WANITA versus INDONESIA Ibarat SRIKANDI versus DASAMUKA

















MONOLOG
WANITA versus INDONESIA
Ibarat SRIKANDI versus DASAMUKA
By Herlina “LINA LEENOX’S” Syarifudin























CAHAYA PERLAHAN MENYOROT SESOSOK PEREMPUAN YANG SEDANG MENARI DENGAN POSISI TUBUH MEMBELAKANGI PENONTON. TARIAN DILAKUKAN DI DALAM AREA CAHAYA BERUKURAN KURANG LEBIH 1 X 1 M. GARIS BATAS CAHAYA MEMBENTUK SALAH SATU KEPULAUAN DI INDONESIA. GARIS BATAS CAHAYA BERUBAH SETIAP DETIK / MENIT YANG DIINGINKAN, MEMBENTUK KEPULAUAN YANG LAIN DI INDONESIA. SUSUNAN PERUBAHAN BENTUK KEPULAUAN BISA DIURUT SARI SABANG SAMPAI MERAUKE ATAU DARI MERAUKE SAMPAI SABANG. USAI MENARI, SOSOK PEREMPUAN ITU PERLAHAN MENGHADAP KE ARAH PENONTON SAMBIL MENYANYIKAN LAGU ‘IBU KITA KARTINI’ DENGAN IRAMA KERONCONG / SERIOSA

Ibu kita Kartini, putri sejati……
Putri Indonesia, harum namanya…….
Mendengar kata sintal, lentik, cantik, indah, sensual, gemulai, lembut, ….. pasti yang terbayang di benak adalah…Hap!

BERPANTOMIM MEMBANGUN TUBUH MEMBENTUK SOSOK PEREMPUAN

Ya ! P-E-R-E-M-P-U-A-N atau W-A-N-I-T-A. Tapi itu cuma fisik. Seperti halnya fisik kepulauan Indonesia yang kalau kita lihat di dalam globe, tampak beragam dan lebih ‘nyeni’ bentuknya. Namun dibalik dari segala keindahan itu, tersimpan godaan. Godaan yang bisa, agh…merangsang, menggugah, lalu menodai, bahkan menghancurkan. Stoopp!! Eits, eits, putar otak anda kembali normal. Hancurkan fantasi itu untuk sementara waktu. Bukan sekarang dan bukan disini tempatnya. Karena ini ruang suci. Ruang beradab. Ruang bermoral. Ruang wacana. Ruang inspirasi. Jangan kau nodai dengan hal-hal yang tidak pada tempatnya. Hal yang berkedok. Hal yang munafik. Hal yang picisan. Cukup imajinasi dalam otak. Tanpa perlu visual yang verbal. Ok, ok. Aku tahu. Itu wajar, manusiawi, natural dan hak semua makhluk Tuhan jika memang sudah tiba waktunya. Tapi, yach, lagi-lagi itu cuma wacana. Wacana yang tidak lagi peduli pada ruang dan waktu. Semua menjadi sah. Norma tak lagi bisa bicara sekeras batu karang. Ada yang bilang, ‘Peraturan dibuat memang untuk dilanggar. Karena distulah letak keseimbangan terjadi.’ Gila ! Memang. Tapi apa boleh buat. Itulah yang berlaku, mungkin sejak jaman nenek moyang. Entoh, kita tetap bisa menerima dan malah tak jarang ikut menikmati sisi pelanggaran itu. Benar tidak? Hayo…koq pada senyum-senyum? Senyum kebenaran atau senyum kemaluan nih? Itulah Indonesia dan perempuan. Dua sosok yang berbeda namun punya banyak juga persamaan. Dua sosok yang indah dan menakjubkan. Ada indah, pasti ada buruk. Ada takjub, pasti ada jijik. Taruh kata pelecehan. Bisa saja muncul di balik keindahan yang menakjubkan dari kedua sosok ini. Pelecehan sangat mudah merajalela hanya karena faktor fisik. Jika Indonesia dilecehkan, dia akan semakin garang, bak Dasamuka. Seperti Semar kehilangan kuncung. Tapi Indonesia sebenarnya belum punya sosok Semar. Padahal sosok itu adalah dewa penolong yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Indonesia saat ini bagiku masih seperti alas Setra Gandamayit. Belum sampai pada tahap Amarta. Tapi itu hanya pendapatku lho, jangan terpengaruh. Ini hanya pendapat sebagian kecil wong cilik. Apalah arti pendapat wong cilik sih? Terlalu tinggi dan rapat gedungmu untuk bisa mendengar. Wong cilik juga tidak punya aji sakti yang bisa menerobos bahkan menembus bentengmu. Kecuali aku adalah koki atau tukang kebun atau satpam disitu, lain cerita. Jadi sekali lagi, kalau memang tidak layak didengar, tutup telinga saja. Habis perkara. Daripada telinga panas dan urusan jadi melebar, runyam nanti.
Itu tadi adalah Indonesia. Nah, kalau perempuan bagaimana? Semakin dilecehkan, wanita punya hak untuk memberontak. Namun tidak brutal dan anarkis. Pemberontakan wanita lembut dan indah namun menyayat bahkan menusuk, bak Srikandi berbayang Drupadi. Lewat karya seni, pemberontakan wanita bersuara. Susunan manekin bergelayut di atas rel kereta dalam “KISAH TANPA NARASI # 4” seorang Titarubi begitu dahsyat berbicara tentang tumbal Indonesia. Dolorosa Sinaga menguak pedih “LUMPUR LAPINDO BRANTAS” dalam garapan patungnya. Ratna Sarumpaet dengan gulat ekspresi dan jerit lantangnya di atas panggung teater. Ully Sigar Rusadi lewat suara merdunya pada alam. Lembar-lembar Jurnal Perempuan yang kritis dari seorang Mariana Amiruddin. Butet Manurung dengan Sakolanya. Dan masih banyak lagi Srikandi-Srikandi yang bertebaran di seantero nusantara ini.
Suatu kali, si Upik bertanya pada ibu gurunya.
UPIK : Bu Guru, kata mamaku, Indonesia itu sama dengan perempuan. Benarkah itu?

BU GURU : Pertanyaanmu cerdas sekali, Upik. Menurut ibu, bisa benar, bisa juga tidak.

UPIK : Kata mamaku lagi, ada pula bedanya. Ibu guru tahu tidak apa bedanya? Hayoo..

BU GURU : Aduh, ibu mengalah saja deh. Nyerah. Apa bedanya Upik?

UPIK : Kata mamaku, sebagai perempuan, kita tidak boleh mudah menyerah. Nanti benteng kita akan mudah terserang musuh.

BU GURU : Lho, bukankah saat ini benteng kita sudah banyak diselundupi musuh-musuh terselubung?

UPIK : Iya juga sih bu. Tapi tidak ada salahnya jika kita tetap waspada. Agar tidak makin terlena oleh bujukan musuh kita.

BU GURU : Iya deh sayang. Ibu kalah, eh salah. Ibu berpihak pada Upik. Biar benteng kita makin kuat. Kembali lagi ke masalah perbedaan tadi, ibu benar-benar tidak tahu. Bolehlah Upik memberitahu pada ibu.

UPIK : (BERPIKIR SEJENAK) Ok deh. Untuk kali ini, Upik baik hati pada ibu.

BU GURU : Lho, lho..jadi baik hatinya cuma untuk hari ini saja nih? Besok-besok kita musuhan nih?

UPIK : (SENYUM) Just kidding. Bercanda la yauu…bu. Begitu saja sewot. Hihihi…

BU GURU : Ibu juga bercanda, sayang. Ibu malah bangga punya murid secerdas kau. Mungkin, jika kau lulus nanti, ibu akan sedih karena berpisah denganmu. Tapi ibu akan terus berdoa untukmu agar kelak nasibmu tidak seperti ibu.

UPIK : Maksud ibu?

BU GURU : Tidak sekarang Upik. Suatu saat kau akan temukan jawabannya. Mendingan sekarang kau jelaskan pada ibu, apa beda Indonesia dan perempuan menurut pendapat mamamu, ok.

UPIK : (MANYUN) Iya deh. Walau aku masih penasaran, kan kumasukkan sementara ke kantongku rasa penasaran ini. (MENELAN LUDAH KEKECEWAAN) Kata mamaku, kalau perempuan itu seringnya mudah sekali dibohongi. Tapi kalau Indonesia itu seringnya mudah sekali berbohong. Masa’ Indonesia sejahat itu, bu?
Pernyataan sekaligus pertanyaan si Upik menggugah nurani Bu Guru untuk meledakkan jeritan hatinya selama ini. Dengan sedikit menahan emosi, Bu Guru menjawab dengan sok bijak. Dia bernyanyi dengan agak sesak nafas menahan tangis.
Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru….
Namamu akan selalu hidup…. (DIAM SESAAT)
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa…
Usai menyanyi, nafas ibu guru terasa ngos-ngosan. Diteguknya segelas air putih yang sedari pagi bertengger di atas mejanya. Keringat mengucur dari sela-sela kulit kepalanya. Matanya menerawang jauh sekali. Sepertinya lagu itu benar-benar telah menguras energi otak dan hatinya. Entah, apakah dia memendam trauma yang cukup mendalam di balik lagu itu. Atau bisa jadi, lagu itu kini telah menjadi bumerang baginya. Ekspresi kebingungan terpancar dari raut tanpa dosa si Upik. Saat mulut Upik hendak meluncurkan pertanyaan, Ibu Guru menyelak.

BU GURU : Sebentar Upik. Ibu belum selesai. Tahukah kamu, kalau pada masa perjuangan dulu, para pahlawan berjuag tanpa berpikir honor. Bahkan mereka rela mati demi Negara. Tapi sekarang, ‘para pahlawan kesiangan’ itu, berjuang hanya pada saat proposal disetujui oleh badan funding. Wadah duit Raja diraja SBY bertitah tentang pendidikan gratis. Lantas, ibu mau kasih makan anak-anak ibu darimana?

UPIK : (NADA POLOS) Ibu sekeluarga bareng-bareng saja makan di rumah Upik. Masakan mama Upik, enak lho bu.
Mendengar jawaban si Upik, bu guru tak kuasa menahan air matanya yang sedari tadi bergelayut di dalam bola matanya. Pandangan sedih bu guru terpancar jelas menembus wajah Upik.

BU GURU :Andai kau besar nanti, Upik…semoga menjadi sosok perempuan yang tidak mudah terjerumus sebagai korban kemunafikan sisi lain dari Indonesia. Jadilah srikandi Indonesia yang semestinya. Kutunggu, jiwa R. A. Kartini bersemayam di balik auramu.

UPIK : Bu..bu…mengapa menangis?
BU GURU : (TERKEJUT) Oh, eh,..tidak. Siapa yang menangis? Mata ibu cuma sedikit kelilipan kok.

UPIK : Tuh kan, ibu sendiri sudah berbohong sama Upik. Berarti perempuan dan Indonesia, sama-sama tukang bohong dong…?

LAMPU PADAM
S E L E S A I


0 Response to "WANITA versus INDONESIA Ibarat SRIKANDI versus DASAMUKA"