JAGAD ESTETIKA SASTRA MELAYU
Abdul Hadi W. M.
Secara
geografis apa yang disebut Dunia Melayu merupakan sebuah kawasan yang luas dan
tidak mudah dijelaskan batas-batasnya. Namun secara budaya tidak sukar diberi
batas, terutama jika melihat hasil-hasil kesusastraanya. Sekalipun karya-karya
yang dapat dimasukkan ke dalam kesusastraan Melayu aneka ragam dan ditulis
dalam rentang zaman serta di tempat yang berbeda-beda, namun selalu tampak
adanya hal-hal yang menyatukanselain dari kesamaan bahasanya. Hal yang
menyatukan terutama ialah asas batin yang mendasari corak dan estetika
penulisannya, seperti pandangan hidup (way of life), gambaran dunia
(Weltanschauung) dan dunia nilai-nilai yang diungkapkan.
Khazanah
sastra Melayu begitu kaya dan naskah yang dijumpai melimpah. Isi naskah itu
juga anekaragam. Karya-karya yang termasuk ke dalam lingkup sastra Melayu itu
meliputi hikayat-hikayat teladan mulai dari kisah nabi-nabi Islam, dan
khususnya Nabi Muhammad s.a.w; kisah mengenai para Sahabat, orang suci atau
para wali, serta pahlawanpahlawan awal dalam sejarah Islam seperti Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Muhammad li
Hanafiyah, Hikayat Hasan dan Susin, sampai kisah tentang tokoh local seperti
Hikayat Hang Tuah, dan lain-lain.
Setelah itu muncul karangan bercorak sejarah, roman petualangan dan percintaan,
baik yang ditulis sebagai alegori sufi maupun pelipur lara. Misalnya Hikayat
Syah Mardan, Hikayat Malim Deman, Hikayat Isma Yatim, Hikayat Andaken Penurat,
Syair Ken Tambuhan, dan Syair Bidasari. Di sebelah itu terdapat teks-teks yang
digolongkan sebagai sastra adab, seperti mengenai undang-undang dan
penyelenggaraan pemerintahan seperti Taj al-Salatin. Di bagian lain terdapat pula apa yang
disebut karangan-karangan bercorak tasawuf
seperti syair-syair Hamzah Fansuri dan pengikutnya di Sumatra.
Karangan-karangan ini sangat besar pengaruhnya bagi bangsa Melayu dalam
membentuk pandangan hidup dan gambaran dunianya, serta tatanan nilai dalam
organisasi sosial. Kesemuanya itulah yang kemudian dijadikan asas metafisik
atau sendi ruhani dari kehidupan bangsa Melayu.Dalam hubungan ini tepatlah apa
yang dikatakan Braginsky (1994:42), bahwa kesusastraan Melayu klasik sangat
berharga bukan saja disebabkan ia telah
menjadi asas kebudayaan Melayu, tetapi juga karena sejak dahulu bahasa Melayu
telah berfungsi sebagai media komunikasi penduduk Nusantara di bidang
perdagangan, kebudayaan dan agama.
Dalam
kaitan inilah kesusastraan Melayu memainkan peranan sebagai penghubung antara
sastra Nusantara yang berbagai-bagai itu sama dengan yang lain melalui
kesusastraan Melayu. Melalui kesusastraan Melayu pembaca Nusantara bercermin
diri dan mengenal lebih mendalam dirinya, yaitu pandangan hidup dan gambaran
dunia yang ia serap dari Islam yang merupakan agamanya.Namun sebelum
membicarakan wawasan estetika Melayu seperti tampak dalam puncak-puncak
sastrnya, ada baiknya saya uraikan lebih dulu apa yang saya maksud estetika
dalam makalah ini.
Estetika Sebagai Teori Seni
Sebagai
cabang filsafat, estetika secara luas sering diartikan sebagai filsafat
keindahan dan secara khusus sebagai filsafat seni. Dalam makalah ini
akan diambil pengertiannya sebagai teori seni. Sebagai teori seni,
estetika membicarakan antara lain apa tujuan 2penciptaaan karya seni dan
bagaimana karya seni dicipta sehingga dapat memberikan kenikmatan estetik.
Melalui kenikmatan estetik itulah seorang pengarang atau penyair
dapatmempengaruhi jiwa masyarakatnya, dan melaluinya pula ia dapat menyampaikan
pikiran, gagasan dan perasaan-perasaannya. Batasan ringkas tentang estetika
sebagai teori seni tidaklah bertentangan dengan pengertian estetika itu sendiri
sebagai filsafat seni. Kata estetika (aesthetics) diperkenalkan pertama kali
oleh Baumgarten, seorang filosof rasionalis Jerman abad ke-18 M, dalam
bukunya Aesthetica (1750). Diambil dari kata-kata Yunani
aesthesis, yang artinya
pengamatan indera atau ssesuatu yang merangsanmg indera, estetika diartikan
sebagai pengetahuan yang berkaitan dengan obyek-obyek yang dapat diamati secara
inderawi dan merangsang indera. Obyek-obyek yang dapat diamati secara inderawi
dan memberi pengetahuan khusus adalah karya seni. Di dalam perkataan aesthesis
juga tercakup pengertian berkaitan reaksiorganism tubuh dan jiwa manusia
terhadap rangsangan yang datang dari luar.
Di
Asia, walaupun istilah yang sepadan dengan
kata-kata estetika tidak dikenal,
pembahasan tentang estetika sebagai teori seni
selalu dihubungkan dengan spiritualitas. Bertolak dari pandangan yang
mengacu kepada spiritualitas dan prinsip bahwa seni dicipta tidak dari kekosongan
rohani dan pengalaman batin, Comaraswamy berpendapat bahwa pengertian yang
diberikan sebagian besar ahli-ahli estetika Eropa mereduksi karya seni semata
sebagai fenomena psikologi dan selera subyektif. Dari pengertian seperti telah
dikemukakan di Eropa lahir beberapa teori seni yang membatasi seni dengan penikmatan sensual dan selera subyektif. Agar
sedikit jelas, baiklah saya kemukakan
dua teori menonjol abad ke-19 dan 20 M
yaitu teori bentuk signifikan dan teori
ekspressi. Teori bentuk dikemukaka oleh estetikus seperti Zimmerman, Clive Bell
dan Roger Fry. Dalam bukunya Art (1914)
Bell mengemukakan bahwa semua seni visual dan musikmemiliki bentuk signifikan.
Karya seni dihargai orang karena menyajikan bentuk-bentuk siginifikan. Pengasas
teori ini bertolak dari pandangan keutamaan ciri obyektif dari seni dan ciri
obyektif yang menonjol dari seni ialah bentul-bentuk yang dihadirkan, yang
dapat memberikan penikmatan estetis kepada jiwa penikmatnya. Di dalam seni
lukis bentuk ini terbina melalui
gabungan garis, warna, dan unsur kesenirupaan lain yang menimbulkan tanggapan
khusus berupa perasaan estetis. (The Liang Gie 1996:31).
Menurut
penganut teori ini, tugas seniman ialah melahirkan bentuk-bentuk indah dan
memikat dalam karya mereka. Keindahan seni dalam pandangan ini melekat pada
bentuk dan tidak berada diluarnya. Beberapa aliran seni yang lahir dari teori
ini antara lain ialah realisme formal dan naturalisme naif. Ditelusuri ke belakang sejarahnya, teori ini
berakar pada pandangan Arsitoteles yang
mengatakan bahwa seni merupakan tiruan (mimesis) dari kenyataan/alam.
Dalam teori ini apa yang disebut tema,
gagasan, pesan moral atau isi tidaklah penting dalam karya seni. Ini tampak
dalam pandangan Bell ketika berbicara tentang lukisan, “Kalau suatu bentuk penggambaran
(representation) memiliki nilai, maka nilai yang dimaksud hadir sebagai bentuk,
bukan sebagai penggambaran dari suatu tema atau gagasan.” Jadi bentuk adalah
pesan itu sendiri dan seni cenderung dikosongkan dari pesan moral. Teori bentuk merupakan sanggahan terhadap
teori representasi atau penggambaran yang telah ada sebelumnya. Dalam teori
representasi dikatakan bahwa seni
merupakan representasi/ penggambaran atas atau tentang sesuatu seperti tema
atau gagasan. Teori kedua yang penting dan
muncul sesudah teori bentuk adalah teori ekspresi. Bagi pencetus teori
ekspresi suatu karya seni tidak memenuhi syarat bila hanya menghadirkan
bentuk-bentuk siginifikan. Seni juga harus bersifat ekspresif, dalam arti
3menyatakan sesuatu yang ada dalam jiwa manusia, terutama perasaan dan pikiran. Seperti dikatakan John Hospers (1967), “Art
is an expression of human feeling.” Di sini pencetus teori ekspresi ingin
menyatakan bahwa dalam menciptakan karya seninya seorang seniman mengungkapkan
apa yang dialami, dirasakan dan dipikirkan. Apakah seni? Menurut Tolstoy “Seni
menghadirkan dalam diri sendiri suatu perasaan yang telah dialami seseorang dan
setelah memunculkan dalam diri kemudian dengan perantaraan gerak, garis, warna,
suara, atau bentuk yang yang diungkap dalam kata-kata, maka ia telah memindahkan
perasaan tersebut sehingga orang lain ikut mengalami perasaan yang sama. Inilah
yang disebut kegiatan seni.”
Tentu
saja masih ada beberapa lagi teori seni lain pada abad ke-20 dan awal abad
ke-21 ini yang berpengaruh. Tetapi saya
cukupkan dengan mengemukakan dua teori
tersebut sebagai perbandingan atau ancang-ancang untuk membahas estetika
Melayu. Seni dan Spiritualitas. Semacam teori bentuk dan teori ekspresi
sebenarnya telah muncul di Asia sejak lama. Teori bentuk misalnya terlihat
dalam lukisan-lukisan Tiongkok yang menekankan kepada keindahan bentuk lahir
dari obyak yang dilukis, tanpa pesan moral yang dibebankan kepadanya. Teori
ekspresi tampak dalam sastra India dan Arab lama, di mana perasaan dipandang
sebagai hal paling utama untuk diungkap dalam puisi atau syair. Akan tetapi dua
teori ini tidak diterima dalam pengertian yang murni seperti pada abad ke-20.
Keyakinan yang luas di Asia ialah anggapan bahwa seni dan estetika harus
mengandung pengjaran di satu hal, dan di lain tidak bisa dipisahkan dari
spiritualitas atau ajaran keruhanian. Ini karena seni, khususnya sastra, di
satu sebenarnya merupakan ilmu yang disampaikan secara estetik dan di lain hal
apa yang disebut keindahan itu tidak lain merupakan pengalaman keruhanian. Makin
tinggi tingkat pengalaman keruhanian seorang seniman, maka mutu dan bobot karya
seni yang dia ciptakan akan semakin tinggi pula.
Pada
abad ke-20, teori bentuk dan ekspresi mendapat penolakan dari beberapa
estetikus Asia seperti A. K. Comaraswamy, Seyyed Hosein Nasr, dan Pabitra
Kumar. Mereka tidak puas pada pengertian bahwa masalah keindahan atau
penikmatan estetis dalam seni dibatasi pada penikmatan tentang bentuk dan
perasenurut mereka. Seyyed Hossein Nasr
(1987) dan Pabitrakumar (1990) memandang bahwa seni juga
bertalian dengan hasrat Misalnya sebagaimana tampak dalam puisi-puisi
Jalaluddin Rumi di Persia, dan Rabindranath Tagore dan Muhammad Iqbal pada abad
ke-20 M. Dari pandangan ini pulalah lahir pembagian seni seperti dibuat Comaraswamy dan klasifikasi Braginsky tentang karyakarya
Melayu Klasik.
Comaraswamy
mengklasifikasikan seni ke dalam tiga kelompok : (1) Seni murni atau
tulen, yaitu seni yang benar-benar
bertalian dengan masalah kerohanian dan ketuhanan, seperti syair-syair mistik
di India dan Jawa atau syair-syair tasawuf dalam sastra Arab, Persia, dan
Melayu. Dikatakan murni karena tak mengandung pamrih duniawi dan semata ditulis
bagi penyempurnaan batin pembacanya; (2) Seni dinamik, yaitu karya seni yang
mengetengahkan persoalan kemasyarakatan dan kegiatan manusia dalam bidang
sosial, politik, ekonomi, pemerintahan, dan budaya; (3) Seni apathetik, yaitu
karya-karya seperti pelipur lara yang menekankan pada hiburan seraya memasukkan
unsur pengajaran ke dalamnya. (Abdul
Hadi 2007).
Klasifikasi
Comaraswamy dibuat berdasar penelitian mendalam dan luas atas seni Asia,
khususnya India, Indonesia dan Persia. Di sini tampak bahwa dalam hal-hal
tertentu seni dihubungkan dengan ajaran agama dan kearifan. Di lain hal seni
juga harus menggambarkan sesuatu yang melaluinya seseorang seniman menyampaikan
pesan moral atau keruhanian. Dari
pendirian seperti itulah muncul beberapa pandangan yang berbeda mengenai
sastra, yang masing-masing dipatuhi oleh para penganutnya. Pertama, pandangan
yang mengatakan bahwa sastra yang baik harus
memenuhi fungsi sebagai sarana pengajaran. Termasuk pengajaran adalah
kritik sosial dan gagasan keagamaan. Kedua,
pandangan yang berpendapat bahwa pada hakekatnya sastra merupakan
permainan kata-kata indah yang memberikan penikmatan estetis tertentu khususnya
menghibur. Dari pandangan ini lahir karangan yang disebut pelipur lara, namun
kemudian dengan munculnya agama Islam diberi isi berupa pengajaran yang
berfaedah. Ketiga, sastra/puisi adalah
eklspresi perasaan dan pikiran individual pengarang yang bisa saja juga
merupakan perasaan orang lain dalam suatu komunitas. Keempat, sastra adalah
hasil perenungan terhadap pengalaman batin si penulis dalam mengamalkan ajaran
agama atau kerohanian yaitu tasawuf.
Menarik
juga dikutip di sini klasifikasi yang dibuat Braginsky (1993). Dia
mengelompokkan karya-karya Melayu warisan peradaban Islam menjadi tiga berdasar persoalan yang
dikemukakan : (1) Karya yang menggarap lapis Kesempurnaan dan Estetika Batin; (2)
Karya yang menggarap lapis
Faedah dan Hikmah; (3) Karya yang menggarap lapis Hiburan dan Estetika
Zahir.(1). Karya-karya yang menggarap lapis kesempurnaan
jiwa (kamal), menggambarkan upaya manusia mencapai
pengetahuan tertinggi
(ma`rifat), jalan kerohanian
(suluk), bentuk pengalaman
dan keadaan rohani (maqam dan ahwal)
yang diperoleh seorang penempuh jalan rohani (salik) dan lain
sebagainya. Karya-karya yang
menggarap sfera kesempurnaan jiwa ini
juga menggambarkan cita-cita
manusia mencapai pribadi insan kamil meneladani Nabi
Muhammad s.a.w., kerinduan
seorang `asyik(pencinta) kepada
Sang Kekasih (mahbub), yaitu Yang Satu.
Dalam karya kategori ini dipaparkan juga jalan
pengenalan diri, yang amat penting bagi seorang Muslim untuk
mengenal perannya sebagai
khalifah Tuhan di atas dunia dan sekaligus hamba-Nya. Syairsyair semacam ini juga sering disebut
sebagai syair-syair Tauhid dan Makrifat.
Selain ditulis
dalam bentuk puisi
didaktis dan simbolik, juga ada
yang ditulis dalam bentuk kisah
perumpamaan. Karya-karya Hamzah
Fansuri dan murid-muridnya seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri,
Syamsudin Pasai, dan juga beberapa karangan Abdul Rauf Singkel dan lain-lain
termasuk dalam kategori ini.
Kecuali karya tiga penulis ini terdapat
karya ahli tasawuf
lain yang namanya belum diketahui.
Di antaranya Syair Perahu (dalam
tiga versi yang berbeda),
Ikat-ikatan Bahr al-Nisa'
(Lautan Perempuan),
Syair
Dagang (yang agaknya ditulis
penyair asal Minangkabau), Hikayat
Burung Pingai, Syair Alif dan lain-lain.Menurut Braginsky
(1993) karya-karya yang termasuk ke dalam kategori ini mempunyai tujuan
menyucikan kalbu dan jiwa
manusia, karena kalbulah yang merupakan sarana penghayatan
intuitif terhadap keberadaan Yang Haq dan Yang Satu. Keindahan yang dipaparkan dalam keindahan batin yang berhubungan dengan
gagasan sufi tentang kesempurnaan jiwa manusia. (2) Karya-karya yang mengungkap lapis faedah,
yaitu keindahan pemikiran tentang sesuatu atau adab yang dapat memberikan
faedah bagi pembacanya, terutama berkenaan dengan kehidupan sosial dan
kehidupan menjalankan perintah agama.
Termasuk dalam 5 kelompok ini ialah Hikayat Nabi
dan Sahabat, Hikayat Pahlawan
Islam, serta karya kesejarahan dan adab. Karya katagori ini bermaksud
memperkuat dan menyempurnakan akal
manusia, yaitu sarana intelektualnya, dengan membeberkan
kisah-kisah yang mengandung hikmah dan pengajaran. Di antara karya termasuk
sastra adab yang terkenal ialah Taj
al-Salatin (Mahkota Raja-raja) karya
Bukhari Jauhari dan Bustan al-Salatin (Taman
Raja-raja) karya Nuruddin Raniri dan Nasih Luqman al-Hakim (anonim).
Karyakarya ini menjadi cermin pengajaran dan tuntunan bagi
raja-raja, pegawai pemerintahan
dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan pemerintahan
agar tercapai keadilan dan kesejahteraan sosial, dan dengan demikian agama
berkembang. Sedangkan karya bercorak sejarah
menggambarkan jatuh bangunnya raja-raja
dan dinasti, sebab-sebab kejatuhan dan kebangunannya, peristiwa-peristiwa
penting yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat dan jalannya sejarah.
Karya bercorak sejarah ada yang ditulis dalam
bentuk syair dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Bustan
al-Salatin merupakan karya
bercorak sejarah dan adab.
Karya bercorak sejarah lain yang
terkenal ialah Hikayat Aceh (anonim),
Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu
karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Jumlah karya
bercorak sejarah sangat banyak. Selain yang telah disebut,
karya kesejarahan lain yang masyhur ialah Hikayat Pasai, Hikayat Merong
Mahawangsa, Hikayat Banjar, Misa
Melayu, Hikayat Johor, Hikayat
Maulana Hasanuddin Hikayat Patani, Sejarah Rajaraja Riau, Salasilah Melayu dan
Bugis Salasilah Kutai, Hikayat Bengkulu dan lain-lain. Yang ditulis dalam bentuk syair di antaranya ialah Syair
Perang Mengkasar, Syair Sultan Maulana, Syair Moko-moko, Syair Sultan
Zainal Abidin, Syair Perang Siak, Syair Pangeran Syarif
Hasyim, Syair Singapura Terbakar, Syair
Siti Zubaidah Perang
dengan Cina, Syair Kompeni Walanda Perang dengan Cina dan
lain-lain. Menurut Ali Ahmad (1991)
karya bercorak sejarah yang
disebut salasilah memiliki unit
cerita yang terdiri dari
kisah-kisah dan legenda,
namun tidak seperti
hikayat yang diikat oleh perkembangan tokohnya
yang stereotype, karya kesejarahan diikat oleh perkembangan kejadian
dan hikmah yang dikandung dalam kejadian
tersebut. Krisis yang terjadi dalam sebuah negara, yang membuat jatuhnya sebuah
dinasti atau seorang raja, selalu dicari
sebabnya pada krisis moral dan akhlaq, serta
penyimpangannya terhadap ajaran Islam, misalnya tidak dilaksanakannya keadilan dan raja tidak
lagi taat pada undang-undang dan tidak berperan sebagai pelindung rakyat
dalam arti yang sebenar-benarnya. (3)
Karya yang menggarap lapis hiburan dan
estetika zahir (luaran), termasuk ke dalam jenis ini
ialah Pelipur Lara. Tujuan karya
seperti itu ialah menyerasikan
kesan-kesan kejiwaan yang kacau disebabkan kobaran hawa
nafsu, sebuah sarana penghayatan
indrawi atau sensual
manusia dalam menanggapi
kehidupan. Kesan-kesan kejiwaan yang kacau
harus diserasikan dengan nilai
moral dan ajaran agama, dan upaya ke
arah itu dicapai melalui bantuan
keindahan karya sastra yang memberikan semacam psikoterapi kepada jiwa, yaitu
menghibur atau melipur. Karangankarangan dalam
kategori ini termasuk
hikayat dan syair percintaan,
kisah petualangan yang dibumbui kisah-kisah
luar biasa atau ajaib. Kisah-kisah ajaib ini tidak dimaksudkan sebagai mitos,
melainkan sebagai representasi pengalaman
jiwa manusia yang ruang kejadiannya berlaku di alam misal atau alam
imaginal.
Ibnu Sina dan Estetika Melayu
Estetika
Melayu, terutama seperti tampak dalam sastranya, adalah turunan dari estetika
Islam yang dasar-dasarnya antara lain diletakkan oleh Ibn Sina dan Imam
al-Ghazali. Karena itu ada baiknya saya paparkan secara ringkas pandangan dua
filosof Muslim awal itu mengenai estetika, baik sebagai teori seni maupun
sebagai filsafat keindahan.Ibnu Sina, dan juga pendahulunya al-Farabi, adalah
filosof Muslim awal yang secara tersurat membicarakan pentingnya estetika dalam
hubungannya dengan perkembangan seni dalam Islam. Walaupun risalahnya tentang
estetika yaitu Kitab al-Shi`r membicarakan estetika penulisan puisi atau
puitika, namun secara tersurat membicarakan pula konsepkonsep yang berkaitan
dengan penciptaan seni secara umum terutama seni rupa. Ini terbukti dengan
besarnya pengaruh pemikiran Ibnu Sina dalam perkembangan seni rupa Islam
khususnya lukisan geometri dan arabesque (seni hias tetumbuhan) yang merupakan
bentuk seni rupa menonjol dalam Islam selain kaligrafi (khat). Pembahasan Ibn
Sina antara lain bertolak dari dua konsep kunci mengenai penciptaan seni yang
diperdebatkan oleh Plato dan Aristoteles di Yunani, yaitu mimesis
(tiruan) dan creation (ciptaan). Menurut Plato seni yang dicipta
berdasarkan prinsip mimesis atau tiruan dari kenyataan/alam bukan merupakan
karya seni yang bagus. Seniman yang melahirkan karya seni berdasarkan
prinsip mimesis mengandalkan semata-mata pada pengamatan
inderawi. Seni atau sastra yang baik adalah turunan atau salinan kreatif
(creation) dari idea yang ada dalam
pikiran seniman. Seni seperti lahir melalui aktivitas kontemplasi dan meditasi.
Aristoteles sebaliknya memandang sebaliknya. Seni yang baik menurutnya dicipta
berdasar prinsip mimesis. Walau seperti
meniru kenyataan atau alam, namun peniruan itu dilakukan seniman itu melalui
proses intelektual tertentu. Dikotomi
mimesis dan creation sebagai asas penciptaan seni ini
terus diperdebatkan hingga kini dalam seni modern, namun dalam tradisi Islam
sudah dipecahkan hingga tidak dipersoalkan lagi. Yang berjasa memecahkan
persoalan ini ialah al-Farabi dan Ibnu Sina.Bertolak dari sinthesa pandangan
Plato dan Aristoteles, seraya meneliti perkembangan seni Islam khususnya puisi
pada zamannya, Ibn Sina mengatakan bahwa seni/puisi adalah persembahan estetis
berdasarkan mimesis (mutabaqah) dengan menyertakan prinsip penciptaan secara
kreatif untuk suatu tujuan tertentu melebihi persembahan non-puitik. Dalam
proses penciptaan, seorang seniman tidak hanya mencipta dengan bersandar pada
akal rasionalnya, tetapi juga menggunakan apa yang disebut imaginasi (takhyil).
Seorang
penyair, kata Ibnu Sina, mencipta untuk menjelmakan pengalaman estetik
(iltizat) ke dalam obyek visual/ gambar-gambar atau citra yang dicerap indera
yang dengan itu apa yang hendak dikemukakan dapat dihidupkan kembali dalam
imaginasi penikmatnya.Melalui citraan-citraan yang menggambarkan suatu perasaan
atau pikiran itu, seorang penyair terutama ingin memberikan kenikmatan estetis
kepada penikmatnya seraya menyampaikan pesan moral atau kerohanian tertentu.
Menurut Ibn Sina, karya seni/puisi pada hakekatnya bersifat imajinatif
(mutakhayyil). Kata mutakhayyil,
sebagaimana takhyil, dibentuk berdasarkan akar kata kh y l, yang
arti harfiahnya “membuat percaya”. Berdasar pengertian yang diberikan kepada
akar katanya itu, maka perkataan takhyil
(imajinasi) diberi arti
“seperangkat tindakan yang dapat menyebabkan seseorang memberi tanggapan
langsung tanpa perlu berpikir lama terhadap sesuatu”, yaitu puisi atau karya seni. Sedangkan kata
mutakhayyil (imajinatif) diberi arti,
“obyek pengetahuan yang dapat ditangkap secara langsung tanpa berpikir lama,
misalnya mengenai pikiran dan perasaan tertentu yang diungkap atau
diekspresikan dlalam sebuah puisi.” (Abdul Hadi W. M. 2004:251-2). 7Di lain hal dalam Kitab Ihsa` al-`Ulum
al-Farabimemberi artiarti terhadap kata takhyil sebaga “proses kejiwaan yang
menyebabkan seni menjadi imajinatif, evokatif, dan kreatif”. Kata takhyil digunakan di sini untuk menggantikan kata mimesis
sebagaimana digunakan Plato ddan Aristoteles. Sebab, menurut al-Farabi,
dalam kata-kata imajinatif dan imajinasi, sudah terkandung pengertian yang
merujuk kepada meniru, menyalin, atau menggubah berdasarkan sesuatu yang
dijadikan gubahan. Penyalinan menggunakan imajinasi yang dilakukan
penyair/seniman berbeda dari penyalinan yang dilakukan ilmuwan dalam melahirkan
wacana ilmiah. Yang terakhir ini mendasarkan diri pada obyektivitas dan penalaran
rasional logis, sedangkan imajinasi bersifat subyektif dan pribadi, dan tidak
memerlukan pembktian rasional obyektif atau logis untuk meyakinkan penikmat
seni. Yang hendak disajikan penyair atau sastrawan bukanlah kebenaran ilmiah,
melainkan bentukbentuk pengalaman spiritual yang disebut iltizat, yaitu yang lazim disebut pengalaman estetik.
Berdasar
pandangan ini Ibn Sina mengatakan bahwa hubungan antara obyek-obyek estetis
dalam karya seni dan realitas/alam dapat dirumuskan sebagai berikut: (1)
tahsin, artiharafiahnya stilisasi atau upaya membuat sesuatu lebih indah dan
teratur, jadi kenyataan sudah dirobah untuk tujuan estetis; (2) taqbih, arti
harafiahnya deformasi; (3)
mutabaqah, yaitu pemberian keseimbangkan antara dimensi lahiriah dan
rohaniah obyek/kenyataan. Disini sesuatu tidak hanya ditonjolkan sosok
lahiriyahnya melainkan disingkap juga keadaan rohaniahnya. Dari sini lahir
konsep tentang bentuk (surah) dan isi
(ma`na). Prinsip ini ditegaskan dalam bentuk puisi Melayu yang popular yaitu
pantun, yang terdiri dari sampitan dan isi.
Gagasan
bahwa seni/puisi merupakan salinan dari pengalaman estetik melahirkan pandangan
bahwa tidak ada hubungan langsung antara kenyataan dalam karya seni/sastra dan
kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Penyair menulis puisi bukan untuk menyajikan kenyataan
sebagaimana adanya, tetapi kenyataan yang telah diresapi dengan perasaan,
pikiran atau gagasan yang ada dalam jiwanya. Dengan perkataan lain, kenyataan
yang disajikan dalam puisi adalah kenyataan yang telah dibentuk oleh pengalaman
batin dan pandangan hidupnya sendiri, serta diberi nilai secara pribadi oleh
sang penyair. Wawasan estetika yang diletakkan Ibn Sina dan al-Farabi,
dilanjutkan oleh beberapa penulis sufi seperti Imam alGhazali, Ibn `rabi,
Jalaluddin Rumi, dan lain-lain. Menurut mereka,
puisi atau karya seni pada umumnya, bukanlah salinan langsung dari kenyataan
melainkan salinan dari dari kenyataan yang hidup dalam jiwa penyair/seniman.
Puisi tidak lebih dari ibarat atau perumpamaan tentang yang ada di dalam alam mithal
atau jiwa manusia. Sebagai
ibarat, puisi/seni menyampaikan sesuatu melalui sesuatu yang lain.
Sesuatu yang lain disebut mithal (simbol) dan yang diibaratkan disebut yang
disimbolkan atau dimisalkan. Yang dimisalkan inilah pesan atau isi suatu karya
seni, yang dengan perkataan lain disebut ma`na. Sedangkan perumpamaan/simbolnyadisebut
surah. Berdasarkan pemikiran ini penulis-penulis sufi kemudian mengembangkan
teori representasi. Karya seni/sastra tidak lain adalah
representasi/penggambaran secara simbolik
dari
gagasan dan pengalaman seorang seniman. Penggambaran itu sendiri dilakukan melalui
suatu perenungan yang mendalam, sehingga timbul pendirian bahwa karya seni
adalah hasil perenungan terhadap gagasan dan pengalaman batin yang
ditransformasikan ke dalam ungkapan estetik seni. Dengan munculnya pendirian
ini maka teori bentuk dan teori ekspressi yang dominan dalam seni modern, tidak
memadai untuk menjelaskan wawasan estetika yang berkembang di dunia Melayu.
Khususnya sehubungan dengan penciptaan karya sastra.8 Ada beberapa alasan bisa
dikemukakan mengapa demikian. Salah satu di antaranya pandangan hidup (way of
life) Melayu tentang keindahan dan
nilai-nilai keindahan. Pandangan ini bersumber dari Islam yang memandang bahwa
keindahan rohaniah lebih penting dari keindahan lahiriah. Alasan lain ialah
gambaran dunia (Weltanschauung) Melayu, yang memandang bahwa alam semesta adalah
bagaikan sebuah Kitab Agung yang di dalamnya terhampar dan terbentang
ayat-ayat-Nya atau tanda-tanda-Nya yang menakjubkan. Wawasan estetika penulis
Melayu sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup dan gambaran dunia ini. Alasan
lain yang muncul kemudian ialah konvensi yang mengharuskan karangan sastra, apa
pun bentuk, jenis dan coraknya, mesti mengandung pengajaran atau hikmah.Dengan begitu karangan yang baik tidak hanya indah bahasanya, melainkan harus mengandung isi sehingga bermanfaat. Dalam sastra sufi, lebih jauh
karangan sastra seperti syair dikarang sebagai suluk atau jalan keruhanian. Sebagai jalan
keruhanian, sebuah puisi misalnya, dapat dijadikan kendaraan jiwa untuk naik
dari alam jasmani menuju alam ruhani dan
ketuhanan.
Pandangan
penulis Melayu tentang pentingnya keindahan ruhaniah dibanding keindahan
lahiriah, sangat dipengaruhi oleh pandangan Islam. Hadis Nabi misalnya mengatakan bahwa keindahan
ruhaniah (jamal) merupakan keindahan
mutlak yang mengandung hikmah, sedangkan keindahan lahiriah (husn) sifatnya
memukau (sihr). Pandangan itu lebih jauh dapat dirujuk pada Imam al-Ghazali,
yang kitabnya Ihya `Ulumuddin menjadi bacaan luas para ulama dan cendekiawan
Melayu termasuk para penulisnya. Dalam
kitabnya itu Imam al-Ghazali mengatakan lebih kurang, “Ketahuilah olehmu bahwa
orang yang terkungkung oleh imajinasi dan pancaindra mungkin menganggap
keindahan dan kenikmatan ialah tidak lain dari keselarasan bentuk dan keindahan
warna….Memang,
keindahan sering disangka manusia sebagai sesuatu yang menarik pandangan dan
paling sering manusia melihat kecantikan (rupa) manusia lain. Oleh karena itu
dia mungkin berpikir: mustahil membayangkan keindahan sesuatu yang tidak
dilihat mata, yang tidak terjangkau oleh imajinasi, yang tidak mempunyai rupa
dan warna…”. Lebih jauh Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa , “ Keindahan tidak
terbatas dalam rangka benda-benda yang dilihat dan tidak pula merupakan sekadar
keselarasan bentuk dan rupa yang penuh harmoni.”. Selain keindahan yang dapat
cerap oleh pancaindera dan terjangkau
imajinasi, ada keindahan yang hanya bisa dicerap oleh akal budi dan
intuisi seperti akhlaq mulia, pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu,
kecerdasan, budi bahasa, keberanian, iman yang teguh, kemurahan jati dan
lain-lain.Keindahan ruhaniah seperti inilah yang terutama harus ditekankan
dalam sebuah karangan sastra, sehingga dengan demikian karya sastra mengandung
pengajaran yang bermanfaat. Pandangan seperti ini tentu saja tidak akan dapat
ditampung baik oleh teori bentuk siginifikan maupun oleh teori ekspresi.
Mengenai alasan yang kedua, sumber rujukannya bisa ditemui dalam al-Qur’an.
Misalnya ayat yang mengatakan bahwa
“Ayatayat-Nya terbentang di alam semesta dan dalam diri manusia”. Bahkan,
menurut al-Qur’an,
“Kapal-kapal
yang berlayar di lautan dan tegak bagaikan gunung-gunung adalah juga
ayatayat-Nya, yaitu tanda-tanda keberadaan-Nya yang menakjubkan.”. Diipengaruhi
oleh gambaran al-Qur’an tentang alam atau dunia ini;ah penulis-penulis Melayu memandang alam semesta
sebagai sebuah kitab agung yang indah,
sebuah karya sastra. Sang
Pencipta menjelmakan dunia dari
Perbendaharaan pengetahuan-Nya yang tersembunyi (kanz makhfiy). Ia,
dunia, ditulis dengan Kalam
Tuhan pada Lembaran
yang sangat terpelihara (lawhul
mahfudz) (Braginsky 1993:1).
Pribadi manusia, dengan wujud
zahir dan batinnya, juga
merupakan sebuah kitab, sebuah
karya sastra. Keseluruhan hikmah
alam semesta direkamkan ke dalam diri
atau pribadi manusia setelah diringkas
dan dipadatkan. Hikmah-hikmah
tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya yang
penuh rahasia dan patut
direnungkan oleh mereka yang berkeinginan mengenal hakekat dirinya dan
Tuhannya, sebagaimana dinyatakan oleh
Imam al-Ghazali (Ihya' Ulumuddin dan Kimya-i Saadah)
Selaras
dengan gambaran tersebut, karya sastra mestilah dibentuk menyerupai
pribadi manusia. Ungkapan
zahir atau bentuk luar karya
sastra, sebagaimana tubuh manusia dan
wujud alam, hendaknya memberi bayangan tentang kehadiran rahasia dan
keberadaan Tuhan. Gejala-gejala
alam, peristiwa-peristiwa
kemanusiaan dan sejarah, keindahan yang tak tepermanai
dan berbagai-bagai di alam
syahadah merupakan manifestasi cinta Tuhan
dan pengetahuan-Nya yang
tidak terhingga. Semua
itu dihadirkan agar dikenal dan dijadikan jalan kenaikan. Ini sesuai dengan prinsip metafisika
atau ontologi Sufi: 'yang
banyak' merupakan
manifestasi keindahan Yang Satu,
yakni cinta dan pengetahuan-Nya.
'Yang banyak' tidak terbebas dari pengetahuan Tuhan, sebab
'yang banyak' diliputi oleh
pengetahuan-Nya, dan tidak terbebas pula dari
cinta-Nya, yakni al-rahman dan al-rahim-Nya. Karena itu penulis-penulis
Melayu selalu memulai karangannya dengan ucapan Basmalah atau puji-pujian kepada Yang Maha Pengasih
dan Penyayang. Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan ini ialah
melalui peresapan kalbu,
atau melalui `ishq
(cinta) dan pemahaman spiritual,
yaitu ma`rifah. Perkatan-perkataan berahi, rindu,
mabuk, takjub, lena, leka,
gharib, asyik, karib, tamasya dan
lain-lain -- yang sering kita jumpai
dalam karya-karya penyair Melayu
-- merujuk kepada keadaan-keadaan rohani yang
dialami seorang asyik dan
ahli makrifat dalam perjalanannya menuju Yang Satu.Apa yang
dikemukakan tampak dalam sajak ”Berdiri Aku” Amir Hamzah.
Berdiri
aku di senja senyap
Camar
melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai punca
Berjulang datang ubur terkembang
Angin
pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk mengempas emas
Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun alun di atas alas
Benang
raja mencelup ujung
Naik
marak mengorak corak
Elang
leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Dalam rupa maha sempurna
Rindu
sendu mengharu kalbu
Ingin
datang merasa sentosa
Mencecap
hidup bertentu tuju
Dalam
sajak ini penyair mula-mula
menggambarkan gerak-gerak alam atau
gejala pergerakan alam dengan memberikan pembayang
terhadap kehadiran rahasia Tuhan dan keluarbiasaan keindahan-Nya. Camar
yang menepis buih,
bakau yang mengurai puncak, ubur
yang terkembang, warna keemasan
air laut dan
pelangi yang memabukkan elang
10sehingga burung ini leka (fana) --
semua itu memberi gambaran
bahwa gejala-gejala alam
membayangkan keindahan Sang Pencipta.
Ungkapan-ungkapan seperti 'mengurai puncak', 'berjulang datang',
'mengempas emas', 'memuncak sunyi', 'sayap tergulung' dan lain-lain mengisyaratkan bahwa keindahan yang
berbagai-bagai di alam syahadah
ini sebenarnya merupakan tangga naik
menuju Yang Hakiki. Keindahan Yang Satu, yang tampak
di alam syahadah dan
hadir sebagai ayat-ayatNya,
dapat membawa pembaca merasa rindu, leka (fana'),
takjub, gharib (asing), mabuk (sukr) dan hanyut dalam
keindahan dan kebesaran-Nya. Memang
kerinduan para penulis Melayu adalah mencapai semacam keadaan
fana', leka, lampus
atau hanyut dalam keindahan Yang
Satu. Setelah fana ia akan
kudus dan baqa' (hidup
kekal) dalam Yang
Abadi: "Ingin datang
merasa sentosa/Mencecap hidup bertentu tuju". Ini bukan eskapisme
dan bukan kefanaan yang menimbulkan
kepasifan buta, tetapi suatu pencerahan
yang menimbulkan gairah ketuhanan. Pada
gilirannya gairah ketuhanan, yang
disebut Rumi sebagai `isyq
(cinta berahi), menumbuhkan sikap moral dan pandangan kerohanian yang
positif, di samping keteguhan pribadi dan rasa percaya diri.
Puisi Sebagai Suluk
Sekarang
marilah saya tutup pembahasan ini dengan memaparkan konsep penulis sufi
yang
memandang sastra/seni sebagai suluk atau jalan keruhanian. Saya akan mengambil
contoh
Syair Perahu:
Inilah
gerangan suatu madah
Mengarangkan
syair terlalu indah
Membetuli
jalan tempat berpindah
Di
sanalah i’tiqad diperbaiki sudah
Wahai
muda kenali dirimu
Ialah
perahu tamsil tubuhmu
Tiada
berapa lama hidupmu
Ke
akhirat jua kekal diammu
Hai
muda kenali dirimu
Hasilkan
kemudi dengan pedoman
Alat
perahumu jua kerjakan
Itulah
jalan membetuli insan
Perteguh
jua alat perahumu
Hasilkan
bekal air dan kayu
Dayung
pengayuh taruh di situ
Supaya
laju perahumu itu
...11
La
ilaha `illa Allah terlalu nyata
Tauhid
makrifat semata-mata
Memandang
yang gaib semuanya nyata
Lenyapkan
ke sana sekalian kita
...
La
ilaha `illa Allah tempat mengintai
Medan
yang qadim tempat berdamai
Wujud
Allah terlalu bitai
Siang
malam jangan bercerai
La
ilaha `illa Allah tempat musyahadah
Menyatakan
tauhid jangan berubah
Sempurnakan
jalan iman yang mudah
Pertemuan
(dengan) Tuhan terlalu susah
(Doorenbos 1933:35)
Dari
syair ini dapat dicatat setidak-tidaknya:
Pertama, puisi merupakan jalan
berpindah ke alam ketuhanan atau transendental.Tujuan penyair ialah memandang
yang gaib (musyahadah) melalui jalan tauhid dan makrifat. Dengan demikian puisi
dapat dikatakan sebagai sarana transendensi atau pembebasan jiwa dari
kungkungan alam kebendaan (tajarrud).
Kedua, puisi yang indah doitulis
setelah penyair melakukan penyucian diri, yaitu membetulkan iktiqad. Ketiga,
puisi juga merupakan perluasan zikir terhadap Allah (zikr Allah), yang dengan cara demikian seseorang mencapai
musyahadah.Makrifat dan pencerahan kalbu adalah bentuk pengalaman estetis yang
tinggi, yang hanya dapat dicapai melalu jalan zikr Allah. Keempat, penyair juga
menyatakan bahwa keindahan wajah Tuhan dan hakikat Tauhid hanya bisa diaksikan
di ’medan yang qadim’, yaitu di alam metafisik atau ketuhanan. Medan yang qadim
dalam jiwa manusia mengambil tempat dalam kalbu. Para sufi menyatakan bahwa
kalbu merupakan rahasia Tuhan (sirr Allah) dalam arti dalam kalbulah manusia
bisa berdialog dengan Yang Maha Gaib. Itulah sebabnya dalam proses penyucian
diri, kalbu mesti dikosongkan dari yang selain Tuhan. Kelima, penyair mengharap
pembaca menjadikan puisi sebagai tangga naik menuju hakikat dirinya yang
sejati. Perjalanan ruhani seorang ahli suluk di sini diamsilkan sebagai
pelayaran perahu dan perlengkapannya, sedangkan perahu alam tamsil tubuh
manusia yang dibekali perlengkapan ruhani. Terimakasih.
INTERNASIONAL
SEMINAR
TEMA
Rediscovering the Treasures of Malay Culture
SUB TEMA
JAGAD
ESTETIKA SASTRA MELAYU
PENYAJI
Abdul Hadi W. M.
PENYELENGGARA
INSTITUT SENI INDONESIA PADANGPANJANG
2012
0 Response to "JAGAD ESTETIKA SASTRA MELAYU"
Post a Comment