B U
D A Y A
Teater sebagai Gerak
Budaya
Oleh S. Yoga
Menurut Subagio Sastrowardoyo, Dalam Bakat Alat dan
Intelektualisme,seni merupakan unsur kspresi
yang paling penting di dalam budaya. Seni bahkan sering juga disamakan belaka
dengan budaya. Budayasendiri memiliki makna yang lebih luas dalam bidang
lingkupnyaaripada seni belaka, tetapi dalam fungsinya mengucapkan pengalamankemasyarakatan
dan kemanusiaan, senilah yang paling sanggupmenyuarakan pengalaman itu dengan
lebih langsung, menyeluruh danlengkap. Ekspresi seni, apa pun bentuk dan
gayanya, adalah total,sekaligus dan tanpa sisa. Kehidupan budaya menemukan pada
seni alat ekspresinya
yang paling tepat dan utuh. Karena itu tidaklah jauh dari kebenaran, hingga
muncul identikasi budaya dan seni.Tulisan ini mencoba mengurai benang merah apa
yang pernah dilakukan oleh
para teaterawan, yang akhir-akhir ini rasanya kehilangan”kreativitasnya”.
Sementara itu, gerak budaya lewat aksi-aksi teaterikal justru
muncul dari kalangan aktivis, baik buruh, mahasiswa, maupun LSM.
Mereka tidak lagi terkungkung dengan batas ruang pementasan.
Tempat bisa saja di jalanan, plaza, timbunan sampah, depan walikota,
gedung DPR/MPR, kebun, maupun trotoar. Tema pun bisa tentang apa
saja, semisal dalam menyikapi hari lingkunganhidup, hari bumi, hari buruh, hari
anak, maupun dalam menanggapi kebijakan
pemerintah kenaikan BBM, kebijakan sampah. Apa pun pilihan bentuk,
isi pementasan atau aksi akan menjadi tanda,cara, strategi kebudayaan dalam
mempengaruhi, merespons kondisi sosial
dan budaya yang sedang terjadi. Dari pilihan-pilihan strategiini, nantinya
diharapkan semangat para teaterawan tergugah untuk kembali berkreativitas.
Dan, dari alternatif-alternatif yang ada mereka dapat menentukan
apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini, kebenaran menjadi kata
kunci yang selalu diagungkan dalam wujud pementasannya.
Kebenaran juga berkait erat dengan kebaikan dan keindahan. Pada
akhirnya, wujud seni pementasan teater juga akan mempengaruhi
keefektivitasan gerak budaya pada tataran selanjutnya.
Seni untuk Masyarakat Secara garis besar,
bila kita cermati perjalanan para teaterawan di Tanah Air selama ini,
ada enam kecenderungan dalam cara penyampaian dan berekspresi. Yang pertama merupakan
manifestasi budaya massa. Jadi, benarkah budaya massa—TV,
majalah, koran, iklan—begitu mempengaruhi kondisi berkesenian kita?
Karena banyak pementasan yang menyiratkan adegansinetron, misteri, detektif,
dan film laga. Yang mengharu-biru penonton
dengan realitas di angan-angan; watak budaya massa. Bisa jadi tanpa sadar para
pelaku pementasan yang bernapas budaya massa adalah produk
gilang-gemilang rekayasa budaya Orde Baru yang memang membatasi gerak budaya.
Budaya kritis dan analitis terhadap keadaan selama 32 tahun telah
dibungkam. Maka lahirlah budaya massa yang bersifat menyenangkan saja,
wishful thinking, realitas yang terjadi di dalam lamunan saja.
Hal ini memang dikehendaki Orde Baru agar tak ada lagi yang mampu
mengkritik kenyataan sosial-budaya yang saat itu terjadi, yang
sebenarnya membekap daya cipta dan daya hidup masyarakat. Justru
fenomena pementasan seperti ini secara sosiologis telah mengungkapkan
ketertindasan itu secara jujur dan tanpa disadari. Akhirnya mereka
menyikapi naskah dengan asal jadi pertunjukan, baik naskah bikinan sendiri
maupun adaptasi. Yang muncul di pentas tak lain konflik fisik dan
kata-kata, karakter tunggal: flat character menguasai pementasan.
Bentuk seninya masih dicari-cari dengan kreativitas yang belum
begitu terasah. Akhirnya usaha seni yang mestinya mampu memberi
kontribusi gerak budaya yang berarti belum tercapai. Akibatnya,
kesadaran sosial dan kemasyarakatan menjadi terabaikan. Untuk
pementasan, umumnya mereka memilih panggung atau gedung. Mungkin dalam
benak mereka panggung dan gedung merupakan syarat utama sebuah
pertunjukan teater. Bisa kita simak, sebagai contoh dari kasus yang
pertama adalah teater-teater dadakan, baik dalam lomba teater
maupun dalam pementasan-pementasan tujuh belasan, hari ulang tahun.
Bentuk kedua membuat dan memperlakukan naskah dengan
cara bermain-main.
Modal mereka cenderung melawak, seperti gaya srimulat dan komedi.
Kecenderungan ini bisa mengoptimalkan unsur satire dan komedinya jika pelaku
menahan nafsu melawak. Memang seni adalah ekspresi kreatif,
tanggapan, dan renungan seniman terhadap masyarakatnya. Ekspresi
yang muncul pun bisa jadi bersifat hiburan. Akhirnya, yang
mengemuka hiburan semata dan tema sosial, politik, budaya menjadi tidak
begitu penting. Alhasil sumbangan terhadap gerak budaya juga tak
banyak. Mungkin yang bisa menyelamatkan pementasan-pementasan
semacam ini hanyalah segi hiburan yang direspons sebagai ajang ”pelarian” dari
impitan kehidupan yang penuh kekerasan.
Padahal, bila digarap dengan baik, bukan tidak mungkinpementasan semacam ini
menjadi alternatif yang menyegarkan. Setidaknya, kita bisa menertawakan diri sendiri. Ketiga, meski dikemas
rapi dan baik, pertunjukan meninggalkan lubang besar pada kejiwaan
tokoh-tokohnya. Kelompok ini sebenarnya cukup menguasai teknik
teater. Namun, mereka kerap tergoda dengan hasratpemberontakannya sehingga
tidak sabar dan tidak jeli dalam menggarap teknik penyampaian
(khususnya) di naskah. Dan rupanya kredo dari kelompok-kelompok ini
memang sudah mengkhususkan diri yakni teater kesadaran yang
didaktis. Jika kelompok ini bisa keluar dari rasa ”amarah” yang
berlebihan, tentu hasilnya akan merupakan bentuk seni yang menarik. Seni
bukanlah entitas yang mati, melainkan menjadi gerakan kesadaran. Ia
dinamis sejalan dengan kesadaran manusia. Bentuk seninya akan
menggoncang kesadaran manusia-manusia yang dikooptasi budaya
birokrasi dan kesewenang-wenangan penguasa: dalam arti rekayasa budaya.
Dan akhirnya seperti yang dikatakan George Lukas, seni dalam
bentuk ini akan menunjukkan spiritnya yang sejati, menggeliat, meronta,
berteriak melawan situasi yang menindas, menghancurkan
kemanusiaan.
Karena itu sejalan dengan daya hidup manusia dan gerak
budaya sebenarnya. Karena modal utama kekritisan dan daya analisis yang
secara akal budi terhadap fenomena kemasyarakatan yang sedang terjadi
mereka kuasai. Sehingga bentuk seninya
akan mampu menerobos ke masa depan. Keempat, memilih naskah yang sublim,
tetapi ekspresi seninya kurang mendapat
porsi yang optimal. Sebenarnya, mereka bisa menggarap lebih jeli lagi, mengerahkan
segala daya kreativitas untuk mewujudkan kompleksitas karakter:
round character. Pementasan mereka akan lebih memberikan siraman
rohani. Batin kita merupakan roh dari gerak budaya. Mereka mampu
menyebarkan gagasan, tema yang penting guna
pencerahan masyarakat yang telah dikepung segala
silang sengkarut kenyataan.
Mereka akan mampu merefleksikan daya cipta yang mereka temukan secara sublim
dari ruang batin masyarakat yang tengah dikooptasi, dibungkam.
Bila dapat mengoptimalkan bentuk seninya, kelompok-kelompok
semacam ini adalah potensi besar bagi perteaterankita. Kelima, fenomena lain
yang kerap kita jumpai dalam pementasan teater, baik di gedung
kesenian maupun di kampus-kampus. Munculnya pertunjukan yang penuh
dengan konflik kata-kata, konflik fisik, konflik adegan,
terampil beratraksi, pandai beretorika, mencomot sana-sini istilah yang
lagi keren di periklanan, digabungkan dengan teknologi, politik dan
dihampirkan pada agama, jadilah pementasan teater. Ditambah
penguasaan medium lewat trik-trik adegan, jadilah pertunjukan yang
menakjubkan inderawi, bagai film futuris atau sirkus. Urusan peran
untuk sementara dilupakan. Yang
lebih penting adalah apa yang ingin disampaikan dalam pementasan, khususnya
yang menyangkut demokrasi, HAM, rakyat kecil, dan kemiskinan telah
mampu tersampaikan dalam pementasan itu. Pementasan menjadi alat
untuk mencapai tujuan tertentu yang berujung pada kemanusiaan. Maka
terjadilah sebuah revolusi dalam teater yang konon dikembangkan kaum
pembaharu yang tidak puas pada ”seni untuk seni”. Maka yang
penting adalah seni untuk masyarakat. Apalah gunanya seni bila tidak
bicara tentang kehidupan masyarakat yangtertindas. Keenam, mereka bersikap
santai dalam menyikap kehadiran ruang pementasan. Tak perlu gedung khusus
untuk memanggungkan karya-karya mereka.
Yang penting, maksud dan tujuan pementasan bisa sampai ke masyarakat luas. Bentuk
seninya umumnya berupa performance art di jalan-jalan, pasar,
swalayan, kampus. Tujuannya mengkritik isu yang sedang berkembang,
semisal kerusakan lingkungan, pengusuran, kekerasan dan lain sebagainya.
Istilahnya seni instan—yang nota bene juga cukup efektif untuk membangun gerak
budaya menuju demokratisasi.
Pementasan-pementasan semacam ini yang akhir-akhir ini marak, sebagai
sikap budaya tanding terhadap budaya global-arus besar yang mendesakkan
kepentingan mereka. Dari
berbagai kecenderungan pementasan ini, kita dapat menentukan pilihan terhadap
kelompok teater. Dari berbagai kelemahan yang ada, baik kurang optimalnya
daya ekspresi–bentuk dan isi maupun wawasan nilai sastranya.
Diharapkan dalam kesempatan mendatang kelompok-kelompok tersebut dapat
membenahi diri, bukan hanya katarsis
inderawi semata. Hal ini berkait dengan potensi—SDM—bagi jagad perteateran kita.
Keseimbangan antarkeduanya adalah hal yang sangat penting di dalam
karya teater-sastra. Keseimbangan keduanya akan memunculkan
kebenaran dalam berkesenian yang bisa menerobos melampaui batas-batas
moral yakni gambaran-gambaran keadaan yang humanis. Dalam titik ini ukuran
estetikanya, bentuk seninya berperan membimbing manusia dalam melakukan
pencarian berbagai bentuk kemungkinan
masyarakat humanis, gerak budaya yang lebih demokratis.
Memang karya sastra yang baik juga haruslah
menyuarakan semangat zaman,
zeitgeist. Atau lebih dalam lagi, ia tak akan lekang oleh waktu. Namun dengan
semangat zaman yang temporer dan membabi-buta, ia tak lebih sebagai
sebuah propaganda yang nilainya cuma sesaat. Tak ada kedalaman
renungan hidup. Yang ada hanyalah usaha penumpulan kecerdasan dan
kehalusan budi kita—tidak memberi keaktifan, pertanyaan dan
kegelisahan hidup—padahal kerja kebudayaan adalah sebaliknya. Di sinilah
letak dilematis ekspresi seni teater dan umumnya. Dan di sini
pula letak pentingnya kedudukan seni di dalam kehidupan. Ia bukan
lokomotif demokrasi tapi ia gerak roh budaya demokrasi itu sendiri.
Yang akan membimbing manusia di dalammenempuh gerak budaya, kapan pun manusia
hidup secara lebih manusiawi.
***
Penulis
adalah pengamat kebudayaan, alumnus FISIP Unair, tinggal di
Madiun.
0 Response to "Teater sebagai Gerak Budaya"
Post a Comment