JALAN PULANG
KARYA :
FAUZI
Matahari
hampir tenggelam diufuk barat, pertanda sebentar lagi malam akan tiba, tampaknya ia telah
lelah menggagahkan diri sepanjang hari ini.
Cahayanya yang selalu memberi setitik harapan bagi manusia untuk
memenuhi dan memuaskan kebutuhan jasmani dan rohani. Kehidupan penuh tanda tannya, kehidupan yang memberi berjuta harapan kepada
insani dalam menata kehidupan. Pada waktu malam orang-orang biasanya
beristirahat setelah sehari penuh malakukan aktifitas, berbeda denganku yang menjadikan
malam sebagai ruang untuk bekerja. Bagiku ada kepuasan tersendiri walaupun pekerjaan itu membuat masyarakat
memandangku hannya picingan mata.
Tapi aku senang, karena Aku
tidak menggantungkan diri pada orang lain dan aku tidak merugikan siapapun. Itu
jalan hidup yang ku pilih,
aku rasa orang lain tidak berhak untuk ikut campur.
“Ada
apa abang ku sayang? Diana mennyapaku dengan manja menepuk bahuku sambil mengedipkan matanya kearahku, membuat
aku tersentak kebiasaannya yang berkata manja, tinggkahnya yang selalu genit terhadapku kadang-kadang membuat aku risih.
Mungkin karena dia
seorang wanita penghibur, sudah menjadi kebiasaannya bersikap seperti itu“
nggak ada apa-apa jawabku singkat, “ayolah bang nggak mungkin nggak ada
apa-apa?” sambil menatapku nakal
terpaksa aku membuka mulutku. “kamu ingat nggak pakde yang datang
kemarin malam? Ternyata dia seorang
pemulung, dan tempat tinggalnya tidak jauh dari
kafe tempat kita kerja ini”!!.
Diana hannya tertawa “tumben abang memperhatikan orang lain? Biasanya abang selalu sibuk dengan diri abang sendiri? Belum
sempat aku menjawab, tiba-tiba Diana keburu pergi kerna ada tamu yang datang.
Fikiran
ku masih tertuju kepada Pakde
yang datang bertamu kemarin
malam, biarpun baru kenal tapi kata-katanya sangat luar biasa menyejukkan kalbu,
membuat aku tertanya-tanya siapa dia sebenarnya. Bait
kata-kata yang ia ucapkan membuat aku yakin dia bukan pemulung biasa.
Aku harus cari tahu dengan cara Aku harus
menemuinya, itu satu-satunya cara untuk menjawab pertanyan-pertanyaan yang
sangat menggangguku. “Malam” sapaku agak ragu kerna saat itu Pakde lagi sibuk
merapikan barang-barang bekas, “ masuk” jawabnya datar,
kerna aku masih berdiri dipintu pakde kembali mengulangi jawabannya dengan
ramah “lho.. kok masih berdiri dipintu?? Ayo masuk! “lembur ya
Pakde? Tannyaku, sambil melangkah masuk
sebenarnya pertannyaan itu hannya sekedar basa basi agar lebih akrab.
“he..he...ngak juga, Cuma barang-barang ini mau diantar besok pagi” kamu nggak
kerja? “lagi sepi pakde”. Terpaksa aku berbohong” tamu malam ini kurang, tidak
seperti malam kemarin.”aku coba lebih meyakinkannya. Pakde hannya
manggut-manggut sambil tersennyum. Pembicaraan kamipun semangkin hangat, cerita
demi cerita pengalaman demi pengalaman mengalir keluar dari bibirnya yang sudah lusuh.
Dari pertemuan itu barulah aku tahu, bahwa waktu tinggal
dipulau jawa dulunya pakde orang yang berada. Ia juga pernah mendirikan sekolah
suwasta sekaligus menjadi kepala sekolah
disana, punnya istri dan dikurnai seorang putri. Tapi itu semua lennyap ketika
pemerintah ingin menjadikan sekolah itu sekolah negeri, untuk mengurus itu
pakde mengeluarkan uang tidak sedikit. Bukan itu saja dikernakan pakde hannya
tamatan sekolah menengah atas dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika pemerintah
mengambil alih sekolah yang dibangun dengan jerih payahnya. Semenjak kejadian
itu kehidupan pakde sangat memperhatinkan, sementara kebutuhan hidup harus
dipenuhi. Kerna hidup semangkin susah terjadi konflik dalam keluarganya
sehingga pakde diusir oleh mertunya.
Pikiranku jauh menerawang entah kemana, ku hempaskan
tubuhku dikasur yang empuk harapan agar mataku bisa terlelap. Tapi ternyata aku
sangat sulit untuk memejamkannya, aku masih teringat dengan kata-kata pakde tadi, “Pintar perlu tapi ijazah dan
nama tambahan dibelakang nama itu lebih perlu, kalau tidak kita tidak tidak akan bisa jadi apa-apa” kecuali kita
seorang pengusaha yang kaya raya tidak perlu itu semua, kerna semunya bisa dibeli dengan uang. Kata-kata itu
membuat aku sadar bahwa jalan yang kutempuh selama ini adalah salah, bahwa
selama ini aku hannya memikirkan diriku saja. Aku masih muda, aku masih punnya harapan untuk hidup lebih baik kalau aku
mau berusaha. Besok aku kan pulang menemui kedua orang tuaku, aku butuh restu mereka, kerna aku sudah memutuskan aku akan kulyah.
Masalah dana itu urusan ke dua, semut saja dalam batang kayu lapuk bisa hidup,
inikan pula manusia. Aku akan berhenti dari perkerjaan ku, sudah saatnya
aku
meninggalkan tempat maksiat ini. Syukurku pada tuhan yang mengirimkan seseorang
yang telah membuka mataku yang selama ini terkotori oleh debu-debu duniawi yang
mennyesatkan. Pakde yang luar biasa, besok kita akan bertemu, aku ingin mengucapkan rasa terimakasihku dan sekalian aku pamitan…………………….
0 Response to "Cerpen Jalan Pualng karya Fauzi"
Post a Comment