EMANSIPASI

Monolog
EMANSIPASI
Karya : M. J. Widjaya
KARTINI
Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun wanita wanita negeri ini sudah
terbata bata membaca cita citaku.
Aku dikungkung adat dan barat menuntunku, tapi aku selalu memcoba meratas jalan
menuju kemerdekaan dan ternyata tak seorang pun melanjutkan perjuanganku.
Sesungguhnya adat sopan santun amatlah rumit, adikku harus merangkak bila hendak
berlalu dihadapanku, kalau adiku duduk dikursi lalu aku berlalu maka haruslah segera
turun dari kursi duduk ditanah bahkan dengan menundukan kepala sampai aku tidak
terlihat. Adikku tidak boleh berkamu atau berengkau kepadaku dan setiap akhir kalimat
harus dibarengi dengan sembah.
Peduli apa dengan segala tata cara itu, segala peraturan itu bikinan manusia dan
menyiksaku. Manusia harus merdeka, semua sama dan kita semua saudara. Manusia itu
sederajat dan berhak mendapatkan perlakuan yang sama, tidak seperti sekarang, para
kaum ningrat pasti bahagia tapi kaum marginal akan hidup diselokan selokan penderitaan
dan kematian siap menanti.


Keningratan darah untuk masa kini sudah menjadi barang antik di museum. Kini muncul
keningratan keningratan baru, keningratan title, keningratan pangkat, keningratan jabatan
dan pucak dari semua keningratan itu adalah keningratan ekonomi. Siapa yang paling
banyak uang berarti dia yang dapat mengatur keadilan dan keputusan pengadilan.
Sungguh aneh, mereka yang mengaku “ Kartini Kartini Masa Kini “ tidak menentang
keningratan keningratan baru, bahkan sebagian besar mereka menjadi pemujanya atau
penjilat. Aku hanya percaya akan dua keningratan, pertama keningratan fikiran dan yang
kedua keningaratan budi, apa gunanya bergelar graaf atau baron.
Wanita wanita kini mengurai kembali benang yang telah kupintal, mereka hanya
merayakan hari kelahiranku tapi itu semua hanya mengecilkan arti perjuangaku selama
ini. Wanita wanita kini telah maju kebelakang, kita belajar sejarah, bahwa manusia itu
unik, keunikan manusia itu : dia belajar sejarah tapi tidak pernah belajar dari sejarah.



Aku tidak boleh bergaul dengan kaum dibawah keningaratan aku, tapi sekarang semua
bebas dan hanya ada dua perbedaaan, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin
miskin.semua temanku adalah musuhku, mr. Abendanon dan istrinya seorang utusan dari
pemerintah belanda untuk melaksanakan politik etis, dia meminta bantuan dan nasihat
dari snouck Hurgronye yang memiliki konsep politik asosiasi yang bertujuan agar
generasi Indonesia tercabut dari akarnya terutama Islam. Snouck Hugronye menyarakan
agar abendanon mendekati aku, maka aku berkawan dengan keluarganya. Musuhku tidak
seperti jaman sekarang, musuhku adalah temanku, temanku adalah musuhku. Mulai dari
stella, anie glasser, dr andriani, Vam kol. Mereka semua hanya memanfaatkanku semata.
Laksanakan cita cita, bekerjalah untuk masa depan, bekerjalah untuk kebahagian beribu
ribu orang yang tertindas dibawah hukum yang tidak adil dan paham paham palsu.
Berjuanglah dan menderitalah, tetapi untuk kepentingan abadi.
Aku pernah menulis surat untuk kakak laki lakiku, kalau kelak mempunyai anak laki laki,
lebih baik biarlah mereka menjadi tukang roti bakar atau apalah yang sejenis ketimbang
masuk korps pegawai negeri, alangkah banyak ketidakjujuran dan banyak menipu hati
nurani.
Aku tidak mengerti wanita sekarang, mereka keluar rumah tanpa pamit pada suami,
apakah pantas sebagai manusia beragama, dalam islam suami harus dihormati, dalam
Kristen suami istri harus saling menghargai dan mengasihi, tapi apabila tidak ada didalam
keduanya, apakah masih bisa disebut manusia beragama.
Aku merasakan apa yang kalian rasakan, aku rasa, kita perlu referansi ilmu dari barat tapi
bukan menjadi manusia barat, apa kita tidak malu ketika kita mengatakan dan tertera di
dalam KTP kalau kita Islam atau Kristen masih suka berzinah seperti orang orang barat,
apakah itu yang disebut bagian dari gaya hidup bangsa ini
Aku punya dendam ketika para pegawai negeri tidak bisa berlaku adil, aku dendam ketika
beribu ribu ibu menangis karena kehilangan anak, tidak bisa menyiapkan sarapan pagi
untuk suaminya, bukankah Indonesia kaya akan minyak tapi kenapa harus diexpor keluar
negeri, mereka sama dengan adipati adipati bermuka dua dijamanku.
Lebih baik jangan pernah memperingati hari kelahiranku apabila emansipasi lebih
condong liberalisme atau feminisme.



Jadikanlah rumahmu istanamu, kembalilah ke rumahmu karena bagunan materi
betapapun menjulang tinggi tidak akan ada artinya jika dibangun di atas rumah tangga
yang rapuh, ingatlah, kehancuran rumah tanggamu berarti kehancuran masyarakatmu,
negaramu dan duniamu
Aku mohon agar anak anak bangsa dapat memperoleh pendidikan terutama wanita,
bukannya sekali sekali karena kami menginginkan anak anak perempuan itu menjadi
saingan laki laki dalam perjuangan hidupnya.
Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, tapi wanita wanita negeri ini sudah
terbata bata membaca cita citanya.
Kian hari emansipasi kian mirip dengan liberalisme dan feminisme, sementara aku
sendiri semakin meninggalkan semuanya dan kembali kepada fitrahnya

3 Mei 2008, pkl 16. 24 WIB



0 Response to "EMANSIPASI"