang buruh kecil seperti diriku
mampu memanusiakan buruh di tengah
sebuah bangsa yang sakit ?
SUARA
DARI MASA LALU ITU KEMBALI MENGHENTAK,
MENGEJUTKAN MARSINAH. TAPI DIA TIDAK TAKUT.
Aku
tidak takut. Aku tidak takut. (KE KAWAN-KAWANNYA) Aku tidak takut. (KE
SUARA-SUARA) Aku bisa mempertanggung jawabkan semua itu..... Masa hidupku yang
terhempas-hempas yang terus - menerus dihantui rasa takut bisa mempertanggung
jawabkan semua itu. Kematianku yang
menyakitkan. Tulang-tulangku yang remuk; darahku yang berceceran membasahi
tumit kalian ....... Bisa mempertanggung jawabkan semua itu.
Bangsa
yang bagaimana yang kalian harapkan aku menyebutnya? Aku mengais-ngais mencari
sesuap nasi disana. Sambil terus-menerus tersandung-sandung, dikejar-kejar gertakan dan ancaman-ancaman kalian.
Aku
disiksa disana..... Aku diperkosa disana, dibunuh dengan keji..... Begitu
kalian telah mematikanku. Begitu kalian
merenggut seluruh hak hidupku...... Bangsa yang bagaimana kalian pikir aku
menyebutnya? Bangsa yang bagaimana?
KETIKA
SUARA DARI MASA LALU ITU MENGHILANG,
MARSINAH LAGI-
LAGI
GUSAR. IA DUDUK SAMBIL MEMELUK KEDUA LUTUTNYA, SEPERTI
MERINGKUK.
Apa
sebenarnya yang sedang kulakukan ini ?
Aku kembali mengorek luka itu.... Tuhan, ini menyakitkan. Tidak ! Ini terlalu
menyakitkan. Aku tidak akan melakukan ini. Tidak ! Persetan dengan sebuah buku
yang terbit. Persetan dengan calon-calon korban yang sekarang ini mungkin telah berdiri ditepi liang lahat dan segera
akan menelannya. Aku arwah, dengan air mata yang tak habis-habis.... Arwah yang
terus menerus gusar digelayuti beban lama..... Apa yang bisa kulakukan ? Tidak
!
MARSINAH
KEMBALI MENENGADAHKAN KEPALA, SEPERTI BICARA PADA
SUARA-SUARA
ITU.
Sampaikan
pada mereka, Marsinah tidak akan datang! Marsinah yang lemah..... Yang lemah
lembut..... Perempuan miskin yang tak
berdaya dan tidak tahu apa-apa..... Tidak! Dia tidak akan datang. Dia akan menunggu
hingga peradilan agung itu tiba, dan dia akan berdiri disana sebagai saksi
utamanya.
SUASANA
TIBA-TIBA BERUBAH, CAHAYA MENJADI MERUANG.
MARSINAH
BANGKIT HERAN.
MARSINAH
BERPUTAR MENGAMATI SEKELILINGNYA.
Aku
disini sekarang..... Sebuah ruangan yang megah..... Dan disini, sekelompok
manusia berkumpul.....
MARSINAH
SURUT KE BALE, MENGAMBIL SELENDANGNYA.
Aku
akan menghadapi ini dengan sebaik-baiknya.....Aku akan membuat mereka
terperangah. Aku akan mengecohkan
mereka dari setiap sudut yang tidak mereka duga sama sekali.
MARSINAH
BERGERAK KE HADAPAN HADIRIN, SAMBIL MENATAP SEKELILING.
Aku
disini sekarang.....
TATAPAN
MARSINAH TERHENTI PADA SATU KELOMPOK HADIRIN.
Dan
kalian..... Aku mengenali betul siapa
kalian..... Sebuah generasi, yang seharusnya ceria dan merdeka, duduk disini
dengan tatapan mengandung duka......
MARSINAH
BERGERAK KEARAH KELOMPOK ITU.
Demi
Tuhan. Bagiku, kalian adalah fakta paling menyakitkan. Kemarahan kalian itu
adalah kemarahanku dulu. Harapan dan cita-cita kalian itu adalah harapan dan
cita-citaku dulu. Cita-cita yang terlalu sederhana sebenarnya untuk
mengorbankan satu kehidupan.
Satu
saat, ditengah sebuah arak-arakan, aku menyaksikan kalian menengadahkan muka ke
langit, marah..... Dengan mulut berbuih, kalian memekik menuntut perubahan
Setiap kali aku melihat kalian meronta seperti itu, perasaanku terguncang. Aku
ingin sekali berkata, "Jangan!"
Aku adalah korban dari kemarahan seperti itu.
Dan tidak satupun dari kita bisa mengelak, kalau kematianku adalah lambang
kematian kalian. Lambang kematian sebuah generasi. Kematian dari setiap
cita-cita yang merindukan perubahan.
MARSINAH
BERHENTI BEBERAPA SAAT SEPERTI SEDANG
MENJERNIHKAN PIKIRANNYA. IA LALU MENATAP KELANGIT, DAN MULAI BICARA.
Kalian
mungkin tidak akan memahami ini ...... Tapi aku ya. Aku memahaminya betul. Didalam matiku aku telah melakukan perjalanan
mundur. Sebuah penjelajahan berharga yang kemudian membuka mataku tentang
berbagai hal.
Dari
situ aku jadi tahu banyak..... Aku jadi tahu kalau dunia dimana dulu aku
dilahirkan; Dunia yang kemudian dengan
dingin telah merenggut hak hidupku; adalah dunia yang sakit, sakit
sesakit-sakitnya. Dunia dimana kebenaran-kebenaran dibungkus, dimasukkan ke dalam peti lalu dikubur dalam-dalam......
Didunia
seperti itulah aku dibungkam. Tidak cukup hanya dengan gertakan, dengan penganiayaan dan pemerkosaan yang
dengan membabi buta telah mereka
lakukan. Untuk yakin mulutku tidak lagi akan terbuka, mereka mencabut nyawaku sekaligus.
Sekarang,
apa yang harus kukatakan pada kalian? Aku tahu menolak adalah hak kalian. Hak
paling azasi dari setiap umat. Tapi lihat, pelajaran apa sekarang yang kalian
peroleh dari apa yang aku alami?
MARSINAH
MENGAMBIL SEBUAH KORAN, LALU MEMBUKA-BUKANYA,
SESAAT.
Kalian
pasti tidak bisa membayangkan seberapa banyak
kebenaran yang aku ketahui, yang seharusnya kalian ketahui karena sebagai warga masyarakat kalian berhak
untuk itu. Aku tidak membaca apa-apa disini. Berita yang kalian dapatkan hanya
berita yang boleh kalian dapatkan,
bukan yang berhak kalian dapatkan.
Itu
sebab kalian baru heboh setelah kebakaran hutan merambat kemana-mana dan mulai menelan korban. Sementara
aku.....
Aku
sudah mengetahui semua itu lama sebelum api pertama disulut. Aku tahu siapa
yang menyulut api, dan aku tahu persis kenapa. Semua kalian heboh membicarakan
kebakaran hutan. Semua kalian marah dan
resah..... Koran-koran, seminar-seminar, pertunjukan-pertunjukan kesenian
meradang membicarakan kebakaran hutan,
seolah kebakaran hutan itu bencana yang datang begitu saja dari langit dan hanya mungkin
ditangiskan pada Tuhan. Kehebohan yang tak bertenaga dan tak punya gigi.....
MARSINAH
MEMBACA KORAN
Pemulihan
kondisi moneter akan terus diupayakan.
Jangan aku dikultuskan..... Tapi bukan berarti aku menolak untuk
dikultuskan..... Namun, renungkanlah..... Waou....
MARSINAH
MELEMPAR KORAN ITU KASAR. TAPI TIBA-TIBA JADI TERPERANJAT ATAS ULAHNYA.
Sebentar!
Apakah diruangan ini ada intel atau aparat? Alhamdulillah..... Dan tolong
dicatat baik-baik. Marsinah sebenarnya tidak sungguh-sungguh ingin menggugat.
Dia hanya takjub..... Rakyat yang mana
yang sempat memikirkan pemulihan kondisi
moneter? Apa yang mampu mereka pikirkan dengan perut melilit? Mereka
terseok-seok terancam kelaparan. Pikiran dan perasaan meraka tercekam mendengar
ratusan orang mati karena kelaparan justru ditempatkan dimana uang sedang terus
ditambang.
Didunia
seperti itulah kalian dilahirkan. Dunia dimana serigala-serigala berkeliaran
mengejar nama dan kemuliaan, dan untuk itu kebodohan dan kelaparan kalian
penting terus dipertahankan. Dunia
dimana kemiskinan kalian dijadikan aset penting, demi lahirnya seorang
Pahlawan, Pahlawan Pengentasan
Kemiskinan.
Didunia
seperti itulah kalian tumbuh sebagai generasi penerus. Dunia dimana diatas
pundak kalian masa depan sebuah bangsa dipercayakan, sambil pada saat yang
sama, kedalam rongga hidung kalian serbuk yang mematikan akal sehat, terus
menerus ditiupkan. Generasi tumbal.....
Generasi yang malang....
MARSINAH
MEMBUANG PANDANGAN KE ARAH LAIN.
Lalu
kalian.... Entah apa yang aku katakan pada kalian? Terus terang, berhadapan
dengan kalian adalah bagian yang paling aku takutkan. Lengan kananku biru
kejang-kejang dicengkram dengan kasar oleh seorang satpam yang mencoba menjaili
izin haidku dengan merogoh kasar celana dalamku.
Berminggu-minggu
si Kuneng, buruh dibawah usia itu dibelenggu rasa takut ketika satpam lain
dengan kasar meremas susunya yang belum tumbuh, yang masih melekat ditulang
rusuknya. Satpam-satpam itu sama
melaratnya dengan kami. Sama menderitanya. Hanya karena mereka laki-laki dan
punya pentungan..... Mereka merasa berhak ikut-ikutan melukai kami...... Ikut-ikutan
memperlakukan kami bagai bulan-bulanan. Tapi bukan Subiyanto.
Bagi
kami Subiyanto adalah kekecualian. Subiyantolah yang membawa Kuneng ke ahli
jiwa, ketika perempuan itu satu saat betul-betul terguncang. Dia mencari
pinjaman kesana kemari untuk itu. Bagi kami Subiyanto selalu menjadi
pelindung.... Dan dia dituduh sebagai salah satu pembunuhku ? Gila..... Lalat
hinggap dimakan malamnya dia tidak akan mengusirnya. Itulah Subiyanto.
MARSINAH
MEMBUANG PANDANGANNYA, JAUH. SINIS.
Aku
menyaksikan bagaimana Lembaga Peradilan berubah menjadi lembaga penganiayaan.
Aku menyaksikan bagaimana saksi-saksi utama dibungkam, dilenyapkan.....
Menyaksikan saksi-saksi palsu berdiri seperti boneka, remuk dan ketakutan....
Dan Subiyanto ada disana..... Lelaki berhati lembut itu disiksa disana.
Dianiaya, ditelanjangi, disetrum kemaluannya, dan dipaksa mengakui telah ikut
membunuhku. Mereka menciptakan cerita-cerita bohong; Mereka memfitnah; Mereka
menghakimi orang-orang yang tidak pernah ada.
Kalian
semua tahu itu bohong. Kalian tahu persis itu rekayasa. Aku tahu kalian
akhirnya berhasil membebaskan Subiyanto dari rekayasa sinting itu. Lalu
bagaimana dengan aku? Bagaimana mungkin nyawaku lepas begitu saja dari tubuhku
tanpa seorang pelaku?
Apa
yang akan kalian katakan tentang itu? Bahwa Hukum itu gagap? Bahwa Lembaga
Peradilan itu gagap? Bahwa diatas meja, dimana mestinya ditegakkan disitulah,
uang, darah dan peluru lebih dahulu saling melumuri? Demi Tuhan. Aku tidak bisa
membayangkan, bagaimana kelak kalian akan
mempertanggungjawabkan itu pada anak cucu kalian..... Lembaga Peradilan adalah
harapan terakhir bagi orang-orang kecil
seperti kami. Satu-satunya tempat yang seharusnya memberikan pada kami
perlindungan.
Tapi
apa yang kami dapatkan? Apa yang kami dapatkan?
MARSINAH
TIBA-TIBA BERHENTI, MENGALIHKAN TATAPANNYA KE ARAH
LAIN.
Nanti
dulu. Aku seperti menyaksikan sebuah pemandangan bagus.
MARSINAH
MENGAMBIL TEROPONG DARI MEJA
PERLENGKAPANNYA, UNTUK BISA MELIHAT DENGAN JELAS.
Bukankah
bapak yang duduk di pojok itu adalah
seorang anggota DPR? Atau..... Jangan-jangan, beliau ini adalah anggota
DPR dari Partai terlarang itu? Hm.... Lagi-lagi Kuneng.... Lagi-lagi perempuan
malang itu mengingatkanku betapa menyakitkannya menjadi orang tak berdaya. Satu tahun Kuneng berhasil menunda
pengosongan
kampung
Ijo itu. Kampung dimana Orangtuanya memiliki sepetak kecil tanah yang dibeli
dengan cara cicilan.
Bulak-balik
Kuneng ke kantor DPR. Dia yakin betul para wakil Rakyat itu mampu
membelanya memperoleh ganti rugi yang
lebih layak. Satu hari, sepulang kerja, Kuneng terperangah kecewa. Kampung Ijo itu sudah rata digilas traktor.
Kuneng akhirnya mati gantung diri. Dan sampai akhir hayatnya dia tidak pernah
memahami permaianan apa sebenarnya yang terjadi diatas semua perkara itu.
Sejak
itu, setiap kali gedung raksasa di Jakarta itu disorot dilayar kaca, hatiku
geram. Katanya gedung itu gedung rakyat. Katanya di gedung itu nasib rakyat
dibela. Tapi apa yang menimpa Kuneng, bagiku cukup untuk tidak percaya pada
apapun yang terdapat di gedung itu. Katakanlah nasib kami sebagai buruh tidak
ada dalam catatan. Tidak dianggap sebagai bagian dari rakyat yang membutuhkan
pembelaan.....
Tapi
aku menyaksikan bagaimana harkat orang-orang dirampas, menyaksikan rumah-rumah
digusur; Ibu-ibu menangis, anak-anak kucar-kacir kebingungan..... Aku bahkan
menyaksikan bagaimana popor senapan mengamuk merenggut nyawa dan harga diri.
Dan gedung raksasa itu tidak berbuat apa-apa selain bungkam.
Dan
bapak.... Bapak duduk disini, ditengah peluncuran sebuah buku yang ditulis atas
kematian seorang buruh kecil, karena ketidakmampuan kalian membela nasibnya.
Demi Tuhan.... Aku ingin sekali tahu, apakah kesadaran Bapak hadir disini
merupakan hasil proyek pembekalan yang menghebohkan itu?
MARSINAH
MENINGGALKAN PAK DPR, BICARA PADA HADIRIN.
Kalian
lihat itu? Bungkam. apa aku bilang? Wakil rakyat itu, mestinya dibekali Rakyat,
bukan sebaliknya.
DERAP
SEPATU ITU KEMBALI TERDENGAR. MARSINAH SADAR DIA SUDAH HARUS MENYELESAIKAN
TUGASNYA. IA SURUT PERLAHAN. MENDADAK TATAPANNYA BERUBAH, GELAP, GERAM.
Sebuah
buku ditulis atas kematianku.... Lalu diluncurkan.... Lalu kalian semua hadir
disini menunjukan keprihatinan. Keprihatinan apa? Kalau ada yang berhak untuk
prihatin disini, aku. Akulah perempuan
malang itu.... Aku Marsinah....
Demi
Tuhan, aku ingin sekali bertanya, "Apa sebenarnya yang kalian pikir telah
kalian perbuat untukku"? Penghargaan-penghargaan itu? Buku yang diterbitkan itu? Atau jerih payah
yang kalian berikan untuk menjadikanku seorang Pahlawan? Aku tidak pernah bercita-cita jadi Pahlawan.
MARSINAH
TERSENDAT OLEH KEMARAHAN YANG MENDADAK MENDESAKNYA.
Aku
nyawa yang tersumbat..... Aku kehidupan yang dihentikan dengan keji hanya
karena aku mengira aku punya hak untuk mengatakan tidak.... Hanya karena
mengira aku berhak untuk punya harapan, Berhak punya jiwa dan raga.....
Memperjuangkan
sesuap nasi untuk tidak terlalu lapar, Memperjuangkan sedikit tambahan uang
untuk meningkatkan pendidikanku yang pas-pasan. Aku menyaksikan kawan-kawanku
di PHK dibawah ancaman moncong senjata. Dan aku mencoba membelanya..... Aku
hanya mencoba membelanya.... Dan karena itulah aku dianggap berbahaya dan layak
untuk dibunuh.
Kalian
tahu apa sebenarnya yang paling menyakitkan dari semua itu? Kalian membiarkan dan menerimanya sebagai
kebenaran..... Kebenaran sinting..... Kebenaran yang tidak bisa disentuh atau
diapa-apakan.....
Kekuatan
apa kira-kira yang mampu meremukkan tulang kemaluan seorang perempuan hingga
merobek dinding rahimnya, kalau bukan kebiadaban?
SUARA-SUARA
MASA LALU ITU KEMBALI MENYERGAP MARSINAH. IA TIBA-TIBA PANIK, SEOLAH SELURUH
PENGALAMAN PAHIT DIMASA LALU ITU MENDADAK KEMBALI KEDALAM TUBUHNYA. IA BERPUTAR....
Aku
ingat betul bagaimana rasa takut itu menyergapku, ketika tangan-tangan kasar
tiba-tiba mengepungku dari belakang, mengikat mataku dengan kain, kencang, lalu
mendorongku masuk kesebuah mobil, yang segera meluncur, entah kearah mana..... Tidak ada suara..... Aku tidak tahu seberapa
jauh aku dibawa..... Tapi aku ingat betul ketika mobil itu berhenti, aku
didorong keluar kasar sekali. Aku diseret, asal..... Aku tidak ingat seberapa jauh aku
diseret-seret seperti itu. Aku hanya ingat tubuhku menggigil keras didera
oleh rasa takut yang dahsyat.
Aku
kemudian mendengar sebuah pintu dibuka tepat dihadapanku. Aku tidak tahu apakah
kepalaku membentur tembok atau sebuah pentungan telah dipukulkan kekeningku.
Aku hanya tahu aku tersungkur dilantai.....
Ketika aku mencoba bergerak, beberapa kaki bersepatu berat dengan sigap menahanku, menginjak kedua
tulang keringku, perutku, dadaku, kedua tanganku....
Kata-kata
kotor berhamburan memaki, mengikuti setiap siksaan yang kemudian menyusul. Aku
tidak tahu berapa kali tubuhku diangkat, lalu dibanting keras. Diangkat lagi,
lalu dibantinglagi.... Kelantai.....
Kesudut meja....Ke kursi.... Sampai akhirnya aku betul-betul tak berdaya.....
Kebiadaban
itu tidak mengenal kata puas..... Aku bahkan sudah tidak bisa menggerakkan
ujung tanganku ketika dengan membabi buta, mereka menggerayangi seluruh
tubuhku.
MARSINAH
KEMBALI TERSENDAT, GUGUP.
Tuhan!
Hentikan ini..... Aku merintih dalam bathinku..... Aku meronta. Aku terus
meronta..... Aku berteriak-teriak
sekuat tenaga meski aku tahu suaraku tidak akan terdengar. Suaraku bertarung
melawan kain yang disumpal dimulutku. Mulut dan rahangku seakan terkoyak. Aku
terus melawan..... Terus..... Sampai aku akhirnya kehabisan semuanya.....
Suaraku.... Tenagaku..... Semua.....
Aku
biarkan mereka melahapku sepuas-puasnya.Aku biarkan tulang-tulangku diremuk-remukkan.
Dan.....
MARSINAH
TERSENDAT LAGI. TUBUHNYA BERGETAR KERAS.
Dan
sebuah benda, besar, tajam, keras..... Yang aku tidak mampu membayangkan, apa....
Dihunjamkan menembus tulang kemaluanku.....
MARSINAH
MENJATUHKAN TUBUHNYA. IA BERGERAK SETENGAH MERAYAP.
Tuhan,
kenapa? Kenapa aku ? Aku ingin sekali menangis, tapi aku tidak mampu. Aku
terlalu remuk bahkan untuk meneteskan setetes air matapun. Darah..... Aku
melihat darah dimana-mana. Darah itu
menghitam dan kotor..... Kotor sekali..... Dia melumuri perutku..... Melumuri
kedua pahaku bagian dalam. Berceceran dilantai; Belepotan dipintu, dikaki
meja..... Dimana-mana..... Itulah
saat-saat paling akhir aku bisa merasakan sesuatu. Sesuatu yang terlalu
menyakitkan. Sesuatu yang
menakutkannya..... Yang
kebiadabannya..... Demi Tuhan, tidak layak dialami siapapun.....
Aku
merasa hina...... Aku merasa kotor..... Dan aku sendirian.....Aku betul-betul
sendirian......
Aku
berusaha mengangkat tubuhku mencari...... Entah apa..... Entah siapa yang
kucari? Nenekku Poerah dan adik-adikku?
Ayahku....Kawan-kawanku? Dimana kawan-kawanku?
Dimana kalian waktu itu?
Tuhan,
kenapa......Kenapa kau biarkan kebiadaban merobek-robek kesucianku? Kenapa kau
biarkan ketidakadilan menggerayangi harkat dan kehormatanku? Kau ajarkan
kepadaku tentang cinta..... Tapi kau biarkan buasnya keserakahan merampas hakku
memilikinya...... Kau beri aku rahim...... Kau janjikan kepadaku tentang
mukjizat-mukjizatnya..... Tapi kenapa kau biarkan ia remuk oleh menakutkannya
kekuasaan. Kenapa? Kenapa?
DENGAN
SANGAT BERAT MARSINAH BANGKIT. DIA BERGERAK SEMPOYONGAN SEOLAH IA BARU SAJA
DIPERKOSA.
Aku
mengumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa, lalu mencoba berzikir.....
Tapi ketika aku hendak membuka mulutku memanggil asmanya.... Tuhan.... Mulutku
terasa kelu... Aku merasa tidak layak..... Aku merasa terlalu kotor..... Kotor
sekali......
Aku
lalu mulai menghitung.... Satu, dua, sepuluh, seratus,...... Terus..... Aku
terus menghitung.... Enam ribu. Tujuh
ribu. Sepuluh ribu...... Aku ingin sekali dapat melupakan ketakutanku. Aku
ingin sekali dapat membunuh perasaan jijik yang menyerangku, tapi aku tidak
berhasil...... Dalam keadaan remuk, aku
berusaha keras untuk bangkit, lalu mulai berputar......
MARSINAH
MULAI MEMUTAR TUBUHNYA, PELAN, SAMPAI MENJADI KENCANG.
Aku
berputar...... Aku terus berputar..... Berputar..... Berputar......
Berputar,......
MARSINAH
TERSUNGKUR JATUH, HENING. TERDENGAR SUARA MEMBACAKAN LA ILLAH HA ILLALLAH
(KOOR)
Aku
rayakan kegilaanku pad penderitaanku yang tak tertahankan.... Aku pertontonkan
dalam pesta dosa dan kenistaan..... Aku nyalakan bara dalam dadaku..... Aku
biarkan asapnya mengepul dari setiap pori-poriku..... Api mengaliri pembuluh
darahku..... Api nafas didalam paru-paruku.....
Seluruh diriku hangus, terbakar oleh kebencianku pada ketidak
adilan.....
CAHAYA
VERTIKAL MENIMPA KERAS TUBUH MARSINAH. MARSINAH MENGULURKAN TANGANNYA DAN
MERAUP TANAH DISEKITARNYA KE DALAM GENGGAMAN, BICARA LIRIH. DIKEJAUHAN,
SESEORANG MEMBACAKAN " Yaa ayyatuhan nafsul...."
Tanah.....
Tanah ini.... Tanah yang dulu memberiku
kehidupan dan harapan, kini menyatu dengan daging dan tulang-tulangku Kini, aku
adalah tanah dan debu sekaligus.
MARSINAH
MERAYAP UNTUK MENCAPAI BALE DAN MULAI BICARA LEBIH
JERNIH.
Aku
akan pergi sekarang..... Aku harus pergi......
CAHAYA
PADA MARSINAH DISSOVE DENGAN CAHAYA PADA SEBUAH
LAYAR
DIMANA WAJAH MARSINAH YANG SESUNGGUHNYA
TERPAMPANG.
Demi
Tuhan.... Tidak ada sebenarnya yang aneh dari apa yang menimpa diriku, atau
yang menimpa ribuan bahkan jutaan manusia lain yang senasib denganku. Kami
adalah anak-anak bangsa ini. Sebuah Bangsa yang korup..... Sebuah Bangsa,
dimana kekuasaan adalah segalanya.
Sebuah Bangsa dimana apapun halal, demi kekuasaan.
Namun,
kepadamu semua aku ingin mengingatkan! Kalian telah membiarkan kehidupanku
terenggut. Jangan kalian biarkan ia terenggut sia-sia..... Menemukan siapa
pembunuhku yang sesungguhnya, bagiku tidak lagi berarti apa-apa.
Namun,
dengan sangat aku memohon, setidaknya, demi kawan-kawanku, "
Temukanlah"!!!..... Jauhkan mereka
dari tangan-tangan kotor! Selamatkan mereka dari ketamakan orang-orang yang
dengan pongah menganggap dirinya pemilik negeri ini,
Ketahuilah.....
Menyelamatkan mereka, kalian telah menyelamatkan Negeri yang kalian cintai ini
dari dosa dan kehancuran.......
TERDENGAR
SUARA MEMBACAKAN TARHIM, CAHAYA PERLAHAN FADE OUT.
27 SEPTEMBER 1997
0 Response to "MARSINAH MENGGUGAT "
Post a Comment