PERTUNJUKAN LAKON LABUHANDAK WARAHAN
LAMPUNG
HENDRI, J.B
Abstrak
Warahan adalah teater tradisi etnis Me-layu Lampung yang berasal
dari tradisi men-dongeng, dan didasari dari tradisi berpantun (sagata) menidurkan anak, dan semacam
te-ka-teka dikala anak beranjak besar (sekiman)
di lingkungan keluarga. Tradisi ini dilakukan orang tua pada malam hari sambil
dipijiti oleh anak cucunya, agar anak cucunya tidak mengantuk.
Lakon Labuhandak merupakan trans-formasi dari Warahan tradisi dimaksud. Seni
Pertunjukan ini merupakan bentukan baru yang digarap oleh seniman-seniman Taman
Budaya Lampung, Ciri kebaruannya adalah berbentuk naskah tertulis, durasi waktu
le-bih pendek, pertunjukannya dirancang deng-an pendekatan realisme. Hal ini
terjadi kare-na rancangan dari seniman-seniman Taman Budaya, tidak lagi
memperhatikan fungsi tra-disi tetapi lebih mempertimbangakan fungsi estetik,
hiburan, dan nilai filosofis.
Penelitian ini difokuskan pada bentuk pola pertunjukan lakon Labuhandak, teruta-ma masalah struktur
pertunjukan. Penelitian lakon Labuhandak
didudukan dalam tinjau-an uraian struktur, dengan mempertimbang-kan sistem
nilai, kekerabatan, estetika sesuai tanggapan para penikmat, serta mengguna-kan
teori-teori teater kontemporer.
A. Latar Belakang Masalah
Seni disetiap kelompok manusia menunjukkan ciri-ciri khas
yang tumbuh dan berkembang dilingkungan budaya tertentu dan bersangkutan
sendiri. Ciri-ciri khas seni menjadi kebangaan ma-sing-masing kelompok manusia
yang melahirkannya. Bahkan, justru karena ciri-ciri khas itu maka seni diakui
menunjukkan dan mampu memperkuat kepribadian budaya (Cultural identity) kelompok-kelompok manusia yang bersangkutan.
Apresiasi
terhadap seni bercorak khas ini, tidak dapat dila-kukan secara memadai, karena
memerlukan pengenalan bahasa (Edi Sedyawati, 1981: 66). Apresiasi dapat
dilakukan oleh warga kelompok manusia yang memang hidup dalam suasana budaya
kelahiran seni tersebut, hal ini penting jelas tampak dalam jenis drama yang
dipentaskan (Haryati Soedbadio, 1991: 4).
Warahan yang merupakan salah satu jenis seni drama yang dipentaskan,
lahir dan tumbuh dalam kelompok manusia yang disebut etnis Melayu Lampung.
Sebagai salah satu dari bentuk seni pertunjukan teater tradisional, Warahan hidup bersama tra-disi yang
berlaku. Tradisi ini berupa kebiasan bercerita (men-dongeng) orang tua kepada
cucunya, serta didasari kebiasaan orang Lampung sebelumnya yang memiliki
tradisi sagata (ber-pantun) untuk
menina-bobokan anaknya atau sekiman
(semacam teka-teki dikala anak mulai beranjak besar).
Secara etimologis Warahan
berasal dari kata “wakhca” yang
berarti bercerita atau cerita, dan kata ”Akhah” berarti tujuan atau maksud.
Dengan demikian Warahan dapat
diartikan sebagai ceri-ta yang mempunyai maksud dan tujuan, baik sebagai media
hi-buran maupun sebagai media pendidikan ajaran moral.
Pertunjukan biasanya dilaksanakan pada malam hari da-lam
rangka merayakan hari-hari penting dan ucapan rasa syukur terhadap rahmat atas
panen yang melimpah.
Lakon yang disampaikan tentang cerita sehari-hari yang mengungkapkan
persoalan hidup yang berkembang di masya-rakat. Lakon bersifat didaktis menyampaikan nilai-nilai moral
baik dan buruk. Apabila pesan dalam bentuk pituah telah sampai ke penonton, dan
dalam penghujung kalimat disambung penon-ton pertanda setuju dengan mengucapkan
kata ”yoh”.
Cerita diantarkan oleh narator melalui syair yang dilagukan
dan para pemain melakukan aksi sesuai isi cerita yang disam-paikan. Sesekali
pemain melakukan intrupsi terhadap cerita yang disampaikan dalam bentuk
berdialog langsung dengan narator dan dapat juga langsung ke penonton,
tujuannya untuk mencip-takan kelucuan. Para
pemain memiliki kemampuan improvisasi yang kuat dan sangat peka menangkap
suasana yang berkem-bang, serta pada saat yang tepat memunculkan improvisasi
yang mengundang gelak tawa penonton.
Pertunjukan yang sederhana menggunakan properti yang
mengandung makna simbolis. Dalam arti satu macam properti dapat berfungsi ganda
atau peralatan yang digunakan dapat be-rupa apa saja dan dapat berubah fungsi
sesuai keinginan pe-main. Fungsi kursi untuk tempat duduk dapat berubah jadi
sen-jata yang mematikan, dan sebagainya.
Pentas berupa panggung kosong yang latar belakangnya
di-batasi layar. Kanan panggung yang agak ditinggikan sebagai tem-pat duduk
pemusik sekaligus merangkap narator sebagai pengan-tar cerita. Adapun kiri
panggung untuk arena permainan bagi pe-main.
Penonton dan pemain sangat akrab, batas konvensi pang-gung
dan penonton sangat tipis. Penonton dapat terlibat langsung dalam cerita dengan
mengomentari kejadian-kejadian yang se-dang dimainkan. Pemain yang mendapat
respon dari penonton langsung membalas hingga terjadi komunikasi timbal-balik
anta-ra penonton dan pemain pada saat pertunjukan berlangsung.
Akibat terjadinya perubahan sosial, tata nilai dalam
kehi-dupan masyarakat, dan akibat kemajuan ilmu pengetahuan, tek-nologi, serta
kemajuan yang dicapai dalam bidang komunikasi massa. Mengakibatkan saling
berbenturannya beberapa nilai-ni-lai, ikatan-ikatan sosial mulai longgar dan
kesetiaan terhadap tradisi mulai memudar. Prestasi sosial tidak lagi begitu
mendapat tempat dibandingkan dengan kemungkinan prestasi individual. Perubahan
sistem sosial dan budaya demikan jelas akan mem-pengaruhi bentuk-bentuk
kesenian tradisional yang ada dalam masyarakat.
Begitu juga yang dialami oleh teater tradisional Warahan Lampung tidak terelakkan bentuk
kesenian ini menghadapi tantangan dan perubahan-perubahan. Tantangan terasa
dari ke-terbatasan pertunjukan Warahan sebagai
media, baik dalam ben-tuk maupun isinya, terutama sebagai media hiburan dan
media dalam menyampaikan ajaran moral baik-buruk masyarakat pen-dukungnya.
Menyebabkan kebutuhan estetis, fantasi maupun ni-lai filosofis yang dibutuhkan
masyarakat pendukungnya tidak terpenuhi, juga menyebabkan seniman dan pemain Warahan su-dah sangat langka, serta
minat dari generasi muda untuk mem-pelajarinya sangat kurang.
Berdasarkan hal itu Departemen Penerangan melakukan perubahan
dengan melaksanakan program pengembangan jenis pertunjukan teater rakyat (Warahan) dengan mengambil bentuk
pertunjukan Ludruk atau Ketoprak, serta menggunakan naskah
tertulis seperti yang menjadi ciri pada teater modern. Program pe-rubahan ini
terutama difokuskan mengemas ke dalam bentuk tontonan yang lebih memikat dan
memiliki kekuatan sebagai-mana layaknya seni pertunjukan secara umum. Adanya
penam-bahan pada unsur-unsur pertunjukan seperti: tari, musik, lagu, dan
penataan artistik. Fungsi pewarah
(pencerita) dialihkan men-jadi dalang yang menuturkan cerita. Adapun
karakteristik Wara-han yang
mengandung unsur-unsur sastra lisan (puisi, prosa, dan pantun) masih tetap
dijaga.
Perubahan-perubahan tersebut terdapat dalam lakon Labu-handak. lakon Labuhandak merupakan Warahan
modern yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Taman Budaya Lam-pung.
Sebagai Warahan modern, ciri-cirinya
terlihat dengan ada-nya naskah lakon Labuhandak
begitu juga bentuk pertunjukan sudah dikemas ke dalam bentuk pertunjukan teater
modern.
Gejala-gejala perubahan yang terdapat dalam pertunjukan lakon
Labuhandak tidak sepenuhnya bersifat
negatif, melainkan pertanda bahwa lakon Labuhandak
ternyata dapat luwes dalam berhadapan dengan perubahan-perubahan. Namun juga
tidak se-penuhnya sebagai suatu yang posifif, untuk itu perlu suatu sikap dan
konsep yang jelas dalam melihat dan menghadapi masalah-masalah tersebut.
Sikap dan konsep yang jelas dalam menghadapi masalah-masalah Warahan lakon Labuhandak, didudukkan pada bentuk pola pertunjukan Warahan lakon Labuhandak, terutama masalah struktur pertunjukan.
B. Hasil dan pembahasan
1. Sosial Budaya Masyarakat Lampung.
Suku Lampung dalam perkiraan sejarahnya dimulai dari zaman
Hindu animisme, berlaku dari tahun pertama masehi sampai permulaan abad ke-16.
Zaman Hindu merupakan zaman masuknya ajaran/sistem kebudayaan India termasuk
Budhisme dalam adat budaya Lampung. Pengaruh Hiduisme sedikit yang di-anut,
tetapi yang banyak adalah kepercayaan asli dari tradisi za-man Melayu –
Polinesia yang bersifat animisme.
Islam diperkirakan memasuki daerah Lampung sekitar a-bad
ke-15, malalui: 1) dari arah barat (Minangkabau), 2) dari a-rah utara
(Palembang), 3) dari Banten oleh Fatahillah Sunan Gu-nung Jati.
Menurut pendapat Muhammad Yamin nama Lampung bera-sal dari
kata Tolang, Po,hwang yang berarti
“orang Lampung” a-tau “utusan dari Lampung” yang datang dari negeri Cina dalam
a-bad ke – 7, dan sejak itu orang menyebut daerah ini Lampung. Adapun riwayat
lama yang disampaikan secara turun-temurun bahwa cikal bakal sebagaian orang
Lampung dari sekala Be’rak atau
daerah dataran tinggi gunung Pesagi (2.262 km) di kecamat-an Kenali (Belalu)
sekarang. Dalam arti diperkirakan nenek mo-yang orang Lampung hidup di Bukit
Barisan pada abad ke – 13 atau sezaman dengan kerajaan Pagaruyung Minangkabau
yang didirikan Adityawarman pada tahun 1339.
Orang Lampung mempunyai pandangan hidup pi-il peseng-giri (nilai/rasa harga diri) yang mengandung makna: 1)
pesenggiri (pantang mundur), 2) juluk adek (suka dengan nama baik dan
menyandang gelar terhormat), 3) nemui
nyimah (suka menerima dan memberi dalam suka dan duka), 4) nengah nyappur (suka bergaul dan
musyawarah dalam menyelesaikan masalah), 5) dan sakai sambayan (suka menolong dan bergotong royong dalam hu-bungan
kekerabatan dan bertetangga).
Pandangan hidup ini merupakan cerminan dari kepercaya-an yang
secara umum adalah penganut Islam yang taat, namaun kepercayaan kepada
dewa-dewa pada generasi masa lalu masih ada bekas-bekasnya dan juga cerminan
dari sistem kekerabatan yang terdiri dari empat kelompok:
a)
keluarga Batih, merupakan kelompok keluarga yang terdiri dari ayah, ibu,
anak-anak yang belum menikah, termusuk kakek dan nenek apabila mereka tinggal
dalam satu rumah. Keluarga Batih
disebut juga menyanak/senowow/sangalam-ban
(serumah).
b)
Keluarga luas merupakan bentuk kekerabatan yang meliputi ayah, ibu,
anak-anak walaupun sudah berkeluarga dan tinggal di rumah sendiri. Pemimpin
keluarga lelaki tertua kalau ayah sudah meninggal, kalau tidak ada anak
laki-laki boleh smenda yang masih satu keturunan maksudnya apabila terjadi
perka-winan sepupu anak laki-laki dengan anak adik perempuan atau sebaliknya.
Bentuk lain keluarga luas ini adalah adik birei
(berkumpulnya anak laki-laki satu ayah dalam satu ru-mah). Keluarga luas ini
desebut juga dengan redik sekelik.
c)
Klen kecil (buay), yaitu
individu yang berkumpul satu rumah yang terikat pertalian darah maupun
pertalian adat berdasar-kan pola patrilinial dan adanya praktek patrilokal
dalam ma-syarakat setempat.
d)
Klen besar (buay asal),
anggotanya merupakan orang yang memiliki pertalian darah jauh sehingga banyak
tidak saling ke-nal. Kekerabatan ini masih terjaga karena mereka berasal dari
satu nenek moyang, salah satunya Minak Paduka Begeduh yang dimakamkan di Canguk
Gateak, Bukit Tinggi Kota Bumi, Lampung Utara.
Empat sistem kekerabatan di atas memperjelas orang Lam-pung menganut
sistem keturunan patrilineal dengan hak waris masyarakat, anak laki-laki tertua
menjadi pemimpin dan bertang-gungjawab mengatur anggota kerabat.
2.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Warahan
Fase awal pertumbuhan Warahan
berangkat dari tradisi mendongeng (bercerita) di lingkungan keluarga, serta
berdasar-kan tradisi berpantun (sagata) untuk menidurkan anak dan semacam
teka-teki dikala anak mulai beranjak besar (sekiman). Kebiasaan ini dilakukan
orang tua pada malam hari setelah lelah bekerja di sawah/ladang siang harinya.
Orang tua selalu minta dipijat oleh anak atau cucunya. Supaya anak atau cucunya
se-nang dan tidak mengantuk, maka ayah atau kakek menyampai-kan cerita-cerita
yang sebagaian besar berbentuk dongeng. Dalam menyambapaikan cerita para orang
tua tidak hanya tidur atau rebahan saja, kadangkala mereka memperagakan yang
dipan-dang istimewa dalam cerita, misalnya dalam menggambarkan ke-gagahan
seorang pengeran, kecantikan seorang putri atau adegan perkelahian, mencuri,
dsb. Pada saat tertentu, disela-sela cerita juga dilantunkan syair-syair,
pantun-pantun yang disesuaikan dengan isi cerita.
Secara garis besar dapat dijelaskan perkembangan Warah-an teridiri dari tiga periode,
yaitu: periode sastra tutur, periode teater tutur, dan periode teater rakyat
sebagai berikut:
a)
Periode Sastra Tutur
Warahan pada awal perkembangannya disampaikan dengan cara menuturkan
dalam bentuk prosa berirama atau bertutur biasa, dan diselingi pantun,
syair-syair Lampung. Penutur cerita adalah: ayah, ibu, kakek (tomang), dan nenek dalam sebuah
ke-luarga dengan pendengar anak atau cucu. Warahan
umumnya di-ceritakan oleh kaum bapak, karena dipengaruhi oleh sistem
pa-trilineal yang dianut oleh masyarakat Lampung. Bukan berarti Warahan hanya dilakukan kaum laki-laki
saja, sebab kaum wani-ta ada juga yang bisa bercerita, walaupun presentasinya
tidak ba-nyak. Berbeda dari kaum laki-laki, kaum ibu-ibu biasanya berce-rita
sambil bekerja (Roseran: wawancara, 1999).
Syair, puisi, pantun atau kalimat pembuka (sumbah siah) mempergunakan bahasa
sederhana dan lugas mudah dimengerti. Kata pembuka sudah menjadi syarat sebelum
cerita di mulai. Panjang kata pembuka tidak lebih dari dua sampai tiga bait.
Kata pembuka dilagukan bermaksud agar anak dan cucu atau
pendengar perasaannya jadi senang. Isi kata pembuka be-rupa: salam
penghormatan, permohonan maaf, dan pernyataan maksud secara tersirat.
Isi cerita mengandung nilai; sosial, budaya, dan religi.
Ceri-ta untuk anak-anak berasal dari cerita rakyat Lampung asli, serta cerita
yang diduga saduran dari cerita daerah lain. Tema cerita tentang moral
baik-buruk bertujuan mendidik anak hidup pri-hatin dan sabar terhadap
kemiskinan dan penderitaan. Adapun cerita memiliki alur cerita yang sederhana.
Cerita sering diangkat berdasarkan kehidupan nyata yang dialami sebuah
keluarga, dengan tujuan anak-anak lebih cepat akrab dengan cerita dan
pe-ristiwa yang dihadirkan (Imas Sobariah: 1998: 65).
b)
Periode Teater Tutur
Warahan sebagai tradisi bercerita dilingkungan keluarga kemudian berkembang menjadi seni pertunjukan yang bersifat umum (menjadi teater tutur). Perkembangan ini dipengaruhi pi-kiran masyarakat yang terus berkembang dan membutuhkan me-dia hiburan yang dapat mereka hayati bersama. Salain itu di-pengaruhi oleh masuknya Islam dapat dilihat pada alat musik Gambus Lunik yang dipakai, sebelumnya Warahan tidak memper-gunakan alat musik.
Pertunjukan teater tutur dilakukan oleh seorang Pewarah yang memainkan alat musik Gambus Lunik, di tempat terbuka dengan
penonton dari berbagai usia; anak-anak, orang dewasa, maupun orang tua.
Pertunjukan dilaksanakan sore hingga tengah malam, lamanya tergantung dari
panjang-pendek sebuah cerita yang dituturkan.
Tahun 1970 Warahan
dilegitimasi oleh pemerintah daerah sebagai teater tutur, waktu itu
menghadirkan tokoh teater dari Direktorat Kesenian Jakarta, diantaranya A.
Kasim Ahmad dan Yahya (Imas Subariah: 1998,79-82).
c)
Periode Pertunjukan Rakyat
Sejak dilegitimasi sebagai teater tutur, untuk
pertama-kali-nya teater tutur Warahan
di kemas ke dalam bentuk teater rakyat (teater tradisional) dan ditampilkan di
Taman Ismail Marzuki Ja-karta tahu 1980. Bentuk pertunjukan menghadirkan
tokoh-tokoh cerita ke dalam bentuk yang lebih kongkrit, dibagi berdasarkan
peran, walaupun kehadirannya tanpa dialog. Cerita tidak lagi di-mainkan secara
utuh karena fungsinya sutradara mengatur pertunjukan sesuai konsep
penggarapannya. Begitu juga mun-culnya penambahan pada unsur-unsur spektakel
pertunjukan (tari, musik, lagu, dan penataan artistik), dan fungsi pewarah
menjadi dalang. Namun karakteristik sastra lisan Warahan (pan-tun, puisi, dan prosa) masih tetap menonjol.
3.
Struktur
Pertunjukan Lakon Labuhandak
Pertunjukan lakon Labuhandak
merupakan rekonstruksi dari penuturan yang disampaikan kakek kepada cucunya
yang dihadirkan di atas panggung dengan menggarap aspek-aspek per-tunjukan.
Model penuturan dihadirkan dengan menggunakan pe-meran sebagai pencerita dan
pendengar. Jumlah pemeran dalam lakon Labuhandak
sebanyak empat orang terdiri dari: pewawan-can,
pewarah, dan dua orang peraga. Pewawancan
adalah orang/ pemeran yang mengantarkan cerita dalam bentuk prosa berirama
dan penghubung adegan demi adegan. Pewarah
adalah orang yang menceritakan tentang isi Lakon Labuhandak dalam bentuk dialog dan akting. Peraga adalah orang yang berperan sebagai cucu yang mendengarkan
cerita.
Pertunjukan diawali oleh pewawancan
dengan melantukan dendang yang berisi syair pembuka pertunjukan, sayup-sayup
terdengar suara dua orang anak yang lagi mengaji, penonton di-ajak untuk
melihat bagaimana kepolosan tingkah laku anak-anak yang sedang belajar mengaji.
Ciri khas anak-anak yang sedang belajar ini selalu diselingi kesalahan atau
kekeliruan yang me-nimbulkan kesan tersendiri bagi penonton. Kemudian muncul pe-warah (kakek) dengan membawa
secangkir kopi dan beristirahat di atas tikar. Kakek selanjutnya memanggil
cucu-cucunya untuk memijat, sebagai imbalan kakek bercerita tentang kisah Labu-handak.
Kisah Labuhandak
menceritakan sebuah keluarga keturun-an bangsawan yang tidak memiliki anak.
Mereka berdoa siang malam supaya diberi anak. Doa mereka dikabulkan oleh Tuhan
dan dikarunia seorang putri yang diberi nama Batin Labuhandak, namun sayang tubuhnya tak ubah seperti buah labu. Putri
yang dilahirkan tidak memiliki tangan dan kaki serta badannya bulat menyerupai
labu.
Di daerah seberang ada sorang pemuda yang belum men-dapatkan
jodoh, ia bermimpi bertemu seorang kakek dan dalam mimpinya kakek itu berpesan
bahwa jodohnya adalah Batin La-buhandak.
Pemuda itupun pergi mencari, alangkah terkejutnya pemuda ketika mengetahui
putri yang akan dinikahi badannya mirip sebuah labu. Mungkin sudah jodohnya
sang pemuda tetap melangsungkan pernikahannya. Sewaktu acara pernikahan se-dang
berlangsung tiba-tiba terjadi keajaiban putri Labuhandak menjelma menjadi putri yang cantik. Cerita ini
disampaikan ka-kek pada ke dua cucunya diselingi dengan syair-syair yang
diden-dangkan/dilagukan.
Pertunjukan lakon Labuhandak
tersebut di atas dilihat, dari struktur pertunjukannya terutama unsur yang
meliputi; teknik peran, dekorasi, tata busana, tata suara, tata rias, dan tata
ca-haya dalam bentuk uraian sebagai berikut:
a)
Teknik Peran
Teknik peran yang dihadirkan para pemeran menggunakan teknik
peran V-Efek atau alienation yang
dikembangkan oleh Brecht. Dalam teknik peran ini si pemeran dalam memerankan
tokoh tidak secara langsung menunjukkan emosinya (memeran-kan emosi si tokoh
sebenarnya) atau si pemeran adalah sebuah sandiwara bukan realitas sebenarnya.
George R. Kernodle dalam Invitation
to the theatre, menga-takan bahwa istilah alienation yang dikemukan Brecht tersebut ingin memberikan
pelajaran terhadap penonton, apa yang dilihat di atas panggung merupakan sebuah
tontonan yang harus di-simak atau dinilai. Penonton tidak hanya lebur dalam
emosi yang dihadirkan oleh para tokoh akan tetapi dapat memberikan peni-laian
terhadap apa yang telah dihadirkan oleh sang pemeran. Da-lam teknik alienation kemampuan aktor sangat kuat
terlihat da-lam penyampaian eksperesinya (Kernodle, 1967: 50).
Alienation atau teknik peran V-Effek model penokohannya tidak seperti
dalam drama konvensional Barat, dimana adanya dimensi fisik, kejiwaan dan
status sosialnya. Adapun tokoh dalam teknik peran alienation berdiri memberi jarak sejauh-jauhnya dengan karakter
tokoh yang diperankannya, kemudian berubah menjadi karakter tokoh lain dengan
tujuan untuk menyadarkan penonton bahwa apa yang dilihat adalah sebuah
tontonan.
Teknik peran alienation
kaitannya dengan teknik peran la-kon Labuhandak
adalah pada pemeran yang memerankan tokoh di atas panggung dapat saja berubah
menjadi tokoh lain. Satu orang tokoh dalam lakon Labuhandak banyak memainkan karak-ter sekaligus, seperti pewarah pada saat bercerita ia
memerankan tokoh kakek dan bersikap persis seorang kakek, kemudian dia menjadi
tokoh pangeran, putri, dan sebaginya. Begitu juga tokoh cucu (Peraga) pada saat
kakek sedang bercerita ia berperan se-bagai seorang cucu yang asik mendengarkan
cerita si kakek, dan pada akhir cerita dia berdialog dengan penonton untuk
menje-laskan peristiwa yang diceritakan pewarah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teknik peran yang terdapat
dalam lakon Labuhandak sudah mengenal
teknik peran alienation. Hal ini
menunjukkan teknik peran pertunjukannya ti-dak lagi menunjukkan model tradisi.
b)
Dekorasi
Bentuk dekorasi dalam lakon Labuhandak sangat seder-hadana Arena panggung dibagi menjadi dua
bagian. Bagian ka-nan panggung terdapat sebuah level yang digunakan untuk pe-wawancan, sedangkan bagian kiri
panggung dipergunakan oleh kakek dan cucunya sebagai arena permainan.
Latar belakang panggung terdapat sebuah sekat pembatas yang
terbuat dari kain berbingkai kayu yang berfungsi sebagai dinding pembatas. Pada
sekat tersebut tergantung baju dan peci kakek dan didepan sekat terdapat sebuah
tikar tempat tidur ka-kek. Dengan demikian dekorasi yang ingin dihadirikan
dalam la-kon Labuhandak adalah sebuah
ruangan tempat kakek beristi-rahat, dalam arti bentuk skeneri sugestif realistis (skeneri yang dibuat sederhana namun
memberikan gambaran yang lengkap tentang sebuah ruang tempat peristirahatan).
c)
Tata Busana
Pakaian dasar pewawancan
menggunakan ikat pinggang destar batik. Kakek menggunakan sarung, ikat pinggang
dengan singlet, dan para cucu menggunakan kain sarung sebagai pakai-an dasar.
Para tokoh tidak menggunakan pakaian kaki, karena peris-tiwa yang
terjadi bertempat di dalam rumah, dan sudah menjadi kebiasaan bagi orang
Lampung tidak menggunakan alas kaki da-lam rumah.
Pakaian tubuh yang digunakan pewawancan adalah baju gunting cina, sarung songket dan celana
(pakaian adat). Peraga menggunakan
baju gunting cina dan kain sarung dengan ikat pinggang besar. Pendengar/cucu
memakai baju kaos dan celana pendek ditambah dengan kain sarung. Adapun pakaian
kepala pewawancan menggunakan deta
batik, sedangkan kakek meng-gunakan peci.
Perlengkapan/aksesoris pewawancan
menggunakan alat musik Gambus Lunik
yang juga berfungsi sebagai alat musik pengiring dari dendang/lagu yang
dilagukan. Kakek mengguna-kan perlengkapan: rokok, gelas, dan lampu teplok.
Secara keseluruhan tata busana dalam lakon Labuhandak tidak memperlihatkan pakaian
tradisi, terutama pakaian yang di-pakai para pemeran, kecuali pewawancan.
d)
Tata Suara
Dalam pertunjukan teater biasanya ada tiga bentuk tata suara: 1)ilustrasi,
2) musik pengiring, 3) dan sound efeck (efek bunyi). Sedangkan tata suara dalam
pertunjukan lakon Labu-handak hanya
terdiri dari dua bentuk (ilustrasi dan Musik pengi-ring). Sound Efeck atau
suara yang mendukung kejadian, mem-bantu penonton lebih membayangkan apa yang
terjadi, seperti suasana malam hari diberi suara jangkrik dsbnya tidak dimiliki
dalam pertunjukan lakon Labuhandak.
Tata suara berbentuk ilustrasi digunakan untuk mencipta-kan
suasana sesuai dengan dialog/adegan cerita yang sedang berlangsung atau bisa
disebut musik pendamping. Ilustrasi sifat-nya tidak mendominasi cerita,
melainkan hanya pada adegan ter-tentu yang perlu ditonjolkan – dalam arti
ilustrasi dimaksudkan sebagai daya tarik untuk memikat penonton dalam memahami
cerita yang sedang terjadi. Dalam lakon Labuhandak
ilustrasi ini dihadirkan pada adegan pembuka, ketika kakek masuk panggung
terdengar ilustrasi cucu yang sedang belajar mengaji. Suara cucu belajar
mengaji tersebut jelas dimaksudkan untuk membawa pe-nonton ke dalam suasana
menjelang malam. Ilustrasi juga ter-lihat sewaktu tokoh kakek menceritakan
kegelisahan sang putri dengan memukul-mukulkan tangannya ke lantai, akibat
bunyi yang ditimbulkan membuat suasana menjadi tegang dan meng-harukan.
Adapun musik pengiring dalam pertunjukan digunakan un-tuk
menyampaikan cerita diawal/akhir pementasan, sebagai jem-batan antara adegan
satu dengan adegan berikutnya. Sedangkan warna musik berbentuk warna lokal
dengan bunyi yang keluar dari alat musik Gambus
Lunik yang dimainkan langsung oleh pe-wawancan.
e)
Tata Rias
Tata rias dalam pertunjukan lakon Labuhandak
disesuai-kan dengan watak dan karakter masing-masing pemeran dan ti-dak
terlihat menggunakan rias khusus seperti rias badut dan fan-tasai. Dalam arti
tata rias dalam pertunjukan dimunculkan un-tuk memperjelas karakter dan watak
tokoh atau mengubah sese-orang dari gaya
keseharian.
f)
Tata Cahaya
Tata cahaya dalam pertunjukan teater digunakan untuk
menerangi secara keseluruhan permainan drama sampai akhir cerita, juga
mempertegas alur cerita. Pengertian menerangi ada-lah cara menggunakan lampu
sekedar untuk memberi terang dan melenyapkan gelap (general ilumination) atau seluruh area pentas dengan benda-benda
penting maupun tidak terlihat menjadi jelas. Sedangkan menyinari adalah cara
menggunakan lampu yang ca-hayanya dipusatkan pada satu tempat atau memfokuskan
pada sudut tertentu (spesifik ilumination). Dalam pertunjukan lakon Labuhandak tata cahaya menggunakan
bentuk penyinaran spe-sifik ilumination
terlihat fokus penyinaran pada tempat duduk pe-wawancan,
arena permainan pewarah beserta
cucu-cucunya. Adapun sistem pencahayaan menonjolkan efek lighting plot, atau mewujudkan bentuk diagram penyinaran sesuai
pengaturan panggung dalam posisi semua sinar lebih mapan (memberi efek alamiah
yang menentukan waktu kejadian, musim, dan cuaca).
C. Kesimpulan
Warahan berasal dari tradisi mendongeng (bercerita) di ling-kungan
keluarga serta berdasarkan tradisi berpantun (sagata) untuk menidurkan anak, dan semacam teka-teki dikala anak
mu-lai beranjak besar (sekiman).
Kebiasaan ini biasa dilakukan orang tua pada malam hari setelah lelah bekerja
di sawah/ladang siang harinya. Orang tua selalu minta dipijat oleh anak
cucunya, supa-ya anak/cucu tidak mengantuk dan senang maka orang tua ber-cerita
yang sebagaian besar berbentuk dongeng. Bentuk Warahan ini masih menjadi bagian dari sastra tutur, kemudian
berkem-bang menjadi sebuah pertunjukan kesenian dalam bentuk teater tutur.
Perkembangan dari teater tutur tersebut disebabkan oleh kebutuhan akan media
hiburan yang dapat mereka hayati secara bersama, serta masuknya pengaruh Islam
dengan ditambah iring-an musik Gambus
Lunik. Perkembangan selanjutnya teater tutur Warahan dikemas ke dalam bentuk seni pertunjukan teater rak-yat.
Perubahan ini diprakarsai oleh pemerintah daerah terutama Departemen Penerangan
disebabkan kebutuhan mengemasnya ke dalam bentuk tontonan yang lebih memikat
sebagaimana layak-nya seni pertunjukan secara umum.
Struktur pertunjukan lakon Labuhandak adalah sebagai be-rikut:
1. tehnik peran yang dihadirkan menggunakan tehnik peran V – Effek atau alienation yang dikembangkan oleh
Bertold Brecht, atau tehnik peran yang tidak lagi menujukkan tradisi Lam-pung.
2. Dekorasi yang
digunakan berbentuk scenery sugestif realistis
atau skeneri yang dibuat sederhana namun memberikan gam-baran yang lengkap
sebuah ruang tempat peristirahatan.
3. Tata busana dalam lakon Labuhandak tidak
memperlihatkan pakaian tradisi Lampung terutama pakaian yang dipakai para
pemeran kecuali pewawancan.
4. Tata suara dalam pertunjukan lakon Labuhandak
berbentuk ilustrasi dan musik pengiring.
5. Tata rias dalam
pertunjukan dimunculkan untuk memperjelas karakter dan watak tokoh atau
mengubah seseorang dari gaya
sehari-hari.
6. Tata cahaya dalam pertunjukan menggunakan bentuk penyi-naran spesifik ilumination
dengan sistem pencahayaan yang menonjolkan efek leghting plot.
Dari struktur pertunjukan lakon Labuhandak di atas dapat disimpulkan bahwa pertunjukannya merupakan
bentuk pertun-jukan Warahan modern
atau pertunjukan baru yang menjawab perubahan.
Dartar Pustaka
A.
Sumber Tulisan
Adjib Hamzah, A.
Pengantar Bermain drama. Bandung:
CV. Rosda. 1985.
Boen S.
Oemaryatie. Bentuk Lakon Dalam
Sastra Indonesia. Dja-karta:
Gunung Agung. 1971.Brecht, Bertolt. Organon Kecil Untuk Teater. Jakarta: Diterjemahkan
ke dalam Bahasa Indo-nesia oleh Boen S. Oemaryatie dalam Pertemuan Teater 80.
Dewan Kesenian Jakarta. 1980.
Boen S. Oemaryatie. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia.
Djakar-ta: Gunung Agung. 1971.
Cohen, Robert. Theatre Brief Edition. California.
Maytield Publishing Company. 1951.
Chairul Anwar.
Laporan Penelitian. Realisme Sosial Dan Teater E-pik. Lembaga Penelitian ISI Yogyakarta.
1996.
Harymawan, R.M.A. Dramaturgi. Bandung: CV.
Rosda. 1988.
, Perkembangan Konseptif Teater Barat.Dramaturgi
IV. 1986.
Hilman Adi
Kusuma, Dkk, Adat Istiadat daerah
Lampung, Lampung: CV. Aria Jaya,
1996.
Henry Guntur Tarigan. Menulis Sebagai Suatu
Keterampian. Bandung: CV. Angkasa. 1982.
Iwan
Nurdaya. Warahan dalam Kontek Perkembangan Masa Kini. Dalam makalah Seminar Seni Tradisional Lampung. 23
Sep-tember 1997.
Imas
Sobariah. Skripsi S-1. Warahan di Lampung.
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung. 1998.
Jakob
sumardjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama. 1991.
Jakob
Sumarjdo. Memahami Kesusastraan. Bandung: Penerbit Alumni. 1984.
, Iktisar Sejarah Teater Barat. Bandung: Penerbit
Ang-kasa. 1986.
Kasim Ahmad, A. Bentuk dan Pertemuan Teater Kita. Teater
Untuk Dilakoni. ed,Sagiati S. a., Bandung: Stadi Klub Teater Ban-dung. 1993.
Kernodle, George R. Invitation To The Theatre. New York: Harcourt Brace and
World, Inc. 1967.
MacGraw, Hill. Ensyclopedia of World drama Vol.
1, 2. California: Mytield Publishing and Co. 1963.
Rene
Wellek & Austin Warren. Diterjemahkan oleh N. Budianto. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT.
Gramedia Utama. 1991.
Rendra, W.S. Mempertimbangkan
Tradisi. Jakarta: PT. Gramedia.
1983.
Sapardi
Djoko damono, Sosiologi Sastra :
Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Ba-hasa, 1979.
Saini Kosim. “Mengapa
dan Bagaimana Saya Mengarang”. Dalam
Pamusuk Eneste. Proses Kreatif. Jakarta: PT.
Saini Kosim. Dramawan Dan Karyanya. Bandung:
Penerbit Ang-kasa. 1985.
Yoyo C. Durrahman & Willy
F. Sembung. Pengetahuan Teater.
Bandung: Sub Proyek Akademi Seni Tari Indonesia. 1985/-1986.
B.
Sumber Lisan
Hafizi Hasan,
Seniman Tradisional Lampung. Berasal dari Bandar Lampung. Tanggal 10 Nofember
1999.
Humaini Abas,
Pemain Warahan. Tanggal 10 Nofember 1999
Iswadi Pratama.
Wartaman dan Seniman. Teater Lampung. Tang-gal 11 Nofember 1999.
Raswan. Seniman
dan Pengamat Seni Lampung. Tanggal 11 No-fember 1999.
0 Response to "PERTUNJUKAN LAKON LABUHANDAK WARAHAN LAMPUNG"
Post a Comment