Monolog
AH
Putu Wijaya
SATU
SEBUAH KURSI DAN SEBUAH MEJA PANJANG YANG DITUTUP OLEH KAIN
PUTIH YANG MENYEMBUNYIKAN TUBUH ORANG SAKIT YANG TERBUJUR. (BISA BONEKA BISA
MANUSIA) TAS DOKTER. SEBUAH AMPLOP UANG DOKTER BARU SELESAI MENULIS SURAT KEPADA IBUNYA. IA SEDANG MEMASUKKAN KE
DALAM AMPLOP.
Ibu, saya tulis surat ini tengah
malam. Saya baru saya pulang dari puskesmas. Tidak ada kendaraan, terpaksa
jalan kaki. Capek juga, tapi saya senang. Tadi pagi uang gaji selama 3 bulan
baru turun, ini saya kirim semua buat Ibu.
MENGELUARKAN UANG DARI TAS DAN
MENGHITUNGNYA
Saya tidak perlu uang di sini.
Tidak ada yang harus dibeli. Maaf saja sudah
menyusahkan Ibu, ini memang resiko kerja di pedalaman. Masih mendingan saya, ada teman yang 6 bulan baru gajinya turun.
Nantilah, tahun depan saya akan praktek di kota saja supaya selalu dekat
dengan ibu. Kasihan juga Ibu
terus-terusan sendirian.
MEMASUKKAN UANG KE DALAM AMPLOP.
Tapi alhamdulillah saya tidak
pernah sakit lagi. Mungkin nyamuk-nyamuk di sini kasihan melihatku. Setelah
tahun lalu hampir mati kena malaria, sekarang saya selalu ingat pesan ibu.
Jangan lupa istirahat, istirahat itu bukan kemewahan tapi sebagian dari tugas.
Bagaimana bisa menolong orang lain kalau kita sendiri tidak tertolong. Kalau tentang soal yang satu itu, sudah beres.
Aku sudah bisa melupakan. Kalau bukan jodo mau apa lagi. Lebih baik ketahuan
sekarang daripada nanti setelah menikah berantem melulu. Kita lihat segi
baiknya saja. Kan kata ibu, di balik setiap kegagalan selalu ada janji bagi
yang tidak mau cepat-cepat mati. Saya akan selalu ingat itu.
KETAWA
TERTEGUN
Ya saya selalu ingat apa pesan
Bapak. Setiap orang mesti jadi pahlawan dalam dirinya. Karena seorang pahlawan
memiliki hidup-mati yang berbeda. Biar badannya hancur, tetapi dia justru akan
semakin hidup dan menyala di hati setiap orang. Apalagi hanya soal patah hati.
Kecil.
SENYUM
Saya benar-benar jadi orang baru
di sini.
TERDENGAR SUARA KETUKAN
Ya? Masuk saja tidak dikunci.
TANPA MENOLEH
Kenapa lagi Daniel, ada yang
ketinggalan. Taruh di atas sana. Kalau m au super mie seduh sedniri. Aku juga
mau satu. Ah? Ada pasien? Tumben. Kenapa?
MENDENGARKAN LALU MENGEMASI TAS
Gila! Maaf Bu, ada yang sakit di
Puskesmas. Katanya ada ular kobra yang masuk ke dalam perut anaknya. Ya, ular
kobra masuk kle dalam perut anaknya. Saya tidak tahu dan memang tidak perlu
bicara. Itu bahasa dukun-dukun di sini. Kita tidak akan bisa mengerti kalau
tidak melihat sendiri apa maksudnya. Itu sulitnya kerja di pedalaman.
Masyarakat lebih percaya kepada dukun daripada kepada dokter. Dukun bilang apa
saja, mereka tidak berani membantah. Dan dukun mana mau pasien dibawa ke
puskemas, karena itu berarti menjatuhakn kewibawaannya dan sekaligus juga mengurangi
rezekinya. Kalau sudah tidak ada harapan sama sekali, baru diserahkan ke kita.
Biasanya kita langsung kasih pertolongan pertama dengan infus dan tak berapa
lama kemudian pasien meninggal, karena sudah terlalu telat. Sejak itu puskemas
dituduh sebagai pembunuh. Kalau membantah semakin dicurigai. Memang serba
salah.
MENGAMBIL TAS. MEMASUKKAN AMPLOP
UANG KE SAKUNYA. MENDORONG MEJA KE DEPAN DAN KURSI KE BELAKANGNYA. LALU SETELAH
LAMPU REDUP YANG MEMBAWA SUASANA KE PUSKESMAS. BERBICARA SEPERTI KEPADA KERABAT KORBAN DI
PUSKESMAS.
Selamat malam semua. Maaf, tadi
motornya nabrak pohon karena ada kijang nyebrang jalan tiba-tiba. Ini
benderanya sampai patah
MENUNJUKKAN BESI PENDEK DENGAN
BENDERA MERAh-PUTIH KECIL YANG DIPASANG DI DEPAN MOTOR SEBAGAI HIASAN.
Motornya rusak saya terpaksa
jalan kaki. Siapa yang sakit. Sakit apa?
TERKEJUT
Ada kobra masuk ke dalam
perutnya? Kalau lintah masuk ke perut mungkin. Gunting juga pernah ketinggalan
karena waktu operasi dokternya teledor. Tapi ular kobra, apa, ular kobra yang
masih hidup? Apalagi begitu. Rasanya tidak mungkin. O ya! Maaf, ya! Baik. Saya
tidak akan banyak mulut. Saya memang dokter, sebaiknya saya periksa saja dulu.
MENGAMBIL STETOSKOP DARI DALAM
TASNYA. LALU MEMBUKA KAIN PUTIH YANG MENANGKUP MEJA. LANGSUNG BERPALING PURA-PURA
BATUK SAMBIL DIAM-DIAM MENUTUP HIDUNG KARENA BAU BUSUK MAYAT. NAMPAK SOSOK YANG
BERBARING. DOKTER TERTEGUN.
Maaf
MEMASANG STETOSKOP DAN MEMERIKSA
MAYAT. LALU MENOLEH KEPADA KELUARGA
Maaf ini putra Ibu? Begini Bu,
Pak Dukun. Saya kira maaf, terus-terang sudah terlalu terlambat. Maksud saya,
saya tidak bisa lagi mengobatinya. Putera Ibu ini sudah meninggal 24 jam yang
lalu. Ya mati. Nadinya tidak berdetak lagi. Tangannya dingin. Bahkan maaf sudah
mulai berbau. Lebih baik cepat dibawa pulang dan dikebumikan. Apa? Tidak. Saya
tidak terlambat. Saya memang terlambat. Tapi sebelum saya datang putra Ibu
sudah tidak ada. Kalau Ibu membawanya ke Puskesmas kemaren mungkin masih bisa
diselamatkan. Tapi sekarang tidak bisa, tidak ada yang bisa saya lakukan lagi
Bu.
KEPADA DUKUN
Tidak mungkin, Pak. Tidak ada
gunanya Pak Dukun. Kalau memang ada ular kobra yang sudah masuk ke dalam
perutnya, bagaimana cara masuknya? Ya? Baik, baik, saya tidak tahu. Saya memang tidak paham ilmu gaib. Tapi kalau
memang betul ada ular kobra di perutnya, untuk apa lagi kita pikirkan, karena putra Ibuu kan sudah tidak ada. Mati
Bu. Nafasnya sudah berhenti. Sebentar lagi tubuhnya akan membusuk, lebih baik
diurus upacara poemakamannya saja. Maaf Pak Dukun saya tidak mengerti soal roh.
Tapi tidak mungkin rohnya baru sampai ke ujung jalan. Bapak menyuruh saya
mengejar ke situ? Ya tapi anak Ibu meninggal bukan kesalahan saya. Saya baru datang, Bu. Saya
tidak terlambat, ya saya memang terlambat, tapi putra Ibu sudah meninggal 24
jam yang lalu. Ya Bu, mati. Masak begitu? Jadi kalau saya kejar ke tikungan,
mungkin masih bisa hidup? Tidak mungkin pak Dukun. Saya tidak bisa menghidupkan
orang yang sudah meninggal. Saya hanya bisa menolong orang yang sakit. Kalau
soal hidup-mati itu di tangan Tuhan.
TERKEJUT
Ya, ya baik, baik, saya periksa
sekali lagi. Maaf, bukan maksud saya begitu. Saya sama sekali tidak membedakan
oprang miskin atau kaya. Presiden atau tukang beca kalau sakit sama saja. Saya
wajib memeriksa dan mengobati. Tidak, jangan ragu-ragu tentang itu. Jangan
sampai salah terima. Saya kerjakan sekarang. Coba
MEMERIKSA
Apa? Operasi? Mengeluark ular
kobra dari perutnya? Tapi saya tidak boleh membedah perut orang yang sudah
meninggal. Saya bukan dokter ahli forensic,
Pak. Kalau ada keraguan kenapa orang
meninggal, memang biasanya diadakan utopsi, untuk mengetahui dengan pasti apa
sebab kematiannya. Biasanya itu dilakukan dalam tindak kejahatan. Tapi putra
Ibu ini sudah jelas meninggal karena kata asisten saya, demam berdarah.
TERKEJUT
Ya, ya, ya, tidak.. Tapi tidak
bisa Pak. Membedah perut orang yang sudah meningga untuk mencari ular kobra, itu
melanggar etika. Saya nanti bisa dipersalahkan. Pak! Pak!
MENGEJAR
Saya tidak menolak. Saya bukan
tidak mau. Tapi itu tidak bisa. Ya. Tapi saya tidak bisa dipaksa membedah orang
yang sudah meninggal. Untuk apa? Tapi, Pak! Jangan panggil mereka. Sudah Pak, sudah. Tenang Bu. Kalau
mereka semua masuk ke mari, nanti malah kacau. Baik begini saya. Begini. Ya, ya
saya akan ikuti permintaan Pak Dukun. Saya tidak menentang atau menghina, Bu.
Baik. Saya tidak akan banyak bicara lagi. Ya saya akan coba, maksud saya saya
saya akan ikuti permintaan Ibu dan Pak
Dukun. Saya akan bedah perut putra Ibu ini untuk melihat apa memang di perutnya
ada ular kobra. Ya, kalau memang ada, o ya baik, memang ada, kalau Ibu dan
Bapak yakin itu ada di situ, ya kita lihat nanti. Saya kira, baik, saya akan
bedah sekarang!
MENARIK NAFAS PANJANG
Tapi silakan menunggu di luar,
supaya saya bisa melaksanakan pembedahan dengan tenang. Ya, saya akan melakukan
sebaik-baiknya. Peralatan kita di sini memang seadanya saja. Pisaunya juga
tidak ada, jadi terpaksa pakai silet saja. Baik, doakan saja Bu. Pak Dukun,
maaf, sebaiknya mantera-manteranya di luar saya akan melakukan persiapan pemebdahan sekarang. Ya. Terimakasih.
DOKTER MEMPERSILAKAN IBU ANAK ITU DAN DUKUN KELUAR. BEGITU KELUAR, DIA HAMPIR SAJA MAU
MUNTAH. DIA LANGSUNG MENGEN AKAN PENUTUP MULUT DAN HIDUNG DAN MELAKSANAKAN.
Saya belum pernah membedah orang yang sudah
meninggal untuk mencari kobra dalam perutnya. Tapi kalau saya tidak mau,
orang-orang yang ada di luar itu akan masuk dan mengamuk, menyangka saya
menolak. Saya tahu, mereka menjadi terlalu sensitif sebab merasa selama ini
sudah dihina dan diperbodoh (KEPADA MAYAT) Apa boleh buat, kalau hanya
kenyataan yang bisa dipakai sebagai bukti, saya minta maaf, Dik, saya terpaksa
merobek perut Adik, untuk membuktikan di situ tidak ada ular kobra.
MEROBEK PERUT MAYAT.
Saya mungkin bodoh atau takut. Atau
keduanya dan semuanya saja. Terserah. Tapi saya tidak bisa mencari jalan yang
lebih baik. Karena saya tidak mau mati hanya karena ini.
PERUT SUDAH DIROBEK
Lihat. Mana mungkin ada ular
kobra di dalam perut. Itu kan hanya di dalam dongeng atau puisi. Ibu, betul
waktu dulu melarang saya kerja di sini. Pengalaman memang banyak, bahkan
terlalu banyak. Tapi mungkin pengalaman yang tidak berharga, buat apa?!
MENGELUARKAN DARI DALAM PERUT ITU
SEBUAH PEDANG-PEDANGAN KECIL
Saya tidak mengerti bagaimana
pedang ini bisa masuk ke dalam perut. Siapa yang berani menelan pedang plastik
ini, kalau bukan karena dukun yang memaksa, pasti alasannya uuntuk membunuh
ular kobra.
MENOLEH. IBU YANG MENINGGAL DAN
DUKUN MASUK
Ya sudah. Sudah saya bedah. Tapi
tidak ada ular kobra, saya hanya ketemu pedang ini. Silakan diperiksa. Tidak
ada ular kobra. Apa? O sudah mati karena pedang itu? Jangan-jangan karena
menelan pedang itu putra ibu sudah meninggal. O, maaf. Bukan itu maksud saya.
Bagaimana? Menghidupkan? Saya tidak bisa menghidupkan orang mati, itu kan
pekerjaan Bapak Dukun. Saya? Ya, ya, saya dokter. Saya memang dokter. Tidak
ijazah saya tidak palsu. Saya lulus cum lauda. Tapi memang saya belum pernah
jadi dukun. Tidak ada spesialisasi dukun di Fakultas Kedokteran. Lho?
ORANG-ORANG ITU PERGI. MENGIKUTI.
Ibu dan Bapak mau ke mana?
Jenazahnya tidak bisa ditinggalkan di sini. Puskesmas tidak bisa
menyelenggarakan upacara pemakaman. Apa? Diserahkan kepada saya? Ditinggal? Untuk berapa lama?
Tidak perlu, tidak mungkin, setahun juga
ditinggal di sini dia tidak akan bisa hidup lagi, malah sebentar lagi akan busuk.
Bu, Pak!
PINTU DITUTUP DARI LUAR. DOKTER
MENGGEDOR.
Buka! Buka! Saya dokter, saya
bukan dukun, saya tidak bisa menghidupkan orang mati!
PINTU TETAP TERTUTUP. DOKTER MENGGEDOR TAPI TAK DIBUKA. DOKTER PUTUS ASA.
Ya Tuhan, saya tidak tahu mesti
bagaimana sekarang. Mereka mengunci saya di sini. Subuh baru akan dibuka. Ya
kalau dibuka! Kalau saya tidak berhasil menghidupkan putranya, saya tidak akan
bisa keluar. Atau Puskesmas akan dibakar. Dan saya lulus cum laude akan jadi daging panggang.
MENDEKATI MAYAT.
Maaf. Adik jangan marah. Saya
sudah merobek perut kamu, karena takut perut saya yang dirobek. Saya akan
menjahit lagi sekarang suppaya nanti jangan berhamburan kalau dibawa pulang.
MEN JAHIT KEMBALI
Mudah-mudahan kamu mengerti, ini
hanya masalah perbedaan persepsi. Ibu saya benar, daripada membuang-buang waktu
jadi dokter di dalam rimba yang dikuasai oleh dukun, lebih baik menderita di
dalam kota tapi paling tidak bahasanya sama. Di sini saya tidak bisa mengerti
bahasa apa yang dipakai. Keras, salah. Lembut juga keliru. Akhirnya saya
bingung. Tapi bingung juga tidak boleh, karena mereka berharap terlalu banyak
dari saya. Padahal saya hanya punya ijazah, saya tidak punya semua yang mereka
inginkan. Terimakasih kalau kamu mengerti
PINTU KEMBALI TERBUKA DAN SEMUA ORANG MASUK.
Aduh jangan semuanya masuk!
MENDEKATI ORANG-ORANG ITU
Ibu, Pak Dukun jangan salah
sangka, saya tidak sedang bicara dengan dia. Saya ngomong sendiri. Bagaimana
saya bicara dengan dia, kalau adik itu sudah meninggal. Dia tidak bisa ngomong
lagi. Aduh! Jangan! Jangan! Jangan merusak. Jangan bakar Puskesmas. Ya baik ini
salah saya. Ya salah saya. Ya, ya, baik. Betul, betul tadi saya sudah bicara
dengan dia. Apa katanya? Ya katanya, katanya, dia itu sudah mati. Tunggu,
tunggu dulu saya belum selesai bicara. Kata dia dia sebenarnya senang sekali
kalau bisa pulang sekarang. Sebab katanyha Ibu baik dan Pak Dukun juga sudah
berusaha keras untuk menyembuhkan dia. Ya, ya sudah membunuh ular kobra itu.
Dan
KEBINGUNGAN
dan dia bilang, dia bilang
DIA MENGGAPAI TASNYA DAN KEMUDIAN
JAKANTONGNYA LALU TERPEGANG AMPLOP YANG SEMULA MAU DIKIRIMKANNYA
oh ini? O ini amplop gaji saya
selama 3 bulan yang terlambat. Bukan. Bukan amplop yang saya temukan di dalam
perutnya. Uang? Ya ini isinya uang. Uang untuk Ibu saya. Bukan Ibu! Ibu saya!
Sebentar! Sebentar!
MENYEMBUNYIKAN AMPLOP
Ya, ya saya kira, saya kira, ya
betul. Betul. Mungkin ini yang paling baik. B aik. Baik coba dengarkan,
dengarkan baik-baik. Tenang semuanya.
MENENANGKAN PERASAANNYA SENDIRI
Jadi begini. Putra Ibu ini,
pasien Pak Dukun, sebenarnya sudah sembuh. Ular kobra itu sudah mari dibunuh
oleh pedang itu. Ya, ya. Pak Dukun berhasil. Saya juga senang. Tapi begini.
Kata putra Ibu, dia belum bisa pulang sekarang. Banyak sekali yang harus
dilakukan di situ. Dia bilang sebenarnya dia mau pindah. Bukan, bukan mati. Dia
sudah sembuh. Dia hanya mau merantau. Karena itu dia menitipkan amplop ini pada
Ibu, supaya Ibu merelakan dia pergi.
MENGULURKAN AMPLOP. IBU DAN DUKUN
TERCENGANG.
Ini untuk Ibu dan Pak Dukun!
LAMPU REDUP PERLAHAN.
DUA
SEPERTI PADA AWAL. DOKTER ITU
MENULIS SURAT.
Ibu, maaf, kalau saya belum bisa
mengirim uang. Amplop gaji saya tiga bulan itu saya berikan kepada mereka. Baru
mereka tenang. Lalu mereka mengangkat jenazah dan pulang dengan tertib. Mereka
menyanyi dengan khidmat pulang untuk menguburkan putra yang kena demam berdarah
itu.. Saya terharu sekali. Saya sedih. Alangkah miskinnya kita. Kematian bisa
dihibur dengan uang. Ini menyakitkan.
TERDENGAR NYANYIAN BERSAMA YANG
SEDIH.
Tapi sejak itu Ibu, banyak orang
yang sudah mati dibawa ke Puskesmas. Ada yang memaksa supaya dioperasi. Ada
yang minta dipasangin infus, apa saja, pokoknya supaya yang meninggal itu hidup
lagi. Semuanya datang dalam rombongan. Ada yang tidak menyembunyikan bahwa
mereka datang dengan membawa senjata. Tidak ada yang mau ditolak. Baru kalau
sudah diberikan amplop, mereka pergi dengan tertib dan bersahabat.
MENUNJUKKAN AMPLOP KOSONG.
Saya terpaksa menjual apa saja
untuk mengisi amplop supaya mereka mau pulang. Untung mereka baik. Diberikan
berapa saya diterima. Itu membuat perasaan saya tambah remuk. Alangkah
ringkihnya kita. Tapi sekarang saya sudah bangkrut. Barang-barang berharga yang
saya punya sudah dijual. Termasuk cincin yang ibu berikan dulu waktu saya
berangkat. Saya minta maaf. Saya minta maaf, kalau sampai sekarang belum bisa
lagi mengirimkan uang untuk Ibu. Mudah-mudahan saja besok Senen gaji saya bisa
diambil. Tapi saya bingung, kalau sebelum itu, ada yang datang membawa orang
mati untuk dihidukan, saya tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan. Biasanya
kemalangan suka datang beruntun
PINTU DIKETOK
Nah itu dia. Betul kan! Mampus saya sekarang. Ya? Masuk Daniel! Ada
pasien lagi kan!? Apa?
BERDIRI
Jangan pergi ke situ? Maksud
kamu, ada pasien, ya aku mengerti, maksudku ada orang mati di bawa ke puskesmas
untuk dihidupkan dan saya tidak harus datang? Bagaimana itu? Tidak boleh datang?
KETAWA PAHIT
Kamu kok tahu. Ya memang uangku
sudah habis. Nih lihat hanya amplop saja yang ada, isinya kosong. Tapi aku
tidak mungkin bilang aku tidak bisa, karena aku bisa. Aku tidak bisa tidak
datang karena mereka mjenunggu. Tapi bagaimana aku bisa menghidupkan orang
mati, kalau uang sudah habis? Jangan datang? Kenapa? Ya betul juga, daripada
mati konyol mereka koyak-koyak aku di situ, lebih baik jadi pengecut.
Pendidikan dokter itu mahal. Aku masih ingin berguna. Apa boleh buat. Ayo bantu aku mengemasi
pakaian. Bilang saja nanti aku di panggil ke kota untuk satu bulan.
MENGEMASI BARANG. TAPI TIBA-TIBA
TERKEJUT.
Apa? Danie! Ayo bicara yang jelas
jangan ngedumel. Siapa? Siapa? Itu Kepala suku? Astaga, kalau begitu aku tidak
bisa menolak. Kalau aku tidak datang bisa terjadi perang suku! Aku harus adil,
sebab yang sebelumnya kita tolong musuh mereka. Ayo! Daniel!
MENYAMBAR TAS LALU PERGI. TAPI
KEMUDIAN KEMBALI LAGI.
Mungkin saya tidak akan pernah
kembali ke rumah ini, Ibu. Mungkin saya tidak akan pernah bisa pulang, karena
mereka pasti akan membantai karena tidak diberikan pertolongan.. Apa boleh
buat. Mungkin itu lebih baik, daripada
terus menipu mereka dengan kebohongan. Sudah saatnyha berterus-terang. Saya
malu!
PERGI. LAMPU PADAM.
TIGA
SET SAMA DENGAN ADEGAN SATU. MEJA
DAN KURSI. DI ATAS MEJA ADA TUBUH TERBUJUR YANG DISELIMUTI SELIMUT PUTIH. DARI
LUAR KEDENGARAN SUARA PERCAKAPAN DOKTER MASUK.
Bapak Kepala Suku kenapa? Hanya
luka sedikit karena kepeleset? Kepalanya membentur pohon lalu tidur selama 12
jam?
MASUK
Mungkin gegar otak. Coba akan
saya periksa. Ya saya tahu Bapak Anda ini seorang pahlawan. Beliau yang sudah
berjasa menyatukan suku-suku yang selalu berperang supaya bersatu dalam
persaudaraan. Hanya suku yang di puncak gunung itu yang masih mau jalan sendiri.
Berani sekali Bapak Kepala Suku sudah datang sendiri ke situ tanpa senjata,
sebagai simbul perdamaian. Sayang sekali ketika tugas hampir selesai, beliau
kesleo dan membentur pohon. Ya saya mengerti, ini bisa dipelintir oleh orang
yang tidak bertanggungjawab untuk kembali mengobarkan perang saudara. Mereka
bisa mengadu-domba, sekan-akan Bapak Kepala Suku yang berniat baik sudah
dibalas dengan kasar. Kalau luka Bapak Kepala Suku sampai parah, rakyat Anda
yang setia dan cinta pada Kepala Suku pasti akan ngamuk. Itu akan membuat
segala usahanya sia-sia.
MENARUH TAS DAN MENYINGKAP TUBUH
YANG TERBUKUR ITU. KEPALA KEPALA SUKU YANG SUDAH TEERPISAH DARI TUBUHNYA, JATUH
DARI MEJA DAN MENGGELINDING KE LANTAI. DOKTER TERKEJUT.
Ya Tuhan!
BENGONG LALU MENDEKAT
Ini bukan benturan dengan pohon
tapi dipancung. O ya, ya. Saya tahu Bapak Anda seorang Panglima Perang yang
gagah perkasa. Dia disegani oleh semua musuhnya an tidak pernah kalah. Ya,
pahlawan seperti almarhum, maaf beliau itu tak ada duanya. Hanya satu. Dan ya, ya
betul. Beliau tidak mungkin dipancung, siapa berani emancung Bapak Kepala Suku!
Neliau tidak tergantikan. Jadi tidak boleh mati. Ya, ya beliau akan hidup
abadi. Pahlawan tidak pernah mati Betul. Tapi, ya, ya
MENGANGKAT KEPALA ITU
saya harus menolongnya kembali
bersatu dengan tubuh. Saya akan melaksanakan dengan sebaik-pbaikn ya, tapi, o
ya, ya, kalau sampai ketahuan oleh musuh bahaya sekali.
MEMPERTAUTKAN KEPALA KEMBALI KE
BADANNYA
Ya saya paham. Beliau tidak boleh
mati. Simbul perdamaian dan persaudaraan harus tetap hidup. Tentu, seluruh
warga yang sedang menunggu di luar itu akan malu sekali kalau sampai Pemimpin
Besar ini tak bisa ditolong. Ya, tapi, kepala ini sudah terpisah dari tubuhnya,
tidak, saya bisa menjahit kembali, itu soal gampang. Hanya saja, Anda putranya,
Anda sebagai penggantinya mungkin harus menerima ini sebagai saat yang luhur
untuk menggantikan beliau dengan semangat dan tgenaga Anda yang masih muda.
Apa? O tidak, ya, ya saya tahu, pasti, Anda terlalu bangga kepada beliau dan
tak ingin beliau digantikan. Seluruh rakyat di luar itu juga begitu. Tapi, ya,
ya saya tidak mengulur-ulur waktu, saya akan
sambung sekarang.
DOKTER DENGAN CEPAT MENYAMBUNG
KEPALA ITU DENGAN TUBUHN YA.
Bapak Kepala Suku, dengan segala
hormat saya, maafkan saya menusuk leher Anda dan mengembalikan posisi ke
tempatnya yang semula. Karena seorang pahlawan bangsa yang sudah berhasil
menyatukan dan mencegah perang saudara harus meninggal secara sempurna. Maaf
harus tetap tegak dan sempurna. Nah rampung.
MENDUDUKKAN KEPALA SUKU
Saya sudah menyambungnya. Kalau
ada yang berhadapan dengan beliau sekarang, tak ada yang tahu apa yangt sudah
terjadi. Tapi sekarang bagian yang paling penting, izinkan saya berterus terang
Putra Kepakla Suku.
BERHENTI DAN MENARIK NAFAS. LALU
MENOLEH KEPADA TUBUH KEPALA SUKU DAN TERKEJUT
Ya Tuhan! Itu bukan tubuh Bapak
Kepala Suku! Itu bukan tubuh ayah Anda. Saya kenal baik beliau. Ini tubuh anak
muda. Lihat otot-ototnya m,asih kenceng. Tinggi dan besar ciri generasi baru
kita yang gizinya sudagh memenuhi syarat kesehatran 5 sempurna. Ini bukan
Bapak! Apa? Masak? Anda sudah memenggal kepala seorang olahragawan muda supaya
tubuhnya dapat dipakai menggantu tubuh Bapak Kepala Suku. Itu naif! Maksud saya
itu, itu, aduh saya tidak mungkin lagi tidak berterus-terang kalau sudah
begini. Maaf-maaf saya harus menjelaskan
sekarang, terserah bagbaimana nanti resikonya. Saya minta ampun. Saya tidak
bisa menghidupkan ayah Anda Bapak Kepala Suku, karena beliau sudah meninggal!
Tidak mungkin orang yang sudah meninggal hidup lagi. Ini bukan dunia maya,
bukan film kartun, ini hidup nyata. Bapak Kepala Suku sudah meninggal dan
nampaknya dipenggal.
MENUNGGU JAWABAN DENGAN
KETAKUTAN.
Lho Anda tertawa. Tidak ada yang
lucu. O tidak, tidak bisa. Walau pun tubuhnya sudah diganti dengan tubuh atlit
kelas satu beliau sudah di alam baka, tidak akan bisa dipanggil lagi. Hee
kemana itu!
MENGEJAR KELUAR
Saya tidak perlu waktu. Seribu
tahun ditunggu juga Bapak Kepala Suku tidak akan bisa hidup lagi!
TERCENGANG KARENA ANAK KEPALA
SUKU PERGI DAN MENGUNCI PINTU DARI LUAR. MENGGEDOR.
Buka! Buka! Saya tidak mau
membohongi Anda. Kepada yang lain-lain saya sudah bohong, tapi kepada Anda,
saya terus-terang saja. Buka! Ini tidak akan berhasil!
PINTU TIDAK DIBUKA.
Aduh, kenapa jadi begini. Kalau
saya punya segepok uang juga saya tidak akan mau memberikan kepada mereka.
Karena itu berarti memperlakukan mereka sebagai orang bodoh. Daniel? Kenapa
kamu masuk? Lari lewat pintu belakang? Kalau aku lari mereka akan mengejar,
menyangka aku menolak menghipkan orang mati. Tapi kalau aku di sini, apa itu?
Kamu dapat darimana uang itu? Gajiku sudah turun? Apa? Kamu patungan? Kamu cari
sumbangan dari pegawai-pegawai yang miskin itu. Tidak. Meskipun mereka kaya,
aku sudah bosan menipu. Aku bukanh dukun . Aku dokter, aku tidak bisa menghidupokan
orang mati. Dan mereka harus belajar menerima kenyataan, jangan terus dibiarkan
terombang-ambing dalam mimpi.
PINTU NTERBUKA.
Ya Tuhan dia sudah masuk lagi.
Cepat sekali. Aku belum sempat berpikir. Apa pantas aku membiarkan diriku
dihajar. Lihat matanya melotot merah. Dia membawa pedang bapaknya. Aku akan
dipenggal. Ibu, ini mungkin suaraku yang terakhir. Aku tidak perlu melawan. Aku
tidak akan melawan, tidak mungkin mengalahkan pangeran yang jago berperang itu.
MENDEKAT KE PINTU.
Saya tahu Anda kecewa dan marah.
Tapi satu ketika nanti akan jelas bahwa saya lakukan semuanya ini karena
menghormati kecerdasan kalian. Bapak Anda telah mangkat, meskipun dia pahlawan
sejati, tetapi dia sudah dipenggal. Mungkin
dari belakang, karena ada yang tidak suka kesatuan. Jangan percaya saya bisa menghidupkan lagi. Saya sudah cipoa
kepada banyak orang. Saya sudah menipu kalian semuanya selama ini. Saya pantas
dapat hukuman. Tapi
MUNDUR
Anda mengerti maksud saya kan? Jangan
membunuh saya sebelum mengerti apa yang saya katakan. Saya bukan menolak
menolong, tapi saya tidak bisa menghidupkan orang mati. Saya bukan tidak mau.
Saya mau kalau saya bisa. Tapi mana bisa orang mati hidup lagi. Itu bohong!
TAKUT DAN TERUS MUNDUR MENGITARI
MEJA
Bukan, bukan Anda yang bohong!
Saya yang bohong! Saya yang sudah menipu! Kami semua yang sudah menipu! Kami
tidak sungguh-sungguh menolong, kami hanya pura-pura menolong dan kamu berhak
marah karena itu. Tapi kamu harus mengerti jangan mau dijadikan kambing congek,
tolak kalau dianggap orang bodoh lagi!
Apa?
TERUS MUNDUR
Ya saya tahu. Kamu pendekar. Kamu
tidak mau membunuh orang yang tidak melawan. Kamu memancing saya untuk melawan.
Tapi saya sudah memutuskan tidak akan
melawan. Hanya saja kalau didesak terus begini, saya tidak bisa terus
begini. Orang tua saya bilang , kalau harus mati, matilah dengan tidak
kehilanmgan harga diri.
MERAIH LACI MEJA. DAN MENGELUARKAN
PATAHAN HIASAN MERAH PUTIH MOTOR YANG
SUDAH DICERITAKAN DI ADEGAN SATU. SAMBIL MEMEGANG BEN DERA ITU, IA TERDESAK, HINGGA AKHIRNYA TERGELETAK DI
MEJA DI SAMPING TUBUH KEPALA SUKU.
Kata Ibu saya, semua tubuh, yang
pahlawan atau bukan pahlawan, pada akhitrnya akan hancur. Semua pahlawan juga
akan mati. Tapi jiwa pahlawan yang luhur, kejujurannya akan terus hidup di hati
setiap orang, di hati berjuat-juta orang setiap detik. AMpun!
MENGANGKAT TANGAN YANG MEMEGANG
BENDERA KECIL DAN B ERTERIAK, LALU PINSAN.
TAK LAMA KEMUDIAN TERDENGAR SUARA
TEPUK SORAK RIUH-RENDAH. LALU SUARA NYANYIAN BERSAMA PROSESI MEMBAWA JENAZAH
KEPALA SUKU. DOKTER SIUMAN. IA BERSIM PUH DI ATAS MEJA.
Tuhan, saya kira saya sudah mati.
Ternyata masih di sini. Ibu, saya tidak tahu apa yang sudah terjadi. Apa karena
kata-kata Ibu yang sudah saya sampaikan itu, atau karena bendera kecil itu.
Putra Kepala Suku itu, tidak marah karena saya tidak bisa menghidupkan
bapaknya. Saya dengar dia berpidato di luar di depan anggota sukunya, mengulangi
katga-katamu Ibu: pahlawan tidak pernah pergi, hanya tubuhnya yang hilang,
jiwanya justru hidup di hati berjuta-juta orang setiap detik. Abadi! Lalu
mereka membawa penggalan Kepala Kepala Suku pulang untuk dimakam kan dengan
segala kebesarannya
BERDIRI DI MEJA MELIHAT KEE
KEJAUHAN. SUARA NYANYIAN ITU SEMAKIN SAYUP.
Dengan obor-obor di tangan mereka
terus menyanyi mendaki bukit. Sekarang saya saya tahu apa yang harus saya
lakukan. Orang-orang itu tidak menolak takdir, mau menghidupkan orang mati.
Mereka hanya memerlukan kasih sayang, perhatian yang sungguh-sungguh.
Kesederhanaan mereka harus dihormati jangan lagi dihina seperti yang sudah kita
lakukan selama ini.
LAMPU PADAM.
EMPAT
SEPERTI SET PERTAMA. DOKTER
MENULIS.
Ibu, saya tulis ini seperti waktu
seperti biasa, pulang dari puskesmas. Tidak ada kendaraan, saya terpaksa jalan
kaki. Saya tidak peduli lagi apakah saya ini dokter atau dukun. Itu tidak
penting. Saya hanya ingin menyayangi mereka. Relakan saya terus tinggal di
sini, menemani mereka selamanya.
KETUKAN PINTU.
Ya masuk saja Daniel. Tidak
dikunci. Mau makan mie instan? Apa? Aku dipanggil ke Jakarta? Kenapa? Dituduh
melakukan mal praktek? Bangsat!!!
LAMPU PADAM,
ASTYA PURI 2, Jakarta 2010
0 Response to "AH"
Post a Comment