Studi Naskah Untuk Artistik



STUDI NASKAH
UNTUK KEPERLUAN TATA ARTISTIK (RUPA) PENTAS
Oleh: Eko Santosa
(Disampaikan dalam seminar “Bedah Naskah Untuk Perupa Pertunjukan” di Jurusan Seni Rupa STSI Bandung, 22 Juni 2005)

I. Pendahuluan
          Naskah lakon merupakan salah satu elemen dasar teater modern. Dalam proses transformasi menuju pementasan, sutradara berasimilasi dengan naskah yang mengandung pesan pengarang untuk kemudian dialirkan kepada aktor serta diekspresikan di hadapan penonton (Meyerhold, 1969). Atas dasar naskah ini pula segala bentuk ekspresi aritstik di atas pentas diwujudkan dalam satu kesatuan pesan komunikasi yang padu. Sebagai bahan komunikasi maka keseluruhan objek yang ada di atas pentas memiliki peran seimbang. Artinya, unsur aktor dan tata artistik pementasan saling mendukung satu sama lain, jika hal ini tidak terjadi maka komunikasi yang dihasilkan menjadi timpang dan penonton akan kesulitan menangkap makna pesan lakon.
          Kerjasama antara aktor dan penata artistik menjadi kunci utama sebuah pementasan teater. Hal ini terjadi karena yang benar-benar ada di atas pentas dan disaksikan oleh penonton secara langsung adalah aktor dan segala perabot tata artistik panggung. Fungsi tata artistik panggung dalam hal ini selain sebagai karya rupa juga memberikan gambaran suasana cerita, menguatkan karakter peran, dan mempertegas makna pesan (Padmodarmaya, 1988).


          Oleh karena itu, keterkaitan penata artistik dengan lakon dan sutradara tidak bisa dipisahkan. Konsep dasar atau interpretasi global yang digali dari sebuah lakon merupakan kerja awal yang membutuhkan penanganan serius. Pesan lakon dapat digali secara ideologis, analogis, dan historis. Tetapi sebuah lakon tidak hanya berisi itu, ia hadir secara kompleks dimana pesan-pesan harus digali secara mendalam dari baris-baris teks dialog peran (Kelsall, 1985). Meskipun demikian, kajian mendalam tentang sebuah lakon belum tentu menjamin karya pentas akan berjalan dengan baik, memuaskan dan mampu menyedot perhatian penonton. Sebuah produksi teater yang dipersiapkan secara hati-hati, serius, dan dalam waktu yang lama terkadang kalah hebat hasilnya dengan sebuah pentas teater yang dikerjakan dengan waktu latihan yang lebih singkat serta kajian lakon yang biasa-biasa saja (Brook, 1996). Hal demikian bisa terjadi karena kajian lakon yang terlalu mendalam justru menjebak dan mengikat proses pencarian ekspresi artistik sehingga ia berjalan kaku, terlalu penuh perhitungan, mekanis, dan tidak dinamis (flat).
          Bagaimanapun juga kerja kajian dan pementasan adalah dua hal yang berbeda. Masing-masing memiliki bahasa dan karakternya sendiri. Kajian (lakon) memang sangat penting dan dibutuhkan akan tetapi keterbatasan bahasa ungkap kata tidak bisa menjelaskan secara gamblang bahasa ungkap gerak ataupun rupa. Dengan demikian kerja interpretasi lakon adalah kerja awal yang berfungsi sebagai titik pijak kreatif kerja berikutnya. Masing-masing unsur pembentuk pementasan kemudian bekerja menurut wilayah artistiknya masing-masing dengan berdasar titik tersebut. Sutradara mewujudkannya dalam konsep pemeranan dan pementasan, pemeran mewujudkannya dalam laku peran, dan penata artistik panggung mewujudkannya dalam karya rupa pementasan.


II. Apa dan Dimana
          Membaca naskah lakon adalah proses wajib sebelum memutuskan segala sesuatu baik itu berkaitan dengan akting ataupun kerja artistik. Naskah lakon harus dibaca dengan pemahaman sebagai sebuah cerita sampai ditemukan apa maksudnya. Kata kerja operatif di sini adalah “APA” (McTigue, 1992). Seorang pekerja artistik tidak akan bisa mengatakan “Bagaimana mewujudkan sebuah karya (rupa) artistik di atas pentas sebelum ia tahu betul “APA”  yang akan dikerjakan.” Banyak pekerja artistik yang lebih dahulu bertanya ‘bagaimana’ menciptakan karya rupa di atas pentas sementara ia belum menangkap apa maksud naskah lakon yang hendak digarap. Keadaan ini membuat ia berada dalam kebingungan atau justru menciptakan imajinasi-imajinasi yang hasilnya melenceng jauh dari apa yang dikehendaki oleh naskah lakon.
          Untuk itu membaca naskah berulang-ulang sangat diperlukan. Bukan dalam arti kajian yang mendalam tetapi dalam rangka menemukan “APA” yang dimaksud oleh lakon tersebut. Dengan menangkap maksud lakon maka gambaran global laku lakon di atas pentas akan didapatkan. Jadi memang kerja tata rupa pentas bukan dalam wilayah memahami makna teks ataupun sub teks, tetapi memahami maksud lakon tersebut, bercerita tentang apa lakon tersebut.
          Setelah mengerti apa maksud lakon maka perlu diketahui pula “DIMANA” peristiwa itu berlangsung. “DIMANA” menggambarkan latar berlangsungnya cerita, menggambarkan ruang berlangsungnya cerita, menggambarkan keadaan/situasi cerita, dan menggambarkan waktu berlangsungnya cerita. Pemahaman tentang ruang dan waktu sangat dibutuhklan untuk menciptakan suasana peristiwa seperti yang dikehendaki oleh lakon. Dalam sebuah kasus pencurian misalnya, suasananya akan tampak sangat berbeda antara yang terjadi di pasar dengan yang terjadi di lingkungan pertokoan. Dengan memahami “DIMANA” peristiwa berlangsung maka pekerja artistik akan memiliki gambaran komplit setting cerita tersebut.
Berikutnya adalah wilayah kreatif si seniman untuk mewujudkan gambaran-gambaran tersebut dalam karyanya. Pada tahap ini barulah kata “bagaimana” digunakan. Jika sudah sampai di sini maka ini adalah medan merdeka untuk berekspresi sepanjang tidak lepas dari konteks “APA” maksud/makna cerita dan “DIMANA” cerita tersebut berlangsung sehingga keutuhan pesan lakon dapat disampaikan melalui bahasa dan kode-kode artistik yang hadir secara visual.


III. Tipe Lakon
          Telaah atau kajian lakon selain untuk menggali dan menemukan makna juga untuk menentukan tipe (jenis) lakon tersebut. Mary Mc Tigue (1992, ibid.)  membagi lakon dalam lima tipe yaitu; Tragedi, Komedi, Drama, Melodrama dan Satire. Dalam perkembangan seni teater kontemporer tipe lakon dapat dideskripsikan (pula) menjadi; “Tragi-Komedi”, “Drama-Satire”, “Drama Komedi”, dan lain sebagainya, tetapi pada dasarnya adalah lima tipe di atas.
          Tragedi adalah sebuah lakon serius dimana tokoh utama menghadapi berbagai rintangan besar dan tidak berhasil mengatasinya. Dalam tragedi klasik biasanya diakhiri dengan kematian sang tokoh.
Komedi adalah lakon yang penuh humor dimana sang tokoh  selalu dapat mengatasi masalah dengan hal-hal yang menimbulkan gelak tawa sepanjang cerita. Komedi dibagi menjadi dua yaitu; Komedi kelas tinggi dan komedi rendah (dagelan). Komedi kelas tinggi biasanya menampilkan tokoh dari strata soial menengah ke atas yang humor-humornya terdapat dalam kecakapan (intelijensi) verbal sang tokoh. Komedi rendah (dagelan) adalah karya humor yang mengandalkan aksi phisik, situasi konyol serta kejadian-kejadian yang tak terduga.
Drama merupakan lakon serius yang tidak mengakibatkan kematian tokoh utama. Cerita dramatik biasanya menghadirkan serangkaian peristiwa yang seolah-olah nyata, memancing emosi, penuh konflik serta memiliki ending  yang menyentuh (Froug, 1993)
Melodrama adalah sebuah lakon serius yang membutuhkan aksi phisik maksimal, menghadirkan kejutan-kejutan, memiliki banyak konflik, dan biasanya happy ending.
Satire sebuah karya lakon komedi yang berisi kritik sosial yang di dalamnya mengungkap kebodohan sikap serta absurditas tingkah laku manusia.
Dengan memahami tipe lakon seperti tersebut di atas maka akan lebih mudah bagi pekerja artistik untuk mengkreasikan serta menentukan karya visual yang tepat berdasar naskah lakon yang hendak dikerjakan.

IV. Gaya
          Gaya yang dimaksud di sini berkaitan dengan model pementasan sebuah teater. Bagi pengarang, ini merupakan cara personalnya dalam menterjemahkan kehidupan di atas pentas. Bagi sutradara merupakan batasan terbaik baginya untuk memproyeksikan makna naskah. Selain itu gaya juga memiliki konvensi yang digunakan sesuai dengan periode historis sebuah lakon. Gaya dapat dilihat secara periodik atau teatrikal. Dalam kaitannya dengan kerja tata artistik pementasan maka telaah gaya secara teatrikal akan lebih tepat.
          Gaya secara teatrikal berasal dari pandangan terhadap teater dan lingkungan kreatif seni teater itu sendiri. Secara mendasar, Mac Tigue (1992, Op. Cit.) membagi gaya teatrikal ke dalam tiga kategori yaitu; Presentasional, Realisme, dan Pos Realisme.
Presentasional merupakan gaya yang menyuguhkan lakon secara sengaja kepada penonton dan bukan sebagai sebuah penyamaran kehidupan. Aktor memang sengaja bermain, memperindah gaya, wicara dan segala seuatunya untuk dipertontonkan kepada penonton. Yang dapat digolongkan dalam gaya ini adalah; teater klasik Yunani dan drama Romawi, teater oriental (kerakyatan), teater abad pertengahan, teater Shakespearean, Elizabethan dan juga Commedia dell’arte. Elemen gaya presentasional adalah; 1) Aktor bermain langsung kepada penonton, 2) Memiliki konvensi; akting yang diperbesar, dialog menyamping serta soliloki, 3) Bahasa yang digunakan adalah puitis.
Realisme (representasional) sebuah gaya yang sama sekali berbeda dengan presentasional. Realisme mencoba menampilkan spenggal kehidupan nyata di atas pentas. Para aktor tidak sengaja bermain untuk penonton melainkan mereka memainkan peristiwa hidup mereka sendiri seolah-olah tidak ditonton. Untuk itu mereka sengaja menjadikan frame panggung proscenium sebagai dinding keempat (dinding imajiner yang membatasi antara penonton dan pemain). Elemen gaya realisme adalah; 1) Aktor saling bermain sendiri, 2) Membatasi dialog menyamping dan soliloki, 3) Menggunakan bahasa sehari-hari.
Pos Realisme sebuah gaya perlawanan yang mencoba mendobrak batas-batas yang diciptakan dalam gaya realisme. Pemberontakan terhadap gaya realisme ini menjadi begitu berpengaruh dan berkembang secara unik sehingga melahirkan berbagai macam gaya (yang berpengaruh) seperti; simbolisme, konstruktivisme, Ekspresionisme, surealisme, teatrikalisme, epik, dan absurdisme. Elemen gaya pos realis; 1) mengkombinasikan antara gaya presentasional dan realis, 2) Mematahkan dinding keempat; berbicara langsung kepada penonton, 3) Bahasa puitis dan formal dicampur dengan bahasa slank.

V. Pengaruh Gaya Terhadap Tata Rupa Pentas
          Kelahiran sebuah gaya pementasan membawa pengaruh terhadap tata rupa pentas. Bahkan munculnya sebuah gaya terkadang dipengaruhi oleh visi penata artistik. Keterkaitan antara gaya pementasan dengan disain tata rupa pentas sangat erat karena kode atau simbol artistik dapat menemukan perluasan makna di dalamnya. Memahami sebuah gaya pementasan dengan sendirinya memahami konsep tata rupa pentas.
Presentasional,  gaya ini sengaja memamerkan tontonan kepada khalayak sehingga membuat tata rupa pentas tampil dengan pernak-pernik yang sengaja diperindah. Aspek cerita yang istana centris mendukung hadirnya bangunan (pilar) kerajaan dengan perspektif lorong yang menciptakan efek keluasan area bangunan. Hiasan hadir disana-sini untuk memberi kesan megah dan mewah.
Realisme, dengan tujuan menampilkan kenyataan hidup di atas pentas maka tata rupa yang hadirpun dibuat semirip mungkin dengan kenyataan. Dalam perkembangannya realisme melahirkan Naturalisme yang secara ekstrim menampilkan gambaran komplit kenyataan hidup di atas pentas. Tata rupa pun demikian juga, seolah-olah memindah kenyataan ke atas panggung. Selain itu, lahir pula Selective Realism yang mencoba menggabungkan tata rupa realis dengan simbolis misalnya; jendela dan pintu dibuat serealis mungkin yang digabung dengan sebuah frame besar di atasnya sebagai gambaran atap. Dari gaya ini selanjutnya muncul Suggestive Realism yang menyajikan potongan sebuah detil realis untuk memberikan sugesti (imajinasi) keseluruhan, misalnya; sebuah pilar dihadirkan secara realis sebagai wakil sebuah bangunan, selebihnya adalah imajinasi.
Pos Realisme, banyak gaya yang hadir dalam lingkup ini, masing-masing memiliki konsepsi artistiknya tersendiri. Simbolisme menghadirkan beragam simbol untuk mengungkapkan makna atau emosi. Gaya ini juga disebut sebagai teater multi media karena beragam media digunakan dan sengaja dihadirkan untuk memberi makna-makna tertentu. Simbolisme mencoba mensitesiskan seluruh elemen seni dalam sebuah pementasan termasuk; seni musik, tari, rupa, cahaya, tari, dan media seni lain.
Konstruktivisme merupakan perkembangan dari konsep bio mekanik Meyerhold dimana aktor harus bekerja dengan tubuhnya sehingga tata rupa yang diciptakan membentuk sebuah konstruksi bangunan yang memperlihatkan kerangkanya. Setting sengaja diciptakan untuk mengeksplorasi kerja tubuh aktor, serta menciptakan efek-efek akrobatik yang menarik.
Ekspresionisme,  kenyataan yang didistorsi secara sengaja untuk mengekspresikan makna jiwa yang tertekan akibat mekanisasi abad 20 atau pengaruh sosial terhadap individu. Tata rupa yang ditampilkan mengikuti konsep tersebut. Bentuk dan ruang yang diciptakan tidak lagi dapat dikatan realis atau bukan melainkan lebih merupakan sebuah bentuk ekspresi.
Surealisme, sebuah gaya yang lahir karena pengaruh teori psikoanalisis Freud yang berusaha menyingkap sisi jiwa dan bawah sadar seseorang melalui simbol mimpi, distorsi kejiwaan dan asosiasi bebas ide. Tata rupa dalam gaya ini hadir seperti apa yang digambarkan sang tokoh. Ruang dan waktu kejadian bisa saja tidak runtut yang terpenting menampilkan gagasan-gagasan atau dunia kesadaran lain sang tokoh.
Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton bahwa mereka sedang menyaksikan pertunjukan dan bukan menyaksikan potongan kehidupan di atas pentas (perlawanan terhadap realisme). Tata rupa pentas dibuat mengikuti sudut pandang penonton.
Epik, teater pembelajaran yang menolak paham realisme. Menempatkan penonton sebagai orang yang sedang mempelajari dan bukan sedang menyaksikan sebuah pertunjukan. Tata rupa biasanya diberi tempelan slogan, pamflet atau sekedar ditulisi nama benda tersebut misalnya; sebuah rumah ditulisi “ini rumah”.
Absurdisme,  lakon yang seolah-olah tidak memiliki makna rasional. Elemen surealisme dan simbolisme dimanfaatkan bersamaan dengan absurditas dan irasionalitas dengan tujuan untuk memberi gambaran ketidakberartian hidup serta kesulitan sistem komunikasi manusia.
Dari serangkaian gaya yang ditulis di atas dapat dilihat bahwa kaitan antara tata rupa pentas dengan model pertunjukan sangat erat. Penempatan bentuk, penciptaan ruang, dan penentuan perspektif tata rupa pentas juga membawa pengaruh terhadap pertunjukan teater. Demikian pula konsepsi dasar pementasan membawa pengaruh bagi perwujudan tata rupa pentas.

VI. Mempelajari Dialog
          Tugas tata rupa pentas tidak hanya sekedar membuat set dekor tetapi juga memperhatikan detil perabot yang digunakan oleh pemain. Untuk itu seorang penata artistik wajib mempelajari dialog tokoh dalam lakon karena bisanya perabot atau piranti tangan (handprops) yang tidak diterangkan dalam narasi akan diungkap di sini. Detil semacam ini perlu untuk menghindari kesalahan.
          Sebuah pertunjukan yang baik akan memiliki nilai kekurangan ketika detil-detil perabot yang terungkap dalam dialog tokoh tidak ditemukan di atas panggung atau perabot tersebut ada tetapi dengan warna dan ukuran yang berbeda. Sebagai misal; tokoh A berkata “Ayo pindahkan meja bundar itu ke sini, cepat!”. Tokoh B memindahkan meja tersebut yang ternyata tidak bundar melainkan kotak. Melihat hal ini tentu saja penonton akan tertawa dan pertunjukan yang semula dirancang serius menjadi cair dan kehilangan intensitasnya.
          Detil-detil kecil seperti tersebut di atas sangatlah penting terutama dalam drama realis yang serius. Tidak hanya piranti tangan, bahkan suasana atau tempat berlangsungnya peristiwa harus diperhatikan secara teliti. Tidak lucu kiranya jika seorang tokoh mengucapkan dialog yang menyatakan bahwa ‘malam di tengah sawah begitu indah’ sementara cahaya di atas panggung terang benderang. Untuk menghindari hal tersebut maka sekali lagi wajib bagi penata artistik pentas untuk mempelajari dialog tokoh serta memberi tanda terhadap hal-hal yang perlu diperhatikan serta dituntut kehadirannya di atas pentas.


VII. Menciptakan Ruang
          Menciptakan ruang tidak hanya sekedar menyediakan tempat bagi pemain untuk melakukan aksi di atas panggung. Ruang, selain sebagai area permainan aktor juga harus mampu menghadirkan imajinasi serta membawa peristiwa ke dalam keadaan sesungguhnya. Banyak terjadi seorang penata artistik bekerja dengan sangat baik dan menciptakan karya yang sedemikian dahsyat dan megah tetapi ketika pemain berada di dalamnya justru seolah-olah tertelan oleh kebesaran set dekor. Banyak juga terjadi sebaliknya, set dekor yang dibuat begitu kecil dan kosong sehingga tenaga aktor habis terkuras untuk mengisi kekosongan tersebut.
          Panggung adalah kanvas kosong yang membutuhkan gambar indah dan gambar indah tersebut adalah tata rupa pentas (set dekor) serta aktor. Jika pertunjukan sudah berjalan maka tidak ada apapun di panggung selain aktor, ruang, cahaya, dan lukisan (Appia, 1993). Ruang, cahaya dan lukisan adalah wilayah penata artistik yang tentunya harus mampu bekerja sama dengan aktor yang menggunakannya.
          Untuk hasil terbaik maka seorang penata artistik harus banyak melakukan diskusi dengan sutradara atau produser serta tidak segan-segan datang ke tempat latihan. Dengan melihat latihan maka akan diketahui kekuatan serta pola-pola permainan yang dilakukan para aktor secara lebih rinci sehingga usaha untuk menciptakan ruang akan berjalan dengan lebih baik. Gambar disain yang ada di kertas bukanlah segalanya, ia tidak ada artinya jika tidak diwujudkan secara nyata di atas panggung. Karena teater merupakan kerja kolektif maka perwujudan gambar disain di atas panggung harus benar-benar mempertimbangkan penggunanya yaitu aktor. Membuat set berarti menciptakan ruang bagi aktor dan lakon secara keseluruhan.

VIII. Penutup
          Kerja artistik pementasan adalah kerja menyeluruh. Analisis naskah, merencanakan set, membuat gambar kerja, bekerja sama dengan sutradara dan aktor, menata perabot, membuat piranti tangan dan berbagai pernak-pernik yang lain. Semua akan nampak hasilnya ketika dipentaskan, ketika seluruh elemen menyatu dalam satu lakon, satu cerita, satu pementasan, satu kesatuan makna.
          Kesatuan dalam harmoni yang harus dijaga. Tiga rangkaian kesatuan yang perlu dipenuhi bagi kerja teater adalah; kesatuan tempat, kesatuan waktu, dan kesatuan peristiwa (Harymawan, 1993). Kerja tata rupa pentas juga harus memperhatikan hal tersebut. Tidak ada gunanya set tertata dengan baik jika model yang ditampilkan tidak sesuai dengan rangkaian waktu peristiwa atau bentuk perabot yang dimunculkan tidak sejaman dengan latar cerita. Kerja menganalisa, meneliti, memperhatikan detil-detil kecil dalam naskah perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang sempurna seperti apa yang diharapkan. Melelahkan memang tetapi jika telah menemukan ketertarikan dan keasyikan di dalamnya maka tata rupa pentas merupakan satu bentuk ekspresi artistik yang benar-benar menyenangkan.[ ]





Bacaan
Appia, Adolphe, Actor, Space, Light, Painting, ed. R.C. Beacham, Routledge, London, 1993.
Brook, Peter, The Empty Space, Touchstone, Newyork, 1996.
Froug, William, Screen Writing Tricks of The Trade, Silman-James Press, Los Angeles, 1993.
Harymawan, RMA., Dramaturgi, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
Kelsall, Malcolm, Studying Drama, Edward Arnold, London, 1985.
Mc Tigue, Mary, Acting Like A Pro, Who’s Who, What’s What, and The Way Things Really Work in the Theatre, Betterway Books, Cincinnati, Ohio, 1992.
Meyerhold, Vsevolod, First Attempts at a Stylized Theatre, ed. E. Braun, Hill & Wang, Newyork, 1969.
Padmodarmaya, Pramana, Tata dan Teknik Pentas, Balai Pustaka, Jakarta, 1988.

0 Response to "Studi Naskah Untuk Artistik"