TUPAI JENJANG
TEATER TUTUR MASYARAKAT SIULAK KERINCI
JAMBI
Oleh:
Hendri JB., S.Sn., M.Hum
Intisari
Teater tutur Tupai
Jenjang dapat digolongkan ke dalam salah satu subgenre teater rakyat. Ia
berasal dari tradisi lisan dan dimainkan oleh seorang pemeran. Selain
disampaikan melalui dendang,
tokoh-tokohnya diperagakan melalui gerak dan akting. Keseluruhan tokoh dalam
cerita dihidupkan sendiri oleh tukang tutur dengan cara berpindah peran dari
satu tokoh ke tokoh lain sesuai dengan bentuk dan karakter tokoh dalam cerita.
Perubahan tersebut disimbolkan dengan pergantian kostum dan properti.
Pertunjukan ini dikenal di Siulak Kerinci sekitar tahun 1950-an. Di daerah
asalnya Minangkabau, cerita ini berangkat dari kaba atau mitos yang tercipta tanpa sadar untuk menjaga harmonisasi
antara manusia dengan tupai.
Tulisan ini lebihlanjut menguraikan unsur-unsur yang
membangun pertunjukan teater tutur Tupai
Jenjang di Siulak Kerinci. Dramaturgi digunakan sebagai pijakan utama guna
mengupas struktur dan tekstur pertunjukannya. Sebagai presentasi estetis, unsur
struktur dan tekstur pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang adalah cerminan dari realitas kesederhanaan
masyarakat pendukungnya. Kesederhanaan ditemukan pada variasi cerita dan
unsur-unsur yang terlihat dari pertunjukan, seperti; setting decoration, properti dan kostum, serta tata lampu pada
pementasannya.
Kata Kunci: dramaturgi; teater
tutur; Tupai Jenjang; Siulak Kerinci.
TUPAI
JENJANG
ORAL
THEATRE OF SIULAK PEOPLE IN KERINCI JAMBI
Abstract
Tupai
Jenjang oral theatre belongs to a subgenre of folk theatre.
It is based on oral tradition and is performed solely by a person. In addition
to dendang (oral narrative), the
performer also uses gestures and acting to convey his story. As a living
embodiment of the character, performer fluidly transforms himself from one
character to another. The transformation is symbolized with costumes and
properties. This performance is initially known in Siulak Kerinci in the 50s.
In its original place, Minangkabau, the story developed from kaba or myth, created unconsciously to
keep man and squirrel in harmony.
Furthermore, this research aims to analyze elements
which build Tupai Jenjang performance
in Siulak Kerinci. Dramaturgy is used as an approach to analyze the structure
and texture of the performance. As an aesthetic presentation, Tupai Jenjang reflects the modest
reality of its audience life. Its modesty can be found everywhere, from setting
decoration, properties and costumes to the lighting of the stage.
Key Words: dramaturgy; oral theatre; Tupai Jenjang; Siulak Kerinci.
A. Pengantar
Kabupaten
Kerinci merupakan kawasan berbentuk kuali besar. Kabupaten ini berada di
ketinggian 500-1500 meter di atas permukaan laut. Dataran ini dilingkungi oleh
bukit-bukit dan hamparan hutan lebat dengan puncak Gunung Kerinci yang
menjulang tinggi. Bukit Barisan yang subur dan Gunung Kerinci setinggi 3.805
meter di atas permukaan laut menjadi saksi kehadiran Kabupaten Kerinci di
Sumatera.
Daerah
ini dahulukala sukar dilalui maka jarang sekali orang keluar masuk Kerinci.
Menurut Djuhar Noor daerah ini adalah daerah terakhir di Sumatera Tengah yang
diduduki oleh bangsa Belanda.[3]
Setelah Indonesia merdeka daerah Kerinci menjadi bagian dari Sumatera Tengah
dimasukkan dalam Kabupaten Pesisir Selatan Dan Kerinci. Pada tahun 1957,
Sumatera Tengah dimekarkan menjadi tiga propinsi, yakni Jambi, Sumatera Barat,
dan Riau, Kerinci kemudian digabungkan dengan Propinsi Sumatera Barat yang
tetap menjadi Kabupaten Pesisir Selatan Dan Kerinci. Pada tanggal 21 Januari
1958 rakyat Kerinci mengadakan Kongres mengajukan resolusi ke pemerintah pusat
agar menjadi salah satu Kabupaten di Propinsi Jambi. Semenjak tanggal 10
Nopember 1958 daerah ini resmi menjadi Kabupaten Daerah Tinggkat II Kerinci di
bawah Propinsi Jambi dengan Ibu Kota Kabupaten Sungai Penuh.[4]
Selanjutnya dalam tulisan ini, Kabupaten Darah Tingkat II Kerinci hanya penulis
sebut dengan Kerinci saja.
Di
Kerinci terdapat beragam genre seni tradisi, seperti: tari, musik, dan teater
rakyat. Teater tutur Tupai Jenjang
merupakan salah satu subgenre teater rakyat di daerah Siulak Kerinci.
Pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang berasal
dari tradisi lisan, dikategorikan sebagai pertunjukan one man show karena dipertunjukkan oleh seorang pemeran saja.
Selain harus mampu berdendang dengan
baik, tukang tutur[5]
dituntut untuk mampu memerankan tokoh-tokoh dari lakon ke bentuk lakuan atau
akting dengan baik pula.
Bentuk
pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang berbeda
dengan bentuk penyajian genre tradisi
bertutur lainnya di Kerinci. Umumnya tradisi bertutur di Kerinci disajikan dalam posisi duduk dan didendangkan dengan musik iringan gendang atau lainnya sedangkan pertunjukan
teater tutur Tupai Jenjang selain didendangkan, tokoh-tokoh dalam lakonnya diperagakan melalui gerak dan akting.
Keseluruhan
tokoh dihidupkan sendiri oleh tukang tutur. Ia berpindah-pindah karakter, dari
satu tokoh ke tokoh lain sesuai dengan wujud dan karakter tokoh dalam cerita.
Ada kalanya tukang tutur
berperan menjadi seorang istri, dengan seketika berubah menjadi suami, dan
seterusnya. Dalam perubahan peran dan karakter tokoh itu, tukang tutur menggunakan semua elemen
panggung, seperti kostum dan properti, hingga perubahan peran itu dapat
dipahami oleh penonton.
Saat
ini teater tutur Tupai Jenjang sudah sangat jarang dipentaskan.
Hentakkan rebano dan nyaringnya suara
sendok yang dipukulkan pada pinggan kanso[6]
sudah jarang terdengar mengiringi kemerduan
dendang dan kelincahan akting tukang
tutur. Sejak tahun 2002, Ibrahim[7]
hanya beberapa kali saja diundang untuk mementaskan teater tutur Tupai
Jenjang. Padahal pada tahun 1975 ia dapat berpentas 16 sampai 17 kali dalam
satu bulan. Kemana perginya kesemarakan itu? Kemana hilangnya hentakan rebano dan gesitnya gerak tukang tutur?
Turunnya
volume pementasan teater tutur Tupai
Jenjang merupakan salah satu indikator kepunahannya. Oleh sebab itu teater
tutur Tupai Jenjang perlu
didokumentasikan dalam bentuk tulisan dan ataupun audio-visual hingga di kemudian hari masih ada catatan yang
menjelaskan tentang keberadaan pertunjukan ini di daerah Siulak Kerinci. Berkaitan dengan itu, tulisan singkat
ini berusaha memaparkan hal ikhwal pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang, dimulai dengan latar
belakang kemunculan, struktur,
tekstur pertunjukan dan naluri keberadaannya di tengah masyarakat Siulak
Kerinci.
Diharapakan
penjelasan singkat ini dapat
dijadikan bahan pertimbangan bagi seniman dan pemerhati teater tutur Tupai Jenjang yang ingin mengembangkan
pertunjukan ini pada bentuk lain, di samping itu diharapkan bisa menjadi
catatatan alternatif tentang keberadaannya
di daerah Siulak Kerinci apabila suatu saat mengalami kepunahan.
B. Sejarah Kemunculan Teater Tutur Tupai Janjang di Siulak Kerinci
Dalam
penelitian Herwanfakhrizal dijelaskan bahwa teater tutur Tupai Jenjang
berkembang di Siulak tahun 50-an dan dibawa oleh seorang perkerja pembuat
jembatan dari Minangkabau. Waktu itu ia bekerja membuat jembatan Udang Galah
di Lubuk Nagodang Siulak. Almarhum Sutan Aris tertarik, berkat bakat dan tekun
berlatih akhirnya ia dapat mengusai pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang kemudian menyesuaikan
dengan versi dan budaya Kerinci.[8]
Sutan
Aris adalah orang yang pertama menuturkan teater tutur Tupai Jenjang di Siulak Kerinci. Pendapat ini dapat diterima
kebenarannya karena disokong oleh alasan sebagai berikut: Pertama menyimak penjelasan Ibrahim, tukang tutur teater tutur Tupai Jenjang yang telah berumur 65
tahun. Ia mulai mengenal pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang ketika bujang (muda)
dan menontonnya dari Sutan Aris. Kedua
berdasarkan penjelasan Japril, tukang tutur berusia 50 tahun. Pertunjukan
teater tutur Tupai Jenjang pertama
dikenal Japril di baralek (pesta
pernikahan) tetangganya. Saat itu ia masih remaja dan tukang tutur itu berasal
dari desa Lubuk Nagodang.[9]
Di Lubuk Nagodang yang mampu membawakan teater tutur Tupai Jenjang hanya Sutan Aris, jadi orang yang dimaksud oleh
Japril sama dengan orang yang dimaksudkan oleh Herwan dan Ibrahim. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang hadir di Siulak Kerinci di
waktu Ibrahim dan Japril telah dewasa dan bukan merupakan pertunjukan yang
telah ada semenjak mereka lahir.
Pendapat
yang mengatakan teater tutur Tupai
Jenjang berasal dari Minangkabau juga dapat diterima kebenarannya karena alasan
sebagai berikut. Pertama, karena
eratnya hubungan antara Kerinci dan Minangkabau, baik secara geografis maupun
budaya. Hubungan ini telah ada sejak kedatangan orang Minangkabau pada abad ke
13 ke Kerinci.[10]
Banyak teori yang menjelaskan bahwa orang Kerinci berasal dari Minangkabau,
bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa wilayah Kerinci sebelum secara
administratif berada di wilayah Propinsi Jambi merupakan wilayah Minangkabau.[11]
Selain itu juga terdapat kesamaan budaya antara daerah Siulak dan Minangkabau.
Kesamaan itu tercermin pada: (1) kesamaan sistem kekerabatan, yaitu
materilinial; (2) bahasa Minangkabau dapat dipahami oleh masyarakat Siulak
Kerinci; dan (3) Masyarakatnya sama-sama menganut agama Islam dan menggunakan
falsafah hidup “adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah”, (adat istiadat bersandar pada agama Islam dan
agama Islam bersandar pada Al-Qur’an). Kesamaan di atas sangat memungkinkan
terjadi persebaran budaya antar kedua daerah.
Kedua, pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang[12]
juga terdapat di Minangkabau, tepatnya di daerah Palembayan, Kecamatan
Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Awalnya, pertunjukan Tupai Janjang di
desa Palembayan tidak berdiri sendiri, ia menyatu dengan pertunjukan Randai[13].
Saat itu Pertunjukan ini adalah
selingan pada pertunjukan Randai.[14] Bentuk pertunjukannya kemudian
berkembang dan mulai terpisah dari Randai.
Di
Minangkabau cerita Tupai Janjang diyakini
berasal dari kaba.[15]
Menurut kepercayaan, kaba merupakan
petunjuk tentang nilai-nilai baik dan buruk.[16]
Dalam konteks ini berarti kaba sama
dengan mitos, karena keduanya memiliki fungsi sama, yaitu sebagai arahan dan
pedoman dalam kehidupan manusia.[17]
Dalam
kehidupan masyarakat tradisional, mitos hadir sebagai rule of games yang harus diikuti agar terbangun sebuah harmoni
antara individu atau sekelompok orang dengan komunitas yang lebih besar, yaitu
jagat semesta. Dalam alam pikir mitis, manusia belum merupakan seorang individu
(subyek) yang bulat, ia dilanda oleh gambaran-gambaran dan perasaan-perasaan ajaib,
seolah-olah dia diresapi oleh roh-roh dan daya dari luar (jagat semesta). Ia
terpesona oleh dunia ajaib ini, penuh teka-teki mengenai kesuburan, hidup dan
mati. Mau tidak mau ia harus mengakui, bahwa “sesuatu ada”, dan semua gejala
dan lambang-lambang yang ada di jagat besar merupakan jendela-jendela yang
membuka pandangan terhadap dunia transenden.[18]
Dalam
pandangan mitis, agar dapat hidup berdampingan dalam jagat besar, terutama
dengan mahluk lain yang hidup di dalamnya secara damai, manusia melahirkan
upacara persembahaan, mitos dan magi. Cerita-cerita lahir dan berkembang
menjadi mitos. Ia hadir dan terbentuk di luar kesadaran manusia yang pada
dasarnya bertujuan untuk menjaga harmonisasi antara manusia (jagat kecil)
dengan alam (jagat besar) atau unsur-unsur lain di luar diri manusia itu
sendiri.
Cerita
teater tutur Tupai Jenjang hadir
sebagai salah satu mitos yang tercipta tanpa sadar oleh masyarakat pendukungnya
guna menjaga harmoni antara jagat manusia dan jagat semesta. Seperti di
ketahui, tupai merupakan binatang penguis buah-buahan, berbulu halus berwarna
kuning atau cokelat yang hidup di atas pohon. Buah-buahan yang paling sering
dimakan adalah buah kelapa. Bagi masyarakat Minangkabau, khususnya daerah
Pariaman (tempat yang disebutkan dalam latar cerita teater tutur Tupai Jenjang), buah kelapa merupakan bahan dasar untuk mengolah makanan
pokoknya. Hampir semua bahan makanan yang dikonsumsi orang Minangkabau diolah
menggunakan buah kelapa, seperti rendang,
kalio dan lain sebagainya.
Dapat
dipastikan kelapa bagi masyarakat Minangkabau merupakan aset penting karena kelapa
adalah bahan pokok dan sumber penghasilan. Oleh karena itu aset ini perlu
dijaga karena dalam jumlah besar tupai merupakan kekuatan (wabah) yang dapat
menggagalkan panen kelapa para petani. Jika kelangsungan dan ketersediaan
sumberdaya ini terancam, maka secara kolektif peristiwa itu dianggap sebagai
kecemasan masyarakat umum.
Kecemasan
akan kekuatan atau wabah gagal panen yang disebabkan oleh tupai menyebabkan
masyarakat Minangkabau berusaha menjalin hubungan (baik) dengan tupai. Agar
hubungan antara keduanya (manusia dan tupai) dapat selaras maka tercipta mitos
Tupai Jenjang. Keyakinan untuk
membuat harmoni dengan jagat di luar dirinya melahirkan mitos tupai harus di
hormati dan tidak boleh diburu dengan cara yang serampangan. Jika tupai sampai
murka maka ada anggapan tupai akan melampiaskan kemarahannya dengan
menghabiskan buah kelapa yang telah ditanam petani. Tanpa disadari cerita Tupai Jenjang digunakan untuk
mengendalikan perilaku manusia terhadap tupai.
Dalam
cerita Tupai Jenjang, hewan tersebut
dilegitimasikan keberadaannya sebagai binatang keramat yang tidak mempan
senapan sewaktu ditembak oleh Tuanku Rajo Tuo dan akhir cerita tupai berubah
menjadi manusia. Melalui apresiasi terhadap cerita Tupai Jenjang, tanpa disadari jagat pikir mitis manusia tradisional
telah terterapkan dalam kehidupan masyarakatnya. Masyarakat menjadi enggan
membunuh tupai karena menyakini jika tupai diburu dia juga sebaliknya akan
mengganggu tanaman manusia. Jadi dapat dikatakan cerita Tupai Jenjang tercipta dengan alasan menjaga harmoni antara manusia
dengan tupai (jagat besar).
C. Struktur dan Tekstur Pertunjukan
Pertunjukan
teater di bangun oleh unsur struktur dan tekstur. Struktur merupakan bentuk lakon
dalam waktu, bangunan pikiran yang tidak kelihatan namun dipahami, terdiri
dari; alur, karakter, dan tema, sedangkan tekstur merupakan pengalaman langsung
penonton melalui perasaan, terdiri dari; apa yang didengar telinga (dialog),
apa yang dilihat oleh mata (spektakel),
dan apa yang dirasakan sebagai mood atau
suasana melalui seluruh pengalaman penglihatan dan pendengaran.[19]
1.
Latar (setting)
Latar
(setting) adalah penggambaran situasi tempat dan waktu serta suasana[20]
yang berarti harus ada aspek waktu, aspek tempat, dan aspek suasana.[21]
Latar cerita teater tutur Tupai Jenjang terjadi
di Pariaman, tepatnya di Nagari Kampung Dalam. Di Kerinci tidak ada daerah
bernama Pariaman dengan wilayah kampung bernama Nagari Kampung Dalam. Pariaman
adalah salah satu wilayah di Sumatera Barat dan merupakan Ibu Kota Kabupaten
Padang Pariaman.
Aspek ruang dalam latar cerita
memang tidak diambil dari daerah di wilayah Siulak Kerinci, namun aspek ruang
tersebut telah disesuaikan dan dipadukan dengan latar tempat yang akrab dengan
kehidupaan masyarakat Siulak Kerinci. Meskipun tetap memakai nama daerah Nagari
Kampung Dalam namun gambaran tempat tersebut telah disesuikan dengan
tempat-tempat yang telah dikenal oleh masyarakat Siulak Kerinci. Aspek waktu merupakan penggambaran
waktu atau masa terjadinya sebuah peristiwa atau adegan. Aspek waktu sebagai
latar (setting) dalam cerita teater tutur Tupai
Jenjang bersifat rekaan. Aspek waktu tidak menunjukan realitas yang
sebenarnya akan tetapi hadir sebagai waktu yang direka dengan tujuan untuk
menunjukkan kedekatan manusia dengan alam (sudut pandang mitis masyarakat
tradisional). Aspek suasana cerita
merupakan warna dasar cerita.[22]
Suasana yang terpancar baik secara implisit atau eksplisit adalah suasana
tragis yang dialami oleh Tuanku Rajo Tuo disebabkan oleh kelemahan dirinya yang
tidak dapat menerima kenyataan beranak tupai. Selain warna dasar tersebut,
tentu saja tidak dapat dipungkiri kentalnya warna lokal Kerinci yang merupakan
identitas pertunjukan teater tutur Tupai
Jenjang sebagai teater rakyat orang Siulak Kerinci.
2.
Alur
Alur
merupakan komponen yang menghubungkan adegan dalam seluruh rangkaian cerita.
Rangkaian cerita dihubungkan oleh hukum sebab akibat (kausalitas).[23]
Model alur teater tutur Tupai Jenjang mengacu
pada model alur dramatik yang dikembangkan oleh Aristoteles, terdiri dari
pemaparan (eksposisi), perumitan (komplikasi), klimak, dan penyelesaian
(resolusi). Sering disebut dengan tiga kesatuan, yakni; awal, tengah dan akhir
(tripatrit “unitas plot’
Aristoteles).[24]
Ringkasan Cerita, di Nagari Kampung Dalam
Pariaman memerintah Tuanku Rajo Tuo, istrinya bernama Puti Linduang Bulan.
Perkawinan sudah lama mereka jalani, akantapi tak kunjung dikaruniai anak.
Suatu hari Puti Linduang Bulan melihat seekor tupai, saking inginnya memiliki
anak ia berdoa dan bahkan rela mendapatkan anak walaupun seperti tupai. Doa
terkabul, dua bulan kemudian dia hamil, dan setelah cukup masa kandungan dia
melahirkan anak seekor tupai.
Tuanku
Rajo Tuo sangat malu kemudian bermaksud membunuh anaknya dengan senapan
panjang, akan tetapi tidak bisa meletus karena kesaktian si tupai. Tupai lari
ke hutan, Puti Linduang Bulan mengikuti sambil membujuk, Tuanku Rajo Tuo tetap
memburu dengan nafsu membunuh. Puti Linduang Bulan menyumpahi suaminya, menyebabkan
Tuanku Rajo Tuo menjadi batu. Tupai turun dari pohon besar menghampiri ibunya.
Setelah tupai dimandikan dengan limau tujuh
rupa, ia berubah menjadi seorang manusia. Ibu dan anak pulang ke rumah dengan
perasaan bahagia.
Eksposisi bertujuan memberikan penonton
informasi yang diperlukan tentang peristiwa sebelumnya, situasi sekarang atau
tokoh-tokohnya.[25]
Pelukisan awal tentang konflik diperlihatkan setelah Puti Lindung Bulan dan
Tuanku Rajo Tuo membina rumah tangga. Meskipun telah menjalani pernikahan selama
bertahun-tahun namun mereka belum juga dikarunia anak. Hal ini membuat
kebahagian Puti Lindung Bulan dan Tuanku Rajo Tuo tidak sempurna. Situasi di
atas memberikan pelukisan singkat pada penonton tentang konflik yang akan
timbul antara Puti Lindung Bulan dan Tuanku Rajo Tuo.
Komplikasi merupakan timbulnya
kerumitan dalam cerita. Kerumitan timbul disebabkan oleh keinginan Puti Lindung
Bulan yang sangat kuat untuk memiliki anak. Rasa malu karena tidak dapat
memberikan keturunan harus ditanggung Puti Lindung Bulan, bahkan terlintas
dalam benaknya untuk bunuh diri. Bagi masyakat Timur, kesempurnaan istri
ditentukan oleh kemampuannya memberikan keturunan.
Klimak adalah puncak
pertentangan yang menjadi titik kulminasi dari pertikaian Puti Lindung Bulan
dengan Tuanku Rajo Tuo. Pemicu konflik, Puti Lindung Bulan melahirkan bayi
berwujud seekor tupai. Tuanku Rajo Tuo sangat kecewa, pertentangan hebat
terjadi dalam dirinya, seorang raja yang sangat dihormati ternyata bernak Tupai
Jenjang. Malu yang bukan alang kepalang membuat Tuanku Rajo Tuo berniat
membunuh Tupai Jenjang. Sementara itu Puti Lindung Bulan dapat merima kenyataan
dengan tawakal. Tuanku Rajo Tuo dan Puti Lindung Bulan sama-sama mengejar Tupai
Jenjang ke dalam hutan namun dengan motivasi yang berbeda. Puti Lindung Bulan
mengejar anaknya untuk menggendong dan menyusui sedangkan Tuanku Rajo Tuo
mengejar dengan nafsu membunuh. Perbedaan motif aksi kedua tokoh tersebut
akhirnya sampai pada klimaknya; Puti Lindung Bulan menyumpahi suaminya sehingga
menjadi batu.
Resolusi merupakan bagian akhir
dari cerita. Dalam resolusi biasanya membawa situasi kesuatu kesimbangan baru,
dengan demikian hasilnya bisa jadi memuaskan, tapi mungkin juga mengecewakan
harapan penonton.[26]
Cerita teater tutur Tupai Jenjang ini berakhir dengan kutukan Puti Lindung Bulan
terhadap suaminya, hingga Tuanku Rajo Tuo lambat laun berubah menjadi batu.
Tupai Jenjang dibawa pulang dan dimandikan di Lubuk Pirung Bulan dengan limau tujuh kembang, akhirnya ia berubah
menjadi manusia. Nasib malang menimpa Tuanku Rajo Tuo, ia harus menerima karma
perbutaannya. Nasib bahagia diraih oleh Puti Lindung Bulan dan Tupai Jenjang
karena ketabahan dan kesabarannya.
Alur
teater tutur Tupai Jenjang dikategorikan
pada alur erat[27]
karena setiap peristiwa yang terjadi dalam cerita memiliki hubungan kausalitas
dan tidak diselingi oleh alur-alur lain sebagai alur bawaan. Teater tutur Tupai Jenjang hanya memiliki satu alur
(alur tunggal) yang dikembangkan berdasarkan niat kuat Puti Lindung Bulan untuk
memiliki anak, ketika anak tersebut lahir ia berusaha keras menyelamatnya dari
usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Tuanku Rajo Tuo. Alur Cerita teater tutur Tupai Jenjang tergolong pada alur maju (progresive plot). Peristiwa dalam cerita
teater tutur Tupai Jenjang tersusun
secara berurutan dan berkesinambungan. Eksposisi, komplikasi, klimak dan
resolusi atas menunjukkan keterkaitan secara kausalitas.
3.
Tokoh
Ada
dua tokoh penting dalam cerita teater tutur Tupai
Jenjang, yaitu Puti Lindung Bulan dan Tuanku Rajo Tuo. Selain itu masih ada
tokoh Tupai Jenjang dan tiga orang tokoh dukun yang membantu jalannya
persalinan Puti Lindung Bulan.
Puti Lindung Bulan merupakan pusat penceritaan cerita teater tutur Tupai Jenjang. Ia merupakan tokoh protagonis atau tokoh sentral yang membangun
konflik dalam cerita. Pada awalnya Puti Lindung Bulan digambarkan sebagai tokoh
lemah kemudian berubah menjadi perempuan yang mampu melakukan perlawanan, baik
terhadap suami sebagai junjungan maupun pada masyarakat dan lingkungannya. Ia
dapat digolongkan kepada tokoh dengan karakter bulat atau round charakter, yaitu tokoh yang pada akhirnya mengalami perubahan
karakter. Puti Lindung Bulan tidak hanya memiliki karekter tunggal akan tetapi
lebih dari satu karakter.
Tuanku Rajo Tuo merupakan tokoh antagonis, yaitu tokoh yang menentang
keinginan Puti Lindung Bulan (tokoh protagonis).
Posisi antagonis Tuanku Rajo Tuo
terungkap melalui konflik yang terjadi antara dirinya dengan Puti Lindung
Bulan. Tuanku Rajo Tuo sangat malu beranak seekor Tupai Jenjang. Rasa malu dan
keinginan mempertahankan status sosial yang sempurna di masyarakat telah
melahirkan sikap bengis sehingga ia tega menyingkirkan dan memisahkan anak dari
ibunya.
Selain
sebagai tokoh antagonis, Tuanku Rajo
Tuo dapat juga digolongkan pada tokoh raisonneur,
yaitu tokoh yang menjadi corong bicara penutur pada penonton. Melalui tokoh
Tuanku Rajo Tuo penonton diberi gambaran bagaimana dampak dari orang tua yang
tidak dapat menerima kenyataan dengan iklas. Penutur secara tersirat memberikan
ajaran pada penonton bagaimana dampak yang harus ditanggung seseorang jika
hanya mementingkan status sosial dan harga diri pribadi tanpa mempertimbangkan
unsur-unsur lain, khususnya kemanusiaan.
Tupai Jenjang merupakan tokoh tupai,
anak yang dilahirkan oleh Puti Lindung Bulan. Tokoh Tupai Jenjang dapat
digolongkan sebagai tokoh confidant
yaitu tokoh yang menjadi sasaran utama pengutaran pendapat protagonis. Tupai Jenjang merupakan penyebab terciptanya konflik
antara Tuanku Rajo Tuo dan Puti Lindung Bulan sehingga mengantar persoalan
menuju klimak dalam cerita. Melalui tokoh Tupai Jenjang tersingkap tahap demi
tahap karakter tokoh Puti Lindung Bulan dan Tuanku Rajo Tuo.
Para dukun merupakan tokoh utility, yakni tokoh yang dipergunakan
tukang tutur untuk melakukan keperluan-keperluan kecil. Dalam pertunjukan
teater tutur Tupai Jenjang dukun ini
bertugas untuk membantu persalinan Puti Lindung Bulan. Tokoh dukun tersebut
hadir untuk melengkapi kepentingan alur. Mereka berfungsi untuk memperkuat
posisi tokoh-tokoh lain dalam cerita.
4.
Tema
Tema
merupakan pokok persoalan atau inti cerita yang ingin disampaikan oleh
pengarang atau penulis cerita kepada pembaca atau penonton. Berdasarakan uraian
di atas dapat disimpulkan tema pokok atau tema mayor dalam pertunjukan teater
tutur Tupai Jenjang adalah “Ketabahan
dan keiklasan menerima cobaan merupakan dasar utama mengarungi kehidupan,”
sedangkan tema kecil atau tema minornya adalah, ”Barang siapa berbuat baik akan
menuai kebaikan dan barang siapa berbuat jahat akan menuai dampak kejahatannya”.
5.
Dialog, Spektakel dan Mood
Dialog; dalam pertunjukan teater
tutur Tupai Jenjang terbentuk bersama
dendang. Dendang menggunakan bahasa Siulak Kerinci sesuai linggua franca masyarakatnya dan
mencerminkan gaya bahasa yang digunakan orang Siulak Kerinci dengan ciri gaya
bahasa perumpamaan, kiasan, dan berbentuk pantun. Gaya bahasa pertunjukan
teater tutur Tupai Jenjang digolongkan
pada jenis sastra lisan berbentuk prosa liris (prosa berirama), tercermin dari
susunan kata-katanya mengandung kekuatan irama sehingga dapat didendangkan.
Gaya Bahasa Perumpamaan diambil dari sifat dan
keadaan alam. Penyampaian dengan menggunakan gaya bahasa perumpamaan memiliki
tenaga dan kharisma yang lebih besar dari pada penyampaian dengan cara
langsung. Dalam keseharian biasanya gaya bahasa perumpamaan digunakan apabila
bahasa keseharian tidak mampu lagi mengukap maksud yang ingin dikatakan oleh
seseorang, cara yang paling pas untuk menjelaskan maksud tersebut adalah dengan
menggunakan perumpamaan. Gaya Bahasa
Kiasan merupakan pertimbangan tentang suatu hal dengan perbandingan atau
persamaan, arti kata tersebut bukan mengacu pada arti harafiah akan tetapi
dimaksudkan untuk hal lain, seperti memuji, menyindir, dan sebagainya.[28]
Dapat dikatakan kiasan adalah sebuah cara untuk menyatakan sesuatu secara tidak
langsung. Gaya bahasa seperti ini dimaksukan untuk mengukapkan maksud yang
sulit diucapkan secara langsung karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Gaya Bahasa Berbentuk Pantun merupakan
bentuk puisi melayu, tiap bait (kuplet)
yang biasanya terdiri dari empat baris dan bersajak a-b-a-b dan tiap larik
biasanya terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya untuk
tumpuan (sampiran) saja dan baris ketiga dan keempat merupakan isi.[29]
Tata Pentas (setting decoration);
Biasanya
yang disulap menjadi arena pertunjukan atau panggung adalah sudut ruangan dalam
pandangan tiga dimensi dan dapat dilihat dari segala sisi. Tidak ada setting decoration khusus. Tata pentas
bersifat fleksibel dan Imajinatif. Meskipun dalam cerita disebutkan kejadian di
banyak tempat, seperti di Anjung Tinggi,
dan sebagainya namun itu cukup disampaikan oleh tukang tutur melalui dendang, selanjutnya imajinasi penonton
yang menghadirkan setting decoration itu
dalam bayangannya berdasarkan pada tempat-tempat yang telah dikenal akrab dalam
keseharian mereka.
Tata Rias dan Busana; tidak ada rias khusus
(bahkan tanpa riasan) yang dipergunakan dalam pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang. Tukang tutur menggunakan
alat rias hanya sebagai properti (bukan untuk merias diri). Alat rias berupa
bedak dan lipstik dipakai secara simbolis sewaktu memerankan tokoh Puti Lindung
Bulan. Busana yang digunakan dalam pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang adalah kostum keseharian
yang lebih berfungsi untuk membedakan tokoh yang sedang diperankan. Di saat
memerankan tokoh Puti Lindung Bulan digunakan baju kebaya atau daster dan
sewaktu memerankan Tuanku Rajo Tuo menggunakan pakaian yang telah digunakan
oleh tukang tutur. Untuk membedakan wujud tokoh, baik Puti Lindung Bulan atau
Tuanku Rajo Tuo digunakan properti-properti lain yang dapat menyokong
visualisasi tokoh yang diperankan.
Tata Cahaya; yang biasa digunakan
dalam pertunjukan ini adalah bentuk pencahayaan general. Fungsi cahaya pada pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang hanya sebagai penerang
bukan pembentuk suasana seperti pada pertunjukan teater modern atau teater
rakyat modern.
Tata Musik; alat musik yang digunakan
adalah rebano dan terkadang ditambah
dengan pinggan kanso. Fungsi pokok
musik pada pertunjukan teater tutur Tupai
Jenjang merupakan pengiring tukang tutur saat bertutur. Ia hadir secara
dominan, dari awal hingga akhir pertunjukan.
Mood atau Suasana; pertunjukan dibangun
berdasarkan kesatuan antara irama permainan yang dibangun oleh aktor dan irama
yang muncul dari unsur-unsur pendukung lain di luar aktor. Suasana pertunjukan
teater tutur Tupai Jenjang dibangun
oleh dua unsur pokok, yaitu: (1) jagat dalam panggung, merupakan peristiwa yang
dibangun berdasarakan kesatuan aktor dan spektakle; dan (2) jagat di luar
panggung, merupakan peristiwa yang terjadi di keseluruhan arena tontonan yang
erat kaitanya dengan situasi yang terjadi pada penonton.
Suasana jagat panggung dalam pertunjukan teater
tutur Tupai Jenjang dibangun oleh
muatan cerita dan musik iringan. Tukang tutur membangun suasana melalui gerak,
akting dan dendang. Ada tiga suasana pokok yang selalu dihadirkan tukang tutur
dalam jagat panggung pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang, yaitu suasana gembira, suasana sedih, dan gabungan
antara suasana sedih dan gembira. Suasana
di luar jagat panggung adalah gambaran suasana yang terjadi di wilayah
penonton. Saat menonton teater Jenjang sebenarnya
penonton sedang membuat aktifitas yang juga dapat di tonton. Penonton teater
tutur Tupai Jenjang mengikuti
pertunjukan secara santai dan akrab. Sembari tetap menikmati tontonan, penonton
bisa saja melakukan aktifitas-aktifitas lain dan bukan merupakan gangguan
berarti bagi penonton lain. Sambil tetap menonton, seorang ibu dapat saja
berusaha untuk menidurkan anak dipangkuannya sementara itu bapak-bapak merokok
sambil membuat kopi yang memang telah disediakan oleh sepangkalan alek, atau bahkan ada juga penonton yang datang dan
pergi.
Dalam
pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang antara
jagat panggung dan jagat di luar panggung terkadang tidak selaras (dalam arti
berbeda) namun dapat bersanding dalam satu peristiwa. Hal ini dikarenakan
masyarakat Siulak Kerinci telah memiliki pemahaman atau konvensi[30]
yang sama dalam menikmati pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang.
D. Lapis-Lapis Budaya yang Mempengaruhi Pertunjukan
Pembentukan
teater tutur Tupai Jenjang pada
masyarakat Siulak Kerinci dilandasi
oleh budaya setempat yang telah bersentuhan dengan budaya luar yang datang
secara bergelombang. Pengaruh budaya luar telah membentuk lapis-lapis budaya
yang tercermin dalam pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang di daerah Siulak Kerinci. Lapis-lapis budaya tersebut
adalah sebagai berikut.
Praktik-praktik budaya
animisme
dalam pertunjukan teater tutur Tupai
Jenjang tercermin dalam bentuk; 1) keyakinan para pelakunya terhadap kekuatan magis yang melingkupi
aktifitas seni mereka, dan 2) kehadiran tokoh dukun dalam cerita. Pengaruh Islam sangat kuat di Kerinci
karena mayoritas penduduk Kerinci memeluk agama Islam. Pengaruh Islam sangat
besar, baik berkaitan dengan unsur cerita atau pun unsur-unsur pendukung
panggung lainnya. Misalnya dalam unsur cerita, setiap hendak melakukan
aktifitas atau aksi dalam cerita si
tokoh selalu mengawali dengan ucapan Bismillah.[31]
Dalam unsur pendukung panggung dapat dilihat pada penggunaan properti dan
kostum. Misalnya, tutup kepala yang digunakan oleh Ibrahim adalah peci haji. Peci haji merupakan simbol bagi umat
Islam, si pemakai telah menunaikan ibadah haji. Pengaruh kebudayan Barat terlihat pada cara Ibrahim menggambarkan
kecantikan Puti Lindung Bulan, seperti wanita Belanda atau wanita Eropah.
Pengaruh lain muncul pada penggunaan kacamata hitam yang dipakai oleh Japril.
Kacamata hitam dalam pertunjukan itu hanya
berfungsi sebagai pemanis dan tak dimaknai lain. Seperti diketahui pemakaian
kacamata hitam adalah pengaruh gaya berbusana yang datang dari kebudayaan
Barat.
E. Naluri Keberadaan Teater Tutur Tupai Jenjang
Dalam
memahami seberapa penting arti dan keberadaan sebuah karya seni di
tengah-tengah masyarakat terlebih dahulu harus dilakukan pengamatan terhadap
kegunaan dan fungsinya.
Fungsi; Apabila pertunjukan
teater tutur Tupai Jenjang dikelompokkan
pada “siapa” penikmatnya maka ia dapat digolongkan memiliki fungsi sebagai
medium presentasi estetis. Salah satu ciri dari seni sebagai presentasi estetis
adalah penonton dipungut biaya dalam penyelenggaraaannya.[32]
Dalam pertunjukan teater tutur Tupai
Jenjang, tukang tutur mendapat imbalan uang dari sepangkalan alek yang mengundangnya. Memang dalam pertunjukannya tidak dijual karcis seperti
penyelenggaraaan pertunjukan teater modern atau teater rakyat modern yang
digelar di kota-kota, akan tetapi prinsipnya adalah sama, yaitu setiap ingin
menggelar pertunjukan teater tutur Tupai
Jenjang diperlukan dana untuk mendatangkan tukang tutur. Dikarenakan
pertunjukan ini digerakkan oleh prinsip ekonomi maka dengan sendirinya
masing-masing tukang tutur berusaha menyajikan pertunjukannya dengan
kaidah-kaidah estetis yang dipahaminya.
Selain
sebagaimana dijelaskan di atas, secara lebih lanjut fungsi teater tutur Tupai Jenjang dalam kehidupan masyarakat
Siulak Kerinci dapat juga diuraikan sebagai berikut: (1) sebagai sarana pembelajaran moral; (2) merupakan sarana komunikasi
dan kritik sosial; (3) sebagai sarana
kebersamaan (solidarity making);
(4) merupakan sarana pembelajaran dan
kesinambungan budaya.
Penggunaan;
pokok
teater tutur Tupai Jenjang adalah
memeriahkan upacara adat, seperti; pesta perkawinan, turun mandi, menaiki rumah
baru, dan sunat rasul. Penggunaan teater tutur Tupai Jenjang sebagai penghibur dalam rangkaian upacara adat di
atas biasanya dilakukan pada malam hari setelah pelaksanakan pesta adat pada
siang harinya. Saat ini pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang juga telah digunakan sebagai ajang pariwisata Sejak tahun 1999 Pemerintah Tingkat II
Kerinci mulai giat memperkenalkan pariwisata dan senibudaya daerah, salah
satunya adalah “Festival Masyarakat Peduli Danau Kerinci” (FMPDK) yang telah
menjadi Calendar of Event Wisata
Nasional melalui SK Menteri Pariwisata dan Kesenian tanggal 4 Mei 2000.[33]
Baik Ibrahim maupun Jaril sudah pernah pentas di ajang tersebut.
Keberadaan; Secara umum pertunjukan
teater tutur Tupai Jenjang tidak
ditentang oleh kelompok-kelompok tertentu. Keberadaan teater tutur ini di tengah-tengah
masyarakat Siulak Kerinci bukan sebagai pertunjukan profan yang dekat dengan
aura erotisme karena itu ia dapat
diterima oleh semua lapisan masyarakat di daerah Siulak Kerinci. Kondisi ini
juga berdampak positif terhadap kedudukan tukang tutur di tengah-tengah masyarakat Siulak Kerinci. Memang tidak ada perlakukan istimewa yang diberikan oleh
masyarakat terhadap tukang tutur, akan tetapi juga tidak ada perlakuan atau
status miring yang disandangnya. Para tukang tutur menjalani hidup seperti
layaknya orang-orang lain di Kerinci. Apabila sedang tidak ada permintaan untuk
mengadakan pertunjukan, biasanya
Ibrahim dan Japril bekerja di sawah atau di ladang.
F. Penutup
Harus
diakui saat ini teater tutur Tupai Jenjang sudah sangat jarang
dipentaskan. Hentakkan rebana dan nyaringnya suara sendok yang dipukulkan pada pinggan kanso sebagai alat musik
pengiring serta kelincahan dendang tukang tutur sudah jarang terdengar.
Sejak tahun 2002, Ibrahim sudah bisa dihitung dengan jari mementaskan teater
tutur Tupai Jenjang. Berikut dijelaskan faktor-faktor yang telah
menggeser keberaadaan pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang di tengah-tengah masyarakat Siulak Kerinci sekarang
ini.
Pertama pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang tidak mampu menyesuaikan
diri dengan tuntutan estetis masyarakat pendukungnya. Kemapanan bentuk
pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang yang
sangat minim kreatifitas (sesuai dengan selera artistik kekinian) telah
membuatnya tertinggal oleh seni-seni populer lain yang mulai berkembang di
masyarakat Siulak Kerinci, seperti; organ tunggal, band dan lain sebagainya.
Minimnya
kreatifitas dan sentuhan estetis itu terungkap
dari pengamatan terhadap stuktur dan tekstur pertunjukannya. Cerita Tupai Jenjang tidak variatif, sejak
kemunculannya hingga saat ini kurang banyak berubah dan berkembang. Unsur-unsur
tekstur pertunjukan, menyangkut unsur-unsur yang terlihat, terdengar, dan
terasa juga kurang mengalami perkembangan yang signifikan. Kurangnya kreasi,
terutama pada setting decoration,
lighting, kostum dan properti (wujud panggungnya) membuat pertunjukan ini
menjadi kurang menarik untuk ditonton.
Kedua terbukanya akses
teknologi komunikasi telah menyebabkan banyaknya alternatif tontonan pada
masyarakat Siulak Kerinci. Terbukanya akses terhadap media televisi, VCD, DVD,
dan lain sebagainya telah menggeser perilaku dan selera menonton masyarakat
Siulak Kerinci (khususnya kaum muda). Media-media di atas sudah sangat akrab
dalam kehidupan mereka. Setiap rumah rata-rata sudah dapat mengakses semua
siaran televisi nasional dan bahkan siaran televisi dari luar negeri.
Kebanyakan penduduk di daerah Siulak Kerinci sudah memiliki parabola, kalau pun
tidak, biasanya diparalel dari tetangga yang memilikinya. Media-media tersebut
di atas sangat berpengaruh pada pembentukan perilaku dan selera tontonan serta
gaya hidup anak-anak muda di Siulak Kerinci.
Tentu
saja tidak dengan serta merta penyebab kemunduran pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang pada masyarakat Siulak
Kerinci dapat ditimpakan pada
perkembangan media-media tersebut. Hal ini harus disikapi dengan bijak oleh
segenap pemerhati dan pekerja teater tutur Tupai
Jenjang di Siulak Kerinci.
Salah
satu usaha yang dapat dilakukan oleh pemerhati seni di Kerinci untuk menarik minat orang terhadap
teater tutur Tupai Jenjang adalah
dengan mengadakan revitalisasi, baik dari segi struktur ataupun tekstur
pertunjukannya. Dengan lebih banyak menunjukkan jenis dan variasi cerita atau
mengembangkan kepada bentuk lain (memperbaharui bentuk fisiknya) dapat
dijadikan sebagai salah satu solusi untuk menarik kembali minat masyarakat,
khususnya generasi muda Siulak Kerinci terhadap pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang ini.
Malalui
uraian di atas dapat dipahami bahwa kesederhanaan pertunjukan teater tutur Tupai Jenjang di Siulak Kerinci
merupakan cerminan dari kesederhanaan masyarakatnya. Akhirnya tulisan singkat
dan ruang penulisan yang sempit ini diharapkan dapat memberikan sedikit
gambaran pada pembaca tentang hal ihwal tentang subgenre teater rakyat yang
disebut dengan teater tutur Tupai Jenjang
yang hidup pada masyarakat Siulak Kerinci.
KEPUSTAKAAN
Ahimsa Putra, Heddy Shri,
ed. Ketika Orang Jawa Nyeni.
Yogyakarta: Galang Press, 2000.
Azra, Azyumardi. Perspektif Islam di Asia Tenggara.
Jakarta: Yayasan Obor, 1989.
Aston, Elaine dan George
Savona. Theatre as Sign System, A Seriotics of Text and Performance. London:
Routledge, 1991.
Akhmad, A. Kasim. “Bentuk
dan Pertumbuhan Teater Kita”, dalam Suyatna Anirun, et al., ed. Teater Untuk Dilakoni; Kumpulan Tulisan Tentang
Teater. Bandung: CV. Geger Sunten, 1993, 3.
Anwar, Chairul. “Drama
Komedi dan Parodi N. Riantiarno.” Tesis untuk mencapai derajat Sarjana
S-2 dalam Bidang Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1996.
Asri MK. “Peran Karawitan
Dalam Randai Palimo Gaga di Bunga Tanjung Kecamatan Batipuh”, Laporan Penelitian, Akademi Seni
Karawitan Indonesia Padangpanjang, 1987.
Agung, Idris Djakfar
Depati dan Indra Idris. Hukum Waris Adat
Kerinci. Kerinci: Pustaka Anda Sungaipenuh, 1993.
__________. Menguah Tabir Prasejarah Di Alam Kerinci:
Seri Sejarah Kerinci I Kerinci: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Kerinci, 2001.
Brandon, James R. Jejak-Jejak
Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara.
Terj. R.M. Soedarsono. Bandung: P4ST UPI, 2003.
Brockett, Oskar G. The Theatre, an Introduction. New York;
Holt, Rinehart and Winston, 1964.
Benton, W. Encyclopaedie Britanica. Vol. 2. London,
Chicago: Publ, 1910.
Bouvier,
Helene. Lebur; Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Terj.
Rahahu S. Hidayat dan Jean Couteau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Bahar,
Mahdi. “Perkembangan Budaya Musik Perunggu Minangkabau Di Sumatera Barat”, Disertasi
Untuk Meraih Program Doktor dalam Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 1993.
Bandem, I Made & Sal
Murgiyanto. Teater Daerah Indonesia. Cetakan ke lima. Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Cohen, Robert. Theatre Breif Edition. California:
Maytield Publishing Company, 1951.
Danandjaja, James.
Antropologi Psikologi, Teori, Metode dan Sejerah Perkembangannya. Jakarta: CV.
Rajawali, 1988.
Dahana, Radhar Panca. Homo
Theatricus. Magelang: IndonesiaTera, 2000.
Durahman, Yoyo C. dan
Willy F. Sembung. Pengetahuan Teater. Bandung:
Sub Proyek Akademi Seni Tari Indonesia Bandung, 1985.
Egri, Lajos. The Art Of Dramatik Writting. New York:
Simon and Schuster, 1960.
Esten, Mursal, ed., Struktur
Sastra Lisan Kerinci. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993.
__________. Minangkabau Tradisi Dan Perubahan. Padang;
Angkasa Raya, 1993.
__________. Sastra Jalur Kedua. Padang: Angkasa
Raya, 1988.
Gayatri, Satya. “Tupai
Janjang: Sebuah Teater Tradisional Minangkabau.” Tesis untuk mencapai
derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Pengkajian Ilmu Sastra, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 2005.
Horton , Paul B. dan Hunt
Chester L. Sosiologi Jilid I. Terj. Aminuddin Ram dan Tita
Sobari. Jakarta: Erlangga, 1986.
Herwanfakhrizal. “Randai
Palimo Gaga Awal Teater Minangkabau Modern.” Tesis untuk
mencapai derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.
__________. “Pemeranan
Jafril Dalam Lakon Tupai Janjang di Dusun Baru Desa Siulak Panjang Kecamatan
Gunung Kerinci Kabupaten Kerinci”, Dalam Junal Penelitian STSI
Padangpanjang, volume 02, Nomor 1 (Mai 2002): 38.
Hadi, Waluyo. Pendidikan Seni Drama. Semarang: CV.
Aneka Ilmu, 1986.
Kayam,
Umar. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan, 1981.
Koentjaraningrat.
Sejarah Teori Antropologi I. Cetakan
kedua. Jakarta: UI-Press, 1987.
Kernodle, George dan
Portia Kernodle. Invitation to the
theatre. New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1978.
Kuardani, Hirwan. “Teater
Rakyat Janger Banyuwangi: Ungkapan Keberadaan Masyarakat Pendukungnya.” Tesis
untuk mencapai derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan
dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.
Kahar, Thabran. Upacara Tradisional Daerah Jambi.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi Dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1985.
Lotman, Juri. Semiotika Sceny, Teatre. IT, 1981.
De Marinis, Marco. The Semiotics of Performance. Terj. Aine
O’Healy. Bloomington dan Indianapolis:
Indiana University Press, 1993.
Merriam, Alam P. The Anthropology of Music. Burlington:
Indiana University Press, 1980.
Mansoer, M.D., et al. Sejarah
Minang. Jakarta: Bharatara, 1970.
Malm, William P. Music cultures of The Pacifik, The Near
east, and Asia. New Jersey: Englewood
Cliffs, 1977.
Ngafenan, Mohamad. Kamus Kesusastraan. Semarang: Dahara
Prize, 1990.
Noor, Djuhar. “Perubahan
Sosial Di Kerinci Pada Awal Abad XX”, Tesis untuk mencapai derajat S-2
dalam Program Studi Sejarah Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada,1985.
Probonegoro, Ninuk
Kleden. Teater Lenong Betawi, Studi
Perbandingan Diakronik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan
Asosiasi Tradisi Lisan, 1996.
Peursen, C.A. Van. Strategi Kebudayaan. Terj. Dic Hartoko. cetakan ke 16. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2006.
Pudentia MPSS, “Dinamika
Tradisi Lisan Nusantara”, Makalah Seminar Nasional Dinamika Budaya Dalam Wacana
Global. Yogyakarta: FIB UGM, 5 Maret 2002.
Panduan Pesona Budaya
Kerinci Propinsi Jambi. Upacara
Tradisional Batandang. Jakarta: Ajungan Jambi TMII, 1996.
Poespowardojo, Soerjanto.
Strategi Kebudayaan Suatu Pendekatan Filosofis. Cetakan ke II. Jakarta:
PT. Gramedia, 1993.
Saini K.M., “Teater
Indonesia Sebuah Perjalanan Dalam Multi-kulturalisme”. Dalam Nur Sahid, ed., Interkulturalisme
Dalam Teater. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000.
Sobur, Alex. Analisis
Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan
Alanisis Framing. Cetakan ketiga. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Said, Amin dan Ekawarna. Upacara Tradisional Yang Berkaitan Engan
Peristiwa Alam Dan Kepercayaan Daerah Jambi. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1985.
Soemanto, Bakdi. Jagat Teater. Yogyakarta: Penerbit Media
Pressindo, 2001.
__________.Godot di
Amerika dan Indonesia; Suatu Studi Banding. Jakarta: PT. Gramedia, 2002.
Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era
Globalisasi. Edisi ketiga yang diperluas. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, November 2002.
__________. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan
Seni Rupa. Bandung: Seni Pertunjukan Indonesia, 1999.
__________. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik,
Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Juni 2003.
__________, et al., ed. Gamelan, Dramatari, dan Komedi Jawa.
Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Derektorat
Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984/1985.
Spradley, James P. Metode
etnografi. Terj. Misbah
Zulfa Elizabeth. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1997.
Sumardjo, Jakob. Perkembangan
Teater Modern Dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992.
__________. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung:
Angkasa, 1986.
__________. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni,
1984.
Sumardjo, Jakob dan Saini
K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Soelaeman, M. Munandar. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu
Sosial Dasar. Bandung: PT. Refika Aditama, 2001.
Sudjiman, Panuti. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: U.I.
Press, 1990.
Surherni. “Pertunjukan
Sike Dalam Budaya Masyarakat Kumun Kabupaten Kerinci.” Makalah Penelitian. Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang,
2003.
Suroto., ed. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta:
Erlangga, 1989.
Tarigan, Henry Guntur. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: CV. Angkasa, 1982.
Takari, Muhammad. “Musik
Melayu; Akar Budaya, Akulturasi, Perubahan dan Kontinuitas”, dalam Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni;
Ekspresi Seni, Volume 1, Nomor 1, September 2002, 44.
Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Kedua. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka.
Tim Penyusun Lembaga Adat
Propinsi Jambi. Dinamaika Adat Propinsi
Jambi. Jambi: CV. Lazuardi Indah, 2003.
Teew, A. Penelitian Struktur Sastra. Jakarta: Proyek Pengembangan bahasa dan
Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Wellek, Rene dan Austin
Werren. Teori Kesusastraan. Terjemahan
N. Budianto. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Wojowasito, S. Sejarah Kebudayaan Indonesia II.
Jakarta: Penerbit Siliwangi, 1952.
Zulkifli. “Randai Sebagai
Teater Rakyat Minangkabau Di Sumatera Barat: Dalam Dimensi Sosial Budaya”. Tesis untuk mencapai derajat Sarjana S-2
dalam Bidang Sejarah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1993.
Zakaria, Iskandar. Tambo Sakti Alam Kerinci. Buku
pertama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta: Proyek Penerbitan
Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1984.
__________. Kunaung
Kumpulan Cerita Rakyat Kerinci. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1981.
[1]Tulisan ini di ajukan
untuk Jurnal Penelitian STSI Padangpanjang.
[2]Adalah dosen pada Jurusan
Seni Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang.
[3]Lihat Djuhar Noor,
“Perubahan Sosial Di Kerinci Pada Awal Abad XX” (Tesis untuk mencapai
derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Pengkajian Sejarah, Universitas Gadjah Mada,
1985), 7. Lihat juga Mursal Esten, ed., Struktur Sastra Lisan Kerinci
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), 10.
[4]Lihat Idris Djakfar
Depati Agung dan Indra Idris, Menguah
Tabir Prasejarah di Alam Kerinci:
Seri Sejarah Kerinci I (Kerinci: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Kerinci, 2001). 20. Lihat juga Buku Panduan Pesona Budaya Kerinci Propinsi
Jambi, Upacara Tradisional Batandang (Jakarta:
Ajungan Jambi TMII, 1996), 4.
[6]Pinggan
kanso adalah
piring sebagai wadah berbentuk bundar pipih dan sedikit cekung (atau ceper),
terbuat dari seng, tempat meletakkan nasi yang hendak dimakan. Pinggan kanso ini lazim dipergunakan sebagai tempat makan nasi atau
meletakan lauk pauk oleh masyarakat Kabupaten Kerinci.
[7]Ibrahim merupakan tukang tutur teater tutur Tupai Jenjang senior yang
saat ini telah berumur 65 Tahun dan berasal dari daerah Siulak Panjang.
[8]Herwanfakhrizal,
“Pemeranan Jafril Dalam Lakon Tupai Janjang di Dusun Baru Desa Siulak Panjang
Kecamatan Gunung Kerinci Kabupaten Kerinci”, Dalam Junal Penelitian, STSI Padangpanjang, volume 02, Nomor
1 (Mai 2002): 38.
[9]Wawancara dengan Japril
di rumahnya Desa Koto Beringin pada tanggal 6 Juni 2006, pukul 19.00 WIB.
[10]Djuhar Noor, “Perubahan
Sosial Di Kerinci Pada Awal Abad XX” (Tesis Untuk Meraih Program Pasca
Sarjana dalam Program Studi Sejarah Universitas Gadjah Mada,1985), 37. Lihat
juga Penyusun Lebaga Adat Propinsi Jambi,
Dinamaika Adat Jambi Dalam Era
Globalisasi (Jambi: CV. Lazuardi Indah, 2003), 58. Lihat juga Idris Djakfar
Depati Agung dan Indra Idris, 2001, 59-60.
[11]Lihat Mahdi Bahar,
“Perkembangan Budaya Musik Perunggu Minangkabau Di Sumatera Barat” (Disertasi
untuk meraih gelar Doktor pada Program Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 1993), 209.
[12]Di Palembayan disebut
dengan pertunjukan Tupai Janjang. Perbedaan
sebutan Tupai Jenjang dan Tupai Janjang itu dimungkinkan terjadi
karena perbedaan dialek bahasa, akan tetapi dapat dipastikan yang dimaksud oleh
keduanya adalah sama.
[13]Randai
adalah
teater rakyat Minangkabau dengan unsur-unsur pokok sebagai berikut: (1) Cerita
yang berangkat dari Kaba dengan
menggunakan ibarat, kias, dan pantun, serta petatah petitih; (2) Unsur dendang
(dilagukan); (3) Gerak tari yang berdasarkan pola pencak silat Minangkabau;
dan (4) Unsur drama dalam bentuk akting
dan dialog disajikan dalam lingkaran di arena. Lebih jauh lihat
Herwanfakhrizal. “Randai Palimo Gaga Awal Teater Minangkabau Modern.” Tesis
untuk mencapai derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Pengkajian Seni
Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000, 106-129.
[14]Lebih lanjut lihat Satya
Gayatri, 75-83, 198-202.
[15]Satya Gayatri, 76.
[16]Istilah kaba berasal dari kata Arab ‘khabarun’ yang berarti ‘berita’, ‘warta’, atau ‘khabar’. Dalam
perkembangannya, kaba tidak lagi
berupa ‘berita’, melainkan berupa ‘cerita’. Mursal Esten, Minangkabau Tradisi Dan Perubahan (Padang; Angkasa Raya, 1993), 35
[17]C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko,
Edisi kedua (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988), 37.
[18]C. A. Van Peursen, 42.
[19]George Kernodle dan
Portia Kernodle, Invitation to the
theatre, (New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc., 1978), 265.
[20]Suroto., ed. Apresiasi Sastra Indonesia (Jakarta:
Erlangga, 1989), 94.
[21]Jakob Sumardjo dan Saini
K.M., Apresiasi Kesusastraan (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), 75.
[22]Jakob Sumardjo dan Saini
K.M., 75.
[23]George Kernodle dan
Portia Kernodle, 265-267. Lihat juga Bakdi Soemanto, Jagat Teater (Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2001), 16.
[24]Elaine Aston dan George
Savona, Theatre as Sign System, A
Seriotics of Text and Performance, (London: Routledge, 1991), 18.
[25]Bakdi Soemanto, 17.
[26]Bakdi Soemanto, 20.
[27]Yang dimaksud dengan alur
erat adalah kalau salah satu peristiwa dilepas dari rangkaiannya maka jalan
cerita akan terganggung. Lihat Chairul Anwar. “Drama Komedi dan Parodi N.
Riantiarno.” Tesis untuk mencapai derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Sastra,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1996, 165.
[28]Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 449.
[29]Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 728.
[30]Konvensi adalah aturan
main yang menjadi landasan pijak antara sutradara/pencipta karya seni dengan
penonton, berkaitan dengan kode-kode yang digunakan mulai dari format panggung
sampai seluruh proses yang berlangsung di dalamnya. Lihat Ashadi Siregar,
“Komunisi Teater dan Publiknya”, makalah Pertemuan
Teater Indonesia, Surakarta, 17 s. d. 22 Juni 1993, 5.
[31]Bisamillah
berarti
dengan nama Allah. Kata Bismillah selalu
diucapkan oleh umat muslim dalam memulai segala aktifitasnya. Dengan
mengucapkan kata tersebut terkandung makna bahwa segala aktifitas yang akan
dilakukan atas izin Allah.
[32]Soedarsono, 124.
0 Response to "TUPAI JENJANG TEATER TUTUR MASYARAKAT SIULAK KERINCI JAMBI"
Post a Comment