Kebenaran
yang Hilang
Oleh Tamimi
Manusia merupakan wujud
nyata dari kecenderungan alamiahnya untuk selalu mencari kebaikan dan kebenaran
(hanif). Dari pemahaman semacam ini, penulis
berkeyakinan bahwa nilai-nilai kemanusiaan tidak mungkin bertentangan dengan nilai-nilai
ketuhanan, begitu juga sebaliknya nila-nilai ketuhanan tidak mungkin pula
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. (Nurcholish Madjid:1992,24). Oleh karena
itu agak aneh ketika menyaksikan prilaku manusia hari ini yang terlihat
berbalik arah dari kecenderungan alamiahnya untuk selalu berbuat damai, jujur,
adil serta tidak merusak tatanan kehidupan sosial. Kini jatuh ke dalam lumpur
kenistaan di karenakan prilaku alam rendah (hewani)
seperti zina, korupsi, manipulasi, menindas, memeras hingga membunuh saudaranya
sendiri. Lalu dimana hilangnya suara kebenaran yang fitrah itu.
Sebenarnya suara
kebenaran yang fitrah itu ada dan akan menjadi kekuatan bagi diri seseorang
ketika jiwanya selalu terhubung dengan Sang pencipta. Sehingga segala aktivitas
yang dilakukan bukan hanya atas nama Tuhan tapi juga berdasarkan bisikian suara
Tuhan hingga mendapatkan bimbingan-Nya. Bimbingan itu diperoleh melalui
kesadaran akan keberadaannya (eksistensi) sebagai makhluk yang diciptakan.
Dalam posisi inilah makna laa ilah
illallah harus membumi di hati, sehingga tak ada ruang bagi tuhan yang
dipertuhankan kecuali Tuhan sesungguhnya (Allah) yang merajai hati. Karena bila
ada sesuatu selain Tuhan yang merajai hati, maka hal itu pasti akan membelenggu
serta mengendalikan dirinya menjadi manusia yang cenderung melawan fitrah
alamiahnya.
Salah satu urgensi
bertauhid adalah dapat memberikan efek pembebasan dari kungkungan gemerlapnya
materi dunia yang senatiasa menjadi penjara bagi jiwa dan pikiran. Karena tidak ada sesuatu yang bisa memenjarakan hati dan pikiran kecuali
bila ia terikat kepadanya (materi/jabatan) (dalam Abu Sangkan:2008,195). Bila
diperhatikan kecenderungan manusia modern ialah mengikatkan dirinya kepada
sesuatu yang bersifat kebendaan, bergantung hingga mengagungkannya, dalam
istilah al-Qur’an inilah yang disebut dengan “taghut”(tuhan kecil). Dengan
berubahnya motif ini, posisi visi awal untuk menuju Tuhan kini malah berbalik
arah mencari dan menuju sesuatu selain Tuhan. Inilah yang membuat gelapnya mata
hati hingga menutupi ruang berfungsinya suara kebenaran.
Menilai dari prilaku,
bahwa manusia hari ini seakan-akan tidak lagi berada pada hakikat diri yang
utuh, yaitu diri yang selalu sadar akan eksistensinya sebagai makhluk. Kini ia telah
berada pada status ganda dalam bentuk prilaku mendua, satu sisi ia berkeinginan
mengikuti nurani yang sejalan dengan suara Tuhan, tapi disisi lain ia berjuang
mengamini dan memenuhi hasrat untuk mencari kesenangan dan kepuasan sesaat, terkadang
dengan cara mengkhianati manusia dan Tuhannya melalui berbagai modus dan
operandinya. Inilah amnesia manusia modern yang penyakitnya telah mencapai
stadium akut diberbagai lininya.
Kesenangan dan kepuasan
yang diperolehnya dari proses kimiawi lalu direspon oleh saraf hingga terasa reflay melaui hantaran materi-materi
keduniaan. Saat itu ia berpikir seakan-akan inilah kesenangan dan kenikmatan
abadi sehingga tanpa sadar bahwa ia terjebak di alam ke fanaan yang hampa akan
nilai-nilai spiritual, akhirnya jiwa menjadi resah tak tenang. Dalam kondisi
ini batinya meronta tak berdaya ingin merubah keadaan tapi apakan daya sang
diri tak kuasa karena berada dalam penjara nafsu yang memperbudak diri hingga
mengantarkan ke alam rendah yaitu seperti rasa haus, lapar, seks, amarah, punya
materi yang berlimpah serta jabatan yang tinggi tanpa melibatkan Tuhan.
Inilah sesungguhnya
penjara yang selalu membuat manusia tak pernah damai dengan dirinya sehingga
memberi efek negatif bagi kehidupan dan kemaslahatan orang banyak, terlebih ia
adalah seorang tokoh atau pejabat publik, tentu sangat memberi dampak besar. Maka,
terjadilah pembunuhan terhadap akal sehat secara besar-besaran di negeri ini
sebagaimana yang diungkapkan oleh Dahlan Iskan. Menurut penulis bukan hanya
pembunuhan terhadap akal sehat saja, tapi juga pengkhianatan atas suara hati
yang selaku berorasi di dalam diri ingin selalu damai dengan diri sendiri serta
Tuhannya.
Kini, bagaimana kita
berupaya mengembalikan diri kefitrah semula agar nurani menjadi nahoda bagi diri,
sehingga ia mudah dalam menagkap suara kebenaran. Cara yang paling mungkin
adalah; sadar akan eksistensi diri sebagai makhluk Tuhan, siapa aku, dimana dan
dari mana aku serta untuk siapa aku, hendak kemana aku, apa hakikat kepemilikan
itu. Apakah yang ku miliki saat ini benar-benar milikku, apa sesungguhnya ujung
perjuangan dari kehidupan ini?. Kesadaran ini akan terwujud jika setiap kita
selalu menjemputnya melalui proses ritual pribadatan yang diajarkan agama. Tanpa
itu, rasa tersebut tidak akan pernah aktif di dalam diri, ia ada tapi tak kuasa
hadir karena terbelenggu oleh nafsu yang selalu menutupi suara kebenaran hingga
hilang menguap tanpa bekas.
Oleh karena itu, dalam
menjalani hidup yang penuh ujian, godaan serta tantangan ini kita diharapkan
untuk selalu akrab dengan Tuhan sebagaimana Tuhan yang selalu akrab dengan
kita, Ia tak pernah terputus dari diri setiap insan. Andaikan satu detik saja
ia memutuskan diri, maka pasti kematian itu akan lansung terjadi. Dari sifat
kasih ini, hendaknya kita bisa merenung dan sadar betapa bergantungnya segala kehidupan
ini kepada-Nya. Untuk itu kita tak punya pilihan kecuali mengikuti irama
kehidupan yang sesuai dengan aturan-Nya, sebab, jika melewati rambu-rambu itu
pasti kita menjadi makhluk pelawan, dan ujung-ujungnya pasti akan hancur. Maka,
marilah kita hidup secara wajar sesuai dengan fitrah ketuhanan, dengan mentaati
norma-norma agama, etika sosial kemasyarakatan serta kelaziman hidup dalam
panduan nurani yang aktif. Dengan demikian pasti Tuhan dan alam-Nya merestui
kehadiran kita
Tulisan ini pernah
dimuat di HALUAN Kepri, 12 November 2012
0 Response to "Kebenaran yang Hilang"
Post a Comment