Manusia Modern ”Membakar Dirinya’’


Manusia Modern ”Membakar Dirinya’’
Oleh: Ahmad Tamimi

Sengaja topik ini diangkat karena menimbang dua alasan, pertama: kita masih berada dalam suasana tahun baru 1433H/2012M, mungkin dapat dijadikan sebagai momentum perbaikan menuju perubahan.

Kedua, sebagai upaya merespon sikap atau perilaku beragama masyarakat modern yang seola-olah manusia dan agama masing-masingnya berada pada posisi yang otonom. Benarkah demikian?

Beragama merupakan gejala universal, seorang pemikir berkebangsaan Perancis yang bernama Begrson pernah menulis, ‘’Kita pernah menemukan masyarakat tanpa sains, seni dan filsafat, tapi tidak pernah ditemui kehidupan masyarakat tanpa agama didalamnya’’.

Dalam kajian sejarah ilmu sosial, juga ditelusuri terkait dengan kenapa orang bergagama, pertama, ketidakmampuan mengatasi bencana.

Kedua, ketidakmampuan melestarikan sumber daya dan keharmonisan alam, seperti menjaga matahari tetap bersinar, padi tetap menjadi dan hujan terus turun.

Ketiga, ketidakmampuan mengatur tindakan manusia untuk tetap dapat hidup damai (dalam Bustanudin Agus: 2008, 45)

Kalaulah ketiga faktor ini yang menyebabkan manusia beragama, maka hari ini dapat dikatakan bahwa agama hanya sebatas untuk masyarakat pra-logis atau primitif.
Sedangkan masyarakat modern tentu tidak perlu, sebab kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi hampir telah mampu menjawab semua persoalan-persoalan itu.

Betapa tidak, semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi semakin terungkap pula tabir kebenaran dan kebesaran Sang pencipta.

Tapi anehnya semakin terbukti kebenaran itu justru makin menjauhkan manusian dari Allah.

Prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong manusia untuk menumbangkan mitos kesakralan alam raya, semua harus tunduk dan berpedoman pada kedikdayaan rasio-ilmiah.

Realitas alam yang diselubungi metafisika dan kebesaran Tuhan, kini semata-mata hanya dipahami sebatas benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan, untuk selanjutnya Tuhan hampir ‘’dipensiunkan’’ dari semua aktivitas kehidupan manusia.

Dalam arti kata tidak lagi memerlukan campur tangan dan pertolongan Tuhan.

Mereka sudah menganggap diri sebagai makhluk yang sudah dewasa dan bebas menentukan pilihan sendiri, ucapan selamat tinggal kepada Tuhan pun dikumandangkan seiring berlansungnya proyek modernisme.

Jasa yang dikembangkan Descartes dalam sebuah revolusi intelektual ternyata memisahkan manusia dari Tuhannya, dalam waktu yang bersamaan juga telah memisahkan antar sesama manusia.

Rasionalisme telah menutup pintu kearifan. Nilai-nilai ketuhanan hampir punah dan nilai-nilai kemanusiaan juga mulai sirna.

Pengabdian, solidaritas sosial dan kasih sayang antar sesama mulai tergeser oleh simbol-simbol materi yang menjadi ukuran dominan.

Kemajuan ilmu pengetahuan yang bersifat materi tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga menyebabkan masyarakat hilang keseimbangan.

Itulah sebabnya Seyyed Hossein Nasr mengungkapkan bahwa manusia modern telah membakar dirinya, orientasi hidup amat pendek, mereka telah lupa hakikat keberadaannya, kini telah menjadi taghut-taghut (Tuhan kecil) yang berupaya berdiri sendiri dalam hakikat ketidak berdayaannya sebagai makhluk.

Tentu sekarang kita harus mengkaji dan merenung kembali, apakah benar manusia makhluk otonom dari Tuhan dan agamanya. Dalam perspektif Islam manusia dan Tuhan serta agama merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Secara implisit tentu sangat jelas bahwa manusia dan agama adalah makhluk, sedangkan Tuhan sang khaliq.

Hubungan itu tentu tidak sebatas pada ekspedisi pisik semata tapi juga jiwa, yang merupakan refresentasi dari diri manusia itu sendiri yang menjadi duta diri untuk menuju Tuhan.

Kilas balik janji primordial antara manusia dan Allah SWT telah nyata disinggung-Nya dalam (Qs Al-Araf/7:17). Sebagai bukti adanya hubungan erat. Ketika itu Allah bertanya.

 ‘’Apakah Aku ini adalah Tuhanmu?, lalu manusia menjawab, benar engkau adalah Tuhanku, aku akan siap menyembah dan mengabdi hanya kepadamu’’.

Lalu, untuk memperkuat komitmen itu ketika di alam dunia manusia dibekali dengan ajaran agama sebagai jalan, jadi yang tidak mengikuti jalan itu pasti ia akan tersesat.

Tapi entah kenapa setelah lahirnya ke alam dunia mereka lupa, sehingga tanpa bimbingan agama jiwanya menjadi gersang dipenuhi dengan bintik-bintik hitam.

Sang diri tidak lagi murni dikendalikan oleh diri sejati, tapi lebih dikuasai oleh nafsu keduniaan yang oreintasinya sangat pendek. Sungguh ini adalah kesesatan yang nyata.

Inilah potret manusia modern yang telah mengisi ruang kehidupan saat ini. Sehingga masing-masingnya berlomba-lomba mengejar materi dan dalam waktu yang bersamaan manusia juga telah berlomba-lomba mengkhianati diri dan Tuhannya.

Dalam kondisi ini ternyata kita harus cepat menarik diri dan menyadari bahwa manusia adalah khalifah Allah di muka bumi sebagai perpanjang tangan Tuhan untuk mewujudkan kedamaian, kesejahteraan serta keadilan.

Meyakini segala sesuatunya dari Tuhan, tentu nafas kehidupan harus sesuai dengan irama ketuhanan, sebab kalau tidak kita akan sirna.

Jadi, sekarang marilah kita kembali keagama-Nya membersihkan jiwa yang telah dikotori oleh kesalahan dan kekhilafan masa lalu, karena sesungguhnya Tuhan maha penyayang.

Rasa sayang itu dibuktikan dengan diturunkannya ritual-ritual seperti rentetan rukun Islam yang lima perkara, tujuannya tidak lain adalah sebagai media pengabdian dan pensucian jiwa seperti sucinya jiwa sewaktu kita dilahirkan.

Jadi, sangatlah logis ketika dipinjamkan jiwa itu dalam keadaan bersih, maka saat mengembalikan juga harus dalam keadaan bersih. Itulah pertanggungjwaban hidup.***

Pernah dimuat di Riau POS 20 Januari 2012 - 09.37 WIB > Dibaca 79 kali


Juga Batam Pos, Haluan Kepri 3 September

0 Response to "Manusia Modern ”Membakar Dirinya’’"