Bunga di Atas Awan-Awan Atawa Cinta Dibalut Hitam

Bunga di Atas Awan-Awan
Atawa Cinta Dibalut Hitam
Karya Taufan S. Chandranegara

Dramawan          : Aktor (Lelaki/Perempuan)
Catatan                : Dalam memainkan naskah ini, diperlukan imajinasi tanpa batas, kontekstual dalam term of moralism
                               




SEBUAH RUANG, JENDELA-JENDELA, SEBUAH MEJA, SEBUAH KURSI, SEBUAH JAMBANGAN BERHIAS BUNGA-BUNGA, HANYA ADA SEKUNTUM BUNGA PLASTIC DI DALAMNYA, SEORANG TOKOH SENDIRI DISITU ENTAH SEJAK KAPAN.

Cinta. Cinta. Cinta. Subjektif. Irasional. Objektif. Rasional. Cinta. Cinta.cinta. kuasa. Naïf. Egomania. Cinta. Cinta. Cinta. Oral. Sacral. Mesum. Pornoaksi. Pornografi. Cinta. Cinta. Cinta. Sepotong zaman yang dipotong seperti roti dibagi-bagi lewat sentra media-multi-promo-aksi. Globalisme. Isu. Cinta. Cinta. Cinta. Naziisme. Fasisme. Feodalisme. Kapitalisme. Anarkisme. Chaos. Cinta. Cinta. Cinta.

Ruang. Waktu. Niscaya. Kosong. Isi. Gundah. Cinta. Cinta. Cinta. Serikat. Partai. Komunitas. Persatuan. Koloni. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta surga. Neraka. Mati. Hidup. Cinta. Cinta. Cinta….

Slogan. Yel-yel. Fanatisme. Fundamentalisme. Cinta. Cinta. Cinta. Cinta semua. Semua cinta. Dijual murah di swalayan dengan slogan besar pasar modal. Cinta. Cinta. Cinta. Menjadi paradoksal. Mencintai. Dicintai. Dalam format moralis segemntasi kulturasi, menjadi takdir, hak dan kewajiban. Cinta. Cinta. Cinta….

“ Bunga. Hehehe…. Ada keklisean dalam kalimat katakan cinta dengan bunga. Kenapa tak diganti dengan; katakan cinta dengan tai dalam huruf kapital! Untuk apa aku mencintai? Dengan huruf kecil saja; kamu tak mau memahami. Tak mau mendengar suara nuranimu, itu pun kalau masih ada. Apa sih nurani, cinta? Apa sih cinta? Hidup yang bernurani. Yang aku tahu, cinta adalah tai alias tai dalam huruf kapital adalah cinta. Atau perlu aku membuat semacam federasi atawa serikat cinta. Apa mungkin cinta dilembagakan macam itu? Dibuatkan semacam grup seperti kelompok musik rock atau dangdut. Apa iya cinta kemudian menjadi esensial meng-instal isme dalam kurun waktu kemudian menjadi eksistensialis? Akh? Apa iya!?.”



Bener neh ente jatuh cinta dengan pacar ente. Bener neh ente semua bercinta karena cinta. Bohong! Pasti dengan nafsu kuda pacuan menuju maksimalisasi kemenangan, meski sebetulnya ente memacunya dengan steroid yang diminum sehari tiga kali karena mengandung vitamin B1 atawa B2 dan seterusnya plus plus diramu ginseng dari sebuah negeri. Lalu Jas jis Jos! Iya, kan? Malu? Rahasia? Jas Jis Jos kok rahasia.

Cinta. Cinta. Cinta. Penuh rahasia. Misteri. Klasik. Fenomenal. Birahi tanpa cinta adalah hal biasa. Tapi cinta tanpa birahi adalah omong kosong. Kenapa? Tanyalah pada kata hati. Kalau masih ada kata hati. Kalau masih punya kata hati.

“Sulit ya, Bunga. Mau punya cinta kok sembelit hehehe…. Apa? Maksudmu? Ya. Ya. Aku tak paham. Ya, o ya! Yang itu maksudmu. O… aku tahu sekali, meski agak kurang kenal. Kenapa? Suaramu keras sedikit. O…. ya, ya. Maksudmu seperti lagu-lagu protes yang pernah ada, kemudian mati setelah mengenal sistem, gincu! Kalau yang itu aku tak kenal. Karena yang ditulis belum tentu sesuai dengan perasaan cintanya pada….

“Bunga, jangan potong kalimatku. Aku feodal. Aku gampang tersinggung. Aku sedang berpura-pura jadi proletar supaya agak manusiawi sedikit. Piye? Lho! O, iya…. Hahaha Hm…hm… tidak. Baik. Baik sekali…. Tergantung bagaimana kita mencintainya, kan?”

“Bukan!?. O, bukan itu. Jadi darimana aku emmulai yang disebut cinta tadi, my dear Flower Generation? Dari awal sampai akhir atau dari akhir menuju awal!? Salah? Piye toh. Lho…toh? Tadi anda bilang saya harus merasakan cinta sebelum layu berkembang. Sekarang Anda bilang saya kurang peka. Jadi maksudmu dari tadi apa? Cobalah realistik. Iya. Tahu aku. Bahwa hidup harus realistik, kalau tak nyata aku sudah jadi setan. Hahaha….hihihihi…. jadi sekarang ini setannya adalah realitas hihihi….. pantas sulit sekali membedakan media cinta. Jadi harus bagaimana dong nih. Kau sebagai bunga plastik cuma ngoceh tentang cinta, tanpa visual. Gimana aku memilih mediasinya. Cetak offset atau sablon? Beda, kan!? Iya, kan!?.”

“Tentu. Nah. Iya. Itu. Betul. Iya. Sejak tadi. Maksudku itu. Ya. Hahaha…. Aku gembira karena kau akhirnya memahami maksudku. Sejak tadi aku menunggu hal ihwal yang satu itu. Ya. Itu. Cinta. Cinta. Cinta. Yang kumaksud. Ya! Bukan! Yang tadi, nama yang kusebut tadi. Lho! Bukan yang kesebelas. Yang pertama. Iya. Cintaku yang pertama. Apa? Keras sedikit lagi. Nah! Betul! Itu jawabannya. Betul sekali. Hihihi…. Aku sudah bilang, kamu masih saja ngotot kesebelas. Aku tidak punya cinta kesebelas, yang kupunya cinta kesatu dan hanya satu. Paham!?

Diulang lagi. Bukan. Kisah cinta pertama dulu, baru kedua, ketiga dan seterusnya…. Ups! Tobat! Off the Record! Nah! Oke! Setuju! Gimana? (BUNGA MEMBISIKAN SESUATU) hehehe…. Semua kisah cintaku akan dihapus, kalau aku masuk surge. Lho! Sejarah kok pakai tawar menawar. Memangnya sekarang sudah ada paspor untuk masuk surge? Caranya? (BERBISIK) menjual paket sosial…. Menggalang dana publik. O? O?! O! supaya ada akomodasi dan konsumsi? Pihak donasi meski simbolik, tetap fokus dalam ungkapan upaya sloganistik di muka publik.
Saya sudah ba bi bu be bo a i u e o door!!! Omong kosong, tetap dengan tujuan, kan? Jangan pura-pura tidak tahu: popularitas korporasi demi orientasi kapital. Sulit! Memang sulit mencari mahluk sosial yang beramal dalam diam dan terus berdzikir.

Malam telah lama lewat. Senja telah lama lewat, siang telah lama lewat, pagi telah lama lewat. Tuhan menciptakan malam dan siang, matahari dan rembulan. Seperti tertulis di kitab-kitab tentang moral. Sangat membekas di hatiku. Seperti cahaya memancarkan sinarnya menjadi cermin di sukmaku.
“bercerminlah sebelum berangkat sekolah, supaya kau lihat wajahmu yang sebenarnya, cermin bukan impian. Realitas. Seperti apa adanya kamu, anakku”
“Ya Ibu. Ibu? Siapa mau jadi batu? Aku bukan malin kundang yang melegenda itu. Aku Cuma darah dan daging. Entah kenapa. Aku jadi punya cinta, aku jadi bisa merasakan cinta. Ada yang bau busuknya, ada yang wangi baunya, ada yang bau rending, ada yang bau singkong bakar, ada yang bau bangkai, ada yang bau mesiu, ada yang bau konflik, ada yang bau fasis, feudal, rasis, narsisus, lalu menjadi materi jual beli di pasar modal. Semua kisah cinta itu, bisa dibeli di balai lelang, Ibu!”

“Cinta seperti Ibu sudah lama tak kurasakan, sejak aku mengenal cinta dan persenggamaan, aku tak tahu lagi kebenaran cinta yang selalu Ibu kisahkan, saat kumau tidur di pangkuanmu. Nyala api dari lampu minyak menerangi Ibu, kupandangi baying-bayangmu di bilik bamboo, menjelma malaikat penuhkasih member sejuta bintang penerang hatiku, rasanya sejuk malam menyulap pagi, cepat sekali…. Lalu Ibu menyiram dengan air cinta kasih, membersihkan tubuhku, wangi pandan.
Akh…. Cinta itu, sudah lama lewat, sekarang aku mengkhianati cinta Ibu, aku membeli kenikmatan lewat teknologi masturbasi multimedia yang dimassalkan, kenikmatan itu menyergap global, menghisapku masuk dunia lain, realitas maya yang menghalalkan mantra-mantra carangan.
Sulit membedakan akal-budi, moral, karena mantra-mantra carangan dan info-info irasional tentang persetanan menjadi komoditas konsumtif anak-anak hingga kaum dewasa. Bahaya! Celaka mati, celaka duka, Ibu! Aku menerima itu semua sebagai hidangan. Suka atau tidak suka, aku dipaksa menikmatinya: berita-berita visual dengan ikon-ikon simbolik. Ini barangkali yang disebut takdir dalam kitab-kitab tentang moral.”

Malam. Siang. Senja. Pagi. Bulan. Matahari. Awan-awan, senja malam, siang, tengah hari, tengah malam. Sudah lama lewat. Puisi mati, puisi luka, puisi duka, puisi cinta, puisi-puisi. Sudah lama lewat. Prosa, novel, fiksi, roman sejarah, mati-hidup. Sudah lama lewat. Breaking news, news media, news papers-news gossip, news takhayul teknoloi, takhayul news. Sudah lama lewat. Sudah lama lewat?

“Malam, Masihkah kau ingat? Saat sebuah janji tentang mimpi-mimpi diucapkan? Tentang cinta kasih. Akhh…. Luka. Luka. Luka yang menganga di awan-awan, di langit jiwa, ngawang….”

“Ya. Ya. Ya. Kau selalu ingat. Tentang lakon. Sebuah fragmen bunga angan-angan. Tentang nestapa, kepedihan, duka cinta berahi, diakhiri dengan serakah oleh sistem ego? Ingat? Pasti kau selalu ingat. Kau sudah mencatatnya, kan? Haahhhhaha…. Permainan selalu dimulai dengan, luka, diakhiri dengan luka pula. Ya, luka. Hu huuuuuhh luka, luka, luka….”

“Bunga, sekarang aku Tanya kamu. Siapa sebenarnya kamu?”

“O! jadi kamu si cantik itu. Sicantik yang selalu hadir disini? Yang kucintai meski aku tak bisa menggapainya? Itu? Seperti kisah kasih tak sampai, seperti lagu keroncong kenangan dalam stambulan di zaman tonil? Seperti siti nurbaya dibela Kartini? Akh, seperti nyanyian kaum negro, ungkapan syair-syair rasis? Nyanyian nirwana kepedihan lewat teriakan Jimmy Hnedrix. Itukah? Juga bukan. Monyet kamu!”

“Jadi seperti apa dong? Jawablah, jangan bisik-bisik melulu. Bahaya. Bahaya dari bisik-bisik melahirkan budaya gagap dan korup. Seperti garasi atau gudang saja semua masuk semua oke, yang penting eksentriknya, kan!? Fashion, kan!? Aksi! No ekspresi. No inner beauty. Kuno! Kata kaum modernis, kata kaum kontemporeris….
Jangan! Janganlah bisik-bisik. Katakana dengan kata-kata, kuasai kata-kata, jangan main tubuh kalau belum paham kata-kata, basic dulu, baru main tubuh, realism dulu, matang. Itu bedanya melihat cakrawala dengan payung hitam dan tidak.”

“Contoh yang paling tepat, barangkali, umpama: Tidak bermaksud menggurui, saya Cuma partisipan, bagian mengingatkan. Begini: seperti Ibu saya atau Ibu saudara-saudara, menjalani sebuah lakon, proses kelahiran saya atau saudara-saudara. Ada proses dalam makna dramaturginya. Proses yang ejlas dan fokus. Sejak lahir hingga dewasa. Jelas. Fokus.
Tak sekedar eksentrik saja dan sekadar membuat adonan cerita campursari, dari multikulturasi yang diadopsi menjadi mutan eksentrikisme, menjadi konsep blab la and the blab la, kan…. Hassssyim! Kon….kontem….pooohhhrerrr blab la…. Bahaya, kan!? Urutan naik kelasnya harus jelas. Itu, kan, bunga impianku!?”
“Bukan.”
“Ooo! O! O! aku tahu, yang selalu berjanji tentang sebuah komunitas yang bersatu dengan nurani bening? Hihi…. Pedih aku kalau soal itu, janjinya palsu terus, pada malam atau siang atau sore.

Dia bukan mahluk lazim. Dia tega menjual karcis dengan harga mahal, menggalang dana publik untuk kepentingan sebuah kepedihan. Kepedihan kok dijual. Lalu dimana cintanya padaku. Bayangkanlah olehmu. Aku tak punya kata-kata untuk mengatakan tentang cintaku padanya. Karena kata-kata untuk mengatakan cintaku padanya. Karena kelakuannya sebgaia raja tega, mengambil prospek promo dengan label besar iklan belasungkawa, bahkan label atawa logonya lebih besar dari porsi kata-kata bertajuk belasungkawa….huhuhuhu….teganya dikau kekasihku, tega, beriklan dengan azas sebuah sistem….huhuhu….”

“Huhuhu…. Apa? Kau membisikan sesuatu? Di telingaku? Apa? Iya?. Yaa. Aku paham. Paham sekali. Hahaha…. Aku jadi terpingkal-pingkal hua hahaha…. Meskipun aku tak paham maksudmu hihihi…. Lucu sekali. Lucu sekali. Ya. Ya. Hehehe…. Maksudmu? Off the Record. Oke? Berita apa? Berita yang sama tapi beda. Ya. Ya. Aku mendengarkan. Sebuah label lagi? O huhuhuhu….. kekasihku terkasih juga melakukan hal yang sama, promo pornoaksi. Lho, apa bedanya dengan beriklan? Ya, no comment lah. Nurani mereka sudah di del, di rename oleh sistem popularity, gincu, gincu! Gincu! Gincu…?”

“Akh hihihi…. Jangan….jangan kau gelitik aku dengan pola piker kemanusiaan, atawa dengan alas an demi kemanusiaan. Kekasihku, jangan, itu manipulative, menggunting dalam lipatan besar dolar-dolar, sistem-sistem, dari isme-isme kamus saku. Kalau mau amal, ya amal saja. Tak perlu ditulis; A besar, beroral dengan pornoaksi lewat media masa yang multi itu.”

Berdikir. Berdzikirlah. Berdzikirlah dalam diam….

Kalau berdikir tidak lagi dianggap sebagai amal dalam diam. Ya mati sajalah, tak usah jadi mahluk hidup yang wajib bersyukur karena kita diberi hidup oleh sang pencipta….

“Haaahhh…. Ngapain aku jadi sedih begitu. sementara orang yang kucintai sudah tak punya nurani bening. Nuraninya sudah di del, di rename, toh and toh walhasil tetap ditertawai oleh kaum promo pornoaksi itu, bahkan mungkin saja, aku dianggap gila, karena jam begini masih mengajak saudara saudara berdikir dalam cuaca….”

“Karena aku cinta, cinta. Kalau sudah tidak mau mendengar suara nuraninya sendiri, ya sudah. Bukan urusanku. Urusanku adalah meninggalkannya, dan mencari kekasih baru…hehehe…. Maksudku, masih banyak orang yang mau menerima cintaku, meski tak berlabel sekalipun, yang terpenting, dia setia pada janjinya dan mencintaiku dengan tulus, tak sekedar zanzi-zanzi palsu. Akh! Aku kampungan. Jadi melankolian. Ka isme an nyarios sunda na mah hehehe…..”

“Maaf. Maaf. Maaf. Adanya banyak hal perbedaan diantara kitaa, justru membuat aku pergi meninggalkanmu, karena memang, yang aku tahu cintamu sudah jadi plastic, seperti bunga itu. Tak seperti malam, siang, sore yang terus berubah, menepati janji tanpa alasan memberi kehidupan. Malam, siang, sore ada karena waktu, meski berubah ia kembali pada waktunya, selalu menepati janji. Beda. Sangat berbeda. Sedangkan kau, malam, siang dan sore juga pagi tak menentu terus mengubah akalmu dalam mencumbuiku, demi sekantong dolar yang terus mengalir ke rekening-rekening pakaian dan kepalsuan.”
“Hehehe…. Sudah. Moralitas cengeng seperti ini harus kuhentikan. Tak guna. Sangat tak berguna. Kutaruh kau kembali kejambanganmu bunga plastikku. Agar aku tak mengingat lagi hal-hal pahit, getir. Manisnya, meskipun ada, Cuma sedikit, sedikit…. Akh….” (MENARIK NAPAS PANJANG SEKALI)

“Bulan. Purnama penuh. Bulan sepotong. Bulan sabit di senja-senja, ada takbir ilahi, di sana, di ufuk-ufuk, di kosmos jiwa, di atas awan-awan, sejuk sekali…..



Jakarta, April 2005

0 Response to "Bunga di Atas Awan-Awan Atawa Cinta Dibalut Hitam"