Hilangnya Visi Kehidupan

Hilangnya Visi Kehidupan


Sesungguhnya visi kehidupan manusia telah ditentukan Tuhan melalui ajaran agamanya. Tapi entah kenapa ketika pesan itu diberikan manusia malah acuh dan lebih pilih membangun visi sendiri.

Visi menurut akal pikiran semata tanpa bimbingan wahyu. Orientasinya begitu sempit dan singkat, cenderung menjadikan nafsu sebagai penentu.

Akibatnya, keberadaan serta prosesi kehidupan yang dijalani manusia tidak menyentuh level yang hakiki dari maksud penciptaan. Dalam konteks inilah prilaku manusia modern tampak kehilangan arah.

Alur drama kehidupan dari Tuhan idealnya menjadi pedoman dasar bagi setiap manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan. Sikap ini merupakan konsekuensi logis dari kesadaran manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Andaikan proses kehidupan yang dijalani tidak sesuai dengan semangat ketuhanan, maka sudah tentu akan mengalami ketimpangan bahkan terjadinya perlawanan terhadap hukum dualitas dan keseimbangan.

Akibatnya pola hidup manusia akan menjadi kacau-balau diporak-porandakan oleh perilaku yang menyimpang, karena prosesi yang dijalani tidak sesuai dengan maksud penciptaan.

Salah satu contoh konkrit, jika kita membeli motor produk Jepang misalnya, tentu cara penggunaan dan perawatan harus sesuai dengan buku panduan dari perusahaan itu.

Namun, apa yang akan terjadi jika sistem penggunaan dan perawatannya menggunakan buku panduan buatan Amerika, mungkin dalam waktu singkat motor tersebuat akan mengalami kerusakan bahkan hancur.

Begitulah perumpamaan tentang pentingnya merelevansikan visi kehidupan manusia dengan selera ketuhanan.

Hari ini manusia seakan-akan lupa diri, lupa asalnya, lupa ia sedang dimana dan hendak kemana. Pada tingkat tingginya mereka lupa tujuan hidup bahkan dalam waktu yang bersamaan juga lupa akan Tuhannya.

Sikap lupa itu dapat dilihat dari rendahnya penghambaan dan pengabdian dalam hidup, bentuk penghambaan itu telah berubah ke dalam varian lain, varian baru yang terkadang menjadikan sosok Tuhan sering digantikan benda-benda dan tahta yang diagungkan.

Jebakan paham materialisme telah berhasil menguasai diri sehingga raga tak berdaya jiwa dan pikiran terkungkung olehnya. Padahal jiwa dan pikiran itu fitrahnya selalu ingin bebas dan lepas dari penjara-penjara materi yang sangat terbatas.

Kini jeratan materi itu telah membatasi bahkan memisahkan antara sang diri sejati dengan Tuhannya, antara Tuhan dan materi masing-masingnya dipandang memiliki kekuatan antagonistik.

Buktinya hari ini manusia telah berhasil menjadikan kedigdayaan rasio dan materi sebagai pengganti Tuhan sekaligus sebagai bentuk Tuhan yang baru. Inilah yang setiap waktunya mereka perebutkan, dan secara tidak lansung mereka mengucapkan ‘’selamat tinggal Tuhan’’.

Dalam bahasa Nietszche bahwa ‘’Tuhan-tuhan telah mati’’ karena manusia telah berlomba-lomba meninggalkannya.Sungguh manusia telah kehilangan tempat berpijak, mereka tidak lagi bisa membedakan mana yang sementara dan mana yang abadi, mana yang relatif dan mana pula yang absolut. Nilai-nilai dasar yang fitrah kini  telah tergusur oleh kesibukan dunia semata, tanpa menjadikan dunia sebagai ladang menuju akhirat.

Imam al-Ghazali juga pernah mengingatkan kita bahwa dunia bukanlah tujuan, tapi alat untuk menggapainya. Sebagai upaya merespon hal ini, secara implisit Alquran telah mengisyaratkan tentang hubungan sekaligus tujuan manusia terhadap Tuhannya.

Menelusuri kilas balik prosesi kejadian manusia, bermula dari unsur tanah, air mani, segumpal darah, menjadi segumpal daging lalu diciptakan tulang-belulang yang kemudian dibungkus dengan daging hingga menjadi bentuk manusia. (QS. Al-Mukminun, 12).

Sebelun ruh ditiupkan ke jasad, terjadi dialog singkat antara Tuhan dan ruh. Tuhan bertanya, ‘’apakah aku ini Tuhanmu?’’ Lalu ruh menjawab, ‘’ia bahwa engkau adalah Tuhanku.’’ (QS. Al-’Araf, 172).

Adapun konsekuensi dari pengakuan ini adalah lahirnya kesediaan untuk tunduk dan patuh (Islam) bahwa sesungguhnya hidupku segala perbuatan serta matiku tertuju hanya kepada-Mu semata.

Dari-Mu aku ada dan hanya kepada-Mu aku akan kembali. Jadi, jelas sudah bahwa Tuhan adalah satu-satunya tempat kita menuju, siapapun dari manapun ia serta warna apapun kulitnya visi hidup kita sama yaitu Tuhan sebagai titik sentral. Untuk itu marilah sejenak kita merenung, Tuhan telah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 2. 30).

Dengan kata lain, hadirnya manusia sebagai perpanjang ‘’tangan Tuhan’’ untuk memakmurkan bumi. Tapi, kita dituntut untuk hati-hati agar tidak terjebak dengan segala warna-warni dan kemegahan fasilitas itu. Sebab, semua itu tidak lebih sebagai ujian.

Di sisa umur kita yang begitu singkat ini, marilah kembali mengevaluasi diri seraya merenung hakikat penciptaan. Tuntutlah ilmu agama untuk beragama, karena sesungguhnya agama sebagai jalan sekaligus konsekuensi kelanjutan dari kontrak kita kepada Tuhan melalui janji ketika proses ruh ditiupkan di alam rahim.

Dalam janji itu, salah satunya kita menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya arah visi kehidupan. Maka apapun yang kita lalukan di dunia ini dalam rangka menuju Tuhan.  Menjadikan selain Tuhan sebagai tujuan tunggu saja ketidakbahagiaan bahkan kehancuran.***

Ahmad Tamimi Dewan Pengawas Organisasi (DPO) Ikatan Pemuda Pelajar Riau (IPPR)

Pernah dimuat di Riau Pos 10 Mai 2012 dan
Padang Ekspres • Jumat, 25/05/2012 10:19 WIB • 251 klik.
Haluan Kepri 26 September 2012

0 Response to "Hilangnya Visi Kehidupan "