RANDAI DALAM
PEMBENTUKAN IDENTITAS
BUDAYA
MINANGKABAU
Oleh: Hendri JB., S.Sn., M.Hum.
Intisari
“Baliek ka pangka”, merupakan ungkapan khas masyarakat Minangkabau, bermaksud
untuk berbalik kembali pada inti permasalahan yang sebenarnya. Dalam konteks
ini dimaksudkan untuk menggali serta menghayati kembali falsafah dan
nilai-nilai budaya Minangkabau sebagai panutan hidup sesuai dengan angan dan
cita-cita masyarakatnya.
Lebih lanjut tulisan ini menjelaskan arti
penting pembentukan identitas budaya Minangkabau dengan berlandaskan pada “Adat
bersandi syarak (agama Islam), syarak bersandi kitabullah
(Al-Qur’an)”. Pengkajian fasafah budaya Minangkabau itu bertujuan menciptakan
identitas budaya Minangkabau yang kontekstual sesuai dengan konsep “kekinian” seperti
dicita-citakan masyarakat Minangkabau. Dalam mewujudkan maksud di atas,
penerapan politik hegemoni, yaitu; force dan consent, seperti
yang dijelaskan Gramsci menjadi perlu dilaksanakan.
Salah satu cara
mewujudkan identitas budaya Minangkabau dilakukan dengan menggunakan medium randai. Memasukkan randai yang
telah di renovasi ke dalam kegiatan ektrakurikuler muatan lokal di
sekolah-sekolah dan menyiarkannya di TVRI Stasiun Padang akan berdampak
signifikan pada pengenalan juga perkembangan randai di kalangan remaja
Minangkabau, kemudian selanjutnya akan menjadi cikal bakal pembentukan identitas
budaya Minangkabau yang sesuai dengan konteks kekiniannya.
A.
Pengantar
Pada era Soeharto telah terjadi
penyeragaman budaya yang diistilahkan dengan “azas tunggal” guna kepentingan
”Indonesia Bersatu”. 32 tahun lamanya masyarakat Indonesia tidak memiliki
keleluasaan untuk menunjukkan jatidiri individu maupun kedaerahannya. Akibatnya
masyarakat di daerah kehilangan identitas budaya. Secara perlahan namun pasti
budaya-budaya lokal mulai tergeser porsinya, kemudian diseragamkan menjadi
budaya tunggal yang lazim kita kenal dengan sebutan “Budaya Nasional”. Padahal
penciptaan identitas budaya nasional tersebut hanya bersumber dari “sebagian
kecil” budaya daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya pengerdilan budaya daerah-daerah
yang beragam di Indonesia. Budaya daerah sebagai sandaran nilai kehidupan
masyarakat pendukungnya tergeser dan dialih fungsikan menjadi monumen-monumen
atau pajangan budaya yang tidak lagi leluasa berkembang di tengah-tengah masyarakat
pendukungnya. Contohnya tampak pada miniatur rumah adat dan benda-benda budaya
yang terdapat di Taman Mini Indonesia Indah. Di situ kita lihat benda-benda
budaya terpajang – bagaikan poselin indah dalam sebuah rumah – pada kenyataannya
benda-benda tersebut tak lagi hidup atau paling tidak sudah tidak lagi hadir
dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat pendukungnya.
Kondisi tersebut menyebabkan sebagian
budaya daerah yang tidak sesuai dengan konsep budaya nasional tersingkir. Seperti
ditulis oleh Pemberton, “ragam budaya milik masyarakat daerah sebagai sistem
nilai masyarakat pemakainya pada era Soeharto hanya dijadikan sebagai proyek
miniatur yang terpajang di Taman Mini Indonesia Indah”.[1]
TMII hanya sarana untuk memajang kebudayaan
daerah dari Sabang sampai Merauke, sementara pada praktek, fungsi dan kegunaan
budaya setempat dinisbikan dalam kehidupan pemakainya. Hal ini menjadikan
budaya nasional ciptaan Orde Baru tidak bermakna bagi masyarakat di
daerah-daerah lain yang bukan tempat akar budaya itu tumbuh. Hal senada juga
terjadi pada bidang seni, terkhusus seni pertunjukan. Para seniman pada masa
Orde Baru hanya diberi kebebasan yang semu. Sudah bukan rahasia lagi bahwa, di
antara korupsi yang sudah menjadi budaya, pertunjukan-pertunjukan yang berusaha
mengkritik ketimpangan ini selalu dibungkam. Akibatnya kritik-kritik selalu
dilakukan dengan cara terselubung.[2]
Lengser Soeharto yang dimotori oleh
gerakan mahasiswa mencapai puncak pada bulan Mei 1998, dengan peristiwa
Trisakti dan Semanggi, berdampak pada perubahan sistem sosial, politik, dan
budaya. Pada era reformasi masyarakat mulai memiliki kebebasan bergerak dan
berekspresi. Sejak saat itu mulai tumbuh kesadaran bahwa Indonesia terdiri dari
berbagai macam etnis dengan keragaman budaya dan semua perbedaan yang ada harus
diakomodir agar masyarakat hidup sesuai dengan jatidiri kedaerahannya. Mereka
tidak mungkin disatukan dengan identitas ke-“Indonesia”-an yang semu hasil
ciptaan Orde Baru.
Konsep identitas tentang “Indonesia bersifat
tunggal” dengan semboyan “walau berbeda-beda tapi tetap satu” tidak bisa
dipertahankan lagi. Gagasan tentang identitas tunggal berdasarkan puncak-puncak
kebudayaan daerah tidak mampu lagi mempertahankan ketunggalannya. Dalam
menciptakan yang “tunggal” pasti ada yang “disingkirkan”, Untuk membuat satu
yang “utuh” pasti ada yang “dibuang”. Untuk membuang yang dianggap tidak
relevan dengan identitas “ke-Indonesia-an” itulah politik mencipta identitas
digunakan. Namun kenyataannya ketunggalan yang dicipta dengan menyingkirkan
sebagian local genius tak mampu bertahan, karena tidak mengakomodir
budaya masyarakat setempat.
Konsep tentang “Indonesia Satu”, yang
bertujuan menekan perbedaan antarsuku tidak mampu lagi menjadi perekat hidup
bernegara. Sebaliknya, konfik kepentingan antardaerah muncul. Hampir tiap
propinsi di Indonesia mengalami pertikaian karena berbagai kepentingan yang
berseberangan. Salah satu contoh yang paling relevan adalah perang antara suku Dayak dan Madura di Sampit
Kalimantan Tengah beberapa tahun lalu. Salah satu penyebabnya adalah karena
antara kedua suku tidak saling memahami tradisi dan adat-istiadat
masing-masing. Ketidakpahaman tersebut berdampak pada perilaku saling tidak
menghargai.
Agar hal serupa tidak terjadi lagi, maka
perlu dikembangkan “paradigma budaya baru” tentang Negara Kesatuan Republik
Indonesia ini. Keragaman dan perbedaan masing-masing budaya di Indonesia – yang
di masa Orde Baru tidak terakomodir – kini perlu ditonjolkan kembali.
Penonjolan itu bertujuan untuk menciptakan kesadaran tentang adanya perbedaan.
Di saat kita menyadari ada perbedaan, pada saat itulah sebenarnya kita dapat
menghargai perbedaan tersebut. Dengan adanya pemahaman terhadap kebudayaan lain
dan mengerti kebudayaan sendiri, maka kita menyadari bahwa kita tidak sama.
Adanya pemahaman bahwa “kita berbeda” dengan sendirinya menimbulkan penghargaan
terhadap “makna perbedaan” itu.
B. Minangkabau
dan Randai Dalam Pembentuk Indentitas Budaya
Untuk dapat mencipta identitas budaya
Minangkabau yang berlandaskan falsafah masyarakat Sumatera Barat dengan konsep
“kekiniannya”, jelas perlu diadakan pengajian dan penelitian yang dalam untuk
memahami konsep-konsep dasar budaya Minangkabau. Apa itu Minangkabau, kenapa
disebut Mingkangkabau, dan seperti apakah kondisi masyarakat Minang sekarang
ini? Inilah pertanyaan mendasar yang perlu dicari jawaban yang sesuai dengan
keinginan seluruh masyarakatnya.
Wilayah Sumatera Barat yang terletak di
bagian Barat Sumatera Tengah dihuni oleh masyarakat Minangkabau. Istilah Minangkabau
mengandung pengertian kultural dan makna geografis yang tidak terkandung dalam
pengertian kata Sumatera Barat. Setelah Minangkabau menjadi salah satu bagian
wilayah Republik Indonesia, istilah Minangkabau diidentikkan dengan pengertian
geografis wilayah administratif propinsi Sumatera Barat. Sejak bergabung
menjadi wilayah Indonesia dengan nama propinsi Sumatera Barat, maka masyarakat
Minangkabau dikenal dengan masyarakat Sumatera Barat.[3]
Dapat dipahami bahwa Minangkabau ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia
ini ada dan jelas masyarakat Mingkabau sudah memiliki tatanan kehidupan sosial
maupun budaya sebelum Republik Indonesia ini ada.
Bagi masyarakat Minangkabau alam adalah
segala-galanya. Alam bukan saja sebagai tempat lahir dan mati, tempat hidup dan
berkembang, melainkan juga mempunyai makna filosofis yang dikenal dengan motto:
Alam Takambang Jadi Guru (alam terkembang jadi guru).[4]
Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang selalu belajar pada alam. Melalui
proses belajar pada alam maka tercipta falsafah hidup masyarakat Minangkabau
yang dikenal dengan: “Adat bersandi syarak (agama Islam), syarak
bersandi kitabullah (Al-Qur’an). Landasan falsafah di atas kembali
dihidupkan dan dijadikan sumber penciptaan segala praktik budaya di Minangkabau,
termasuk seni.
Seiring uraian di atas, akhirnya dapat
dipahami bahwa setiap penduduk di Nusantara memiliki kesempatan untuk
mengaktualisasi diri dan menunjukkan eksistensi ke daerahannya. Kesadaran untuk
membangkitkan simbol-simbol budaya lokal sebagai identitas budaya daerah mulai
mencuat, tak terkecuali di Sumatera Barat. Pemerintah daerah dan stake
holders lain di Sumatera Barat berupaya menggali simbol-simbol kedaerahan
tersebut pada dunia seni, terkhusus seni pertunjukan rakyat.
Pada dasarnya dalam konteks otonomi daerah
dewasa ini keterlibatan pemerintah setempat dalam dunia pertunjukan rakyat
umumnya digerakkan oleh dua mesin utama: penggalangan identitas (jati-diri) dan
ekonomi (pariwisata).[5]
Dalam pembahasan lebih lanjut pada tulisan ini akan difokuskan pada
penggalangan identitas (jatidiri) melalui kesenian tradisional randai.
Untuk mewujudkan niat tersebut dilakukan
upaya menyusun proyek identitas budaya sebagai jati diridaerah. Chris Barker
dalam buku Cultural Studies: Theory and Practice mengungkap bahwa
penciptaan identitas tersusun dari apa yang kita pikirkan tentang diri kita
sekarang berdasarkan situasi masa lalu dan masa sekarang, sekaligus tentang
gagasan akan menjadi apakah kita, serta garis lintasan masa depan bagaimana
yang kita ingini.[6]
Istilah identitas atau jatidiri pada karakteristik suatu satuan sosial adalah
merupakan jawaban atas pertanyaan siapakah saya atau kita. Jelas kiranya bahwa
jawaban atas pertanyaan itu hanya dapat ditemukan dengan cara melakukan
perbandingan antara saya dan kamu, antara kita dan mereka. Identitas adalah
inti diri yang bersifat universal dan kekal, dicipta sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan kita.
Randai sebagai teater tradisional Minangkabau
digunakan untuk mengomunikasikan nilai-nilai "ke-Minangkabau-an" yang
ingin dibangkitkan tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Brandon yang
menjelaskan bahwa seni merupakan sarana komunikasi yang paling efektif untuk
menyampaikan tujuan.[7]
Oleh karena itu, Randai dilirik sebagai kendaraaan (media) dalam mengomunikasikan
identitas budaya Minangkabau.
Sebelum dikenal sebagai teater tradisional
Minangkabau, mula-mula Randai berbentuk tarian. Langkah-langkah gerak silat
dimainkan berkeliling dan membentuk lingkaran dengan jumlah peserta tidak
tertentu. Dalam tarian ini belum dimainkan cerita, karena masa itu pertunjukan
hanya berupa pantun-pantun yang didendangkan (dilagukan) oleh anak-anak
muda dalam perhelatan adat. Tari ini disajikan di atas tanah di tengah halaman,
sawah, padang, atau di pasar ramai, bukan di tengah rumah atau dalam ruangan.
Tari randai ini belum menggunakan dialog. Ceritanya diungkapkan dengan
pantun sambil menari dalam sebuah lingkaran dan pada akhir pantun mereka
bersorak-sorai.
Bentuk tarian dengan gerak pencak silat
yang diiringi dendang ini merupakan embrio pertama dan kedua dari
randai, sedangkan embrio ketiga adalah masuknya unsur kesenian kaba (cerita).
Masuknya kesenian kaba dalam tari randai semakin memerjelas pesan
yang disampaikan pada masyarakat. Penggabungan ketiga bentuk kesenian ini
kemudian mendapat pengaruh dari kehadiran tonil melayu. Maraknya pertumbuhan
kelompok tonil Melayu di Minangkabau masa itu memengaruhi para seniman randai.
Seniman randai kemudian memasukkan unsur pemeran yang memainkan dialog dalam
pertunjukan awal randai. Kaba yang biasa hanya didendangkan kemudian
mulai visualisasikan oleh pemeran dengan tetap menggunakan gesture dari
gerak pencak silat Minangkabau.[8]
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami
bahwa proses lahir dan perkembangan randai diawali oleh gabungan beberapa
bentuk kesenian rakyat Minangkabau. Bentuk-bentuk kesenian rakyat tersebut
adalah sebagai berikut: a) tari bersumber dari gerak pencak silat; b) dendang;
c) kaba; dan d) ditambah pengaruh tonil klasik Minangkabau
yang memvisualkan kaba dalam wujud akting dan dialog. Keempat embrio
tersebut kemudian menjadi unsur esensial randai sebagai teater tradisional
Minangkabau dan tentu saja penonton berada di sekeliling arena bermain.
Dalam membangkitkan kembali identitas
budaya Minangkabau melalui randai, pemerintah melakukan langkah sebagai
berikut: pertama memasukkan randai ke dalam kegiatan ektrakurikuler
muatan lokal di sekolah-sekolah dan kedua menghadirkan randai secara
berkala di Televisi Republik Indonesia Stasiun Padang. Alasan mendasar pengambilan
televisi sebagai media untuk memopulerkan randai adalah karena TVRI Stasiun
Padang ditonton oleh masyarakat Sumatera Barat. Dengan sendirinya media ini
tepat digunakan untuk menyebarkan randai, sedangkan memasukan randai dalam
kegiatan ektrakurikuler muatan lokal di sekolah-sekolah bertujuan untuk
mengenalkan kembali randai di kalangan muda Sumatera Barat.
1. Memasukkan
Randai dalam Kegiatan Ektrakurikuler Muatan Lokal di Sekolah
Menyimak uraian Gramsci bahwa politik
hegemoni dalam mencipta identitas bekerja dengan cara force dan consent,
strategi ini juga diterapkan oleh stake holders di Minangkabau.
Memasukkan randai dalam kegiatan ektrakurikuler muatan lokal di SLTP dan SMA
berdampak signifikan pada pengenalan dan perkembangan randai di kalangan kaum
remaja Minangkabau. Siswa memiliki kesempatan untuk memelajari randai. Melalui
cara ini siswa-siswa menjadi dekat dengan budaya Minangkabau dan mulai
menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.
Ketika randai masuk ke dalam kegiatan
ektrakurikuler muatan lokal, aktivitas bermain randai terlihat pada siswa SLTP
dan SMA di kota Padangpanjang. Hampir setiap sore mereka berlatih randai dengan
didampingi guru kesenian dan dibimbing oleh seniman randai setempat. Kemarakan
ini mulai terlihat di awal tahun 2000. Tampaknya ini menjadi lahan tersendiri
bagi seniman randai, terkhusus bagi mahasiswa STSI Padangpanjang yang pada
umumnya memelajari randai dalam perkuliahannya. Hampir di setiap ruang dan
sudut-sudut kampus terlihat para remaja berpakaian seragam sekolah sedang
berlatih randai dengan menggunakan kain sarung sebagai pengganti celana galembong
(celana yang lapang, busana khas randai). Ini merupakan sebuah pemandangan yang
membahagiakan bagi pemerhati kesenian tradisi di Minangkabau.
Metode pelatihan yang diterapkan mengacu
pada unsur esensial dalam randai yakni: (1) unsur cerita yang berangkat dari
kaba; (2) unsur nyanyian atau dendang; (3) unsur gerak tari (gerak galombang
dan tepuk galembong atau celananya yang lapang) yang bersumber dari
pencak-silat Minangkabau; dan (4) unsur drama dalam bentuk akting dan dialog.[9]
Setiap siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil dan dilatih gerak galombang
dan tepuk galembong. Setelah mereka mampu memraktekkan gerak galombang
dan tepuk galembong, kemudian mereka diperkenalkan pada unsur
dendang dan unsur drama dalam bentuk akting dan dialog. Pada fase berikutnya
mereka diperkenalkan pada alat musik dan dilatih mainkannya.
Pada level lanjut siswa diarahkan secara
spesifik untuk menguasai salah satu unsur ketrampilan yang terdapat dalam
randai, berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Para siswa yang memiliki
kemampuan menari akan diarahkan menjadi pemain gerak galembong, yang
memiliki musikalitas dan kemampuan memainkan musik diarahkan menjadi pemusik,
dan yang memiliki kemampuan akting dan dialog diarahkan menjadi pemeran
tokoh-tokoh dalam randai.
Mengamati metode pembelajaran yang
diberikan oleh guru dan para seniman randai, jelas mereka masih membutuhkan
pembinaan. Pemerintah Propinsi Sumatera Barat melalui Dinas Pendidikan Nasional
dan stake holders lainnya harus merumuskan dan bekerja maksimal agar
metode pembelajaran randai disekolah-sekolah efektif dan menyentuh sasaran yang
diingini. Kalau tidak dipikirkan lebih serius, maka program ini tidak akan
berhasil untuk membangkitkan identitas Minangkabau. Program ini hanya akan
menjadi kegiatan bermain randai tanpa ada implikasi pada penanaman nilai-nilai
budaya Minangkabau.
Pembinaan randai terhadap guru-guru
kesenian di Sumatera Barat diperlukan agar randai menjadi tepat guna. Pembinaan
harus diarahkan pada pemahaman esensial dari randai sebagai pembentuk identitas
budaya Minangkabau. Pembinaan seyogyanya tidak hanya pada bentuk-bentuk
pertunjukan randai, akan tetapi juga diarahkan pada pemberian pemahaman bahwa
kesenian (randai) merupakan produk budaya Minangkabau yang berkembang sesuai
dengan perubahan zaman. Hal ini bertujuan agar guru dapat mentransformasikan
randai dengan cara yang kreatif dan efektif.
Pembelajaran randai dengan tepat perlu
diperhatikan agar randai tidak terjebak pada keseragaman bentuk ketika
diajarkan pada siswa. Menyimak tulisan revitalisasi pertunjukan reyog Ponorogo
yang ditulis oleh Lono Lastoro Simatupang dalam makalah yang disampaikan pada
seminar Air Sebagai Sumber Orientasi Seni Budaya di Kediri, Jawa Timur,
revitalisasi Reyog Ponorogo dibakukan dengan nama Format “Massal 93”. Pembakuan
bentuk reyog ini berdampak pada keseragaman yang menjadikannya statis dan tidak
berkembang.[10]
Belajar pada kasus di atas, maka metode
pembelajaran randai guna kepentingan pembentukan identitas budaya harus
dilakukan melalui tahap perancangan yang matang. Tahap menjadikan randai
sebagai identitas untuk kemudian menjadi bahan pembelajaran di sekolah-sekolah
harus terlebih dahulu melewati fase seminar randai sebagai identitas budaya
Minangkabau. Seminar ini bertujuan untuk menentukan sasaran yang ingin dicapai
dan merumuskan paradigma yang cocok digunakan pada randai sebagai alat
pembentukan identitas Minangkabau. Fase berikutnya adalah lokakarya dan pelatihan
guru-guru kesenian untuk merumuskan Satuan Acara Pembelajaran yang tepat guna
dan pembuatan Bahan Ajar yang dapat mengakomodir maksud masyarakat dan
pemerintah dalam mencipta identitas budaya Minangkabau. Sementara fase terakhir
adalah mengadakan semacam festival untuk mengetahui sejauh apa perkembangan dan
manfaat randai dalam pembentukan identitas Minangkabau.
2. Randai di TVRI Stasiun Padang
Selain masuk ke dalam kurikulum muatan
lokal pada SLTP dan SMA di Sumatera Barat, randai juga tampil di TVRI Stasiun
Padang. Randai ditampilkan tidak lama setelah TVRI Stasiun Padang berdiri,
yaitu pada awal tahun 2000. Penciptaan identitas budaya Minangkabau melalui
randai dengan media TVRI Stasiun Padang tentu saja merupakan sebuah peluang, di
samping memunculkan beberapa tantangan.
Sebagai media informasi dan hiburan,
televisi memiliki ciri penyampai pesan dengan medium gambar bergerak. Agar
diminati oleh penonton, televisi harus menampilkan gambar yang terkemas apik.
TVRI Stasiun Padang – sebagai media informasi dan hiburan – memiliki
kemungkinan yang sangat luas untuk diakses oleh seluruh masyarakat. Dengan
sendirinya program pengenalan randai sebagai identitas budaya di Minangkabau
akan sangat terbantu oleh ini.
Akan tetapi TVRI Stasiun Padang masih
berusia muda dan belum banyak memiliki tenaga trampil dan peralatan yang
maksimal untuk sebuah produksi serta pendanaan yang memadai. TVRI Stasiun
Padang tentu saja akan kewalahan untuk menandingi stasiun televisi swasta yang
telah lebih dahulu hadir di Sumatera Barat. Animo masyarakat untuk menyaksikan
siaran TVRI Stasiun Padang sangat minim bila dibandingkan dengan animo menonton
televisi swasta. Kenyataan ini membuat TVRI Stasiun Padang sulit untuk bersaing
dengan stasiun-stasiun televisi swasta.
Dengan kendala itu maka TVRI Stasiun
Padang menjadi kurang efektif sebagai media penyampai pesan identitas budaya
Minangkabau. Randai hanya ditonton oleh kalangan terbatas. Kenyataan ini
diperburuk oleh kekurangmampuan para pekerja TVRI Stasiun Padang dan para
seniman randai untuk mengemas randai menjadi tontonan yang menarik agar layak
untuk dinikmati pemirsa. Randai ditampilkan dengan apa adanya, sama seperti
ketika randai masih merupakan pertunjukan langsung. Perubahan media seharusnya
menuntut perubahan bentuk tampilan randai. Perubahan media randai “dari
pertunjukan langsung ke televisi” tanpa melalui pengolahan yang matang tentu
saja banyak menghilangkan keistemewaan randai akibat karakter media yang
berbeda jauh.
Salah satu contoh pertunjukan randai yang
tidak memerhatikan perubahan sifat medianya adalah pertunjukan randai dengan
lakon Rambun Pamenan di TVRI Stasiun Padang. Randai hanya direkam di outdoor
dengan menggunakan tiga kamera tanpa penataan cahaya dan audio yang baik
hingga gambar sangat buram dan audio nyaris tidak terdengar. Akibatnya struktur
cerita dan spektatel pertunjukan
tidak dapat nikmati dan dipahami. Hal ini tentu saja mengakibatkan kejenuhan
bagi penonton televisi. Jangankan untuk menangkap nilai-nilai estetika
Minangkabau dalam randai, mengerti pertunjukannya pun amatlah sulit. Ketidakefisienan
randai pada TVRI Stasiun Padang jelas merupakan tantangan tersendiri yang harus
dipikirkan oleh para stake holders randai.
Agar randai dapat dinikmati dan menjadi
tontonan yang menarik, randai harus dikemas dengan cara yang lebih serius, baik
dari segi bentuk ataupun estetikanya sesuai dengan tuntutan dan karakter
televisi. Seniman Randai harus mampu melakukan revitalisasi yang dapat diterima
oleh masyarakatnya. Contoh tersebut dapat dilihat dari kasus Ketoprak dengan
revitalisasi yang dilakukan oleh Timbul dan kawan-kawan hingga dapat bertahan
lama di RCTI. Berikut kutipan wawancara Timbul dengan Kompas edisi
Minggu, 19 November 2000.
"Dulu
kami pernah membikin ketoprak "serius", tetapi tidak laku. Karena tidak
laku, lalu kami bikin ketoprak humor. Meski penuh improvisasi, tetapi kami
tidak memelesetkan jalan ceritanya. Cerita-cerita sejarah dan legenda yang kami
tampilkan itu kami ambil dari berbagai macam buku dan legenda yang memang sudah
ada. Lalu kami bikin skenarionya dengan pengembangan".[11]
Upaya revitalisasi tersebut ternyata
membawa hasil. Dengan menghadirkan pula wajah-wajah terkenal, Ketoprak Humor
memikat perhatian pemirsa Televisi. Keketatan dramaturgi ketoprak – teater
rakyat yang digemari di Jawa Tengah dan Jawa Timur – mereka kendorkan. Cara
seperti itu membuat Ketoprak Humor digemari. Di satu pihak dia tetap punya
dramaturgi (yang boleh jadi bisa menjadi pegangan masyarakat yang masih punya
kedekatan dengan cerita rakyat), di lain pihak ia kental dengan humor (elemen
yang gampang disukai).
C.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa menghargai keragaman budaya daerah serta memberikan kesempatan pada
daerah untuk menunjukkan identitas budaya merupakan faktor yang harus
diperhatikan pemerintah pusat. Konflik kepentingan antargolongan dan antarsuku
akan dapat dijembatani melalui pemahaman terhadap perbedaan budaya. Budaya
daerah sebagai sandaran nilai dalam kehidupan masyarakatnya adalah faktor yang
harus dihargai oleh pemerintah. Masyarakat harus diberi keleluasan untuk
mencipta identitas kedaerahan sebagai pandangan dan pegangan hidupnya.
Kebudayaan daerah tidak seharusnya dijadikan sebagai pajangan dan dilestarikan
seumpama barang purbakala belaka. Kebudayaan daerah harus diberi ruang untuk
dimiliki oleh masyarakatnya.
Alasan di atas menjadi sangat penting
sebagai dasar penciptaan identitas "ke-Minangkabau-an" yang
bersandarkan pada falsafah, “Adat bersandi syarak (agama Islam), syarak
bersandi kitabullah (Al-Qur’an). Pemunculan kembali identitas budaya
Minangkabau dilakukan dengan cara memasukkannya ke dalam kegiatan
ektrakurikuler muatan lokal di SLTP dan SMA dan menyiarkannya di TVRI Stasiun
Padang. Langkah-langkah tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tepat
sasaran agar usaha mewujudkan randai sebagai identitas Minangkabau efisien dan
tepat guna. Dan belajar dari kesalahan masa lalu, penciptaan identitas
kedaerahan harus mampu mengakomodir semua golongan yang terkait di dalamnya,
agar identitas tersebut mampu menjadi milik daerah sepenuhnya. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. Cultural Studies: Theory
and Practice. London: Sage, 2000.
Bouvier, Helene. Lebur: Seni Musik dan
Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Terj. Rahahu S. Hidayat dan Jean
Couteau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Brandon, James R. Jejak-Jejak Seni
Pertunjukan Di Asia Tenggara. Terj. R.M. Soedarsono. Bandung: P4ST UPI,
2003.
Harun, Chairul. Kesenian Randai Di
Minangkabau. Jakarta: Proyek Pembinaan Media Kebudayaan Depdikbud,
1991/1992.
Herwanfakhrizal. “Randai Palimo Gaga Awal
Teater Minangkabau Modern”, Thesis Program Pasca Sarjana Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta: 2000.
Idris, Asmaniar. Kerajaan Pagaruyuang,
dalam Menelusuri Sejarah Minangkabau. Ulakkarang Padang: Yayasan Citra
Budaya Indonesia dengan LKAAM Sumatera Barat, 2002.
Kitley, Philip. Konstruksi Budaya
Bangsa Di Layar Kaca. Terj. Bambang Agung, dkk. Jakarta: Institut Studi
Arus Informasi, 2001.
Mansoer, M.D, et al. Sejarah Minang. Jakarta:
Bharatara, 1970.
Nafis, A.A. Alam Takambang Jadi Guru:
Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Cetakan I. Jakarta: Temprint.
Pemberton, John. “Jawa”, On The Subject
of “Java”. Terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.
Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan
Indonesia di Era Globalisasi. Edisi Ketiga yang Diperluas. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2002.
Simatupang, G.R. Lono Lastoro, Tantangan
Revitalisasi Pertunjukan Rakyat di Indonesia: Refleksi atas Reyog Ponorogo. Makalah
Seminar dan Festival Kesenian Tingkat Nasional. Kediri: Mai, 21 s.d. 22.
2004.
Zulkifli. “Randai Sebagai Teater Rakyat
Minangkabau Di Sumatera Barat: Dalam Dimensi Sosial Budaya”, Thesis
Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: 1993.
[1]Lebih jauh baca John
Pemberton, “Jawa”, On The Subject of “Java”, Terj. Hartono Hadikusumo
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), 204-267.
[2]Periksa Soedarsono, Seni
Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Edisi Ketiga yang Diperluas (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2002), 100-104.
[3]M.D. Mansoer, et al., Sejarah
Minang (Jakarta: Bharatara, 1970), 2.
[4]A.A. Nafis, Alam
takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Cetakan I (Jakarta:
Temprint), 59.
[5]G.R. Lono Lastoro
Simatupang, Tantangan Revitalisasi Pertunjuk-an Rakyat di Indonesia: Refleksi
atas Reyog Ponorogo, Makalah Seminar dan Festival Kesenian Tingkat Nasional
(Kediri: Mai tanggal 21 s.d. 22 Mai 2004), 2.
[6]Chris Barker, Cultural
Studies: Theory and Practice (London: Sage, 2000), 165.
[7]Lihat James R. Brandon, Jejak-Jejak
Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara, Terj. R.M. Soedarsono (Bandung: P4ST
UPI, 2003), 413-433.
[8]Lihat Herwanfakhrizal.
“Randai Palimo Gaga Awal Teater Minangkabau Modern.” Tesis untuk
mencapai derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2000, 105-129.
[9]Lihat Herwanfakhrizal.
“Randai Palimo Gaga Awal Teater Minangkabau Modern.” Tesis untuk
mencapai derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni
Rupa, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2000, 105-129.
[10]G.R. Lono Lastoro
Simatupang, 8-13.
[11]Diakses dari, http:/kompas.com/kompas%2Dcetak/0011/19/u-tama/keto01.htm,
tangal 10 Desember 2005.
0 Response to "RANDAI DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS BUDAYA MINANGKABAU"
Post a Comment