Kisah Di Ujung Senja

 Kisah di Ujung Senja
Oleh : Faizal Harun

DI TERAS DEPAN PANTI JOMPO. TAMPAK SEORANG LELAKI TUA BERUMUR 75 TAHUN DUDUK SAMBIL MEMBACA. TUMPUKAN KERTAS YANG TERKESAN SEDIKIT USANG MENUMPUK DI ATAS MEJA. SATU-PERSATU TUMPUKAN KERTAS TERSEBUT COBA IA BACA DENGAN CERMAT. SAMBIL MENEGUK SECANGKIR TEH, MEMPERBAIKI POSISI KACAMATA, SEJENAK IA TERHENTI, MEMANDANG KE ARAH DEPAN, SEPERTI ADA SESUATU YANG SEDANG IA PERHATIKAN. KEMUDIAN PANDANGANNYA TERTUJU PADA BIRUNYA LANGIT YANG BEGITU CERAH PAGI ITU. KEMUDIAN SEORANG PENGHUNI PANTI LAIN MENDEKATINYA.

Darsiman                  :     (menepuk pundak) hei…!
Ruslan                      :     (kaget) aduh, kamu rupanya. Betapa kagetnya saya.
Darsiman                  :     kamu pasti menghayal lagi?
Ruslan                      :     sedikit. Terhenti oleh tepukanmu.
Darsiman                  :     (tertawa kecil, memandang kertas) hmm…masih sibuk dengan puisi-puisi masa lalumu rupanya.
Ruslan                      :     iya. Hanya mengingat-ingat tiap bait kata yang pernah saya tuliskan di masa lalu.
Darsiman                  :     wah…wah…wah….sudah kuduga.
Ruslan                      :     duga? Maksudnya?
Darsiman                  :     jawabanmu...
Ruslan                      :     oh, ternyata sudah sering saya ucapkan rupanya.
Darsiman                  :     iya. Beberapa hari ini saya perhatikan, kau begitu senang sekali dengan kertas-kertas ini, berlama-lama duduk di sini hanya untuk membacanya. yah…barangkali saja kau sedang merindukan sesuatu.
Ruslan                      :     entahlah. Terkadang begitu (kembali menatap langit).
Darsiman                  :     hei…! (menepuk)
Ruslan                      :     (kembali tersentak) ya…
Darsiman                  :     kamu sebenarnya memikirkan apa Ruslan? Isterimu?
Ruslan                      :     terkadang. Tapi bukan itu.
Darsiman                  :     anakmu?
Ruslan                      :     yah, terkadang juga. Tapi dia hanyalah sedikit kerinduan dalam hati, Darsiman.
Darsiman                  :     Ruslan...Ruslan…kita berdua, dan semua yang tinggal di sini jelas memiliki persoalan yang sama tentang kerinduan walaupun itu hanya sedikit. Selagi kita hidup, kerinduan itu selalu mengalir dalam perasaan kita yang semakin renta.
Ruslan                      :     tapi, hari ini kerinduanku yang paling mendalam bukan lagi pada mereka Darsiman.
Darsiman                  :     mereka? Maksudmu, isteri dan anakmu?
Ruslan                      :     yah…isteriku sudah tenang di alam sana. Sementara Rustam begitu sibuk dengan dirinya sendiri, saya fikir dia tidak punya lagi kerinduan seperti apa yang saya rasakan selama ini.
Darsiman                  :     sudah berapa lama dia tidak menjengukmu atau menghubungimu? Siapa tadi namanya?


Ruslan                      :     Rustam.
Darsiman                  :     ya, Rustam
Ruslan                      :     tidak pernah lagi.
Darsiman                  :     jadi, semenjak dia membawamu ke sini sedikitpun tidak pernah dijenguk?
Ruslan                      :     (diam sejenak) pernah. Seingat saya baru tiga kali, setelah itu tidak ada lagi.
Darsiman                  :     begitu lama.
Ruslan                      :     yah. Sudah hampir dua tahun.
Darsiman                  :     teganya anakmu Ruslan.
Ruslan                      :     hmm...semua itu adalah hukuman yang harus saya terima sebagai orang tua.
Darsiman                  :     maksudmu?
Ruslan                      :     ceritanya begitu panjang. Saya pikir kita tidak usah membahasnya,  (mengalihkan pembicaraan) bagaimana kabar anak bungsumu?
Darsiman                  :     ooo..Harmaiti. Dua hari yang lalu dia sempat menghubungi saya melalui telfon kantor Kepala Panti, keadaannya di luar negeri baik-baik saja. Sebulan lagi dia akan datang bersama suaminya menjenguk saya.
Ruslan                      :     o,ya. Syukurlah (menghela nafas).
Darsiman                  :     Herman, adiknya bertemu kekasih baru, seorang janda satu anak. Tampaknya, ia juga tidak tahan menduda terlalu lama.
Ruslan                      :     benarkah. Kapan mereka mau menikah?
Darsiman                  :     belum tahu. Mereka baru bertemu tiga Minggu yang lalu.
Ruslan                      :     mudah-mudahan saya sempat menyaksikan pernikahan anakmu nantinya, Herman.
Darsiman                  :     pasti Rus. Semoga Tuhan masih setia memberikan perhatiannya pada hidup kita yang semakin renta ini.





TIDAK BERAPA LAMA, SUNARTI DATANG MENGHAMPIRI MEREKA BERDUA.

Sunarti                      :     wah….sedang membahas apa pak. Serius sekali kelihatannya.
Darsiman                  :     ah tidak. Cuma obrolan biasa saja, maklumlah usia tua. Hanya mengingat masa-masa yang sudah lewat.
Sunarti                      :     (tertawa kecil) justru lebih bagus. Daripada memikirkan hal-hal yang tidak begitu penting.
Ruslan                      :     nak Narti, kamu selalu mengatakan itu.
Sunarti                      :     iya pak. Aku hanya ingin agar semua penghuni Panti ini selalu berada dalam keceriaan dan damai. Hal itu pasti akan datang juga untuk kita semua. Apalagi aku pak Ruslan.
Darsiman                  :     maksudmu, kematian?
Sunarti                      :     ya, barangkali saja pak Siman.
Darsiman                  :     (tertawa) Narti...Narti…kalau hal itu sudah tidak terlalu kami fikirkan lagi. Kematian itu pasti akan datang tidak, perlu ditakutkan Narti. Tadi itu, kami hanya bercerita tentang hidup yang tidak mungkin kami jemput lagi. Ya…kenangan masa-lalu.
Sunarti                      :     (tersenyum) syukurlah kalau bapak-bapak tidak berfikir macam-macam. Akupun sangat senang mendengarnya. O, ya. Apa bapak-bapak berdua sudah sarapan?
Ruslan                      :     sudah. Bubur kacang hijau dan secangkir teh, amboi…terasa nikmatnya pagi ini nak Narti.
Sunarti                      :     (tersenyum) pak Ruslan memang selalu punya kata-kata indah untuk memaknai pagi hari.
Darsiman                  :     (mereka tertawa) maklumlah mantan sang pujangga.
Ruslan                      :     (mendengar kalimat itu, Ruslan hanya senyum-senyum saja dan mengalihkan pembicaraan) eh, ngomong-ngomong. Ada apa nak Narti, sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu kabarkan.
Sunarti                      :     oya, hampir lupa. Begini pak Ruslan (Narti Memandang Darsiman).
Darsiman                  :     baiklah. Mata itu begitu memberikan isyarat sesuatu. kalau begitu saya ke dalam dulu.
Ruslan                      :     terima-kasih Siman.
Darsiman                  :     sama-sama, nanti kalau sudah selesai jangan lupa memanggil saya, obrolan kita masih belum selesai. Mari nak Narti, saya ke dalam dulu.
Sunarti                      :     ya, pak.
Ruslan                      :     ada berita apa nak Narti?
Sunarti                      :     begini pak Ruslan. Tadi saya diberitahu sama Ibuk kepala kalau anak bapak, Rustam mau datang ke sini menjenguk. makanya saya diminta untuk menyampaikannya ke sini.
Ruslan                      :     (sedikit kesal) buat apa dia datang kemari?
Sunarti                      :     saya juga tidak tahu pasti pak Ruslan. Barangkali saja ada hal yang begitu penting.
Ruslan                      :     bersama isterinya?
Sunarti                      :     itu juga belum pasti pak. Mungkin saja dia datang bersama isterinya. Saya harap agar bapak mau meluangkan waktu untuknya.
Ruslan                      :     (diam sejenak) sudah hampir dua tahun dia tidak melihat saya, apalagi menanyakan keadaan saya di sini. Sungguh sesuatu yang di luar dugaan. hmm..kapan dia mau ke sini nak Narti?
Sunarti                      :     katanya hari ini pak. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu, barangkali dia juga rindu sama bapak. Sekarang dia sudah diperjalanan menuju ke sini.
Ruslan                      :     rindu? (tertawa kecil) kalau dia punya kesadaran memiliki bapak seperti saya. Dia bisa datang kapan saja. Apalagi jarak rumahnya dengan panti tidak begitu jauh. Tapi baiklah nak Narti, terima-kasih sudah mau mengabarkan pada saya.
Sunarti                      :     sama-sama pak. Saya  berharap kedatangan Rustam tidak menambah penderitaan bapak, dulu waktu dia ke sini selalu saja dihadapkan dengan pertengkaran-pertengkaran.
Ruslan                      :     ah, itu hanya pertengkaran kecil saja. Banyak yang tidak dia pahami tentang diri saya sebenarnya. Apalagi semenjak menikahi perempuan kaya itu Rustam tidak pernah bertemu dengan saya hampir dua puluh tahun. Ketika tinggal di rumahnya, saya perhatikan Rustam terlalu diatur sedemikian rupa oleh isterinya. Sebagai kepala rumah tangga, dia salah karena begitu takut pada isteri. Barangkali itu juga alasan kenapa ia tidak pernah lagi menemui saya ke sini atau kebenciannya kembali kambuh sehingga ia malas datang menjenguk saya. Tapi, saya sudah terlanjur senang tinggal di sini nak Narti, walaupun tidak dijenguk sekalipun.
Sunarti                      :     sudahlah pak Ruslan. Jangan terlalu berprasangka tidak baik dulu. Mudah-mudahan kedatangan Rustam hari ini dapat memperbaiki semuanya, termasuk hubungan bapak dengannya.
Ruslan                      :     ya. Mudah-mudahan saja begitu nak Narti. 
Sunarti                      :     baiklah pak Ruslan. Mungkin bapak mau bercerita lagi sama pak Darsiman. Saya pamit dulu, karena ada tugas lain yang harus saya kerjakan.
Ruslan                      :     baiklah nak Narti. Kamu memang perempuan yang baik. Seandainya kamu yang menjadi menantu saya, alangkah indahnya kehidupan di Panti ini.
Sunarti                      :     (tersenyum) ah, bapak Ruslan ini ada-ada saja (pergi, sementara mata Ruslan terus memandang kepergian Sunarti).

RUSLAN SEJENAK MELAMUN. DARSIMAN KELUAR MEMBAWA SEPIRING ROTI DAN SECANGKIR TEH HANGAT. MELIHAT RUSLAN MELAMUN, DARSIMAN BERUSAHA MENYADARKANNYA KEMBALI.

Darsiman                  :     hei !…dasar penghayal gaek.
Ruslan                      :     (tersentak dari lamunannya) hmm…sampai kapan kamu berhenti mengagetkan saya Siman.
Darsiman                  :     ya, sampai kamu benar-benar berhenti punya kebiasaan melamun. Ini saya bawakan roti, makanlah. Eh, ke mana Sunarti?
Ruslan                      :     dia kembali bekerja.
Darsiman                  :     wajahmu agak sedikit murung Rus. Apa berita yang disampaikan Sunarti kurang menyenangkan hatimu?
Ruslan                      :     tidak apa-apa. Dia cuma menyampaikan, kalau hari ini anakku Rustam akan datang ke sini menjengukku.
Darsiman                  :     aneh. Padahal baru tadi kita sempat membahasnya. Syukurlah, kalau dia mau datang.
Ruslan                      :     (menarik nafas panjang, mengalihkan persoalan) kamu mungkin ingin tahu, kenapa beberapa hari ini saya sering duduk di sini bersama kertas-kertas usang ini.
Darsiman                  :     Sebenarnya saya juga penasaran. Karena selama ini kau sering mengurung diri di kamar. Jarang berkomunikasi apalagi duduk di sini. Cuma saya saja yang agak nyinyir untuk mengajakmu bercerita. Kelakuanmu  beberapa hari ini sedikit membingungkan.
Ruslan                      :     yakin?
Darsiman                  :     yakin sekali Ruslan, saya benar-benar ingin tahu.
Ruslan                      :     baiklah, saya akan menceritakannya. Sekarang coba kamu perhatikan perempuan itu.
Darsiman                  :     perempuan yang mana?
Ruslan                      :     itu, perempuan yang sedang membaca.
Darsiman                  :     membaca? Seusia kita, atau masih gadis? (tertawa)
Ruslan                      :     ya, jelas sudah tua Darsiman. Mana ada gadis muda mau tinggal di sana, kamu ini ada-ada saja. Coba kamu perhatikan dengan seksama.
Darsiman                  :     (memperhatikan dengan cermat) saya melihat ada empat perempuan di sana.
Ruslan                      :     tapi ada satu orang yang sedang membaca kan…
Darsiman                  :     iya, saya melihatnya walaupun sudah begitu tua tapi mata saya ini belum rabun Ruslan. Memangnya ada apa?
Ruslan                      :     benar kamu ingin tahu ceritanya?
Darsiman                  :     (tertawa) kamu pasti jatuh cinta lagi ya....gaek..
Ruslan                      :     jangan bercanda. Saya serius, kamu mau dengar apa tidak?
Darsiman                  :     iya..iya…tentu. saya sangat ingin sekali mendengarnya.
Ruslan                      :     Siman. Untuk kamu ketahui, perempuan itulah yang menyebabkan saya begitu betah untuk duduk di sini. Membawa kertas-kertas usang ini, berharap ingin membaca langsung di hadapanya. Untuk membuktikan kalau saya menulis banyak kisah tentang dirinya.
Darsiman                  :     setahu saya, perempuan itu baru masuk panti ini.
Ruslan                      :     ya, dua Minggu yang lalu.
Darsiman                  :     siapa perempuan itu sebenarnya Ruslan?
Ruslan                      :     dia adalah perempuan yang pernah mengisi hati saya lima puluh tahun yang lalu.
Darsiman                  :     (kaget) apa? Lima puluh tahun yang lalu?
Ruslan                      :     ya. Lima puluh tahun yang lalu.
Darsiman                  :     wah, sungguh menakjubkan sekali. Sebuah kisah yang sulit sekali untuk saya pahami. Begitu lama sekali Ruslan.
Ruslan                      :     begitulah. Di saat itu, usia saya baru menginjak dua puluh lima tahun. Sementara dia baru berusia dua puluh tahun.
                                       Kami berdua sama-sama tinggal di desa.
Darsiman                  :     kamu yakin Rus?
Ruslan                      :     iya. Saya ingat dan sangat yakin kalau dia adalah perempuan yang pernah hadir dihati ini. Terkadang melihat kondisi saya hari ini Siman. Sepertinya saya sangat ingin untuk kembali ke masa lalu, mencoba memperbaiki semua kesalahan besar yang pernah saya lakukan.
Darsiman                  :     masa lalu hanyalah kenangan Rus, sementara hidup adalah hari ini dan hari esok.
Ruslan                      :     (sedikit tersenyum) hmm..entahlah, terkadang keinginan itu terlintas begitu saja. Mengajakku untuk kembali pada kisah-kisah yang pernah saya lewati. Tapi dia tidak pernah mengetahui isi hati saya sebenarnya, karena waktu terlalu cepat untuk memisahkan kisah-kisah itu. Kisah-kisah yang belum sempat saya nyatakan. Begitu bodohnya saya waktu itu Siman.
Darsiman                  :     begitu berartikah perempuan itu? Sehingga kau begitu sabar menunggu sapaannya di pagi hari.
Ruslan                      :     ya. Perempuan itu sangat berarti sekali bagiku. Kamu lihat semua puisi-puisi ini (memberikan beberapa puisi) Di situ kamu akan tahu bahwa semua puisi-puisi itu bercerita tentang dirinya. Matanya begitu tajam Siman, menusuk hati sehingga aku begitu sulit untuk melupakannya.
Darsiman                  :     (sambil membaca) wah, sangat bagus dan indah sekali kata-katamu Ruslan. Lalu, kenapa kalian sampai akhirnya bisa berpisah?
Ruslan                      :     itulah kesalahan terbesar yang pernah saya lakukan. Sebuah kesalahan yang sangat sulit sekali untuk dimaafkan. Padahal sayapun belum yakin, apakah dia mau menerima saya waktu itu. Ayahnya seorang pedagang kaya dikampung kami, sementara saya hanyalah seorang anak petani yang miskin. Kedua orang tua saya memiliki lahan kecil dilereng perbukitan,  lahan tersebut ditanami kopi.  Setiap panen kami selalu menjual ke toko di depan rumahnya. Sayalah yang selalu disuruh bapak untuk mengantar kopi hasil panen ke tokonya. Itulah awal pertemuan saya dengan Hasnah Lailatul Binti Burhan. Seorang gadis yang begitu cantik, rambutnya selalu dikepang dua. Saya langsung jatuh cinta begitu pertama kali memandangnya, apalagi matanya. Itulah awal saya mulai menulis puisi tentang Hasnah Siman. Sejak itu, saya begitu haus ingin bertemu dan bercengkerama apalagi membacakan puisi-puisi ini langsung dihadapannya. Setelah bertemu sekitar seminggu yang lalu rasanya tubuh ini menjadi gemetar, dia sempat memandang lama. Tapi saya langsung mengalihkan perhatian, oh…begitu takutnya saya Siman. Matanya….memang sulit untuk melupakan cinta pertama. Apa kamu pernah pernah merasakan hal yang sama?
Darsiman                  :     hmm…sudah tua, tapi hatimu begitu remaja hari ini Ruslan. Semua orang pasti pernah mengalami cinta pertama, apalagi saya. Saya mantan pejuang kemerdekaan, pernah bertemu dengan seorang gadis di masa gerilya. Dia seorang perawat. Paha saya pernah tertembak oleh serdadu Belanda, dialah gadis yang merawat saya waktu itu. Setelah sembuh, saya kembali menemuinya, menyatakan isi hati dan langsung melamarnya. Dia hanya menangis Ruslan, setelah saya tanya kenapa dia menangis dia akhirnya menjawab kalau dia sudah ditunangkan oleh orang tuanya dengan saudagar Cina yang kaya. Saya sempat menghadiri pernikahannya. Setelah itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan dia. Tapi mendengar ceritamu, sungguh sebuah kisah terpendam yang belum pernah terungkapkan. Beruntung, kamu masih bisa bertemu dengan Hasnah, perempuanmu di masa lalu.
Ruslan                      :     itulah kesalahan terbesar yang pernah saya lakukan. Konyol sekali, saya tidak pernah mengungkapkan isi hati padanya. Padahal, ia sempat tersenyum waktu itu. Hampir tiap hari saya menunggunya dipertigaan jalan desa, kalau tidak salah waktu itu dia mau lulus sekolah. Saya pura-pura memperbaiki rantai sepeda Onthel berharap ia mau menghampiri dan berkenalan dengan saya. Begitu penakutnya saya sebagai laki-laki, untuk menyatakannya saja saya tidak berani. Ia lewat, dan hanya tersenyum. Sudah banyak puisi-puisi tentangnya saya tulis, tetapi sekalipun belum pernah bertemu secara langsung apalagi berkata-kata. Tiga hari setelah itu, saya kembali menunggu dipertigaan jalan desa itu, ternyata dia tidak pernah lagi melewati jalan tersebut.
Darsiman                  :     kenapa?
Ruslan                      :     karena mereka sekeluarga sudah pindah ke kota. Saya tanya ke tetangga di sebelahnya, kira-kira alamat mereka di kota di mana, mereka semua tidak ada yang tahu. Semenjak itu saya tidak pernah lagi bertemu dengan Hasnah Lailatul Binti Burhan. Sudah hampir lima puluh tahun.          
Darsiman                  :     katamu, dia pedagang kaya di desa. Tetapi kenapa mereka harus pindah ke kota?
Ruslan                      :     ada yang bilang rumahnya itu sudah dijual untuk kebutuhan usaha lain di kota. Karena Hasnah termasuk gadis pintar di sekolah, ayahnya berharap agar dia bisa masuk Perguruan Tinggi ternama di kota. Mereka sekeluarga akhirnya pindah.
Darsiman                  :     begitulah kehidupan, sesuatu yang sangat sulit untuk dibayangkan apalagi dikenang.
Ruslan                      :     ya, begitulah. Namun, sebelum ajalku datang, untuk terakhir kalinya saya ingin menyatakan langsung dihadapannya Siman.
Darsiman                  :     jangan lupa Ruslan, isterimu telah tiada. Sementara anakmu Rustam hari ini akan datang menjengukmu. Jangan gara-gara perempuanmu di masa lalu, sehingga kamu melupakan kasih sayang istri apalagi anakmu, Rustam.
Ruslan                      :     isteriku adalah perempuan yang begitu baik dan penyayang. Umur saya tiga puluh enam tahun ketika menikahinya.  Cintanya jelas tidak akan bisa tergantikan oleh yang lain, tetapi semenjak dia meninggal karena kecelakaan, Rustam begitu membeci saya karena tidak hadir pada pemakaman ibunya.
Darsiman                  :     kenapa kamu tidak menghadiri pemakaman isterimu?
Ruslan                      :     itu juga adalah kesalahan terbesar yang pernah saya lakukan terhadap almarhum isteri saya. Begitu cintanya saya pada pekerjaan sebagai wartawan, terkadang saya jarang pulang. Saya hampir menghabiskan waktu untuk memburu berita dan tidur dikantor. Terkadang saya pulang hanya mengantar uang gaji bulanan, setelah itu saya kembali sibuk dengan diri saya sendiri. Dia begitu sabar menghadapi saya sebagai suami, tidak pernah terlintas difikirannya untuk mencurigai apa yang sedang saya lakukan di luar. Berkat dia juga, akhirnya Rustam dapat menyelesaikan kuliah di Perguruan Tinggi dan bekerja perusahaan swasta. Saya adalah Suami yang mengacuhkan seorang isteri dan kurang berkomunikasi dengan Rustam, anak saya sendiri. Suatu ketika saya pernah ditugaskan oleh pimpinan untuk menghadiri seminar Jurnalistik di Sumatera, setelah dua hari di sana saya dikabari panitia acara kalau isteri saya meninggal dunia karena kecelakaan. Badan saya langsung lemas mendengar kabar itu, tanpa fikir panjang saya langsung ke Bandara untuk kembali ke Jakarta. Tapi tiket untuk penerbangan sore itu telah habis, saya harus menunggu penerbangan esok harinya. Setelah sampai di Jakarta, saya melihat rumah begitu sepi. Para tetangga memandang saya sambil menggelengkan kepala, ketika saya tanya ke mana almarhumah isteri dan anak saya, mereka menjawab ke Boyolali. Astaga…saya kembali berfikir sempatkah saya menghadiri pemakaman almarhumah isteri saya? Saya langsung ke stasiun dan berangkat ke Boyolali, kampung isteri saya. Setelah sampai di sana, saya hanya mendengar pengajian di sore harinya. Saya tidak sempat memandang wajah almarhumah isteri saya karena sudah dikuburkan. Dikuburannya, saya menangis dan berteriak sekuat-kuatnya. Rustam begitu benci terhadap apa yang telah saya lakukan. Saya berusaha menjelaskan padanya, tetapi ia tidak pernah memahami. Itulah kenapa Rustam begitu membeci saya Siman.
Darsiman                  :     Akhirnya kau menceritakan juga tentang itu. Maafkan saya atas pertannyan tadi....
Ruslan                      :     tidak apa-apa, (begitu sedih) hmm….apa yang dilakukan Rustam terhadap diri saya sangat setimpal. Semenjak kejadian itu, saya berhenti menjadi wartawan. Saya hanya menulis dan menulis….hidup saya menjadi tidak karuan Siman. Mabuk…menulis….mabuk dan kembali menulis begitulah seterusnya, saya telah menghukum diri seberat-beratnya karena peristiwa itu. Rustam menikah tanpa sepengetahuan saya, dia tidak mau lagi bertemu dengan saya, hampir dua puluh tahun dia membeci saya. Setelah itu, saya seperti orang gila karena dihantui oleh kesalahan-kesalahan. Saya hidup begitu terlantar, menjadi gelandangan, mengemis, mengais-ngais makanan sisa di pasar. Hanya kertas-kertas inilah yang selalu saya bawa dan tidur bersamanya diemperan-emperan toko.
Darsiman                  :     lalu kenapa dia bisa membawamu kemari?
Ruslan                      :     itupun hanya sebuah kebetulan. Sekitar tiga tahun yang lalu, saya sempat mengemis diperempatan jalan. Seorang laki-laki yang hampir berumur lima puluh tahun memberikan uang seribu rupiah. Lalu ia berjalan, tidak berapa kemudian langkahnya terhenti dan kembali mendekati saya. Saya begitu lupa wajahnya waktu itu karena penampilannya seperti orang kaya. Dia memperhatikan wajah saya dengan cermat, akhirnya dia menangis dan memeluk saya sekuat-kuatnya. Orang-orang berkerumunan ingin menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut. Saya sempat tinggal di rumahnya hampir enam bulan, mungkin karena isterinya tidak begitu menyukai kehadiran saya. Akhirnya, saya dibawa ke panti ini.
Darsiman                  :     sudahlah Ruslan, mudah-mudahan kedatangan anakmu hari ini sangat berarti dalam kesendirianmu selama ini. Sebagai seorang sahabat, kamu adalah lelaki yang tegar menjalani hidup dalam kesendirian. Tanpa kasih sayang apalagi dicintai.
Ruslan                      :     tapi Siman, Tuhan masih memberikan kesempatan untuk menghapus kesendirian saya atas nama cinta. Dalam doa, saya telah meminta izin pada almarhumah isteri dan anak saya.
Darsiman                  :     maksudmu, kehadiran Hasnah di panti ini.
Ruslan                      :     ya. Dipenghujung usia ini, saya hanya ingin merasakan kebahagiaan untuk terakhir kalinya dengan cara mengungkapkan isi hati saya pada Hasnah Lailatul Binti Burhan.
Darsiman                  :     (tersenyum) baiklah. Kalau memang itu yang akan membuatmu tenang dan bahagia, saya harap hari ini juga kau harus mengungkapkannya. Jangan hanya menunggu di teras ini saja Ruslan.
Ruslan                      :     kamu lihat...
Darsiman                  :     apa?
Ruslan                      :     matanya.
Darsiman                  :     kenapa dengan matanya, Ruslan.
Ruslan                      :     mata yang indah, menatapnya terasa usia ini tidak lagi aku pedulikan.
Darsiman                  :     dasar.....(melangkah ke luar).
Ruslan                      :     eh, kamu mau ke mana?
Darsiman                  :     ke tempatnya...
Ruslan                      :     maksudmu?
Darsiman                  :     iya, aku mau melihatnya dari dekat.....ingin membuktikan, apa benar semua yang kamu katakan.
Ruslan                      :     jangan...jangan...nanti dia malah curiga.
Darsiman                  :     tidak apa-apa, hanya sebentar (langsung ke luar).
Ruslan                      :     aduh, sialan....bagaimana ini, (gelisah, mulai mondar-mandir) astaga! Mereka bercerita...... mudah-mudahan lancar-lancar saja. (lalu duduk, pura-pura sibuk dengan kertas puisi).
Darsiman                  :     (datang buru-buru mendekati Ruslan) puji Tuhan Ruslan....
Ruslan                      :     ada apa Siman?
Darsiman                  :     memang benar apa yang kamu katakan.
Ruslan                      :     matanya?
Darsiman                  :     sungguh menakjubkan, senyumnya begitu ramah menjawab sapaan saya.
Ruslan                      :     bagaimana matanya? Apa menurutmu saya berbohong tentangnya?
Darsiman                  :     tidak salah lagi, mudah-mudahan saja wanita itu benar-benar kisah masa lalumu, Ruslan.
Ruslan                      :     (menegaskan) bukan mudah-mudahan, tapi benar kalau dia adalah Hasnah Lailatul Binti Burhan.


TIDAK BERAPA LAMA KEMUDIAN, SUNARTI DATANG MENGHAMPIRI MEREKA BERDUA.

Sunarti                      :     maaf pak Ruslan. Rustam telah datang.
Ruslan                      :     terima-kasih nak Narti. Suruh saja dia ke sini, saya juga sudah menunggunya.
Sunarti                      :     kalau begitu, dia saya panggil dulu. (Pergi).
Darsiman                  :     sebaiknya saya jalan-jalan dulu Ruslan, sangat tidak baik mendengar pembicaraanmu dengan Rustam.
Ruslan                      :     baiklah Siman, terima-kasih banyak sudah mau mendengar cerita saya.
Darsiman                  :     sama-sama, kalau begitu saya pergi dulu. (Ruslan hanya mengangguk, akhirnya Darsiman pergi).

TIDAK BERALA LAMA DARSIMAN PERGI, KEMUDIAN RUSTAM DATANG MENGHAMPIRI RUSLAN. BERSALAMAN DAN MEMELUK BAPAKNYA. NAMUN RUSLAN AGAK BEGITU DINGIN MENGHADAPI KEHADIRAN ANAKNYA.

Ruslan                      :     baru datang?
Rustam                     :     ya, tadi macetnya lama sekali.
Ruslan                      :     mmm…(menyindir) begitu jauh juga rupanya perjalanan….apalagi macet.
Rustam                     :     (langsung mendekati) maaf pak, sudah lama sekali saya tidak datang untuk menjenguk.
Ruslan                      :     duduklah. Kenapa harus berdiri.
Rustam                     :     saya sangat senang bisa menemui bapak hari ini.
Ruslan                      :     syukurlah kalau kamu masih mau datang. Bapak fikir kamu sudah lupa.
Rustam                     :     mana mungkin saya lupa pak. Saya selalu membayar semua kebutuhan bapak selama di sini.
Ruslan                      :     uang, hanya itu?
Rustam                     :     maksud saya bukan itu. Begitu banyak kendala yang harus saya hadapi untuk bisa datang menjenguk bapak, terutama masalah pekerjaan di kantor.
Ruslan                      :     o, begitu. Kebencianmu begitu setimpal dengan apa yang harus bapak alami sekarang. Karena dulu bapak juga memperlakukan kalian seperti itu.
Rustam                     :     saya harap, bapak tidak mengeluarkan kata-kata itu lagi. Saya sudah melupakan semuanya, termasuk apa yang bapak lakukan sama ibu. Saya datang ke sini bukan untuk bertengkar, tetapi mencoba memperbaiki semuanya.
Ruslan                      :     kalau kamu memang sudah melupakannya, seharusnya kamu datang berkali-kali untuk melihat keadaan bapak. bapak tidak butuh biaya Panti ini, bapak tidak butuh belas kasihan dari kamu, tapi yang bapak butuh adalah kasih sayang seorang anak terhadap bapaknya, hanya kamu anak bapak satu-satunya Rustam.
Rustam                     :     untuk itulah saya datang hari ini pak, dosa saya begitu besar sama bapak selama ini. Saya telah salah memahami arti kasih sayang bapak selama ini. Bapak tidak salah, bapak sudah melakukan hal yang terbaik untuk saya dan ibu. Hampir dua puluh tahun saya mencoba memahaminya, setelah bertemu dengan bapak waktu itu barulah saya menyadari dan ingin memperbaiki segalanya.
Ruslan                      :     kenapa isterimu tidak datang bersamamu?
Rustam                     :     semalam saya sempat bertengkar dengannya.
Ruslan                      :     kenapa? Karena kamu menjenguk bapak?
Rustam                     :     yah. Dia minta cerai kalau seandainya bapak saya bawa ke rumah lagi.
Ruslan                      :     mmm…dia minta cerai kalau bapak berada di rumah kalian. Aneh juga isterimu, melihat muka bapak seperti setan saja, ingin mengganggu keutuhan rumah-tangga kalian. bapak sudah menduga sebelum kamu mengantar kemari. Isterimu adalah perempuan yang tidak baik Rustam. Syukurlah, sampai hari ini kamu masih bisa bertahan hidup dengannya.
Rustam                     :     sebenarnya saya ingin membawa bapak pulang dan tinggal bersama. Walaupun saya harus bercerai dengan isteri saya. Dia terlalu mengatur hidup saya,  sudah lama saya menunggu kesempatan ini pak.
Ruslan                      :     keinginanmu itu sudah terlambat Rustam, bapak sudah terlanjur betah di sini. Sebaiknya kamu lupakan saja hal itu. Kembalilah pada isterimu, barangkali saja dia punya pertimbangan lain kenapa bapak tidak diizinkan untuk tinggal bersama kalian. Bapak juga tidak mengenal secara mendalam siapa isterimu sebenarnya tapi sekarang dia adalah isterimu. Kalian saling mencintai, jangan karena kehadiran bapak sehingga keluarga kalian jadi berantakan, kebahagiaan kalian adalah kebahagiaan bapak juga. Asal kamu mau memaafkan kesalahan bapak.
Rustam                     :     itu kan, bapak mengulanginya lagi. Sudah lama saya maafkan. Justru sekarang saya yang minta maaf sama bapak.
Ruslan                      :     untuk apa? Kamu tidak salah Rustam.
Rustam                     :     kalau begitu, izinkan saya untuk membawa bapak kembali pulang ke rumah.
Ruslan                      :     itu tidak perlu, kalau kamu mau, kamu bisa setiap saat menjenguk bapak ke sini. Tergantung bagaimana kamu bisa meyakinkan isterimu, kalau bapak tidak seperti yang dia bayangkan. Bapak hanya seorang lelaki desa, belajar di kota, menjadi wartawan, dan menikahi ibumu itu saja. Bapak orang baik-baik, bukan seorang kriminal Rustam, semua terserah padamu. Tapi untuk kembali ke rumah kalian, jelas bapak tidak bisa. Karena bapak sudah memiliki kehidupan di sini dan bapak tenang di sini. Nanti kamu akan tahu juga dengan sendirinya. Kalau nanti kamu berkunjung lagi jangan lupa bawa isterimu.
Rustam                     :     baiklah. Nanti saya coba membahasnya di rumah.
Ruslan                      :     kekayaan tidak ada gunanya Rustam, hidup ini hanya sementara, kalian berdua juga akan menjadi tua, sama seperti penghuni panti ini. Kalau malaikat maut sudah datang, maka hidup tidak lagi berarti apa-apa.
Rustam                     :     ya, pak saya mengerti pak. O, ya…bagaimana keadaan bapak sekarang ini?
Ruslan                      :     seperti yang kamu lihat hari ini, begitulah keadaan bapak.
Rustam                     :     maksud saya, kesehatan bapak.
Ruslan                      :     oo..itu. (senyum) Sekarang bapak agak sedikit deman Rustam.
Rustam                     :     maksudnya?
Ruslan                      :     apa kamu tidak melihat kalau wajah bapak agak sedikit pucat hari ini?
Rustam                     :     tidak. Wajah bapak ceria sekali kelihatannya.
Ruslan                      :     kalau kamu sudah tahu, untuk apa kamu menanyakannya. Ada-ada saja kamu ini, mau basa-basi segala.
Rustam                     :     (sedikit tersenyum) syukurlah pak. Saya sangat senang sekali mendengarnya. Nanti kalau ada sesuatu yang ingin bapak sampaikan, kabarkan saja sama ibuk kepala Panti biar dia bisa menelfon saya.
Ruslan                      :     baiklah.
Rustam                     :     Kalau begitu saya pamit dulu soalnya nanti sore saya harus meghadiri rapat lagi di kantor.
Ruslan                      :     ya. Hati-hati saja di jalan.
Rustam                     :     baik pak, saya pamit dulu (berdiri dan mencium tangan bapaknya, lalu pergi).

RUSLAN TERUS MEMANDANG KEPERGIAN RUSTAM, SETELAH ITU MATANYA KEMBALI TERTUJU PADA SESEOARANG YANG BERADA AGAK JAUH DI DEPANNYA, MEMPERBAIKI KACA-MATA AGAR PANDANGANNYA TERLIHAT AGAK LEBIH JELAS. DIA TERSENYUM, DAN KEMBALI MEMBACA KERTAS-KERTAS PUISI DI ATAS MEJA.

Ruslan                      :     (membaca bait puisi) gadis, masihkah kau ingat tentang garis putih yang kau goreskan pada senja tatkala mentari meredupkan mata sehingga malam-pun sepertinya sangsi menyapa kita namun kau tak pernah berhenti, gadis… kisah itu terus saja mengalir menuju waktu. Goresanmu adalah nafas yang tak pernah usang, garis putihmu tak lagi menjadi senja, tapi asa…….(ia berhenti dan terdiam)

SEORANG PEREMPUAN BERDIRI TEPAT DIHADAPANNYA. MATA RUSLAN YANG AWALNYA TERTUNDUK MENCOBA MEMANDANG KE ARAH PEREMPUAN TERSEBUT. BETAPA KAGETNYA RUSLAN, TERNYATA DI DEPANNYA ADALAH HASNAH LAILATUL BINTI BURHAN, SEORANG PEREMPUAN YANG PERNAH MENGISI HATINYA LIMA PULUH TAHUN YANG LALU.

Hasnah                     :     maaf. Kalau kehadiran saya agak sedikit mengganggu.     
Ruslan                      :     (sedikit gugup, sambil memperbaiki kertas-kertas puisinya) ti..ti..dak a..a..apa-a..apa. Mmm…apa ada yang bisa saya bantu? Eh, duduklah. Berdiri saja  o..o..o...duduk saja, mm..mm..silahkan.
Hasnah                     :     baiklah. Terima-kasih.
Ruslan                      :     mm..mm…apakah kita pernah bertemu sebelumnya.
Hasnah                     :     entahlah. (melihat tumpukan kertas) apa itu?
Ruslan                      :     oh, ini…(berusaha membalikkan kertas) tidak. Hanya kertas biasa.
Hasnah                     :     kertasnya sudah lama sekali kelihatannya.
Ruslan                      :     (sedikit tertawa) ya…kertas usang, sudah lama sekali. Sudah hampir lima puluh tahun saya simpan.
Hasnah                     :     sambil membaca di sana, saya juga sering memperhatikan ke mari. Mata saya masih begitu sehat, walau tubuh ini agak terasa sangat tua sekali.
Ruslan                      :     ya. Saya memang tiap pagi memang suka duduk di sini. Terkadang Darsiman selalu mengajak saya untuk bercerita.
Hasnah                     :     sudah lama di sini?
Ruslan                      :     yah..lumayan juga. Sudah hampir dua tahun lamanya.
Hasnah                     :     hm…saya penghuni baru di Panti ini. Pertama di sini, saya juga senang membaca di teras sana.
Ruslan                      :     e..e..e..ya. saya juga pernah melihatnya. Kalau tidak salah…
Hasnah                     :     saya baru dua Minggu di sini.
Ruslan                      :     e..e..yaa? ooo..sangat baru sekali. Mmm... Kenapa bisa berada di Panti ini?
Hasnah                     :     anak laki-laki saya bekerja sebagai Pilot, sementara isterinya direktur perusahaan swasta. Karena takut kalau ada apa-apa di rumah, saya akhirnya diajak di sini sama mereka. Saya sangat mengerti kesibukan mereka berdua dan bersedia diajak ke Panti ini.
Ruslan                      :     kenapa mereka tidak …e..e..menyewa pembantu saja.
Hasnah                     :     semenjak menikah, mereka memang tidak pernah menyewa pembantu.
Ruslan                      :     anak-anak mereka?
Hasnah                     :     itulah…sampai saat sekarang mereka berdua masih belum dikaruniai seorang anak. Tidak apa-apa, sepertinya   mereka berdua sangat bahagia menjalani hidup seperti itu. Mm…boleh saya tahu nama anda?
Ruslan                      :     e..e..e..nama?
Hasnah                     :     ya. Nama.
Ruslan                      :     (mengulurkan tangan) Rus...lan.
Hasnah                     :     Hasnah.
Ruslan                      :     (Menatap lama) Hasnah, sudah lama sekali….
Hasnah                     :     (sedikit heran) maksudnya?
Ruslan                      :     (sadar kembali) e..e..e..bukan, mmm….maksud saya Darsiman. Katanya tadi dia cuma keluar sebentar, saya ada titip sesuatu yang harus dia beli.
Hasnah                     :     ooo…, tadi kalau tidak salah namanya, Ruslan ya?
Ruslan                      :     ya. Ruslan Palito Alamsyah, itu nama lengkap saya.
Hasnah                     :     Ruslan (berfikir sejenak) mmm…sepertinya nama itu pernah saya dengar.
Ruslan                      :     wah. Kalau yang bernama Ruslan memang banyak sekali….e..e..e..
Hasnah                     :     panggil saja saya Hasnah.
Ruslan                      :     ya, baiklah. Hasnah, maaf saya agak sedikit gugup.
Hasnah                     :     (sedikit tertawa) masa bertemu dengan perempuan tua seperti saya harus gugup segala. Seperti anak muda sedang kasmaran saja…boleh saya panggil bang Ruslan.
Ruslan                      :     boleh saja. Entahlah, tiba-tiba saja begitu. Mungkin karena baru pertama bertemu. Makanya agak sedikit gugup, dulu waktu Sunarti pertama kali mengantar saya ke asrama juga begitu.
Hasnah                     :     oh, begitukah. Atau kehadiran saya agak sedikit mengganggu konsentrasi bang Ruslan membaca?
Ruslan                      :     tidak..tidak…tidak sama sekali. Justru saya senang bisa bicara dengan anda, mmm..maksud saya Hasnah.
Hasnah                     :     terima-kasih sekali. Saya juga senang mengobrol, ketika tadi saya mendengar bang Ruslan baca puisi, saya langsung ke sini. Karena saya juga sangat senang dengan puisi.
Ruslan                      :     (terdiam lama, lalu berdiri bicaranya sendiri dengan nada suara agak pelan). Dia senang dengan puisi. Ya Tuhan….kenapa harus sekarang. Kenapa tidak dari dulu, oh..betapa bodohnya saya.
Hasnah                     :     dulu waktu masih sekolah saya pernah tinggal di desa, bapak saya seorang pedagang kopi.
Ruslan                      :     (pelan) Astaga…tidak salah lagi, itu memang dia….
Hasnah                     :     waktu itu, kami sering membeli hasil panen kopi sama seorang petani di desa. Waktu itu ayah saya pernah menyebut nama Ruslan, dia anak petani yang selalu mengantar hasil panennya ke rumah saya….
Ruslan                      :     (Pelan) Ya, Tuhan….matanya…
Hasnah                     :     lucunya…dia selalu memperhatikan saya….terkadang ayah saya hanya geleng-geleng kepala melihat Ruslan bertingkah seperti itu.
Ruslan                      :     (Pelan) Tuhan, dia tahu juga….
Hasnah                     :     dia juga pernah pura-pura memperbaiki rantai sepeda Onthel-nya dipertigaan jalan desa. Saya tahu, kalau dia itu sangat ingin bertemu dan mengobrol dengan saya. Sebagai perempuan desa waktu itu, saya agak malu untuk memulainya dan saya pikir lelaki itu juga sangat gugup untuk menyapa saya, tapi saya masih sempat tersenyum kalau dia memandang. Maklumlah, gadis remaja. Setelah dewasa baru saya menyadari kalau itu adalah pandangan seorang laki-laki yang begitu tulus.
Ruslan                      :     (menarik nafas, dan mulai berusaha untuk tenang) setelah dewasa, apa kamu masih sempat berfikir untuk bertemu kembali dengan lelaki itu?
Hasnah                     :     ayah dan ibu sangat peduli dan disiplin sekali dengan pendidikan saya, sehingga akhirnya kami sekeluarga pindah ke kota. Saya kuliah di perguruan Tinggi ternama di kota. Memang, pernah terlintas untuk bisa kembali ke desa untuk bertemu dengan….
Ruslan                      :     Ruslan…
Hasnah                     :     ya, Ruslan. Barangkali saja dia ingin mengatakan sesuatu.
Ruslan                      :     (antusias) kenapa tidak kamu lakukan, Hasnah?
Hasnah                     :     itu tidak mungkin. Karena keluarga kami telah menjual semuanya. Saya dijodohkan ayah dengan pengusaha kaya dari Bukittinggi. Dia suami yang berwatak keras tapi hatinya sangat baik. Semenjak itu saya mulai berfikir untuk melupakan semua kenangan di desa, termasuk melupakan lelaki baik yang sering menatapku di masa remaja.   
Ruslan                      :     (tersenyum) saya juga begitu. Eh, maksud saya, sebuah kisah yang unik juga, he..he..he…sudah tua kok seperti anak ingusan saja.
Hasnah                     :     (tertawa kecil) lucu juga ya. Tua-tua begini masih bercerita tentang cinta. Hmmbicara cinta ternyata memang tidak mengenal usia. Boleh saya tahu juga tentang bang Ruslan?
Ruslan                      :     mmm...saya juga anak seorang petani dari desa. Waktu muda saya juga pernah mengalami hal yang sama seperti yang Hasnah ceritakan. Karena ingin jadi anak yang berhasil, sayapun diizinkan orang tua untuk belajar di kota. Karena rajin menulis, saya ditawari bekerja disebuah surat kabar. Akhirnya ya….jadi wartawan. Setelah itu saya bertemu dengan seorang  perempuan yang akhirnya menjadi isteri saya, dia melahirkan seorang anak laki-laki yang kami beri nama Rustam. Hm…saya memiliki masa lalu yang begitu kacau. Setelah isteri saya meninggal, Rustam begitu membeci saya, karena dianggap sebagai bapak yang tidak bertanggung jawab pada keluarga. Kertas-kertas usang inilah yang selalu menghibur dan mengisi kesendirian saya. Akhirnya saya kembali bertemu dengan Rustam setelah berpisah hampir dua puluh tahun lamanya, lalu ia membawa saya ke sini.
Hasnah                     :     begitu berartikah kertas-kertas itu?
Ruslan                      :     sangat berarti sekali. Berharap suatu ketika apabila bertemu dengan gadis impian itu maka saya akan menyerahkan kertas-kertas ini padanya.
Hasnah                     :     (penasaran) namanya siapa bang Ruslan?
Ruslan                      :     (berusaha berbohong) mm…namanya Hafzah.
Hasnah                     :     (kaget) Siapa? Hasnah.
Ruslan                      :     e..e..bukan. Hafzah.
Hasnah                     :     (tertawa) bang Ruslan ini memang pintar melucu juga rupanya…
Ruslan                      :     (juga ikut tertawa) lucu ya….. Darsiman juga sering mengatakan hal itu. (terdengar bunyi lonceng).
Hasnah                     :     sepertinya jadwal makan siang sudah tiba rupanya.
Ruslan                      :     benar juga. Ternyata usia tua masih menyimpan rasa lapar juga (tertawa kecil).
Hasnah                     :     obrolan yang sangat menyenangkan. Walaupun terkadang saya sering lupa kalau usia ini sudah sangat tua. Masa lalu hanyalah sebuah ingatan untuk dikenang sebelum ajal menjelang. 
Ruslan                      :     tapi kenagan itu terkadang tepat berada dihadapan kita.
Hasnah                     :     sepertinya begitu. Bolehkah saya bertanya?
Ruslan                      :     bertanya? E..e..silahkan saja.
Hasnah                     :     benarkah cinta pertama bang Ruslan itu bernama Hafzah?
Ruslan                      :     mmm…(memalingkan muka) kenapa saya masih tidak bisa berkata jujur (lalu mengambil kertas-kertas puisi). Hasnah, saya terlalu sering membacanya apalagi beberapa hari ini, saya harap kamu mau menerima kertas-kertas ini.
Hasnah                     :     dengan senang hati. Apakah semuanya berisi puisi-puisi?
Ruslan                      :     ya, semuanya berisi puisi. (Hasnah mau membukanya) Tapi, jangan dilihat sekarang dulu, nanti saja.
Hasnah                     :     baiklah. Terima-kasih bang Ruslan. Saya pasti akan membacanya, kalau begitu saya pamit dulu.
Ruslan                      :     ya…sampai bertemu lagi.
Hasnah                     :     sama-sama bang Ruslan (Hasnah pergi).

TIDAK BERAPA LAMA DARSIMAN BERPAPASAN DENGAN HASNAH. MEREKA BERTEGUR SAPA. LALU, BERGEGAS DARSIMAN LANGSUNG MENGHAMPIRI RUSLAN.

Darsiman                  :     apa kamu sudah menyatakannya?
Ruslan                      :     (senyum memandang Darsiman) sudah!


****SELESAI****


PADANGPANJANG,  2010











0 Response to "Kisah Di Ujung Senja"