RANDAI DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS BUDAYA MINANGKABAU


RANDAI DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS
BUDAYA MINANGKABAU

Oleh: Hendri JB., S.Sn., M.Hum.
Intisari
“Baliek ka pangka”, merupakan ungkapan khas masyarakat Minangkabau, bermaksud untuk berbalik kembali pada inti permasalahan yang sebenarnya. Dalam konteks ini dimaksudkan untuk menggali serta menghayati kembali falsafah dan nilai-nilai budaya Minangkabau sebagai panutan hidup sesuai dengan angan dan cita-cita masyarakatnya.
Lebih lanjut tulisan ini menjelaskan arti penting pembentukan identitas budaya Minangkabau dengan berlandaskan pada “Adat bersandi syarak (agama Islam), syarak bersandi kitabullah (Al-Qur’an)”. Pengkajian fasafah budaya Minangkabau itu bertujuan menciptakan identitas budaya Minangkabau yang kontekstual sesuai dengan konsep “kekinian” seperti dicita-citakan masyarakat Minangkabau. Dalam mewujudkan maksud di atas, penerapan politik hegemoni, yaitu; force dan consent, seperti yang dijelaskan Gramsci menjadi perlu dilaksanakan.
Salah satu cara mewujudkan identitas budaya Minangkabau dilakukan dengan menggunakan medium randai. Memasukkan randai yang telah di renovasi ke dalam kegiatan ektrakurikuler muatan lokal di sekolah-sekolah dan menyiarkannya di TVRI Stasiun Padang akan berdampak signifikan pada pengenalan juga perkembangan randai di kalangan remaja Minangkabau, kemudian selanjutnya akan menjadi cikal bakal pembentukan identitas budaya Minangkabau yang sesuai dengan konteks kekiniannya.


A. Pengantar
Pada era Soeharto telah terjadi penyeragaman budaya yang diistilahkan dengan “azas tunggal” guna kepentingan ”Indonesia Bersatu”. 32 tahun lamanya masyarakat Indonesia tidak memiliki keleluasaan untuk menunjukkan jatidiri individu maupun kedaerahannya. Akibatnya masyarakat di daerah kehilangan identitas budaya. Secara perlahan namun pasti budaya-budaya lokal mulai tergeser porsinya, kemudian diseragamkan menjadi budaya tunggal yang lazim kita kenal dengan sebutan “Budaya Nasional”. Padahal penciptaan identitas budaya nasional tersebut hanya bersumber dari “sebagian kecil” budaya daerah. Hal ini menyebabkan terjadinya pengerdilan budaya daerah-daerah yang beragam di Indonesia. Budaya daerah sebagai sandaran nilai kehidupan masyarakat pendukungnya tergeser dan dialih fungsikan menjadi monumen-monumen atau pajangan budaya yang tidak lagi leluasa berkembang di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Contohnya tampak pada miniatur rumah adat dan benda-benda budaya yang terdapat di Taman Mini Indonesia Indah. Di situ kita lihat benda-benda budaya terpajang – bagaikan poselin indah dalam sebuah rumah – pada kenyataannya benda-benda tersebut tak lagi hidup atau paling tidak sudah tidak lagi hadir dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat pendukungnya.
Kondisi tersebut menyebabkan sebagian budaya daerah yang tidak sesuai dengan konsep budaya nasional tersingkir. Seperti ditulis oleh Pemberton, “ragam budaya milik masyarakat daerah sebagai sistem nilai masyarakat pemakainya pada era Soeharto hanya dijadikan sebagai proyek miniatur yang terpajang di Taman Mini Indonesia Indah”.[1]
TMII hanya sarana untuk memajang kebudayaan daerah dari Sabang sampai Merauke, sementara pada praktek, fungsi dan kegunaan budaya setempat dinisbikan dalam kehidupan pemakainya. Hal ini menjadikan budaya nasional ciptaan Orde Baru tidak bermakna bagi masyarakat di daerah-daerah lain yang bukan tempat akar budaya itu tumbuh. Hal senada juga terjadi pada bidang seni, terkhusus seni pertunjukan. Para seniman pada masa Orde Baru hanya diberi kebebasan yang semu. Sudah bukan rahasia lagi bahwa, di antara korupsi yang sudah menjadi budaya, pertunjukan-pertunjukan yang berusaha mengkritik ketimpangan ini selalu dibungkam. Akibatnya kritik-kritik selalu dilakukan dengan cara terselubung.[2]
Lengser Soeharto yang dimotori oleh gerakan mahasiswa mencapai puncak pada bulan Mei 1998, dengan peristiwa Trisakti dan Semanggi, berdampak pada perubahan sistem sosial, politik, dan budaya. Pada era reformasi masyarakat mulai memiliki kebebasan bergerak dan berekspresi. Sejak saat itu mulai tumbuh kesadaran bahwa Indonesia terdiri dari berbagai macam etnis dengan keragaman budaya dan semua perbedaan yang ada harus diakomodir agar masyarakat hidup sesuai dengan jatidiri kedaerahannya. Mereka tidak mungkin disatukan dengan identitas ke-“Indonesia”-an yang semu hasil ciptaan Orde Baru.
Konsep identitas tentang “Indonesia bersifat tunggal” dengan semboyan “walau berbeda-beda tapi tetap satu” tidak bisa dipertahankan lagi. Gagasan tentang identitas tunggal berdasarkan puncak-puncak kebudayaan daerah tidak mampu lagi mempertahankan ketunggalannya. Dalam menciptakan yang “tunggal” pasti ada yang “disingkirkan”, Untuk membuat satu yang “utuh” pasti ada yang “dibuang”. Untuk membuang yang dianggap tidak relevan dengan identitas “ke-Indonesia-an” itulah politik mencipta identitas digunakan. Namun kenyataannya ketunggalan yang dicipta dengan menyingkirkan sebagian local genius tak mampu bertahan, karena tidak mengakomodir budaya masyarakat setempat.
Konsep tentang “Indonesia Satu”, yang bertujuan menekan perbedaan antarsuku tidak mampu lagi menjadi perekat hidup bernegara. Sebaliknya, konfik kepentingan antardaerah muncul. Hampir tiap propinsi di Indonesia mengalami pertikaian karena berbagai kepentingan yang berseberangan. Salah satu contoh yang paling relevan adalah  perang antara suku Dayak dan Madura di Sampit Kalimantan Tengah beberapa tahun lalu. Salah satu penyebabnya adalah karena antara kedua suku tidak saling memahami tradisi dan adat-istiadat masing-masing. Ketidakpahaman tersebut berdampak pada perilaku saling tidak menghargai.
Agar hal serupa tidak terjadi lagi, maka perlu dikembangkan “paradigma budaya baru” tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Keragaman dan perbedaan masing-masing budaya di Indonesia – yang di masa Orde Baru tidak terakomodir – kini perlu ditonjolkan kembali. Penonjolan itu bertujuan untuk menciptakan kesadaran tentang adanya perbedaan. Di saat kita menyadari ada perbedaan, pada saat itulah sebenarnya kita dapat menghargai perbedaan tersebut. Dengan adanya pemahaman terhadap kebudayaan lain dan mengerti kebudayaan sendiri, maka kita menyadari bahwa kita tidak sama. Adanya pemahaman bahwa “kita berbeda” dengan sendirinya menimbulkan penghargaan terhadap “makna perbedaan” itu.
B.  Minangkabau dan Randai Dalam Pembentuk Indentitas Budaya
Untuk dapat mencipta identitas budaya Minangkabau yang berlandaskan falsafah masyarakat Sumatera Barat dengan konsep “kekiniannya”, jelas perlu diadakan pengajian dan penelitian yang dalam untuk memahami konsep-konsep dasar budaya Minangkabau. Apa itu Minangkabau, kenapa disebut Mingkangkabau, dan seperti apakah kondisi masyarakat Minang sekarang ini? Inilah pertanyaan mendasar yang perlu dicari jawaban yang sesuai dengan keinginan seluruh masyarakatnya.
Wilayah Sumatera Barat yang terletak di bagian Barat Sumatera Tengah dihuni oleh masyarakat Minangkabau. Istilah Minangkabau mengandung pengertian kultural dan makna geografis yang tidak terkandung dalam pengertian kata Sumatera Barat. Setelah Minangkabau menjadi salah satu bagian wilayah Republik Indonesia, istilah Minangkabau diidentikkan dengan pengertian geografis wilayah administratif propinsi Sumatera Barat. Sejak bergabung menjadi wilayah Indonesia dengan nama propinsi Sumatera Barat, maka masyarakat Minangkabau dikenal dengan masyarakat Sumatera Barat.[3] Dapat dipahami bahwa Minangkabau ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ada dan jelas masyarakat Mingkabau sudah memiliki tatanan kehidupan sosial maupun budaya sebelum Republik Indonesia ini ada.
Bagi masyarakat Minangkabau alam adalah segala-galanya. Alam bukan saja sebagai tempat lahir dan mati, tempat hidup dan berkembang, melainkan juga mempunyai makna filosofis yang dikenal dengan motto: Alam Takambang Jadi Guru (alam terkembang jadi guru).[4] Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang selalu belajar pada alam. Melalui proses belajar pada alam maka tercipta falsafah hidup masyarakat Minangkabau yang dikenal dengan: “Adat bersandi syarak (agama Islam), syarak bersandi kitabullah (Al-Qur’an). Landasan falsafah di atas kembali dihidupkan dan dijadikan sumber penciptaan segala praktik budaya di Minangkabau, termasuk seni.
Seiring uraian di atas, akhirnya dapat dipahami bahwa setiap penduduk di Nusantara memiliki kesempatan untuk mengaktualisasi diri dan menunjukkan eksistensi ke daerahannya. Kesadaran untuk membangkitkan simbol-simbol budaya lokal sebagai identitas budaya daerah mulai mencuat, tak terkecuali di Sumatera Barat. Pemerintah daerah dan stake holders lain di Sumatera Barat berupaya menggali simbol-simbol kedaerahan tersebut pada dunia seni, terkhusus seni pertunjukan rakyat.
Pada dasarnya dalam konteks otonomi daerah dewasa ini keterlibatan pemerintah setempat dalam dunia pertunjukan rakyat umumnya digerakkan oleh dua mesin utama: penggalangan identitas (jati-diri) dan ekonomi (pariwisata).[5] Dalam pembahasan lebih lanjut pada tulisan ini akan difokuskan pada penggalangan identitas (jatidiri) melalui kesenian tradisional randai.
Untuk mewujudkan niat tersebut dilakukan upaya menyusun proyek identitas budaya sebagai jati diridaerah. Chris Barker dalam buku Cultural Studies: Theory and Practice mengungkap bahwa penciptaan identitas tersusun dari apa yang kita pikirkan tentang diri kita sekarang berdasarkan situasi masa lalu dan masa sekarang, sekaligus tentang gagasan akan menjadi apakah kita, serta garis lintasan masa depan bagaimana yang kita ingini.[6] Istilah identitas atau jatidiri pada karakteristik suatu satuan sosial adalah merupakan jawaban atas pertanyaan siapakah saya atau kita. Jelas kiranya bahwa jawaban atas pertanyaan itu hanya dapat ditemukan dengan cara melakukan perbandingan antara saya dan kamu, antara kita dan mereka. Identitas adalah inti diri yang bersifat universal dan kekal, dicipta sesuai dengan keinginan dan kebutuhan kita.
Randai sebagai teater tradisional Minangkabau digunakan untuk mengomunikasikan nilai-nilai "ke-Minangkabau-an" yang ingin dibangkitkan tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Brandon yang menjelaskan bahwa seni merupakan sarana komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan tujuan.[7] Oleh karena itu, Randai dilirik sebagai kendaraaan (media) dalam mengomunikasikan identitas budaya Minangkabau.
Sebelum dikenal sebagai teater tradisional Minangkabau, mula-mula Randai berbentuk tarian. Langkah-langkah gerak silat dimainkan berkeliling dan membentuk lingkaran dengan jumlah peserta tidak tertentu. Dalam tarian ini belum dimainkan cerita, karena masa itu pertunjukan hanya berupa pantun-pantun yang didendangkan (dilagukan) oleh anak-anak muda dalam perhelatan adat. Tari ini disajikan di atas tanah di tengah halaman, sawah, padang, atau di pasar ramai, bukan di tengah rumah atau dalam ruangan. Tari randai ini belum menggunakan dialog. Ceritanya diungkapkan dengan pantun sambil menari dalam sebuah lingkaran dan pada akhir pantun mereka bersorak-sorai.
Bentuk tarian dengan gerak pencak silat yang diiringi dendang ini merupakan embrio pertama dan kedua dari randai, sedangkan embrio ketiga adalah masuknya unsur kesenian kaba (cerita). Masuknya kesenian kaba dalam tari randai semakin memerjelas pesan yang disampaikan pada masyarakat. Penggabungan ketiga bentuk kesenian ini kemudian mendapat pengaruh dari kehadiran tonil melayu. Maraknya pertumbuhan kelompok tonil Melayu di Minangkabau masa itu memengaruhi para seniman randai. Seniman randai kemudian memasukkan unsur pemeran yang memainkan dialog dalam pertunjukan awal randai. Kaba yang biasa hanya didendangkan kemudian mulai visualisasikan oleh pemeran dengan tetap menggunakan gesture dari gerak pencak silat Minangkabau.[8]
Berdasarkan paparan di atas dapat dipahami bahwa proses lahir dan perkembangan randai diawali oleh gabungan beberapa bentuk kesenian rakyat Minangkabau. Bentuk-bentuk kesenian rakyat tersebut adalah sebagai berikut: a) tari bersumber dari gerak pencak silat; b) dendang; c) kaba; dan d) ditambah pengaruh tonil klasik Minangkabau yang memvisualkan kaba dalam wujud akting dan dialog. Keempat embrio tersebut kemudian menjadi unsur esensial randai sebagai teater tradisional Minangkabau dan tentu saja penonton berada di sekeliling arena bermain.
Dalam membangkitkan kembali identitas budaya Minangkabau melalui randai, pemerintah melakukan langkah sebagai berikut: pertama memasukkan randai ke dalam kegiatan ektrakurikuler muatan lokal di sekolah-sekolah dan kedua menghadirkan randai secara berkala di Televisi Republik Indonesia Stasiun Padang. Alasan mendasar pengambilan televisi sebagai media untuk memopulerkan randai adalah karena TVRI Stasiun Padang ditonton oleh masyarakat Sumatera Barat. Dengan sendirinya media ini tepat digunakan untuk menyebarkan randai, sedangkan memasukan randai dalam kegiatan ektrakurikuler muatan lokal di sekolah-sekolah bertujuan untuk mengenalkan kembali randai di kalangan muda Sumatera Barat.
1.    Memasukkan Randai dalam Kegiatan Ektrakurikuler Muatan Lokal di Sekolah
Menyimak uraian Gramsci bahwa politik hegemoni dalam mencipta identitas bekerja dengan cara force dan consent, strategi ini juga diterapkan oleh stake holders di Minangkabau. Memasukkan randai dalam kegiatan ektrakurikuler muatan lokal di SLTP dan SMA berdampak signifikan pada pengenalan dan perkembangan randai di kalangan kaum remaja Minangkabau. Siswa memiliki kesempatan untuk memelajari randai. Melalui cara ini siswa-siswa menjadi dekat dengan budaya Minangkabau dan mulai menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.
Ketika randai masuk ke dalam kegiatan ektrakurikuler muatan lokal, aktivitas bermain randai terlihat pada siswa SLTP dan SMA di kota Padangpanjang. Hampir setiap sore mereka berlatih randai dengan didampingi guru kesenian dan dibimbing oleh seniman randai setempat. Kemarakan ini mulai terlihat di awal tahun 2000. Tampaknya ini menjadi lahan tersendiri bagi seniman randai, terkhusus bagi mahasiswa STSI Padangpanjang yang pada umumnya memelajari randai dalam perkuliahannya. Hampir di setiap ruang dan sudut-sudut kampus terlihat para remaja berpakaian seragam sekolah sedang berlatih randai dengan menggunakan kain sarung sebagai pengganti celana galembong (celana yang lapang, busana khas randai). Ini merupakan sebuah pemandangan yang membahagiakan bagi pemerhati kesenian tradisi di Minangkabau.
Metode pelatihan yang diterapkan mengacu pada unsur esensial dalam randai yakni: (1) unsur cerita yang berangkat dari kaba; (2) unsur nyanyian atau dendang; (3) unsur gerak tari (gerak galombang dan tepuk galembong atau celananya yang lapang) yang bersumber dari pencak-silat Minangkabau; dan (4) unsur drama dalam bentuk akting dan dialog.[9] Setiap siswa dibagi menjadi beberapa kelompok kecil dan dilatih gerak galombang dan tepuk galembong. Setelah mereka mampu memraktekkan gerak galombang dan tepuk galembong, kemudian mereka diperkenalkan pada unsur dendang dan unsur drama dalam bentuk akting dan dialog. Pada fase berikutnya mereka diperkenalkan pada alat musik dan dilatih mainkannya.
Pada level lanjut siswa diarahkan secara spesifik untuk menguasai salah satu unsur ketrampilan yang terdapat dalam randai, berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Para siswa yang memiliki kemampuan menari akan diarahkan menjadi pemain gerak galembong, yang memiliki musikalitas dan kemampuan memainkan musik diarahkan menjadi pemusik, dan yang memiliki kemampuan akting dan dialog diarahkan menjadi pemeran tokoh-tokoh dalam randai.
Mengamati metode pembelajaran yang diberikan oleh guru dan para seniman randai, jelas mereka masih membutuhkan pembinaan. Pemerintah Propinsi Sumatera Barat melalui Dinas Pendidikan Nasional dan stake holders lainnya harus merumuskan dan bekerja maksimal agar metode pembelajaran randai disekolah-sekolah efektif dan menyentuh sasaran yang diingini. Kalau tidak dipikirkan lebih serius, maka program ini tidak akan berhasil untuk membangkitkan identitas Minangkabau. Program ini hanya akan menjadi kegiatan bermain randai tanpa ada implikasi pada penanaman nilai-nilai budaya Minangkabau.
Pembinaan randai terhadap guru-guru kesenian di Sumatera Barat diperlukan agar randai menjadi tepat guna. Pembinaan harus diarahkan pada pemahaman esensial dari randai sebagai pembentuk identitas budaya Minangkabau. Pembinaan seyogyanya tidak hanya pada bentuk-bentuk pertunjukan randai, akan tetapi juga diarahkan pada pemberian pemahaman bahwa kesenian (randai) merupakan produk budaya Minangkabau yang berkembang sesuai dengan perubahan zaman. Hal ini bertujuan agar guru dapat mentransformasikan randai dengan cara yang kreatif dan efektif.
Pembelajaran randai dengan tepat perlu diperhatikan agar randai tidak terjebak pada keseragaman bentuk ketika diajarkan pada siswa. Menyimak tulisan revitalisasi pertunjukan reyog Ponorogo yang ditulis oleh Lono Lastoro Simatupang dalam makalah yang disampaikan pada seminar Air Sebagai Sumber Orientasi Seni Budaya di Kediri, Jawa Timur, revitalisasi Reyog Ponorogo dibakukan dengan nama Format “Massal 93”. Pembakuan bentuk reyog ini berdampak pada keseragaman yang menjadikannya statis dan tidak berkembang.[10]
Belajar pada kasus di atas, maka metode pembelajaran randai guna kepentingan pembentukan identitas budaya harus dilakukan melalui tahap perancangan yang matang. Tahap menjadikan randai sebagai identitas untuk kemudian menjadi bahan pembelajaran di sekolah-sekolah harus terlebih dahulu melewati fase seminar randai sebagai identitas budaya Minangkabau. Seminar ini bertujuan untuk menentukan sasaran yang ingin dicapai dan merumuskan paradigma yang cocok digunakan pada randai sebagai alat pembentukan identitas Minangkabau. Fase berikutnya adalah lokakarya dan pelatihan guru-guru kesenian untuk merumuskan Satuan Acara Pembelajaran yang tepat guna dan pembuatan Bahan Ajar yang dapat mengakomodir maksud masyarakat dan pemerintah dalam mencipta identitas budaya Minangkabau. Sementara fase terakhir adalah mengadakan semacam festival untuk mengetahui sejauh apa perkembangan dan manfaat randai dalam pembentukan identitas Minangkabau.
2.    Randai di TVRI Stasiun Padang
Selain masuk ke dalam kurikulum muatan lokal pada SLTP dan SMA di Sumatera Barat, randai juga tampil di TVRI Stasiun Padang. Randai ditampilkan tidak lama setelah TVRI Stasiun Padang berdiri, yaitu pada awal tahun 2000. Penciptaan identitas budaya Minangkabau melalui randai dengan media TVRI Stasiun Padang tentu saja merupakan sebuah peluang, di samping memunculkan beberapa tantangan.
Sebagai media informasi dan hiburan, televisi memiliki ciri penyampai pesan dengan medium gambar bergerak. Agar diminati oleh penonton, televisi harus menampilkan gambar yang terkemas apik. TVRI Stasiun Padang – sebagai media informasi dan hiburan – memiliki kemungkinan yang sangat luas untuk diakses oleh seluruh masyarakat. Dengan sendirinya program pengenalan randai sebagai identitas budaya di Minangkabau akan sangat terbantu oleh ini.
Akan tetapi TVRI Stasiun Padang masih berusia muda dan belum banyak memiliki tenaga trampil dan peralatan yang maksimal untuk sebuah produksi serta pendanaan yang memadai. TVRI Stasiun Padang tentu saja akan kewalahan untuk menandingi stasiun televisi swasta yang telah lebih dahulu hadir di Sumatera Barat. Animo masyarakat untuk menyaksikan siaran TVRI Stasiun Padang sangat minim bila dibandingkan dengan animo menonton televisi swasta. Kenyataan ini membuat TVRI Stasiun Padang sulit untuk bersaing dengan stasiun-stasiun televisi swasta.
Dengan kendala itu maka TVRI Stasiun Padang menjadi kurang efektif sebagai media penyampai pesan identitas budaya Minangkabau. Randai hanya ditonton oleh kalangan terbatas. Kenyataan ini diperburuk oleh kekurangmampuan para pekerja TVRI Stasiun Padang dan para seniman randai untuk mengemas randai menjadi tontonan yang menarik agar layak untuk dinikmati pemirsa. Randai ditampilkan dengan apa adanya, sama seperti ketika randai masih merupakan pertunjukan langsung. Perubahan media seharusnya menuntut perubahan bentuk tampilan randai. Perubahan media randai “dari pertunjukan langsung ke televisi” tanpa melalui pengolahan yang matang tentu saja banyak menghilangkan keistemewaan randai akibat karakter media yang berbeda jauh.
Salah satu contoh pertunjukan randai yang tidak memerhatikan perubahan sifat medianya adalah pertunjukan randai dengan lakon Rambun Pamenan di TVRI Stasiun Padang. Randai hanya direkam di outdoor dengan menggunakan tiga kamera tanpa penataan cahaya dan audio yang baik hingga gambar sangat buram dan audio nyaris tidak terdengar. Akibatnya struktur cerita dan spektatel pertunjukan tidak dapat nikmati dan dipahami. Hal ini tentu saja mengakibatkan kejenuhan bagi penonton televisi. Jangankan untuk menangkap nilai-nilai estetika Minangkabau dalam randai, mengerti pertunjukannya pun amatlah sulit. Ketidakefisienan randai pada TVRI Stasiun Padang jelas merupakan tantangan tersendiri yang harus dipikirkan oleh para stake holders randai.
Agar randai dapat dinikmati dan menjadi tontonan yang menarik, randai harus dikemas dengan cara yang lebih serius, baik dari segi bentuk ataupun estetikanya sesuai dengan tuntutan dan karakter televisi. Seniman Randai harus mampu melakukan revitalisasi yang dapat diterima oleh masyarakatnya. Contoh tersebut dapat dilihat dari kasus Ketoprak dengan revitalisasi yang dilakukan oleh Timbul dan kawan-kawan hingga dapat bertahan lama di RCTI. Berikut kutipan wawancara Timbul dengan Kompas edisi Minggu, 19 November 2000.
"Dulu kami pernah membikin ketoprak "serius", tetapi tidak laku. Karena tidak laku, lalu kami bikin ketoprak humor. Meski penuh improvisasi, tetapi kami tidak memelesetkan jalan ceritanya. Cerita-cerita sejarah dan legenda yang kami tampilkan itu kami ambil dari berbagai macam buku dan legenda yang memang sudah ada. Lalu kami bikin skenarionya dengan pengembangan".[11]
Upaya revitalisasi tersebut ternyata membawa hasil. Dengan menghadirkan pula wajah-wajah terkenal, Ketoprak Humor memikat perhatian pemirsa Televisi. Keketatan dramaturgi ketoprak – teater rakyat yang digemari di Jawa Tengah dan Jawa Timur – mereka kendorkan. Cara seperti itu membuat Ketoprak Humor digemari. Di satu pihak dia tetap punya dramaturgi (yang boleh jadi bisa menjadi pegangan masyarakat yang masih punya kedekatan dengan cerita rakyat), di lain pihak ia kental dengan humor (elemen yang gampang disukai).
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menghargai keragaman budaya daerah serta memberikan kesempatan pada daerah untuk menunjukkan identitas budaya merupakan faktor yang harus diperhatikan pemerintah pusat. Konflik kepentingan antargolongan dan antarsuku akan dapat dijembatani melalui pemahaman terhadap perbedaan budaya. Budaya daerah sebagai sandaran nilai dalam kehidupan masyarakatnya adalah faktor yang harus dihargai oleh pemerintah. Masyarakat harus diberi keleluasan untuk mencipta identitas kedaerahan sebagai pandangan dan pegangan hidupnya. Kebudayaan daerah tidak seharusnya dijadikan sebagai pajangan dan dilestarikan seumpama barang purbakala belaka. Kebudayaan daerah harus diberi ruang untuk dimiliki oleh masyarakatnya.
Alasan di atas menjadi sangat penting sebagai dasar penciptaan identitas "ke-Minangkabau-an" yang bersandarkan pada falsafah, “Adat bersandi syarak (agama Islam), syarak bersandi kitabullah (Al-Qur’an). Pemunculan kembali identitas budaya Minangkabau dilakukan dengan cara memasukkannya ke dalam kegiatan ektrakurikuler muatan lokal di SLTP dan SMA dan menyiarkannya di TVRI Stasiun Padang. Langkah-langkah tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tepat sasaran agar usaha mewujudkan randai sebagai identitas Minangkabau efisien dan tepat guna. Dan belajar dari kesalahan masa lalu, penciptaan identitas kedaerahan harus mampu mengakomodir semua golongan yang terkait di dalamnya, agar identitas tersebut mampu menjadi milik daerah sepenuhnya. Semoga.





DAFTAR PUSTAKA


Barker, Chris. Cultural Studies: Theory and Practice. London: Sage, 2000.

Bouvier, Helene. Lebur: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Terj. Rahahu S. Hidayat dan Jean Couteau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Brandon, James R. Jejak-Jejak Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara. Terj. R.M. Soedarsono. Bandung: P4ST UPI, 2003.

Harun, Chairul. Kesenian Randai Di Minangkabau. Jakarta: Proyek Pembinaan Media Kebudayaan Depdikbud, 1991/1992.

Herwanfakhrizal. “Randai Palimo Gaga Awal Teater Minangkabau Modern”, Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: 2000.

Idris, Asmaniar. Kerajaan Pagaruyuang, dalam Menelusuri Sejarah Minangkabau. Ulakkarang Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia dengan LKAAM Sumatera Barat, 2002.

Kitley, Philip. Konstruksi Budaya Bangsa Di Layar Kaca. Terj. Bambang Agung, dkk. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001.

Mansoer, M.D, et al. Sejarah Minang. Jakarta: Bharatara, 1970.

Nafis, A.A. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Cetakan I. Jakarta: Temprint.

Pemberton, John. “Jawa”, On The Subject of “Java”. Terj. Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003.

Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Edisi Ketiga yang  Diperluas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.

Simatupang, G.R. Lono Lastoro, Tantangan Revitalisasi Pertunjukan Rakyat di Indonesia: Refleksi atas Reyog Ponorogo. Makalah Seminar dan Festival Kesenian Tingkat Nasional. Kediri: Mai, 21 s.d. 22. 2004.

Zulkifli. “Randai Sebagai Teater Rakyat Minangkabau Di Sumatera Barat: Dalam Dimensi Sosial Budaya”, Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: 1993.



[1]Lebih jauh baca John Pemberton, “Jawa”, On The Subject of “Java”, Terj. Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), 204-267.
[2]Periksa Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Edisi Ketiga yang  Diperluas (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 100-104.
[3]M.D. Mansoer, et al., Sejarah Minang (Jakarta: Bharatara, 1970), 2.
[4]A.A. Nafis, Alam takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Cetakan I (Jakarta: Temprint), 59.
[5]G.R. Lono Lastoro Simatupang, Tantangan Revitalisasi Pertunjuk-an Rakyat di Indonesia: Refleksi atas Reyog Ponorogo, Makalah Seminar dan Festival Kesenian Tingkat Nasional (Kediri: Mai tanggal 21 s.d. 22 Mai 2004), 2.
[6]Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Practice (London: Sage, 2000), 165.
[7]Lihat James R. Brandon, Jejak-Jejak Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara, Terj. R.M. Soedarsono (Bandung: P4ST UPI, 2003), 413-433.
[8]Lihat Herwanfakhrizal. “Randai Palimo Gaga Awal Teater Minangkabau Modern.” Tesis untuk mencapai derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2000, 105-129.
[9]Lihat Herwanfakhrizal. “Randai Palimo Gaga Awal Teater Minangkabau Modern.” Tesis untuk mencapai derajat Sarjana S-2 dalam Bidang Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2000, 105-129.
[10]G.R. Lono Lastoro Simatupang, 8-13.
[11]Diakses dari, http:/kompas.com/kompas%2Dcetak/0011/19/u-tama/keto01.htm, tangal 10 Desember 2005.

0 Response to "RANDAI DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS BUDAYA MINANGKABAU"