Menembus Dinding Imajiner:
Menyulam Realisme di “Jalur 17”
Teater
apapun bentuknya, tak dapat mengelak dari fungsinya sebagai media komunikasi
dan ekspresi. Sebagai media komunikasi, teater dalam istilah Fergusson
disebutkan: “a public medium of communication”, tempat seseorang
berhubungan langsung dengan “perubahan hidup dan jiwanya”. Sebagai wujud
ekspresi, teater merupakan medium juga wacana pernyataan diri para pelakunya. Jadi
teater merupakan media untuk merefleksikan pengalaman hidup, “baik setuju ataupun
tidak” terhadap realita. Aktualisasi maupun protes dilakukan dengan menjelajahi
wilayah artistik yang ada, atau mencipta kebaharuan di dalamnya.
Mencipta
yang baru? Barangkali inilah yang ingin dilakukan Teater Gardanalla dalam pertunjukan
“Jalur 17”, yang dilaksanakan tanggal 3 dan 4 Mai 2005 lalu. Ada yang unik, pertunjukan
tidak digelar dipanggung prosenium seperti lazimnya teater modern, atau di
lapangan terbuka seperti konsep pemanggungan teater tradisional. “Jalur 17” dipentaskan
di bus kota yang melaju menyelurusi jalan-jalan kota Yogyakarta dengan jadwal
pertunjukan 4 kali sehari, pukul 11.00, 13.00, 15.00, dan 17.00 WIB.
Pertunjukan tidak dilakukan hingga malam hari, karena menurut Joned Sujadmiko (penulis
naskah sekaligus sutradara) pentas ini mengikuti kebiasaan jadwal bus kota di
Yogyakarta.
Nyleneh…memang!
bus kota yang lazim digunakan untuk transportasi umum oleh Joned di sulap menjadi
arena pentas “jalur 17”. Memang pada kenyataannya, sudah menjadi watak teater
untuk selalu mengeliat dan berubah mencari bentukan baru, agar terhindar dari
kemapanan. Mapan identik dengan “kejumudan”, setelah jumud lalu apa? Apalagi,
kalau bukan merangkak menuju kematian. Untuk menghindari kematian itulah,
teater harus selalu bergerak dan berubah.
Pementasan
ini diawali dengan penonton atau penumpang check in di Bentara Budaya,
yang dijadikan sebagai pangkalan bus kota. Pertunjukan dibuka oleh Joned dengan
menjelaskan konsep dan pilihan artistik “Jalur 17”. Informasi ini justru
membuat frame yang tegas bagi
penonton, hingga menumpulkan imajinasi dan interprestasi baru dari pertunjukan tersebut.
Sebelum
naik bus kota penonton diberi sangu Rp.1.200 per orang. Awalnya penonton
bertanya-tanya, para remaja bahkan tersenyum gembira karena uang yang mereka
rogoh untuk pembelian tiket dengan harga Rp. 5.000 untuk pelajar, Rp. 7.500
untuk mahasiswa, dan Rp. 10.000 untuk umum (kecuali “undangan khusus” diberi
gratis) dikembalikan sebagian. Separo perjalanan baru mereka sadar bahwa uang
itu harus diserahkan kembali sebagai ongkos pada kondektur bus kota berbadan
tambun bernama Penyo yang diperankan Wisnu Aji. Berawal dari sini, mulai
terlihat upaya sutradara untuk melibatkan penonton secara aktif. Penonton tidak
hanya menjadi penikmat, tetapi terlibat melakukan action dalam
pertunjukan ini.
Ketika
bus kota bergerak pelan, muncul dua pasang remaja beradik-kakak – Rini diperankan
oleh Netty Yustitusya Wardani dan Rio diperankan oleh Ignatius Emmanuel – yang tergesa-gesa
menaik bus kota. Rio keberatan karena harus meninggalkan motornya yang kehabisan
bensin. Di bus kota, mereka berdebat tentang uang saku yang sudah tidak
mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari, seperti tugas sekolah, jajan, beli buku,
bensin, pulsa, dan pacaran. Kemudian bus kota melaju dengan suara menderu
diiringi alunan musik dari Andre Bocelli, yang ditata oleh Ari Wulu.
Di
tengah debat yang terjadi antara Rini dan Rio tentang uang saku, Penyo ikutan
nimbrung. Penyo menawarkan solusi agar mereka mencari uang sendiri seperti
dirinya. Menurut Penyo kemandirian adalah citra kedewasaan. Pada paruh
perjalanan naik seorang pengamen yang diperankan dengan manis sekali oleh Anik
Rusmawati. Kemunculan pengamen ingin mempertegas arti kemandirian bagi seorang dalam
menghadapi perih getir kehidupan.
Penyo
lebih memilih menjadi kondektur dari pada melanjutkan sekolah. Menurut Penyo dalam
hidup yang diperlukan adalah uang, dan uang harus dicari, sedangkan sekolah
adalah kegiatan yang menghabiskan uang. Rini mencari tambahan uang saku dengan cara
berjualan lilin di kampus. Ide ini didapat dari pacarnya (mas Danang), kakak
kelasnya di Fisipol. Lain pula dengan perempuan pengamen. Ia harus menghadapi resiko
dicolek kondektur saat mengamen di bus kota agar dapat bertahan hidup.
Dinding
Imajener: Penonton dan Pemain
Realita
kehidupan remaja pada “Jalur 17” ini ditulis berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Kurniawan Adi. Penelitian terfokus pada hasrat konsumsi di
kalangan remaja. Di dalam penelitian tersebut Kurniawan mendapat fakta, rata-rata
setiap remaja selalu kehabisan uang saku dipertengahan bulan. Dalam pikiran umumnya
remaja, keinginan merupakan tabiat individual. Orang yang mudah mengingini
sesuatu dianggap setara dengan orang yang mudah marah, keduanya memiliki tabiat
yang khas. Ada orang yang mudah kepingin, ada yang tidak. Akan tetapi
teori ini gagal menjelaskan mengapa pulsa mereka selalu habis sebelum akhir
bulan; juga mengapa uang saku mereka selalu terkuras untuk membeli pulsa. Jika
keinginan adalah perkara individu, mengapa kegagalan menahan keinginan dialami
semua individu? Berlawanan dengan teori di atas, Kurniawan percaya bahwa
keinginan (hasrat) adalah perkara sosial. Karena bersifat sosial, maka ia punya
ruang dan waktunya. Ia terus dibentuk dan berubah.
Indra
Tranggono menyebutkan bahwa “Jalur 17” telah mengusung berbagai peristiwa riil milik
remaja. Struktur makna dari pertunjukan membayangkan betapa adidayanya
kapitalisme global dalam menentukan gaya hidup, dan pilihan nilai bagi seseorang.
Gerak hidup masyarakat yang dikendalikan oleh kapitalisme beserta dinamika
komersilnya, akhirnya uang menjelma menjadi majikan sekaligus pelayan yang
berperangai ganda: baik dan buruk. Kapitalisme menyodorkan berbagai impian,
kenikmatan dan kenyamanan, sekaligus menuntut daya beli yang tinggi dari
masyarakat. Untuk mencapai daya beli itu masyarakat atau individu menempuh
barbagai pilihan dengan seluruh resiko sosialnya.
Salah
satu faktor yang merangsang hasrat konsumsi dikalangan remaja tinggi, karena mereka
biasa bergantung pada kemudahan teknologi, hingga kebutuhan semakin meningkat, lalu
berdampak pada hasrat konsumsi yang semakin tak terkendali. Melalui “Jalur 17”
ini, Joned mencoba mengingatkan penonton untuk merubah, atau setidaknya
mengendalikan hasrat konsumtif tersebut.
Potret
konsumtif remaja di atas dikemas dengan “corak realis” yang agak beda, terutama
dalam motode pemanggungannya. Dalam tradisi teater, realitas kehidupan yang
diangkat ke panggung mencapai tingkat kesempurnaan dengan “gaya realisme”. Realisme bertujuan mencipta ’illusion
of reality’ di panggung. Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa, realisme
ingin membuat penontonnya lupa bahwa mereka sedang menonton teater. Oleh sebab
itu, adegan dalam kamar tidak lagi cukup diberi layar yang digambari (dekor);
akan tetapi perlu diciptakan kamar dengan empat dinding seperti kamar yang
sebenarnya. Setting-dekor, properti, kostum, dialog tokoh dan gerakan
aktor (muvement) secara pasti berkorespondensi dengan realitas yang
dikenal penonton melalui referensi sehari-hari.
Dalam drama realisme dikenal suatu
konsep yang disebut well made play, dengan ciri-ciri: a) penggambaran
karakter dan situasi yang jelas; b) perkembangan laku dihantar dengan
sebaik-baiknya; c) penuh dengan kejutan-kejutan yang logis; d) penuh suspense
dengan ketegangan; dan e) kesimpulan akhir yang masuk akal dan dapat dipercaya.
Secara teknis di panggung tergambar kehidupan secara rinci, seperti ruang duduk
keluarga atau ruang kantor, dan ruang lain yang paling umum dilihat penonton. Segala
spektakle dipanggung bertujuan membangun imajinasi penonton agar
kenyataan lakon tergambar persis sama dengan kenyataan sebenarnya. Pertunjukan
semacam ini dikatakan oleh Saini Kosim sebagai model teater realisme
konvensional.
Kunci dasar konsep itu adalah ‘seakan-akan’
atau ‘mirip kenyataan’. Melalui konsep ‘seakan-akan mirip kenyatan’ tersebut,
tercipta sebuah jarak imajiner antara penonton dan pemain. Pemain menyuguhkan action,
sedangkan penonton menikmatinya. Penonton menangkap ilusi realitas yang dihadirkan,
kemudian terempati dengan tokoh. Mereka mencari getaran emosional, lalu
mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh dipanggung. Emosi mereka diguncang,
kemudian kelelahan dan akhirnya berdamai dengan dunia yang tidak sempurna dalam
kenyataan yang sebenarnya.
Lama-kelaman corak realisme
konvensional di atas mengalami kejumudan.
Penonton mulai jenuh menjadi penikmat yang pasif. Jika pementasan bagus,
perasaan bosan penonton tentu dapat dihindari, akantetapi bagaimana dengan pementasan
yang jelek? Bukankah selama pementasan berlangsung, penonton akan tersiksa,
karena harus menikmati sajian yang membosankan.
“Jalur 17” menghadirkan kemungkinan baru dari model
hubungan penonton dan pemain. Metode yang digunakan untuk menembus
dinding imajiner itu adalah dengan menggelar pertunjukan dilokasi setting
cerita yang terdapat dalam naskah lakon. Apabila dalam realisme konvensional,
panggung diubah menjadi kamar, ruang tamu, atau lain sebagainya, sedangkan pada
“Jalur 17” penonton di ajak untuk benar-benar berada di setting cerita
yang sebenarnya, di bus kota.
Upaya
melibatkan penonton dalam pertunjukan memang bukan hal baru, metode ini sering
dilakukan pada teater tradisi. Dalam pertunjukan ketoprak atau lenong,
misalnya, keterlibatan atau interaksi ditemukan pada “clekopan” yang
dilontarkan penonton saat mengomentari peristiwa yang terjadi di atas panggung.
Pemain kemudian membalas, hingga terjadi dialog antara keduanya. Motode ini berbeda dengan apa yang
dilakukan pada “Jalur 17”, walaupun ada kemungkinan Joned menggalinya dari
bentuk hubungan (antara penonton dan pemain) pada teater tradisi tersebut.
Pada saat bus kota mengitari kota, penonton
menyaksikan dua tontonan bersamaan, yakni: a) pertunjukan teater dengan lakon
“Jalur 17”; dan b) keramaian kota dengan segala potret kehidupannya. Kaidah-kaidah
gruoping aktor yang ketat dipanggung prosenium, tidak diterapkan pada
aktor di bus kota. Arena pentas yang sempit, serta antara jarak penonton dengan
pemain yang hampir tidak bercelah, membuat pementasan ini menjadi lebur.
Konvensi
antara panggung dengan pemain; panggung dengan penonton; serta penonton dengan
pemain, menjadi sangat tipis. Tipisnya jarak membuat semua konvensi di atas
menjadi tidak senyata apabila pementasan ini digelar pada panggung prosenium. Dengan
metode tersebut tujuan realisme – yang ingin menciptakan tontonan tanpa jarak
jarak dengan penonton – menjadi sangat mungkin dicapai.
Kaidah-kaidah
pemanggungan yang ketat pada realisme konvensional dilanggar dengan sadar oleh
Joned. Pelanggaran tersebut justru mampu membuat pertunjukan menjadi semakin dekat
dengan kenyataan sebenarnya. Pelanggaran kaidah-kaidah realisme konvensional
itu dimungkinkan karena pertunjukan digelar di bus kota.
“Jalur
17” berusaha mencipta bentukan baru dari realisme, dengan memembus ruang imajiner
yang diterapkan dengan ketat antara pentas dan tontonan oleh penganut realisme
konvensional. Salah seorang penonton mengatakan pertunjukan teater dengan setting
dalam bus kota sangat memberinya pengalaman baru. Selama ini tidak pernah
terpikir olehnya untuk menyaksikan jagat kecil teater sambil juga menikmati
jagat besar (lalulintas kota Yogyakarta) dengan segala keruwetannya. Sementara
yang lain mengatakan peristiwa itu mirip dengan peristiwa keseharian yang
sering dialaminya. Hampir setiap hari dia berantem dengan adiknya mulai dari
masalah sepele hingga yang besar. Peristiwa itu seakan diputar ulang kembali dipertunjukan
ini. Namun ada juga yang memberikan
pendapat berbeda, yakni yang dilakukan oleh Gardanalla hanya memindahankan
panggung teater ke bus kota. Tidak ada yang istimewa, pentas ini lebih menarik
jika penumpang umum di buat tidak menyadari bahwa peristiwa yang dibangun dalam
ruang itu peristiwa teater, kebingungan penonton atau penumpang merupakan
realita yang dapat dinikmati sebagai bentuk kenyataan sehari-hari yang riil.
Apapun
komentar mereka, baik itu pro dan kontra, yang pasti teater Gardanalla melalui
pentas “Jalur 17” telah memberikan kesadaraan baru pada pekerja dan pengamat
teater untuk kembali mengkaji secara lebih kritis tentang defenisi-defenisi
yang ada dalam teater itu sendiri. Kalau saja teater sama atau setidaknya mirip
dengan kehidupan sehari-hari, bukankah itu mampu memperluas wilayah jelajah
teater itu sendiri.
Yogyakarta, 12
Januari 2006
Hendri
Jihadul Barkah.
Mahasiswa
S2 Pengkajian Seni Pertunjukan
dan Seni
Rupa, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
0 Response to "Menembus Dinding Imajiner: Menyulam Realisme di “Jalur 17”"
Post a Comment