Dari Teater Tradisional hingga Ke
Taeter Kontenporer
Teater Tradisional
Kasim
Achmad dalam bukunya Mengenal Teater
Tradisional di Indonesia (2006) mengatakan, sejarah teater tradisional di
Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman
Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda
bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk 24 mendukung upacara ritual. Teater tradisional
merupakan bagian dari suatu upacara
keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu,
yang disebut “teater”, sebenarnya baru
merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh.
Setelah melepaskan diri dari kaitan
upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas
rakyat dalam masyarakat lingkungannya.
Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan
daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh
unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbedabeda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber
dan tata-cara di mana teater tradisional
lahir. Berikut ini disajikan beberapa
bentuk teater tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
Wayang
Wayang
merupakan suatu bentuk teater tradisional yang sangat tua, dan dapat ditelusuri
bagaimana asal muasalnya. Dalam menelusuri sejak kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, dapat kita temukan berbagai
prasasti pada Zaman Raja Jawa, antara lain pada masa Raja Balitung. Pada masa
pemerintahan Raja Balitung, telah ada petunjuk adanya pertunjukan Wayang
seperti yang terdapat pada Prasasti Balitung dengan tahun 907 Masehi.
Prasasti tersebut mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan
wayang. Petunjuk semacam itu juga
ditemukan dalam sebuah kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada Zaman Raja Airlangga dalam abad
ke-11. Oleh karenanya pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat
tua. Sedangkan bentuk wayang pada zaman
itu belum jelas tergambar model pementasannya.
Awal
mula adanya wayang, yaitu saat Prabu Jayabaya bertakhta di Mamonang pada tahun 930.
Sang Prabu ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar yang
kemudian dinamakan Wayang Purwa. Dalam gambaran itu diinginkan wajah para dewa
dan manusia Zaman Purba. Pada mulanya hanya digambar di dalam
rontal (daun tal). Orang sering
menyebutnya daun lontar. Kemudian berkembang menjadi wayang kulit sebagaimana
dikenal sekarang.
Wayang Wong (wayang orang)
Wayang
Wong dalam bahasa Indonesia artinya wayang orang, yaitu pertunjukan wayang kulit, tetapi
dimainkan oleh orang. Wayang wong adalah
bentuk teater tradisional Jawa yang berasal dari Wayang Kulit yang dipertunjukan dalam bentuk
berbeda: dimainkan oleh orang, lengkap
dengan menari dan menyanyi, seperti pada umumnya teater tradisional
dan tidak memakai topeng. Pertunjukan wayang orang terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sedangkan di Jawa Barat ada juga
pertunjukan wayang orang (terutama di Cirebon) tetapi tidak begitu populer. Lahirnya Wayang Orang, dapat diduga
dari keinginan para seniman untuk
keperluan pengembangan wujud bentuk Wayang Kulit yang dapat dimainkan oleh orang. Wayang yang
dipertunjukan dengan orang sebagai wujud
dari wayang kulit -hingga tidak muncul dalang yang memainkan, tetapi dapat dilakukan oleh para
pemainnya sendiri. Sedangkan wujud pergelarannya berbentuk drama, tari dan
musik. Wayang orang dapat dikatakan
masuk kelompok seni teater tradisional,
karena tokoh-tokoh dalam cerita dimainkan oleh para pelaku (pemain). Sang Dalang bertindak sebagai
pengatur laku dan tidak muncul dalam
pertunjukan. Di Madura, terdapat pertunjukan wayang orang yang agak berbeda, karena masih menggunakan topeng
dan menggunakan dalang seperti pada
wayang kulit. Sang dalang masih terlihat meskipun tidak seperti dalam pertunjukan wayang kulit.
Sang Dalang ditempatkan dibalik layar
penyekat dengan diberi lubang untuk mengikuti gerak pemain di depan layar penyekat. Sang Dalang
masih mendalang dalam pengertian semua
ucapan pemain dilakukan oleh Sang Dalang karena
para pemain memakai topeng. Para pemain di sini hanya menggerakgerakan
badan atau tangan untuk mengimbangi ucapan yang dilakukan oleh Sang Dalang. Para pemain harus pandai
menari. Pertunjukan ini di Madura
dinamakan topeng dalang. Semua pemain
topeng dalang memakai topeng dan para
pemain tidak mengucapkan dialog.
Makyong
Makyong
merupakan suatu jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan. Makyong yang paling tua terdapat
di pulau Mantang, salah satu pulau di
daerah Riau. Pada mulanya kesenian Makyong berupa tarian joget atau ronggeng. Dalam
perkembangannya kemudian dimainkan
dengan cerita-cerita rakyat, legenda dan juga cerita-cerita kerajaan.
Makyong juga digemari oleh para bangsawan dan sultansultan, hingga
sering dipentaskan di istana-istana.
Bentuk teater rakyat makyong tak ubahnya sebagai teater rakyat umumnya, dipertunjukkan dengan menggunakan
media ungkap tarian, nyanyian, laku, dan
dialog dengan membawa cerita-cerita rakyat yang
sangat populer di daerahnya. Cerita-cerita rakyat tersebut bersumber pada sastra lisan Melayu. Daerah Riau merupakan sumber dari bahasa Melayu Lama. Ada dugaan bahwa sumber dan akar
Makyong berasal dari daerah Riau,
kemudian berkembang dengan baik di daerah lain.
Pementasan makyong selalu diawali dengan bunyi tabuhan yang dipukul bertalu-talu sebagai tanda bahwa ada
pertunjukan makyong dan akan segera
dimulai. Setelah penonton berkumpul, kemudian seorang 27 pawang (sesepuh dalam
kelompok makyong) tampil ke tempat
pertunjukan melakukan persyaratan sebelum pertunjukan dimulai yang dinamakan
upacara buang bahasa atau upacara
membuka tanah dan berdoa untuk memohon
agar pertunjukan dapat berjalan lancar.
Randai
Randai
merupakan suatu bentuk teater tradisional yang bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Minangkabau,
Sumatera Barat. Sampai saat ini, randai masih hidup dan bahkan berkembang serta
masih digemari oleh masyarakatnya,
terutama di daerah pedesaan atau di kampung-kampung. Teater tradisional di
Minangkabau bertolak dari sastra lisan.
begitu juga Randai bertolak dari sastra lisan yang disebut “kaba” (dapat diartikan sebagai cerita).
Bakaba artinya bercerita. Ada dua unsur
pokok yang menjadi dasar Randai, yaitu. x Pertama, unsur penceritaan. Cerita
yang disajikan adalah kaba, dan disampaikan lewat gurindam, dendang
dan lagu. Sering diiringi oleh
alat musik tradisional Minang, yaitu salung,
rebab, bansi, rebana atau yang lainnya, dan juga lewat dialog. x Kedua, unsur laku dan gerak, atau tari,
yang dibawakan melalui galombang. Gerak tari yang digunakan bertolak
dari gerak-gerak silat tradisi
Minangkabau, dengan berbagai variasinya
dalam kaitannya dengan gaya silat di masingmasing daerah.
Mamanda
Daerah
Kalimantan Selatan mempunyai cukup banyak jenis
kesenian antara lain yang paling populer adalah Mamanda, yang merupakan teater tradisional yang bersifat
kerakyatan, yang orang sering menyebutnya sebagai teater rakyat. Pada tahun 1897 datang ke Banjarmasin suatu rombongan Abdoel Moeloek
dari Malaka yang lebih dikenal dengan
Komidi Indra Bangsawan. Pengaruh Komidi Bangsawan ini sangat besar terhadap
perkembangan teater tradisional di Kalimantan
Selatan. Sebelum Mamanda lahir, telah ada suatu bentuk teater
rakyat yang dinamakan Bada Moeloek, atau
dari kata Ba Abdoel Moeloek. Nama teater tersebut berasal dari judul cerita
yaitu Abdoel Moeloek
Lenong
Lenong
merupakan teater rakyat Betawi. Apa yang disebut teater tradisional yang ada pada saat ini, sudah
sangat berbeda dan jauh berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat lingkungannya, dibandingkan dengan lenong di zaman dahulu. Kata daerah Betawi,
dan bukan Jakarta, menunjukan bahwa yang
dibicarakan adalah teater masa
lampau. Pada saat itu, di
Jakarta, yang masih bernama Betawi (orang
Belanda menyebutnya: Batavia)
terdapat empat jenis teater tradisional
yang disebut topeng Betawi,
lenong, topeng blantek, dan
jipeng atau jinong. Pada
kenyataannya keempat teater rakyat tersebut banyak persamaannya. Perbedaan umumnya hanya pada
cerita yang dihidangkan dan musik pengiringnya.
Longser
Longser
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan dan terdapat di Jawa Barat,
termasuk kelompok etnik Sunda. Ada
beberapa jenis teater rakyat di daerah etnik Sunda serupa dengan longser, yaitu banjet. Ada lagi di daerah
(terutama, di Banten), yang dinamakan ubrug.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa longser berasal dari kata melong
(melihat) dan seredet (tergugah).
Artinya barang siapa melihat (menonton)
pertunjukan, hatinya akan tergugah. Pertunjukan longser sama dengan pertunjukan kesenian rakyat yang
lain, yang bersifat hiburan sederhana,
sesuai dengan sifat kerakyatan, gembira dan jenaka. Sebelum longser lahir, ada beberapa kesenian
yang sejenis dengan Longser, yaitu
lengger. Ada lagi yang serupa, dengan penekanan pada tari, disebut ogel atau
doger.
Ubrug
Ubrug
merupakan teater tradisional bersifat kerakyatan yang terdapat di daerah Banten. Ubrug menggunakan
bahasa daerah Sunda, campur Jawa dan
Melayu, serupa dengan topeng banjet yang terdapat di daerah Karawang. Ubrug dapat dipentaskan di
mana saja, seperti halnya teater rakyat
lainnya. Dipentaskan bukan saja untuk hiburan, tetapi juga untuk memeriahkan suatu “hajatan”, atau
meramaikan suatu “perayaan”. Untuk apa
saja, yang dilakukan masyarakat, ubrug dapat diundang tampil. Cerita-cerita
yang dipentaskan terutama cerita rakyat, sesekali dongeng atau cerita sejarah Beberapa cerita yang sering dimainkan ialah Dalem Boncel, Jejaka Pecak, Si Pitung
atau Si Jampang (pahlawan rakyat setempat, seperti juga di Betawi). Gaya
penyajian cerita umumnya dilakukan
seperti pada teater rakyat, menggunakan gaya humor (banyolan), dan sangat
karikatural sehingga selalu mencuri
perhatian para penonton.
Ketoprak
Ketoprak
merupakan teater rakyat yang paling populer, terutama di daerah Yogyakarta dan daerah Jawa Tengah.
Namun di Jawa Timur pun dapat ditemukan
ketoprak. Di daerah-daerah tersebut ketoprak merupakan kesenian rakyat yang menyatu dalam
kehidupan mereka dan mengalahkan
kesenian rakyat lainnya seperti srandul dan emprak. Pada mulanya ketoprak merupakan permainan
orang-orang desa yang sedang menghibur
diri dengan menabuh lesung pada waktu bulan purnama, yang disebut gejogan. Dalam perkembangannya menjadi suatu bentuk teater rakyat yang lengkap.
Ketoprak merupakan salah satu bentuk
teater rakyat yang sangat memperhatikan bahasa yang digunakan. Bahasa sangat memperoleh perhatian,
meskipun yang digunakan bahasa Jawa,
namun harus diperhitungkan masalah unggahungguh
bahasa. Dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat bahasa
yang
digunakan, yaitu: Bahasa Jawa biasa
(sehari-hari) Bahasa Jawa kromo (untuk
yang lebih tinggi) Bahasa Jawa kromo
inggil (yaitu untuk tingkat yang tertinggi) Menggunakan bahasa dalam ketoprak, yang
diperhatikan bukan saja penggunaan
tingkat-tingkat bahasa, tetapi juga kehalusan bahasa. Karena itu muncul yang
disebut bahasa ketoprak, bahasa Jawa dengan bahasa yang halus dan spesifik.
Ludruk
Ludruk
merupakan teater tradisional yang bersifat kerakyatan di daerah Jawa Timur,
berasal dari daerah Jombang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dengan
dialek Jawa Timuran. Dalam perkembangannya ludruk menyebar ke
daerah-daerah sebelah barat seperti
karesidenan Madiun, Kediri, dan sampai ke Jawa Tengah. Ciri-ciri bahasa dialek Jawa Timuran tetap terbawa
meskipun semakin ke barat makin luntur
menjadi bahasa Jawa setempat. Peralatan musik daerah yang digunakan, ialah
kendang, cimplung, jidor dan gambang dan sering ditambah tergantung pada kemampuan grup yang
memainkan ludruk tersebut. Dan lagu-lagu
(gending) yang digunakan, yaitu
Parianyar, Beskalan, Kaloagan,
Jula-juli, Samirah, Junian. Pemain ludruk semuanya adalah pria. Untuk peran
wanitapun dimainkan oleh pria. Hal ini
merupakan ciri khusus ludruk. Padahal sebenarnya
hampir seluruh teater rakyat di berbagai tempat, pemainnya selalu pria (randai,
dulmuluk, mamanda, ketoprak), karena pada zaman itu wanita tidak diperkenankan
muncul di depan umum.
Gambuh
merupakan teater tradisional yang paling tua di Bali dan diperkirakan berasal dari abad ke-16. Bahasa
yang dipergunakan adalah bahasa Bali
kuno dan terasa sangat sukar dipahami oleh orang Bali sekarang. Tariannya pun terasa sangat sulit
karena merupakan tarian klasik yang
bermutu tinggi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau gambuh merupakan sumber dari tari-tarian Bali
yang ada. Sejarah gambuh telah dikenal
sejak abad ke-14 di Zaman Majapahit dan kemudian masuk ke Bali pada akhir Zaman
Majapahit. Di Bali, gambuh dipelihara di
istana raja-raja. Kebanyakan lakon yang dimainkan gambuh diambil dari struktur cerita Panji yang diadopsi ke dalam budaya
Bali. Cerita-cerita yang Peran-peran utama
menggunakan dialog berbahasa Kawi, sedangkan para punakawan berbahasa Bali. Sering pula
para punakawan menerjemahkan bahasa Kawi
ke dalam bahasa Bali biasa. Suling dalam
gambuh yang suaranya sangat rendah, dimainkan dengan teknik pengaturan nafas yang sangat
sukar, mendapat tempat yang khusus dalam
gamelan yang mengiringi gambuh, yang sering disebut gamelan “pegambuhan”. Gambuh
mengandung kesamaan dengan “opera” pada
teater Barat karena unsur musik dan menyanyi mendominasi pertunjukan. Oleh karena itu para
penari harus dapat menyanyi. Pusat
kendali gamelan dilakukan oleh juru tandak, yang duduk di tengah gamelan dan berfungsi sebagai
penghubung antara penari dan musik.
Selain dua atau empat suling, melodi pegambuhan dimainkan dengan rebab bersama seruling. Peran yang
paling penting dalam gamelan adalah
pemain kendang lanang atau disebut juga kendang
Arja
Arja
merupakan jenis teater tradisional yang bersifat kerakyatan, dan terdapat di Bali. Seperti bentuk teater
tradisi Bali lainnya, arja merupakan
bentuk teater yang penekanannya pada tari dan nyanyi. Semacam gending yang terdapat di daerah Jawa
Barat (Sunda), dengan porsi yang lebih
banyak diberikan pada bentuk nyanyian (tembang). Apabila ditelusuri, arja bersumber dari gambuh
yang disederhanakan unsur-unsur tarinya,
karena ditekankan pada tembangnya. Tembang (nyanyian) yang digunakan memakai bahasa Jawa
Tengahan dan bahasa Bali halus yang disusun dalam tembang macapat.
2. Teater Modern Indonesia
Teater Transisi
Teater
transisi adalah penamaan atas kelompok teater pada periode saat teater tradisional mulai
mengalami perubahan karena pengaruh
budaya lain. Kelompok teater yang masih tergolong kelompok teater tradisional dengan model garapan
memasukkan unsur-unsur teknik teater
Barat, dinamakan teater bangsawan. Perubahan tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun
masih dalam wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita
per adegan). Cara penyajian cerita
dengan menggunakan panggung dan dekorasi.
Mulai memperhitungkan teknik yang
mendukung pertunjukan. Pada periode
transisi inilah teater tradisional berkenalan dengan teater non-tradisi. Selain
pengaruh dari teater bangsawan, teater tradisional
berkenalan juga dengan teater Barat yang dipentaskan oleh orang-orang Belanda di Indonesia sekitar tahun
1805 yang kemudian berkembang hingga di
Betawi (Batavia) dan mengawali berdirinya gedung Schouwburg
pada tahun 1821 (Sekarang Gedung Kesenian Jakarta).
Perkenalan
masyarakat Indonesia pada teater non-tradisi dimulai sejak Agust Mahieu mendirikan Komedie Stamboel
di Surabaya pada tahun 1891, yang
pementasannya secara teknik telah banyak mengikuti budaya dan teater Barat (Eropa), yang pada
saat itu masih belum menggunakan naskah
drama/lakon. Dilihat dari segi sastra, mulai mengenal sastra lakon dengan diperkenalkannya
lakon yang pertama yang ditulis oleh
orang Belanda F.Wiggers yang berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno, pada tahun 1901. Kemudian
disusul oleh Lauw Giok Lan lewat Karina Adinda, Lelakon Komedia Hindia Timoer
(1913), dan lain-lainnya, yang
menggunakan bahasa Melayu Rendah. Setelah Komedie Stamboel didirikan muncul kelompok sandiwara seperti Sandiwara Dardanella (The Malay Opera
Dardanella) yang didirikan Willy
Klimanoff alias A. Pedro pada tanggal 21
Juni 1926. Kemudian lahirlah
kelompok sandiwara lain, seperti Opera Stambul, Komidi Bangsawan, Indra Bangsawan, Sandiwara Orion, Opera Abdoel Moeloek, Sandiwara Tjahaja Timoer, dan lain sebagainya. Pada masa teater transisi belum muncul istilah teater.
Yang ada adalah sandiwara. Karenanya
rombongan teater pada masa itu menggunakan nama sandiwara, sedangkan cerita yang disajikan
dinamakan drama. Sampai pada Zaman
Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater
bagi masyarakat Indonesia baru dikenal
setelah Zaman Kemerdekaan.
Teater Indonesia tahun 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks
sejarah teater modern Indonesia tetapi
cukup penting dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai
drama karena masih menekankan unsur
sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan
ketertekanan kaum intelektual dimasa itu
karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan sekitar tahun
1930-an. Bentuk sastra drama yang
pertamakali menggunakan bahasa Indonesia dan disusun dengan model dialog antar tokoh dan berbentuk sajak
adalah Bebasari (artinya kebebasan yang
sesungguhnya atau inti kebebasan) karya Rustam Efendi (1926)
.
Lakon Bebasari merupakan sastra drama yang menjadi pelopor semangat kebangsaan. Lakon ini
menceritakan perjuangan tokoh utama
Bujangga, yang membebaskan puteri Bebasari dari niat jahat Rahwana. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi
Pane menulis Kertajaya (1932) dan
Sandyakalaning Majapahit (1933) Muhammad
Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes
(1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman
Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan
Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan
judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis
drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama
berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan,
persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka.
Penulis-penulis ini adalah cendekiawan
Indonesia, menulis dengan menggunakan
bahasa Indonesia dan berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia. Bahkan Presiden pertama
Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di
pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
Teater Indonesia tahun 1940-an
Semua
unsur kesenian dan kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk
mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara
sistematis di arahkan untuk menyukseskan
pemerintahan totaliter Jepang. Namun demikian, dalam situasi yang sulit dan gawat serupa itu,
dua orang tokoh, yaitu Anjar Asmara dan Kamajaya masih sempat berpikir bahwa
perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia
yang bertujuan menciptakan pembaharuan kesenian
yang selaras dengan perkembangan zaman sebagai upaya untuk melahirkan kreasi – kreasi baru dalam
wujud kesenian nasional Indonesia. Maka
pada tanggal 6 oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia
dengan pengurus sebagai berikut, Sanusi
Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai 36 anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir
Alisjabana, dan Kama Jaya. Badan Pusat
Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru, di antaranya dengan
jalan memperbaiki dan menyesuaikan
kesenian daerah menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah diambil oleh Badan
Pusat Kesenian Indonesia untuk
mewujudkan cita-cita kemajuan kesenian Indonesia, ternyata
mengalami hambatan yang datangnya dari barisan propaganda Jepang, yaitu
Sendenbu yang membentuk badan perfilman
dengan nama Djawa Eiga Kosy’,
yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya. Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat
langkah
Badan
Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan drama
Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia,
yang kesemuanya merupakan corong
propaganda Jepang. Dalam masa pendudukan Jepang kelompok
rombongan sandiwara yang mula-mula
berkembang adalah rombongan sandiwara profesional.
Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni
hiburan yang berbau Belanda
lenyap karena pemerintah penjajahan Jepang anti budaya Barat. Rombongan sandiwara keliling
komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis
Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain kembali
berkembang dengan mementaskan cerita
dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda.
Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya.
Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang
dikenal dengan nama samarannya Mon Siour
D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya
menulis lakon antara lain, Kris Bali,
Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati,
dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara
Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti
pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh
tarian-tarian, nyanyian, dan lawak.
Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo
Belanda yang cantik-cantik .
Menyusul
kemudian muncul rombongan sandiwara Dewi
Mada, dengan bintang-bintang eks Bolero,
yaitu Dewi Mada dengan suaminya Ferry
Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya.
Rombongan sandiwara Dewi Mada lebih
mengutamakan tari-tarian dalam pementasan teater mereka karena
Dewi Mada adalah penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara Bolero. Cerita yang
dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni
Parini, dan Rencong Aceh. Hingga tahun
1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena
bisnis pertunjukan itu masih asing bagi
para pengusaha Indonesia. Baru kemudian
Muchsin sebagai pengusaha besar
tertarik dan membiayai rombongan sandiwara 37 Warna Sari. Keistimewaan
rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan
musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja
Drum. Garsia menempatkan deretan drumnya
yang berbagai ukuran itu memenuhi lebih
dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil meloncat ke kanan –
ke kiri sehingga menarik minat penonton. ceritacerita yang dipentaskan antara lain,
Panggilan Tanah Air, Bulan Punama,
Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya. Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah
rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih,
yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata. Dalam perjalanannya,
rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung
di bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan sandiwara Tjahaya Asia yang
mementaskan ceritacerita baru untuk kepentingan propaganda Jepang. Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada
tanggal 6 April 1943, mendirikan
rombongan sandiwara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan terpelajar yang
menyukai pertunjukan Matahari yang menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada
awal pertunjukan baru kemudian
dihidangkan lakon sandiwara dari awal hingga akhir. Bentuk penyajian semacam ini di anggap kaku oleh
penonton umum yang lebih suka unsur
hiburan disajikan sebagai selingan babak satu dengan babak lain sehingga akhirnya dengan terpaksa
rombongan sandiwara tersebut mengikuti selera penonton. Lakon-lakon yang
ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim
Bunga di Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-guna, dan
Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek
Engtay, Potong Padi. Dari semua lakon
tersebut ada yang sudah di filmkan yaitu,
Solo di Waktu Malam dan Nusa Penida.
Pertumbuhan
sandiwara profesional tidak luput dari
perhatian Sendenbu. Jepang menugaskan
Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas nama Sendenbu
memprakarsai berdirinya POSD (Perserikatan
Oesaha Sandiwara Djawa) yang beranggotakan semua rombongan sandiwara
profesional. Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus dimainkan oleh setiap
rombongan sandiwara karangan penulis lakon Indonesia dan Jepang, Kotot Sukardi
menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende Mataram, Benteng
Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis Hantu,
lakon Nora karya Henrik Ibsen diterjemahkan
dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh
Natsusaki Tani. Oleh karena ada sensor Sendenbu maka lakon harus ditulis
lengkap berikut dialognya. Para pemain
tidak boleh menambah atau melebih-lebihkan dari apa yang sudah ditulis dalam naskah. Sensor Sendenbu
malah menjadi titik awal
dikenalkannya naskah dalam setiap
pementasan sandiwara. 38 Menjelang akhir
pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya ssatra yang
berarti, yaitu Penggemar Maya (1944)
pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan
Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan
para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok ini berprinsip
menegakkan nasionalisme, humanisme dan agama. Pada saat inilah pengembangan ke
arah pencapaian teater nasional dilakukan. Teater tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga untuk ekspresi
kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional dengan cita-cita menuju humanisme dan
religiositas dan memandang teater sebagai seni serius dan ilmu pengetahuan.
Bahwa teori teater perlu dipelajari
secara serius. Kelak, Penggemar Maya menjadi
pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta.
Teater Indonesia Tahun 1950-an
Setelah
perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan, juga sebaliknya, mereka merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian dan nilai
kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut,
keiklasan sendiri dan pengorbanan, dan
lain-lain. Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik
(Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh
Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir
(Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959). Sementara
ada lakon yang bercerita tentang
kekecewaan paska perang, seperti korupsi, oportunisme politis, erosi ideologi,
kemiskinan, Islam dan Komunisme, melalaikan penderitaan korban perang, dan
lain-lain. Tema itu terungkap dalam
lakon-lakon seperti Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953) karya
Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi, Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat
Kartamiharja (1956) berdasarkan The Man
In Grey Suit karya Averchenko dan Hanya
Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John Galsworthy.
Utuy
Tatang Sontani dipandang sebagai tonggak
penting menandai awal dari maraknya drama realis di Indonesia dengan
lakon-lakonnya yang sering menyiratkan dengan kuat alienasi sebagai ciri
kehidupan moderen. Lakon Awal dan Mira
(1952) tidak hanya terkenal di
Indonesia, melainkan sampai ke Malaysia. Realisme konvensional dan naturalisme
tampaknya menjadi pilihan generasi yang
terbiasa dengan teater barat dan dipengaruhi oleh idiom Hendrik Ibsen dan Anton
Chekhov. Kedua seniman teater Barat dengan
idiom realisme konvensional ini menjadi tonggak didirikannya Akademi Teater
Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1955
oleh Usmar Ismail dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan
realisme 39dengan mementaskan
lakon-lakon terjemahan dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan
Chekov. Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang dikembangkan oleh ATNI
adalah Stanislavskian. Menurut Brandon
(1997), ATNI inilah akademi teater modern yang pertama di Asia Tenggara. Alumni Akademi
Teater Nasional yang menjadi aktor dan
sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib
Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta
tahun 1955 Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni Drama dan
Film Indonesia (ASDRAFI). Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di
Surakarta.
Teater Indonesia Tahun 1970-an
Jim
lim mendirikan Studiklub Teater Bandung
dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabungkan
unsur-unsur teater etnis seperti
gamelan, tari topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater
Barat. Pada akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor terbaik dan para sutradara realisme
konvensional. Karya penyutradaraanya,
yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani)
dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting
realistis dalam lakon The Glass
Menagerie (Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ).
Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari Bung
Besar, (Misbach Yusa Biran)
dengan gaya longser, teater rakyat Sunda. Gb.27 Salah satu pementasan Studiklub Teater
Bandung 40 Tahun 1962 Jim Lim
menggabungkan unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradaraannya yang
berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan
gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun
1967 Jim Lim belajar teater dan menetap
di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim
yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa
penting dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional
terjadi pada tahun 1967, Ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan pendek improvisatoris yang tidak
berdasarkan naskah jadi (wellmade play) seperti dalam drama-drama realisme.
Akan tetapi, pertunjukan bermula dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh
dan bebunyian mulut tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater
mini kata (menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib
Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).
Proses latihan Bengkel Teater
Rendra
Didirikannya pusat kesenian Taman Ismail
Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya aktivitas, dan kreativitas berteater
tidak hanya di Jakarta, tetapi
juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Padang,
Palembang, Ujung Pandang, dan lain-lain. Taman Ismail Marzuki menerbitkan 67
(enam puluh tujuh) judul lakon yang
ditulis oleh 17 (tujuh 41belas) pengarang sandiwara, menyelenggarakan festival
pertunjukan secara teratur, juga
lokakarya dan diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya Stanislavsky
tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud dan Grotowsky juga diperbincangkan. Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater
yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater rakyat (kentrung dan
ludruk) melalui Basuki Rahmat, Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel
Muda Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat
Malang). Di Yogyakarta Azwar AN
mendirikan teater Alam. Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan Teater
Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan
teater Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi mendirikan Teater
Makasar. Lalu Teater Nasional Medan didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan
Piliang. Tokoh-tokoh teater yang muncul
tahun 1970-an lainnya adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D.
Djajakusuma, Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater Lembaga), Ikranegara
(Teater Saja), Danarto (Teater Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin
Arifin C Noor (Teater Kecil)
dengan gaya pementasan yang kaya irama dari
blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan verbalisme naskah. Putu Wijaya
(teater Mandiri) dengan ciri penampilan menggunakan kostum yang meriah dan
vokal keras. Menampilkan manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokus tidak
terletak pada aktor tetapi gerombolan yang menciptakan situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater teror. Riantiarno
dengan ciri pertunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.
Teater Indonesia Tahun 1980 –
1990-an
Tahun
1980-1990-an situasi politik Indonesia kian seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal di
tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan
politik kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam
latar situasi seperti itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian merupakan produk festival teater. Di Jakarta
dikenal dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut Festival Teater
Remaja). Beberapa jenis festival di Yogyakarta, di antaranya Festival Seni
Pertunjukan Rakyat yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik
Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima Kota yang digagas oleh
Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan Mukid F. Pada saat itu lahirlah
kelompok-kelompok teater baru di berbagai kota di Indonesia.
Di
Yogyakarta muncul Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima, dan Teater
Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan
warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di
masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang dipentaskan antra lain, Pasar
Seret, Meh, Kontrang- kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung. Di
Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang menggunakan bahasa Jawa dan
latar cerita yang meniru lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu
lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga Teater Gidag-gidig.
Di Bandung muncul Teater Bel, Teater
Republik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan Teater
Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater
Rajawali, Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, 43 Sanggar Suroboyo. Di
Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan muncul Teater Que dan di Palembang
muncul Teater Potlot.
Dari
Festival Teater Jakarta muncul kelompok
teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam menghadapi naskah yaitu
posisinya sejajar dengan cara-cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi
latihan. Ada pula Teater Luka, Teater
Kubur, Teater BandarJakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio
Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival (Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus perguruan tinggi. Salah satu
teater kampus yang menonjol adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi satu-satunya perguruan tinggi seni yang
memiliki program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu. Aktivitas
teater kampus mampu menghidupkan dan membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan
artistik.
Teater Kontemporer Indonesia
Teater
Kontemporer Indonesia mengalami perkembangan yang sangat membanggakan. Sejak
munculnya eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi artistik
dikembangkan dengan gaya khas masing-masing seniman. Gerakan ini terus
berkembang sejak tahun 80-an sampai saat ini. Konsep dan gaya baru saling
bermunculan. Meksipun seni teater konvensional tidak pernah mati tetapi teater
eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam
seni teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam 44 unsur
pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi
semakin luas dan kemungkinan bentuk garap semakin banyak.
Sumber buku Seni Teater
Ekosantoso Dan KK
0 Response to "Dari Teater Tradisional hingga Ke Taeter Kontenporer"
Post a Comment