MULUT

MULUT

Monolog

Karya:

PUTU WIJAYA

____________________________________________________________________


            (DAPAT DIMAINKAN OLEH LELAKI ATAU PEREMPUAN)

SEORANG PENGAMEN DENGAN WAJAH YANG TANPA MULUT            MEMBUAT BUNYI-BUNYIAN, MEMANGGIL PENONTON. KEMUDIAN IA MEMPERAGAKAN GERAKAN-GERAKKAN  YANG BISA MENARIK. SETELAH PENONTON SIAP, IA MEMBUKA TUTUP MULUTNYA DAN MULAI BICARA.

 

            Di desa kami ada seorang perempuan tidak punya mulut. Di bawah hidungnya kosong melompong tidak ada bibir. Tidak ada yang tahu apakah ia punya gigi dan lidah di balik wajahnya yang terkunci itu. Dalam keadaan yang tuna mulut itu ia membingungkan desa. Warga mempersoalkan kehadirannya tak habis‑habis. Apakah ia mahluk yang cantik atau mengerikan.
Kedua matanya membelalak seperti mata ikan koki, tetapi kerlingannya tajam seperti cakar harimau. Hidungnya bangir namun tidak kepanjangan seperti Petruk. Kulitnya lembut dan hangat. Wajah dan air mukanya bagi semua kami, baik laki maupun perempuan, sangat cantik. Kata tukang jual siomay, tanpa mulut, perempuan itu justru seperti bidadari. Siapa saja yang memandangnya dengan bebas dan rahasia dapat menempelkan dalam angan‑angannya jenis mulut yang dia sukai. Wajahnya itu  begitu luwes ‑‑ diberikan mulut apa pun cocok. Mulut dower, yang sempit, yang tebal, yang tipis, yang monyong, yang sedikit nyakil pun cocok. Asal amit-amit jangan sumbing saja.
            Tukang ojek yang biasa nonton film India dan gila dangdut sukanya bibir dower. Dia melihat di bawah hidung perempuan itu bergantung dua baris daging empuk, seperti dua ekor lintah yang sudah kenyang. Tebal, melimpah tapi penuh dan basah. Tukang kredit yang doyan bibir tipis, menempelkan dalam angan‑angannya kue lapis yang lembut, tipis tapi empuk, lincah, legi dan lengket. Pokoknya karena tak ada mulut, bibirnya malah bisa digonta‑ganti seenake dewe, mau bibir kowel-kowel model orang hutan atau bibir bekicot yang nyerep dan becek, terserah.
            Tak urung banyak juga yang menilai wanita itu elek. Mesaake. Bahkan menakutkan. Ngeri kata mereka. Semolek apa pun mata dan potongan-potongan wajahnya, sebening dan sesempurna apa pun perasaan yang terlontar dari wajah itu, tanpa ada mulut, ia adalah mahluk yang cacad, manusia yang tidak sempurna. Seperti sayur asam yang kurang asem. Bukan saja tawar, tetapi menyakitkan dan serem. Hanya setan yang bisa mencampur kecantikan dengan yang mengerikan. Artinya perempuan itu mungkin setan. Hanya setan yang bisa menikmati setan. Umpama bom perempuan itu tak punya sumbu peledak. Jadi mapat, sesak, berteriak kesakitan tapi tak sanggup berbuat apa‑ apa. Kawah gunung yang mapat sewaktu-waktu pasti akan meledak dahsyat. Jadi, memang bahaya.
            Pro dan kontra berlangsung lama, makin lama makin panas. Hampir memicu bentrokan. Ada kelompok yang mau mendepaknya, karena dianggap membawa sial. Ini kiriman ibklis, kata meraka Lawannya mempertahankan atas nama kemanusian yang adil dan beradab. Jangankan wanita, cacing pun harus dilindungi dari ketidakadilan, kata mereka.
Untung kemudian harga BBM naik deras. Tidak cuma naik, edhan dan lenyap. Diperintahkan turun oleh pemerintah, bandel. Ancaman keras bagi siapa yang menjual dengan harga lewat tarip resmi tidak digubris. Malah harganya membubung tambah gila. Denger-dengar itu permainan orang dalam juga. Katanya ini politik untuk mempersiapkan kemenangan nanti dalam Pemilu.
            Kami terpaksa berhenti berantem perkara wanita tak bermulut itu. Perlahan‑lahan kami jadi terbiasa. Bahkan kemudian terasa dia sudah jadi bagian dari desa kami. Tak ada yang terganggu lagi. Tak ada pro dan kontra. Diterima wae, seperti kami menerima siang dan malam, panas dan hujan, matahari dan bulan, malaikat dan iblis, nyamuk dan cecak. Mulanya kami memang berdebat, tetapi itulah membuat kami semakin  mendekat dan akhirnya bersatu. Tidak ada lagi yang ingin mengusirnya dari desa, bahkan kalau lama dia tidak lewat di jalan, mungkin sakit atau apa begitu, kami jadi gelisah. Lalu kami sowan ke rumahnya. 
            Kami orang desa, rasa bebrayatan masih tebal. Gotong‑ royong kami bukan bohong, belum luntur seperti orang kota. Bergiliran kami membantu wanita itu, kalau ia perlu pertolongan.
            Wanita tanpa mulut itu adalah harta desa, milik seluruh warga.
            Tetapi ada masalah.



            MENIUP SEMPRITAN. MEMASANG KUMIS.


            Atas nama keamanan dan kenyaman bersama, demi ketenteraman masyarakat, apa saja yang sudah menggfanggu stabilitas akan kita tindak tegas! Tidak pandang bulu !
            Seorang petugas muncul dari pusat, seperti tentara kolonial ia langsung main labrak dan mencaci-maki.
            “Tangkap! Tangkap! Biang keladinya!”


MEMBUNYIKAN SEMPRITAN


Tangkap, serunya memberikan instruksi pada suatu pagi yang cerah, ketika para pedagang baru menghidupkan pasar dan anak‑anak mencangking bukunya jalan kaki ke sekolah.
            “Tangkap, tangkap, tangkap cepat! Goblok!”
            Hansip di desa kami sangat patuh pada perintah atasan. Apalagi atasan dari atasannya. Merasa petugas itu bergigi besar, mereka buru‑butu menghunus pentungan yang biasanya tak pernah mereka jamah. Rumah wanita itu dikepung. Lalu wanita itu ditarik keluar.
            “Mana mulut kamu!” teriak petugas itu ngos-ngosan. Dadanya turun‑naik sehingga terdengar suara gemeletuk jantung besinya. Kami yakin ia terkejut melihat ada muka yang tidak pakai mulut. Jleas dia ngeper. juga
            "Mana mulut kamu!"
            Wanita yang tak bermulut itu tercengang. Bagaimana menjawab kalau tak ada mulut. Hanya matanya menatap dengan lunak. Dan kami semua yang sudah terbiasa, mengerti itu bukan hanya sebuah tatapan. Itu adalah jawaban yang jujur. Kami paham bahasa isyarat itu. Tetapi petugas itu tak mendengar apa‑apa. Ia pasti tidak bisa menangkap suara dari pandangan mata wanita itu. Lantas ia menggebrak dengan suara yang lebih keras hntuk menyembunyikan kebodohannya.
            “Kamu sembunyikan di mana mulut kamu!”
Suaranya tercekik karena nyalinya kejepit. Kami yakin ia belum pernah menjumpai jangankan wanita, manusia yang tak bermulut. Di Amerika pun tak ada.


BERTANYA LAGI DALAM BAHASA DAERAH YANG KAKU


            "Heee, kowe wedok,  nang ndi cangkemmu  ndelik, ucul ake!?!" 
            Wanita itu menjawab terus setiap pertanyaan dengan matanya. Tetapi tentu saja petugas itu tidak mengerti.
            “Kowe ojo meneng wae, terus-terang wae, ayo tak keplak sisan nek ora ngaku. Ndi, ndi cangkemmu ndelik!”


UMPATAN KOTOR DALAM BAHASA DAERAH YANG LAIN


Akhirnya wanita itu diseret lagi masuk kamar, untuk diajak bicara empat mata selama empat jam. Dan ketika semua pertanyaan‑ pertanyaannya tidak pernah dijawab -- habis bagaimana mau menjawab, mulut tidak ada --  petugas itu memutuskan untuk mengamankan.
"Demi menjaga keamanan bersama, perempuan ini akan kita amanken dulu, sampai jelas betul asal-usul dan peranannya dan siapa dalangnya. Siapa aktor intelektualnya?! Kenapa dan mengapa ia tak punya mulut. Apa maksudnya? Dan yang lebih penting dari semua itu, dari mana asalnya dan siapa yang sudah mengatur sampai semua warga resah sehingga menerima begitu saja tanpa mampu mempersoalkan, kenapa ia tidak punya mulut. Ini pengacauan! Ya ini subversif!"
“Tapi, pak. Maaf…..?”
“Sudah diam! Siapa berani menghalangi-halangi perintah pusat berarti ikut berkomplot! Kita ini negara hukum. Ketertiban nomor satu, mengerti? Apa kalian mau ditangkap?!”
Kami tidak menjawab.
“Heee, mau ikut ditangkap?”
“Tidak, Pak.”
“Mula no, menenggo! Asu!”
            Perempuan itu langsung diamankan


            MELEMPARKAN TALI KE ATAS. TALI TERGANTUNG.


            Seluruh warga keberatan. Orang tak bersalah, kenapa mesti diamankan. Kenapa orang tak punya mulut dianggap bersalah. Namanya juga nasib. Belum tentu perempuan itu sendiri suka ia tidak punya mulut.


            MEMBUNYIKAN SEMPRITAN


            "Kenapa kalian semua diam saja diajarken untuk membenarkan yang salah? Ah? Kalian semua sudah membiasakan yang tidak normal. Ini keliru. Itu bisa dituntutt! Tahu?!"
            Saya memberanikan diri menjawab.
            "Tapi kami sama sekali tidak terganggu oleh dia, Pak. Mbak itu warga baik. Dengan tidak punya mulut, ia bukan orang yang cacad. Ia justru seorang tetangga yang santun."
"Salah‑kaprah! Saudara salah salah! Jangan memutar balik fakta. Kenapa saudara‑saudara diam‑diam saja dilatih membenarkan kesalahan? Ah?! Memperlakukan orang cacad sebagai orang normal, apalagi memujikannya sebagai warga yang baik dan patuh, itu tindakan kriminal. Itu kejahatan pikiran!"
            "Tapi Pak, Mbak itu tidak bersalah. Bapak tanya saja Pak Rt dan Pak RW. Mbak itu tidak pernah mengganggu. Bikin gosip tidak pernah, bagaimana bikin gosip kalau mulutnya saja tidak ada?"
            "Saudara tertipu! Ya Tuhan! Aku sudah menanyai dia empat jam empat mata. Aku tahu, dalam keadaan tidak punya mulut dia justru bicara banyak sekali. Saudara kan tahu, kita sedang belajar demokrasi, belajar berbicara dengan terbuka dan bebas. Nah dalam keadaan tidak punya mulut, bagaimana dia bisa terbuka dan bebas? Buka mulut saja tidak bisa. Ini bahaya, bisa mengganggu stabilitas, tidak bisa kita diamkan. Untuk sementara wanita ini kami amanken sampai kami merasa ia cukup aman kembali untuk dilepasken hidup bebas di antara saudara‑ saudara warga yang perlu hidup nyaman. Kami wajib mengamankan saudara- saduara karena sudah membayar pajak dengan setia. Semuanya sudah bayar  PBB  belum?!"
Tak ada yang menjawab. Kami memang semuanya jarang membayar PBB
Tapi meski pun tak bernai membantah, kami sangat mempersoalkan tindakan sewenang-wenang itu. Keputusan petugas yang kami anggap senakan dewe itu menjadi bahan cercaan. Masak petugas seperti prokem. Masak atas nama tugas, sudah membenarkan segala yang keji. Mana mungkin pusat memilih srigala untuk melindungi rakyat. Petugas itu hanya ingin menjilat pantat atasannya. Itu bukan petugas tapi tikus. Buat apa negara memelihara tikus.
Lama ketidakadilan itu kami bahas. Maklum desa kecil. Kelapa disambar petir saja bisa dihebohkan setahun, apalagi ada kepala warga disamber petugas. Tapi kemudian BBM naik lagil. Ada warga yang memprotes sukat, rentangan kabel listrik tegangan yang melewati desanya, dengan cara menjahit mulut. Televisi sibuk mengurus selingkuh. Surat kabar menggeluti RUU Anti Pornografi dan Pornoakasi. Berita wanita tidak bermulut yang diciduk aparat itu kalah pamor.


MENEMBANG. MEMBUKA KUMIS.


            Alhamdulillah, setahun kemudian, wanita itu pulang. 
            Tapi kami terkejut. Astaga, ia sudah punya mulut. Sepasang bibir mungil bergantung di wajahnya. Dua baris giginya seperti iklan pasta gigi. Gigi‑gigi sehat yang sempurna. Dan kalau ia menjulurkan lidahnya, daging itu merah sehat dan gesit seperti lidah kadal. Mulut yang benar-benar kelas satu.
            Ia sekarang sudah bisa bercerita dengan pasih dan panjang lebar. Suaranya terdengar merdu seperti penyiar‑penyiar radio. Ketika menjelaskan bagaimana ia sudah menjalankan operasi plastik di mancanegara dengan tanggungan biaya yang seratus prosen dari kocek sponsor, bulu kuduk kami meremang.


            MENIRUKAN WANITA ITU


            "Kini aku sudah punya mulut. Aku tidak minder lagi. Aku sama dengan kalian yang lain. Bahkan mulutku ini sudah terlatih dalam banyak hal. Bisa menyanyi. Bisa bahasa Inggris. Bahkan juga bisa baca puisi kalau diperlukan …… maaf sekarang sudah bisa cipokan."
            Berbeda dari semula, wanita itu cepat berubah jadi banyak mulut. Ia ngoceh terus, meskipun tidak ditanya. Tak peduli kami sudah babak-belur mendengar, dari pagi sampai malam dia terus ngomong. Mungkin karena kemaruk. Kami mengerti juga. Tapi malam hari sementara semua sudah tidur, suaranya masih saja kedengaran ngomel. Barangkali ia terlalu gembira. Siapa tahu, sebenarnya tersiksa sendiri juga, sebab mulutnya ngomong terus, sementara ia sendiri sudah mengantuk. Sering kami lihat matanya sudah terpejam, tapi mulutnya nyerocos seperti ban bocor.
            "Ia masih ngomong terus walaupun tidur, " lapor tetangganya.
            Penilaian kami berubah sesudah wanita itu memiliki mulut. Yang dulu menganggap dia cantik tapi sayang tanpa mulut, sekarang berbalik merasa terganggu karena dia kelebihan mulut. Perempuan cerewet, bawel, menyebalkan, mulutnya merusakkan kecantikan menodai kepribadian. Yang dulu membencinya pun jadi semakin jijik. Mereka menganjurkan supaya perempuan itu menutup mulutnya kembali seperti dulu, sebelum orang lain yang melakukan dengan kekerasan.
            Namun,  seperti biasa, hal itu juga tak berlangsung lama.
            Kembali demam berdarah metrebak, flue burung menyerang. Hidup semakin gila. Para pemimpin bukannya prihatin, malah cakar-cakar berebutan kursi yang berarti rezeki. Judi, narkoba merajalela. Korupsi makin membabi buta. Hukum dikencingi. Pendidikan merosot. Rasa kebangsaan menipis. Krisis moral. Orang-orang pinter sibuk membicarakan bagaimana caranya menyelamatkan generasi muda sementara dmereka juga sedang tenggelam. Dikhawatirkan inilah akhir kisah Jamrut Khatulistiwa.         
Dalam tempo satu bulan kami kami mulai terbiasa dengan wanita tak bermulut yang sekarang kebanyakan mulut itu. Kami berikan ia tempat yang khusus dalam pergaulan desa. Kalau mulut sudah membuat dia berubah, ya sudahlah, mau apa lagi. Lalu kami sibuk menggarap kesulitan sehari‑hari yang terus datang beruntun, entah apa saja yang sudah dikerjakan oleh para pemimpin yang waktu kampanye mengobral janji sorga semua itu.
            Kami sudah diajarkan oleh nenek-moyang untuk cepat melupakan apa saja, karena terlalu banyak yang datang. Nrimo begitu. Habis, kalau semuanya diingat belum sebulan kami sudah gila semua.
            Tapi dilalah petugas dari pusat itu, datang lagi.


            MEMBUNYIKAN SEMPRITAN. MENGAMBIL PENTUNGAN.

             
            "Tangkap perempuan yang kebanyakan mulut itu, tangkap sekarang juga! Subversif! Pengacau! Tangkap!”
            Kami semua terkejut.
            "Kenapa Pak? Apa kesalahannya?"
            "Merusakkan citra bangsa. Masak ngomong terus, itu namanya memancing di air keruh. Membakar‑bakar itu bukan jiwa orang Timur. Itu pengacau. Dikasih mulut itu bukan untuk berkicau, tetapi untuk menjawab kalau ditanya, tahu?! Mengapa kalian diam‑diam saja, apa kalian yang sudah mempergunakan dia untuk mendongkel kami? Kami kan wakil yang kalian pilih langsung! Percaya dong! Jangan biarkan kepribadian kalian dihancurkan oleh pengaruh asing. Kepribadian kalian akan sesat semua!"
            "Tapi katanya mulutnya itu Bapak yang memberikan?"
            "Memang. Tapi maksud kita bukan untuk dipakai obral begitu. Begini jadinya kalau orang yang tidak punya mulut tiba‑tiba punya mulut, jadi ngawur. Main gosip, memfitnah, membakar‑bakar, itu bukan demokrasi tahu! Ayo cepat ! Amanken dia!"


            MENEMBAK DENGAN PENTUNGANNYA


            Setahun perempuan itu menghilang. Kami tidak sempat memprotes karena baru mau bergerak tahu-tahu tarif listrik naik. Beras mahal. Walah, kami terpaksa melupakan perempuan itu, karena tuntutan mengisi perut lebih penting.
            Ketika wanita itu kemudian pulang kembali tanpa mulut, kami terima seperti kejadian biasa. Kami sudah dengar bagaimana mulutnya diratakan, dikembalikan kepada asalnya. Di bawah hidungnya yang cantik itu sekarang kembali tegalan yang penuh dengan misteri. Kosong tapi sesak dengan suara‑suara terpendam seperti dulu.
            Bedanya, semuanya tidak bisa dikembalikan persis seperti semula. Banyak yang berubah. Antara lain matanya. Meskipun bentuk mata itu ukurannya seperti dulu, tapi sinarnya sudah lain. Ada bayangan gelap. Sinar mata orang yang biasa bebas ngomong seenaknya tapi ujug-ujug dibungkam dengan kekerasan. Ya sakit bukan main. Mata itu menyala, marah dan dendam.
            Kami sedih. Kami ingin menolong. Tapi sekali lagi muncul halangan. Uang pendaftaran anak-anak sekolah naik. Tarif listrik juga ikut ngaceng. Kembali kami tak sempat ikut memikul beban perempuan tak bermulut itu. Kami sendiri nyaris terkubur nasib hidup-hidup. Untung kami sudah dilatih berkali-kali oleh  pemerintah jadi orang miskin. Jadi kami cepat terbiasa menahan sakit, tetap mampu mengencangkan tali pinggang, tidak boleh mengeluh dan kalau perlu makan batu.



TERDENGAR SUARA WAKTU BERGESER. MENGGANTUNGKAN SESUATU DI TALI.

            Pada suatu pagi, seorang tetangga kami menjerit.


            MENJERIT DAN MENARIK TALI. NAMPAK SESUATU TERGANTUNG.


Ya Tuhan wanita yang tak bermulut itu, bergantung di cabang pohon nangka dalam keadaan sudah tak bernyawa. Di kakinya, ada surat pengakuan. Suara yang tak mampu ia katakan sendiri.
            "Barangkali ini salah. Aku minta maaf. Tapi aku sudah putuskan memilih kesalahan ini, untuk menghentikan segala kejadian yang berulang‑ulang dengan buas menimpa diriku."
            Warga desa gempar. Kami ketakutan. Kami memerlukan penjelasan. Seharusnya setelah itu, petugas dari pusat itu muncul. Tapi seperti biasa, kalau sudah diperlukan aparatnya absen. Bangsat.
            "Tapi beliau sudah lama sakit‑sakitan. Dan kemudian sebenarnya sudah mati lebih dulu dari perempuan tak bermulut kalian yang mati menggantung diri itu, "bunyi surat dari pusat.
            Kami bingung oleh kejadian beruntun itu.
            Kemudian kami menunggu, bersiap‑siap kalau‑kalau harga BBM atau tarif listrik akan naik lagi. Atau ada bom meledak, agar kami bisa mengalihkan pikiran, mengelak, berpegang, supaya tidak dikubur pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada jawabannya.
            Tapi semua itu tidak terjadi. Kami terpaksa mengulum pembunuhan perempuan yang tak bermulut itu lama‑lama, sampai kenyang. Sampai gembung. Sampai bosan muak. Lalo muntah. Akhirnya menerima.
            Bertahun‑tahun kami masih tetap dihantui wanita tak bermulut yang mati dibunuh dengan kejam itu.


SUARA KETUKAN WAKTU BERGESER. TERDENGAR BUNYI HP. IA MENCARI –CARI LALU MENGELUARKAN HP-NYA.


Jangan  dikira pengamen tidak punya HP.


MENJAWAB HP


            Ya? Apa? Ada lagi? Oke. Aku ke situ sekarang.


MENUTUP HP. MEMBUKA BUNTALAN. DAN MENGELUARKAN BONEKA BAYI YANG TAK ADA MULUTNYA.


Ada kabar, seorang wanita tidak bermulut sudah lahir lagi di Puskesmas. Kami warga, rebutan menengok ke sana. Sampai‑sampai kaca pintu Puskesmas pecah, karena semua berlomba ingin memandangi bayi itu dari dekat. 
            Ya Tuhan, betul. Tidak ada mulutnya. Kami tidak melihat ada mulut bayi, hanya dataran yang buntu. Dataran buntet yang meskipun kecil, pasti akan menyimpan rahasia. Lalu kami mengerling matanya. Kami harap mata bayi itu akan mampu bicara mengggantikan mulutnya yang tiada, seperti almarhumah.
            Tapi yang kami harapkan tak terjadi. Sekali lagi ya Tuhan, bayi tak bermulut itu, ternyata seorang bayi cacad biasa. Memang benar ia tanpa mulut, tetapi matanya, matanya itu. Aduh sialan, ya Tuhan matanya itu kok kosong, kosong-melompong, ternyata itu bukan mata yang mencakar seperti wanita yang digantung itu. Mata bayi yang tidak bermulut itu, hanya mata manusia biasa yang tak menolong ketiadaan mulutnya. Ia berbeda. Kami jadi amat sangat betul-betul kecewa.
            “Kenapa mata bayi itu kosong?”
            "Ia sudah kulino," bisik perawat.
            "Apa?"
            "Dokter bilang, ini generasi kedua. Jadi sudah kulino, meskipun ia tidak punya mulut, ia tetap tenang karena sudah biasa. Alah bisa karena biasa. Ia sudah nrimo nasibnya."


PENGAMEN ITU MENUNJUKKAN BONEKA KEPADA PENONTON. KEMUDIAN MENYERAHKAN KEPADA SEORANG PENONTON AGAR DIEDARKAN UNTUK DILIHAT OLEH SEMUA YANG NONTON. IA SENDIRI KEMUDIAN KEMBALI MENUTUP MULUTNYA . TERDENGAR BUNYI-BUNYIAN. PENGAMEN ITU BERGERAK SEPERTI MEMPERAGAKAN GERAKAN BATIN.

LAMPU MEREDUP.



                                                         SELESAI

0 Response to "MULUT"