SURAT KEPADA ORANG TERKASIH

SURAT KEPADA
ORANG TERKASIH
Karya Taufan S. Chandranegara
Dramawan          : Aktor (lelaki/Perempuan)
Catatan                : Dalam memainkan naskah ini, diperlukan imajinasi tanpa batas, kontekstual dalam term of moralisme.


















RUANG TANPA JENDELA, TANPA APA-APA. BUKAN PENJARA, BUKAN APA-APA. HANYA KOSONG DALAM GELAP YANG SATIRIS. MASIH ADA KEHIDUPAN.
                Kepada A moral yang terkasih.
Baru saja aku menerima suratmu. Tentang musibah yang melanda umat manusia di negerimu. Kau Tanya aku tentang bagaimana mangatasi akibat dari itu semua. Umumnya manusia menyalahkan Tuhan. Padahal menurutmu, ini bencana al. Alam bergeser dari taksirnya menuju takdir yang baru dalam kurun ruang dan waktu.

Kalau boleh kujawab; bisa. Bisa saja itu. Kalau menurut keyakinanmu begitu. tapi bolehkah aku bertanya satu hal saja: manakah yang lebih dulu ada? Tuhan atau alam?
Kau tak pernah menajwab dalam surat-suratmu kepadaku, pertanyaanku itu. Malah kau bertanya tentang fenomena alam yang logis atau tidak, itu “akal” dalam takdir kita sebagai mahluk Tuhan.

Selalu. Kau bertanya tentang alam dan Tuhan. Tak pernah aku menerima jawaban dari apa yang sudah kujawab untukmu. Mengapa? Adakah kebimbangan untukmu tentang azaz ilahiah, tentang zat yang tak seumpama apapun itu? Adakah ketakutan dengan pertanyaanmu sendiri? Lalu untuk apa kau Tanya tentang itu, selalu, padaku? Adakah kau tengah menguji aku? Kalau boleh kujelaskan, aku tak pernah meragukan apapun atau bertanya apapun tentang Tuhan.

Karena hal itu bukan soal yang harus diperdebatkan. Bukan hal yang harus menghambat kreatifitas dan daya hidup kita sebagai mahluk hidup. Menurutku, perlu kuulang lagi jawabanku:

Tuhan bagiku adalah teman kreatif dialogis tunggal meruang di kosmos jiwa, menyejukkan, mencintai, mengasihi, mencitrai hidup kita awal hingga akhir hayat dikandung badan. Tak secercahpun kubiarkan cahaya gelap mengganggu terangnya pelita selalu pemberi harapan.

Meski kadang aku bimbang. Saat-saat aku bereaksi pada aksi realitas hidup, menghisapku detik perdetik, kadang keserakahan menggodaku untuk meraih jalan menuju terang dengan jalan konflik, korup, chaos, kau tahu apa yang kulakukan? Aku menulis prosa, puisi, novel, cerpen, drama, roman, esai dan artikel-artikel, sekadar menghindari birahi yang bakal membawa luka-luka di dalam jiwaku.

My dear A moral, aku tahu kau penuh dengan rencana. Itu ihwal dari inti kebaikan kalau memang kau ingin sekali berubah menuju kebaikan yang kau maksud di surat-suratmu yang lalu padaku. Bagaimana membangun upaya-upaya itu.

Lalu pernah kubilang padamu. Jadilah inti sejati akal sehatmu. Karena disana awal dari citra realitas yang akan kau jalani kelak. Kau bertanya lagi dengan panjang lebar. Antara lain: mengapa mahluk hidup harus berinteraksi dengan alam dan lingkungannya. Mengapa tidak alam yang berinteraksi dengan mahluk hidup dan kehidupannya? Pertanyaanmu kadang agak bodoh, memang, kadang-kadang. Tapi kujawab juga, kan? Ya, itulah kewajaran, saling berinteraksi. Fadilah ilahiah.

Sejak saat itu. Sejak pertanyaanmu yang etrakhir kujawab seperti itu, kau tak lagi bersurat padaku. Bahkan seperti hilang dalam gaib semesta. A moral yang etrkasih, yang hilang bersama waktu. Dimanakah kamu? Kalau kau kebetulan menyaksikan pertunjukan ini. Aku sebetulnya sudah mati. Ya, aku sudah mati. Karena aku kehilangan teman sejawat yang selama ini member aku kehidupan, lewat kata dan pertanyaanmu yang kadang menggelitikku untuk member jawaban. Karena dengan cara itu aku mendapat hikmah dari kata dan tanyamu.

Di dalam kematianku kini, aku banyak meilhat kebenaran hakikat, tentang pengkhianatan sebagai bekal kekekalan, jika kita dapat mengalahkannya atau membunuhnya dengan pisau terhunus, meski korban harus jatuh. Barangkali itu yang disebut cinta terhadap sesame. Membunuh pengkhianatan.

Kini aku dengan leluasa bis amelihat kebohonganmu, dari alam kematianku. Aku bisa melihat bagaimana kau bermain dengan malaikat hitam, melakukan pembantaian terhadap talenta-talenta yang kau miliki lewat sejuta alibi tentang kebaikan, aklamasi, padahal kau membuat ruang-ruang berkelas, memenjarakan orang-orang yang kau sebut terkasih di dalam etalase-etalase berlogo, berlabel besar popularitas, lalu kau pandangi mereka dari singgasanamu yang berada di sudut-sudut tersembunyi, sambil menikmati vodka, menghisap jempol kakimu sendiri. Memilih waktu, saat kau butuhkan, sebagai budak capital dengan system paguyuban. Lalu kau bergoyang di atas dolar-dolarmu sambil menghitung profit dari ekstase akses-akses promo aksi dalam system dan penjualan format eksistensi kreatif, mengatasnamakan kebudayaan, pemeberdayaan, penyelarasan dogma-dogma sosiologis, antropologis, psikologis, plagiasis, narsisus, narasi hipokrisi akal bulus yang dicangkokan dengan ramuan kepediahn kaum tertindas akibat politik akut dengan tampilan ikon-ikon moralitas semu karya kreatif seolah-olah kau di garda depan.

Celaka betul, sebuah acrobat dari pesulap, babi menjadi burung merpati sebagai symbol cinta yang serakah. Cinta, kau tiupkan lewat penalaran aktifitas acting yang kau massalkan. Menghipnotis kesadaran meruang menuju perbudakan.
Ketika cinta saja ternyata tidak cukup manipulative, simbolik dari akal hitammu dalam rangka menggalang humanisasi menjadi dehumanisasi, menuju system robotic yang gigantic, kau akronimkan menjadi paguyubuan, misalnya. Itulah psikologi awal dari permasalahan perbudakan kreatif.

Dari tempatku sekarang dengan leluasa aku melihat yang disebut nuranimu, benarkah masih ada? Tidak. Sekarang kau tak lagi biisa berbohong. Dengan jelas. Focus. Tanpa kacamata minus-plus., aku melihat kau tak lagi punya nurani, ternyata sudah lama kau jual pada system yang selama ini selalu kau hujat lewat karya-karya kreatifmu.

Teganya kau mebohongi Tuhan yang selama ini selalu kau tanyakan padaku. Sekarang baru aku tahu. Tuhan yang kau tanyakan padaku, sebenarnya kau menginginkan sebuah pengakuan. Siapa yang emnentukan hidup matinya kreatifitas, kau atau Tuhan? Itu kan essensinya? Masih juga kau mengelak?.

Kenapa tak langsung saja kau katakana padaku! Ketika aku masih hiudp. Frontal saja. Berhadapan denganku, tersurat yang tersirat! Kau tak punya keberanian mengatakan bahwa kau ingin megalahkan Tuhan, kenapa tak kau katakana saja kau ingin jadi Tuhan! Sekarang di ruang berbeda, di tempat kematianku, aku melihat semua pikiran busukmu! Tuhan yang kau tanyakan itu adalah kau sebagai tuhan baru di ruang-ruangmu! Kau…. Biadab! Menuhankan dirimu sendiri, di atas kepedihan orang-orang yang kau sebut terkasih, tercinta, kau hisap habis hidup orang-orang, diruang-ruang ciptaanmu yang seolah-olah kau bangun dengan darah dan air mata. Padahal….

Tipu daya! Tengoklah kemari! Wahai kau mahluk A moral! Pandang aku, katakana aku pengkhianat, katakana apa saja tentangku. Tapi satu soal, tak pernah ebrani kulakukan adalah seperti yang kau lakukan. Menuhankan dirimu di hadapan Tuhan.

Ya Robbi…. Ya Al Khalik…. Ya…. Alif…. Ya…. Allah…. Sudah lama aku tak sebut namaMu. Aku rindu. Aku disesatkan. Aku bodoh. Aku kepedihan. Aku bianglala nestapa. Aku siksa. Aku batu. Aku digelapkan. Aku dibutakan. Aku dihipnotis oleh popularitas, oleh kata oleh symbol oleh sloganitas peradaban sang A moral. Aku tersesat ya Robbi…. Aku celaka…. Aku durhaka…. Aku neraka…. Aku api, api, amuk, amuk….


A moral yang terkasih. Ingat! Saat kau menghadap Al Khalik ada yang tak bisa kau pungkiri. Mulutmu, matamu, telingamu. Seluruh proi-pori di tubuhmu akan ebrubah menjadi naga, menerkam, mencabik-cabik ruhmu.

0 Response to "SURAT KEPADA ORANG TERKASIH"