Claude Lévi-Strauss: Si Empu Strukturalisme*



Claude Lévi-Strauss:
Si Empu Strukturalisme*

Oleh
Hendri Jihadul Barkah.
No. Mhs: 21975/IV-4/1621/04

“Lévi-Strauss dijuluki empu strukturalisme karena didasari oleh fakta, bahwa pendekatan stuktural-isme dalam kajian budaya – khususnya dalam disiplin antropologi – menemukan kematangannya di tangan Lévi-Strauss”



A.    Pengantar
Dalam mengamati fenomena kebudayaan, telah lahir dan berkembang berbagai pendekatan. Macam-macam pendekatan itu selalu bertujuan untuk membantu manusia memahami fenomena kebudayaan yang terjadi. Dalam pendekatan antropologi misalnya, pengamatan terhadap fenomena budaya dilakukan dengan menggunakan berbagai macam teori. Teori-teori tersebut antara lain; 1) evolusi, 2) difusi, 3) funsionalisme, 4) strukturalisme, dan 5) materialisme, serta masih banyak lagi teori lainnya.
Teori-teori tersebut menggeliat dalam pasang-surut perjalanan waktu. Kekuatan dari masing-masing teori akan diuji oleh realitas kehidupan manusia. Ketangguhan sebuah teori akan terbukti apabila ia memiliki daya guna bagi manusia dalam mencapai kemaslahatan. Adakalanya sebuah teori harus hilang lalu digantikan oleh teori baru, karena  teori itu dianggap sudah tidak relevan lagi dengan realita kehidupan.
Ada dua pendekatan yang sangat populer dalam mengamati fenomena budaya  saat ini. Pendekatan tersebut adalah kajian teks dan konteks. Kajian tekstual merupakan kajian yang memandang fenomena budaya sebagai suatu teks yang relatif berdiri sendiri sedangkan kajian kontekstual merupakan kajian yang menempatkan fenomena tersebut dalam konteks yang lebih luas, yaitu konteks sosial-budaya masyarakat tempat fenomena budaya tersebut muncul dan berkembang.
Dijelaskan oleh Ahimsa Putra bahwa kajian kontekstualistik tampaknya akan semakin didominasi oleh pendekatan ekonomi dan politik – dengan melihat fenomena budaya yang tidak lepas dari kepentingan politik individu-individu – yang sedikit banyak bersangkut paut dengan fenomena budaya tersebut. Dalam kajian tekstualistik boleh dikatakan masih akan didominasi oleh pendekatan hermeneutik (interpretive) dan pendekatan struktural ala Lévi-Strauss.[1]
Dalam pendekatan model hermeneutik, sebuah teks merupakan sesuatu yang harus dibaca dan kemudian ditafsirkan. Uraian bukanlah sesuatu yang memiliki hubungan sebab-akibat, tetapi pengertian-pengertian yang ada di balik teks tersebut. Langkah penting dalam hermeneutik adalah interprestasi atau tafsir. Menafsir berarti mengungkapkan dengan sejelas-jelasnya apa yang diacu oleh sebuah teks. Yang paling penting dalam menafsir, adalah bagaimana si peneliti dapat mengemukakan data yang mampu memperkuat atau mendukung tafsir yang dikemukakannya. Dengan didukung oleh data yang kuat maka tafsir akan menjadi logis, masuk akal serta mempunyai dasar yang dapat dipertanggung-jawabkan. Tafsir terhadap fenomena budaya yang diberikan sipeneliti, tentu saja dengan memperhatikan pandangan masyarakat pemiliknya.[2]
Dalam tulisan ini tidak akan disinggung lebih jauh model pendekatan kontekstualistik dan pendekatan tekstual dengan model hermeunetik. Pembahasan akan ditujukan pada model pendekatan struktural yang dikembangkan oleh Lévi-Strauss dan disertai dengan paparan teori-teori yang dipakainya dalam penelitian suatu fenomena budaya.


B.    Pendekatan Strukturalisme Lévi-Strauss
Analisis struktural merupakan pendekatan yang bertujuan  melihat sesuatu fenomena kebudayaan sebagai teks yang dapat dibaca. Menurut model pendekatan tekstual, fenomena budaya apapun bentuknya dapat dipahami sebagai sebuah peristiwa yang dapat dibaca dan ditafsirkan keberadaannya memalui sistem analisis struktural. Keberadaan teks tersebut akan dilihat dari unsur-unsur yang saling terkait. Kesatuan hubungan antar unsur-unsur hanya akan bermakna dalam hubungannya dengan unsur-unsur lain.
Secara umum, dalam pendekatan strukturalisme sebuah teks dipandang sebagai sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang saling terjalin dan kemudian membangun teks sebagai sebuah keutuhan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dengan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua aspek fenomena budaya yang pada akhirnya secara bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Dijelaskan oleh Ahimsa Putra bahwa pengertian struktur menurut Lévi-Strauss adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan segala gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi. Dengan kata lain struktur adalah relations of relations atau system of relations.[3]
Claude Lévi-Strauss lahir di Brussles, Belgia pada tanggal 28 Nopember 1908, merupakan keturunan Yahudi, anak seorang pelukis dan cucu seorang rabi. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang kesepian, karena introspeksinya, karena pemikirannya, dan karena bacaannya. Lévi-Strauss kecil banyak menghabiskan waktu untuk bersepkulasi tentang alam dengan selalu mengumpulkan benda-benda aneh seperti batu, kerikil, dan tanaman yang disebutnya bricolage.[4] Kegemaran inilah yang mengantarkannya menjadi peneliti dalam bidang antropologi.
Sebenarnya pendidikan awal Lévi-Strauss bukanlah antropologi, karena pada tahun 1927 Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama juga belajar filsafat di Universitas Sorbonne. Karir Lévi-Strauss dibidang antropologi dimulai pada tahun 1935, sewaktu dia mendapat kesempatan menjadi pengajar pada bidang sosiologi di Universitas Sao Paulo Brazil. Selama menjadi pengajar di Brazil itulah Lévi-Strauss mendapat kesempatan untuk mengadakan ekspedisi ke daerah-daerah pedalaman Brazil.
Pada tahun 1940 saat perang dunia ke II, Lévi-Strauss pindah ke Amerika dan menetap di New York. Kepindahannya ke Amerika lebih disebabkan oleh persoalan rasial (Lévi-Strauss seorang Yahudi). Saat itu Prancis dikuasai oleh Jerman yang anti Yahudi. Ketika di New York, kecenderungan struktural yang sudah lama ada dalam diri Lévi-Strauss berkembang dan menjadi matang, berkat pertemuannya dengan ahli bahasa dari Rusia, Roman Jakobson. [5]
Persentuhan Lévi-Strauss dengan Roman Jakobson ini membawanya lebih dalam untuk mempelajari linguistik struktural, yang akhirnya menjadi dasar dari teori antropologi budaya Lévi-Strauss. Analisis struktural ala Lévi-Strauss tersebut bersumber pada ilmu bahasa struktural (structural linguistics) Ferdinand de Saussure.
Diterangkan oleh Edith Kurzweil bahwa kajian bahasa stuktural Saussure dipandang oleh Lévi-Strauss sebagai sebuah sistem mandiri yang mendalilkan adanya suatu hubungan dinamis antara komponen setiap tanda linguistik, yaitu sistem bahasa (langue) dan tuturan individu (parole), serta antara citra bunyi (signifier) dan konsep (segnified). Berdasarkan atas dualisme tersebut, Lévi-Strauss menerapkan dengan sungguh-sungguh model analisis fonemik (yang dilakukan Jakobson), yang dalam lingustik struktural bertujuan untuk membuktikan bahwa struktur semua bahasa selalu mengikuti garis biner konstruksi paralel.[6]
Ahimsa Putra juga menerangkan hal yang sama dengan Edith Kurzwei, bahwa ada dua aspek yang menjadi dasar teori Lévi-Strauss yang diambil dari linguistik struktural, yaitu: 1) aspek bahasa (langue) dan tuturan individu (parole), dan 2) perbedaan antara aspek paradigmatik dan aspek sintagmatik dari bahasa.
Menurut Lévi-Strauss, sebagaimana halnya fenomena bahasa, fenomena sosial budaya juga dapat dikatakan memiliki aspek bahasa (langue) dan aspek tuturan individu (parole). Langue adalah aspek sosial dari bahasa, atau aspek struktural dari bahasa. Adanya aspek inilah yang memungkinkan kita menggunakan bahasa dalam komunikasi kita dengan orang lain yang mengenal bahasa yang sama. Aspek dari bahasa, dengan demikian tidak lain adalah tata-bahasa atau aturan-aturan yang ada pada ranah fonologis, morfemis, sintaksis dan simantis, yang pada umumnya bersifat tidak disadari atau tidak diketahui oleh pemakai bahasa itu sendiri. Walau tidak disadari bukan berarti aturan-aturan dari bahasa itu tidak ada. Parole atau tuturan merupakan aspek individual atau statistikal dari bahasa. Setiap orang akan memiliki parole yang berbeda-beda. Parole dapat dikatakan sebagai gaya atau style, seseorang individu menggunakan suatu bahasa.
Aspek paradigmatik dan aspek sintagmatik dari bahasa adalah faribel berikut yang juga mempengaruhi Lévi-Strauss. Suatu bahasa diwujudkan secara berurutan. Kata-kata diucapkan tidak pernah bersama-sama dan tidak pernah ada dua kata diucapkan sekaligus. Aspek bertutur secara linier dalam bahasa inilah yang disebut dengan sintagmatik. Aturan-aturan yang mengendalikan dalam aspek ini merupakan suatu yang nir sadar.
Aspek paradikmatik terdapat dalam hubungan asosiatif antara kata-kata yang ada dalam suatu kalimat atau tuturan dengan kata lain yang ada di luar kalimat tersebut. Dicontohkan oleh Ahimsa Putra dengan kata ‘desa’. Dalam kalimat ‘saya tinggal di desa’, kata desa dapat digantikan dengan kata kota, kampung dan lain sebagainya. Dengan contoh itu dapat dipahami bahwa pada dasarnya bahasa mengandung aspek sintagmatik dan paradikmatik sekaligus. Dasar teori ini juga dapat dipergunakan dalam melihat fenomena budaya yang lain, contohnya karya seni.[7]
Menurut Lévi-Strauss fenomena kebudayaan dapat dilihat sebagai suatu fenomena kebahasaan. Alasan yang paling mendasari kenapa model pendekatan linguistik dapat digunakan untuk melihat fenomena kebudayaan, adalah karena; 1) bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. 2) karena bahasa bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan, dan 3) bahwa bahasa merupakan kondisi dari kebudayaan.
Bahasa sebagai kondisi bagi kebudayaan ini dapat berarti dua hal pula yakni; 1) dalam arti diakronis, maksudnya bahasa mendahului kebudayaan karena melalui bahasalah manusia mengetahui budaya masyarakat, dan 2) dalam arti bahasa merupakan kondisi bagai kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan materi yang membentuk kebudayaan itu sendiri.
Dari ketiga alasan kenapa linguistik dapat dipakai untuk pengamatan fenomena budaya tersebut, Lévi-Strauss lebih tertarik pada alasan yang ketiga bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Adanya semacam korelasi antara bahasa dan kebudayaan bukanlah karena adanya semacam hubungan sebab akibat (kausalitas) antara bahasa dan kebudayaan, tetapi karena keduanya merupakan produk atau hasil dari aktivitas nalar manusia.[8]
Dengan dasar teori struktural bahasa itulah Lévi-Strauss berhasil melihat sesuatu di balik penampakan karya manusia. Sesuatu di balik benda (wujud karya) tersebut bukan lagi berupa visi atau misi, melainkan berupa nilai atau makna yang secara tidak sadar telah membentuk ide, gagasan, atau pemikiran seseorang. Dengan dimikian dapat dikatakan apapun yang ada di dunia ini, menurut pandangan Lévi-Strauss merupakan sistem yang memiliki struktur-struktur yang mengaturnya. Dijelaskan bahwa, arti timbul dari keadaan tanpa arti, dan arti itu sekedar hasil sekunder dari permainan diferensial tanda-tanda dan penanda-penanda (signifiant). Dalam Strukturalisme tatanan signifiant atau penanda mendahului makna, dengan kata lain bahwa berbicara tentang adanya manusia sebenarnya bukanlah sebagai subjek, sebaliknya adanya dan struktur itu sendiri berbicara tentang dirinya melalui pembicaraan manusia tentang adanya.[9]
Dalam analisis struktural itu, Lévi-Strauss membedakan struktur menjadi dua macam; struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasar atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut, sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fonomena yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil diketemukan atau dibangun. Lebih jauh dijelaskan bahwa struktur dalam inilah yang lebih tepat dipakai sebagai model memahami fenomena yang diteliti, karena melalui struktur inilah peneliti kemudian dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya.[10]
Konsep pemikiran Lévi-Strauss sangat berbeda dengan konsep pemikiran Radcliffe-Brown dengan teori struktural fungsionalnya. Apabila Radcliffe-Brown mencari struktur itu di dalam kenyataan yang dapat diamati, sedangkan Lévi-Strauss mencari di balik kenyataan yang dapat diamati. Struktur diamati melalui keteraturan hakiki yang memberikan bentuk pada kenyatan yang terlihat susunan (konfigurasi) gejala-gejala tertentu sebagai keteraturan yang khas. Lévi-Strauss melihat struktur sebagai sesuatu yang menerangkan mengapa konfigurasi itu demikian, sedangkan Radeliffe-Brown melihat struktur adalah apa yang terlihat dari luar pada keterkaitan dalam konfigurasi itu.[11]
Selain konsep strukutur, Lévi-Strauss juga memakai konsep transformasi. Transformasi yang dimaksud disini perlu dibedakan dengan pengertian transformasi sebagaimana umumnya diketahui. Secara umum dikenal pengertian transformasi sebagai perubahan, sedangkan transformasi yang dimaksud Lévi-Strauss adalah ‘alih rupa’. Perbedaan yang paling nyata antara keduanya adalah bahwa dalam konsep perubahan terkandung pengertian proses berubahnya sesuatu ke sesuatu dalam ruang dan waktu tertentu. Adapun ‘alih rupa’ adalah suatu perubahan yang terjadi pada tataran muka, sedangkan pada tataran yang lebih dalam perubahan tersebut tidak terjadi.[12]
C.    Lévi-Strauss: Segitiga Kuliner, Sistem Kekerabatan dan Azas Klasifikasi Elementaer
1.   Metode Segitiga Kuliner
Dalam metode-metode yang dikembangkan oleh Lévi-Strauss, dikenal metode segitiga kuliner (triangle culinaer). Metode ini diterapkan untuk mengamati unsur-unsur makanan yang dikonsumsi manusia. Beberapa pengamat mengatakan, alasan ketertarikan Lévi-Strauss mengamati makanan adalah karena makanan merupakan kebutuhan alamiah manusia maupun binatang. Makanan dipakai oleh Lévi-Strauss untuk menjelaskan antara sesuatu yang alami dan produk budaya.
Dalam pengamatannya, Lévi-Strauss menjelaskan bahwa makanan manusia terdiri dari tiga jenis, yaitu; 1) makanan melalui proses pemasakan, 2) melalui proses fermentasi, dan 3) makan yang mentah, jadi yang bebas dari salah satu proses (non-élaboré). Akal manusia akan memilih untuk memanfaatkan makanan yang ingin dikonsumsinya, baik yang ‘bebas dari proses’ ataupun yang memalui ‘proses’.
Lévi-Strauss menjelaskan, makanan yang melalui proses ada dua yaitu; proses fermentasi dan proses di masak. Makanan yang melalui proses fermentasi adalah merupakan sesuatu yang alami, dan yang melalui proses dimasak merupakan kebudayaan, sedangkan makanan yang mentah ditempatkan oleh Lévi-Strauss sebagai bagian dari alam dan kebudayaan. Makanan mentah digolongkan pada makanan alam karena ia tidak melalui proses pengolahan oleh manusia, dan digolongkan pada makanan yang diproses adalah karena sumber makanan berupa tumbuhan harus terlebih dahulu ditanam dan makanan berupa hewan harus lebih dahulu diperlihara atah diburu.[13] Berikut di bawah ini dapat diamati bagan segitiga kuliner yang ditulis Koentjaraningrat.
Bebas Dari Proses                                           Kebudayaan Alam
(non- élaboré)
Mentah


 





Kena Proses                                           Dimasak                Fermentasi


Bagan 1:
Segitiga Kuliner


2.   2. Analisa Sistem Kekerabatan
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa analisis terhadap struktur sosial yang dilakukan oleh Lévi-Strauss, khususnya pada sistem kekerabatan dimulai dengan keluarga inti. Ada tiga hubungan yang terdapat dalam keluarga inti, yaitu: 1) hubungan darah, yang merupakan hubungan dengan saudara-saudara sekandung, 2) hubungan perkawinan, dan 3) hubungan keturuan, seperti hubungan antara ayah dengan anak-anaknya dan hubungan ibu dengan anak-anaknya.
Menurut Lévi-Strauss ada dua sikap dalam hubungan kekerabatan, yaitu sikap positif dan sikap negatif. Yang dimaksud dengan hubungan positif adalah sikap bersahabat, hangat, mesra, dan cinta mencintai, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan yang berdasarkan sikap sungkan, resmi, dan menghormat.
Dalam hitopesisnya dijelaskan bahwa hubungan antara saudara sekandung dan hubungan karena perkawinan selalu bertentangan kebutuhan. Seseorang individu biasanya akan bersikap positif dalam bubungannya dengan saudara sekandungnya, tetapi negatif dalam hubungan dengan iparnya. Dalam garis keturunan materinial misalnya, hubungan positif akan terjalin antara anak dengan keluarga keturunan ibu, sedangkan dalam garis keturunan patrilineal maka anak akan lebih dekat dengan keluarga keturunan ayah.
Lévi-Strauss mengemukan dua hipotesa yang kontras tentang hubungan kekerabatan ini, yakni: 1) apabila hubungan ayah dan anak positif maka hubungan antara anak dengan kerabat ibu adalah negatif; sebaliknya apabila hubungan ayah dan anak negatif maka hubungan anak dengan kerabat ibunya adalah positif, 2) apabila hubungan antara suami dan isteri itu positif, maka hubungan antara saudara sekandung pria dan wanita adalah negatif; dan sebaliknya apabila hubungan antara suami dan isteri itu negatif, maka hubungan antara saudara sekandung pria dan wanita itu positif.
Hipotesa Lévi-Strauss tersebut didasar pada beberapa penelitian etnografinya, contohnya adalah mengenai keluarga inti dalam masyarakat penduduk kepulauan Trobriand, yang mempunyai sistem keturunan matrilineal. Hubungan suami istri yang saling mencintai pada masyarakat Trobriand adalah hubungan yang hangat dan mesra, maka ini disebut dengan hubungan positif. Sebaliknya ikatan suami istri ini akan menimbulkan bentuk  hubungan yang mengekang antara suami dan saudara istri. Hubungan itu akan dikekang oleh berbagai pantangan dan suatu adat sopan santun pergaluan yang ketat dan resmi.
Seorang Pria Trobriand akan merasa tersinggung apabila orang lain mengatakan bahwa wajahnya mirip wajah adik wanitanya. Sikap semacam ini dikatakan oleh Lévi-Strauss sebagai hubungan negatif. Orang Trobriand biasanya bergaul sangat santai dan bersahabat dengan ayahnya, berdasarkan suatu sikap saling menolong, sebaliknya, suatu sikap yang formal dan menghormati apabila seseorang berhadapan dengan pamannya dari pihak ibu.[14]
Selain menganalisis hubungan kekerabatan keluarga inti, Lévi-Strauss juga mengamati sistem perkawinan antara kelompok kekerabatan. Pada dasarnya konsepsi tukar-menukar wanita antar kelompok berawal dari konsepsi pantangan inseste, yaitu pantangan nikah antara saudara sekandung. Setiap orang dari satu kelompok akan mencari dan merebut wanita dari kelompok lain, hal ini mengakibatkan kelompok itu saling mempertahankan diri. Pada perkembangannya ada suatu kelompok tidak keberatan wanitanya diambil asalkan diganti dengan wanita dari kelompok yang mengambil tersebut. Proses tukar-menukar itu mengakibatkan terjalinnya hubungan kekerabatan antar dua kelompok tersebut dan tentu saja mengakibatkan kedua kelompok itu makin kuat. Hal serupa ditiru oleh kelompok lain. Akhirnya tukar-menukar wanita itu terjadi, semakin luas dan kompleks yang tersusun berdasarkan aturan-aturan yang membatasinya.
Lévi-Strauss mengemukakan teori umum mengenai sistem kekerabatan berdasarkan konsep tukar-menukar wanita, dimulai dengan membedakan golongan sistem kekerabatan dengan dua katergori struktur, yaitu; 1) structures élémentaires, atau struktur-struktur elementer dengan aturan-aturan yang tegas, yang mangakibatkan bahwa para warga kelompok kekerabatan yang bersangkutan mengetahui dengan gadis atau wanita mana, dari kelompok mana, mereka dapat menikah, dan 2) structures complexes atau struktur-struktur kompleks, dengan atauran-aturan yang hanya membatasi kelompok kekerabatan sendiri, tetapi tidak mempunyai aturan-aturan yang tegas, yang menentukan dengan gadis atau wanita mana di luar kelompok sendiri itu seseorang boleh menikah. Struktur-struktur elementaer terjadi sebagai akibat dari berbagai macam peraturan perkawin antara saudara sepupu silang (cousins croises), sedangkan struktur-struktur kompleks terjadi sebagai akibat dari usaha pria mendapatkan wanita untuk calon istrinya berdasarkan perjanjian mas kawin, pilihan sendiri, dan konsiderasi ekonomi lainnya, atau berdasarkan alasan-alasan politik.
Lévi-Strauss menyimpulkan teorinya, bahwa ada dua macam struktur elementer yang terjadi sebagai akibat dari cara tukar-menukar wanita, yaitu: 1) struktur ‘tukar-menukar terbatas’ (l’échange restraint), yang dapat dibagi dengan struktur ‘tukar-menukar kontinu (l’échange continue) dan struktur ‘tukar-menukar tak kontinu (l’échange discontinue), dan 2) struktur ‘tukar-menukar luas (l’échange généralisé).
Struktur tukar-menukar terbatas adalah struktur yang paling sederhana, karena dalam interaksi itu hanya diperlukan dua kelompok yang saling memberi dan saling menerima. Struktur tukar-menukar meluas memerlukan lebih dari dua kelompok, yaitu paling sedikit tiga, tetapi dapat juga empat, delapan, atau lebih. Struktur itu berfungsi paling rapi apabila satu kelompok memberi wanitanya kepada kelompok kedua, kelompok kedua memberi wantia kepada kelompok ketiga demikian seterusnya.[15]


3.   Azas klasifikasi elementer
Pada bagian ini akan dijelaskan cara Lévi-Strauss dalam menjelaskan apa yang secara elementer dipergunakan oleh akal manusia untuk mengklasifikasikan seluruh alam semesta dan beserta segala isinya. Cara yang paling elemeter membagi alam semesta ke dalam dua golongan berdasarkan ciri-ciri yang saling kontras, bertentangan, atau merupakan kebalikannya yang disebut dengan cara binary opposition atau oposisi pasangan. Dua golongan ini bisa bersifat mutlak berupa gejala alam seperti bumi/langit, suatu keadaan seperti hidup/maut, mahluk seperti manusia/binatang, kaum kerabat penerima gadis/kaum kerabat pemberi gadis, dan lain sebagainya.
Konsep elementar pembagian ke dalam dua golongan yang relatif, telah menimbulkan konsep akan adanya golongan ketiga yang bisa menempati kedua kedudukan dalam kedua pihak dari satu pasangan binari. Pihak ketiga itu dalam cara berfikir bersahaja dianggap merupakan suatu golongan antara yang memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, namun tidak tercampur, melainkan saling terpisah dalam keadaan yang berlainan.[16]
Sebagai contoh konsep pembagian tentang jenis kelamain manusia, yaitu ada laki-laki dan wanita. Kedua ini menunjukkan oposisi binner yang saling berlawanan akan tetapi berpasangan. Namun diantara katagori yang dua ini, kita juga mengenal kategori ketiga di muka bumi ini, yakni kaum waria. Kategori seperti ini yang dimaksud oleh Lévi-Strauss dengan kategori yang memiliki ciri-ciri dari kedua belah pihak, yaitu ciri laki-laki dan perempuan.
Teori klasifikasi ini dipergunakan oleh Lévi-Strauss untuk menganalisis ratusan mitos, terutama yang berada di benua Amerika. Pada kenyataanya menurut Lévi-Strauss hampir secara universal, manusia dalam akal pikirannya merasakan dirinya kerabat atau berhubungan dengan hal-hal tertentu dalam alam semesta sekelilingnya, atau dengan manusia-manusia tertentu dalam lingkungan sosial budaya, yaitu dia merasa dirinya bertoteman dengan hal-hal itu.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa totemisme bukanlah hal yang istimewa, yang hanya ada dikalangan orang-orang primitif saja. Struktur berfikir seperti orang primitif dalam memperlakukan totem juga terdapat dalam struktur berfikir manusia modern. Dengan jelas Lévi-Strauss menunjukkan bahwa totemisme pada dasarnya tidak lebih dari suatu bentuk sistem klasifikasi yang diterapkan oleh manusia pada dunia sosialnya dengan menggunakan sarana atau konsep-konsep yang diambil dari lingkungan alam di sekitar mereka. Oleh Lévi-Strauss disebut dengan “the science of the concrete”. Sains seperti ini menurut Lévi-Strauss tidak beda prinsipnya dengan sains modern yang kita miliki. Bedanya hanya terletak pada sarana yang kita gunakan. Kalau kita melakukan klasifikasi atas dunia disekeliling kita dengan membuat konsep-konsep baru, maka tidak demikian halnya dengan suku-suku bangsa yang mengenal totemisme. Mereka menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki, yang mereka pakai untuk mengkatergorisasikan lingkungan di sekitar mereka, untuk menyampaikan ide-ide absrak mereka.
Hal semacam ini dimungkinkan karena mereka dapat melihat kesejajaran atau homologi antara fenomena alam dengan fenomena sosial mereka. Cara kerja seperti ini mirip dengan cara kerja tukang atau ‘bricoleur’, yang jika ingin membuat sesuatu dia melakukannya berdasarkan atas apa-apa yang telah dimilikinya lebih dulu. Dengan apa yang ada itulah dia membuat suatu barang baru yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Cara kerja ‘tukang’ ini menurut Lévi-Strauss tumbuh pada suku-suku bangsa yang masih primitif.
Cara kerja seperti itu juga dipergunakan oleh seorang ‘engenieur’. Seorang insinyur jika ingin membuat sesuatu akan lebih dulu merencanakan apa yang akan dibuatnya, dan baru kemudian dia akan mencari alat dan bahan yang diperlukan untuk membuat sesuatu tersebut. Totemisme, menurut Lévi-Strauss, pada dasarnya adalah suatu bentuk klasifikasi atas dunia alam dan sosial dengan cara yang digunakan oleh seorang tukang. Masyarakat-masyarakat primitif atau sederhana menggunakan perangkat yang ada, yakni kategori-kategori dari alam, untuk mengekspresikan pandangan dan pengetahuan mereka tentang dunia sosial mereka.[17]
D.    Penutup
Lévi-Strauss sebagai orang yang telah diakui mampu mematangkan teori strukturalisme tetaplah tidak lepas dari berbagai kritik. Seperti  kata pepatah, ‘tak ada gading yang tak retak’, teori-teori Lévi-Strauss juga menuai kritik dari beberapa ahli lain.
Beberapa kritik dalam bentuk metodologi yang dilontarkan oleh berberapa ahli adalah sebagai berikut: Pertama, mempertanyakan apakah fakta sosial dan bahasa boleh dipertalikan seperti yang lakukan oleh Lévi-Strauss. Pandangan Lévi-Strauss bahwa struktur sosial tidak berhubungan dengan kenyataan empiris, tetapi menunjuk pada ‘model-model yang disusun menurut acuan struktur, mengandung berbagai pengertian dan banyak dipertanyaan. Apakah analisis struktural cukup berhenti pada analisis terhadap seluruh relasi formal dan logis dari sebuah sistem padahal ia kurang memperdulikan segala isi nyata dari pengalaman yang hidup serta seluruh kenyataan semantis. Lévi-Strauss dalam analisis terhadap mitos misalnya, dianggap orang yang begitu senang dengan prinsip resiprositas (oposisi binner) dan asik mencari aturan-aturan formal transformasi, sehingga kurang sempat mendengarkan apa yang dikatakan oleh mitos itu sendiri, yang berakibat terabaikanya hermeneutik semantis. Jika seluruh hidup kemasyarakatan akhirnya dikembalikan pada permainan struktur dan sistem paksaan mental yang anonim dan menentukan pola-pola hidup sosial, maka antropologi sosial kehilangan ciri manusiawinya, padahal antropologi justru ingin mempelajari segala bentuk hidup kemasyarakatan asli.
Kritik lain mempersoalan keabsahan oposisi tajam dalam teori segi kulinier dari alam dan kebudayaan. Oposisi alam dan kebudayaan merupakan kerangka pokok untuk memahami larangan inses (perbuatan sumbang) dan cara-cara mempersiapkan terjadinya peralihan dari yang satu ke yang lain. Apakah larangan inses dapat dimengerti secara tuntas dengan cara itu? Apakah larangan inses yang merupakan titik silang antara alam (biologi) dan kebudayaan (sistem peraturan) itu betul-betul merupakan peraturan yang universal?
Kritik berikutnya mengenai titik tolak filosofis pikiran manusia. Benarkah dalam kodrat manusia ditemukan sejenis mekanisme penyusunan yang berfungsi secara nir sadar? Benarkah strukturalisme mereduksi manusia menjadi ‘cyberanthropos’ (manusia mesin kibernetis) yang dikuasai dan ditentukan oleh seluruh struktur, aturan berpikir dan bahasa yang apda dasarnya tidak berubah, sehingga manusia sebagai subjek tidak berdaya sedangkan kebebasanya merupakan kayalan semata?
Berikutnya juga dipersoalkan masalah ‘sejarah’. Metode analisis struktural yang sangat menitikberatkan pentingnya sifat-sifat sinkronis struktur dan agak meremehkan ciri diakronisnya, cenderung mengabaikan sejarah. Upaya untuk menggarisbawahi hal-hal yang tetap dan invarian membuktikan bahwa unsur ’sejarah’ kurang dimengerti. Hal ini mengakibatkan lenyapnya manusia sebagai makhluk historis yang justru melampaui struktur-struktur yang bersifat statis.[18]
Apa yang telah diurai dalam tulisan ini memanglah belum sepenuhnya dapat menjelaskan tentang Lévi-Strauss dan kedahsayatan dari bahtera ilmu yang dimilikinya. Akan tetapi butir demi butir yang terangkai dalam tulisan ini diharapkan dapat membantu untuk memahamami Lévi-Strauss beserta dasar-dasar teori-teori yang mendasari pengamatannya terhadap disiplin sosial khususnya antropologi.


*Diajukan kepada Prof. Dr. Kodiran M.A., sebagai tugas untuk matakuliah Teori Kebudayaan pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Dan Seni Rupa, derajat Sarjana S-2, Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, Sekolah Pasca-sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Juni 2005.
[1]Heddy Shri Ahimsa Pustra, Wacana Seni Dalam Antropologi Budaya: Tekstual, Kontekstual dan Post-Modernistis, dalam Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 400.
[2]Heddy Shri Ahimsa Pustra, 2000, 405.
[3]Heddy Shri Ahimsa Pustra, Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastranya (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 61.
[4]Edith Kurzweil, Jaring Kuasa Strukturalisme: Dari Lévi-Strauss sampai Foucault, Terj. Nurhadi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), 19.
[5]Heddy Shri Ahimsa Putra, 2001, 14.
[6]Edith Kurzweil, 23.
[7]Heddy Shri Ahimsa Pustra, 2000, 409.
[8]Heddy Shri Ahimsa Pustra, 2001, 27.
[9]Claude Lévi-Strauss, Mitos Dukun & Sihir, Terj. Agus Cremers (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 25.
[10]Heddy Shri Ahimsa Pustra, 2001, 62.
[11]J. Van Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya, Jilid 2 (Jakarta: Gramedia, 1988), 91.
[12]Heddy Shri Ahimsa Pustra, 2001, 62.
[13]Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, cetakan ke dua (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), 213.
[14]Koentjaraningrat, 216.
[15]Koentjaraningrat, 218-225. 
[16]Koentjaraningrat, 225-232.
[17]Octavio Paz, Lévi-Strauss Empu Antropologi Struktural (Yogyakarta: LKiS, 1997), xxxviii.
[18]Claude Lévi-Strauss,  18.

0 Response to "Claude Lévi-Strauss: Si Empu Strukturalisme*"