Mahasiswa; Antara Status dan Pengetahuan


Mahasiswa; Antara Status dan Pengetahuan
Mahasiswa adalah orang yang mengikuti proses pendidikan di perguruan tinggi yang berpikir radikal, kritis, analitis, ilmiah, objektif dan hanif  (selalu berpihak pada kebenaran). Ketika teori ini kita bentang di tengah realitas kehidupan mahasiswa saat ini hasilnya mungkin terlihat premature. Karena isu-isu yang berkembang beberapa tahun terakhir hingga kini masih lantang terdengar di telinga bahwa prilaku mahasiswa cenderung bertolak belakang dari identitasnya. Identitas yang kian lama disematkan hingga kini belum juga kunjug menjelma di permukaan. Jika ciri yang disematkan itu tidak lagi melekat  pada pribadinya tentu kita bertanya siapa sesungguhnya mahasiswa?. Mungkinkah mereka hadir dalam identitas baru, yang  tidak lagi menggunakan ciri yang lama. Jika ini yang terjadi, sungguh motivasi mahasiswa telah berubah arah, arah itu mungkin juga lebih mengedepankan status ketimbang motif pengetahuan.

Hari ini kita mengakui bahwa semangat para generasi untuk mengakses pendidikan di perguruan tinggi kian meningkat, tapi sangatlah mencemaskan perasaan jika semangat kuliah yang ada tidak dibarengi dengan kesadaran berkuliah. Artinya selain mereka menyandang status sebagai mahasiswa, mereka juga dituntut untuk melakukan proses secara intens agar potensi diri benar-benar terkembangkan secara maksimal, sebab jika tidak, akan dapat melahirkan generasi yang tinggi status tapi dangkal pengetahuan.
Charles mengatakan bahwa manusia adalah makhluk simbolik, yaitu adanya kecenderungan memperjuangkan simbol-simbol atau status tertentu. Tapi walaupun begitu kita juga dituntut untuk selalu berpikir subtantif, sebab tidak semua yang bersifat simbol itu adalah hakikat tapi malah sebaliknya sesuatu yang abstraklah yang menjadi hakikat. Jadi ketika berproses di perguruan tinggi, hakikat kuliah inilah yang harus dikedepakan bukan semata statusnya. karena jangan sampai kita hanya terjebak ke-wilayah formalisme-simbolik, yaitu suatu gerakan yang tergila-gila pada status tapi dari segi kualitasnya menjadi hampa makna.
Sebenarnya motif seperti ini telah membeku menjadi budaya baru di dunia mahasiswa, seperti lahirnya tujuan-tujuan dangkal yang seakan-akan kuliah hanya sebagai aktivitas untuk mencari nilai, status, pekerjaan bahkan uang semata bukan lagi kepentingan pengetahuan. Kalau begitu adanya dapat kita simpulkan bahwa umumnya orientasi mahasiswa saat ini cenderung memusatkan pikiran ke wilayah hasil dan hanya sedikit di wilayah proses. Jika ini keyataan yang terjadi maka saya sanggup mengatakan bahwa separoh kegagalan generasi kita dalam tangan, karena orang yang orientasinya cenderung kehasil umumnya mengabaikan wilayah proses, bukankah yang menetukan seseorang berkualitas atau tidak itu tergantung kepada sejauh mana serta sedalam apa ia berproses. Inilah paradigma kuliah yang salah kaprah.
Jadi, bukanlah hal yang aneh dan mengagetkan bagi kita semua jika out put perguruan tinggi selama ini tidak selalu paralel dengan kenyataan di lapangan. Lihatlah betapa banyak sarjana yang lahir tapi hampir sebanyak itu pula mereka yang tak mampu menjawab persoalan masyarakat, bukankah ini juga persoalan?.

Upaya Meluruskan Paradigma
Semua kita mungkin sudah tahu bahwa kuliah itu berasal dari bahasa Arab yaitu “kulli” yang artinya “umum”. Dari makna ini saya memahami bahwa kuliah itu merupaka proses yang sangat umum, tidaklah hanya terikat di ruang kampus, pustaka dan kos yang juga sangat terbatas itu. Rasanya terlalu dangkal jika proses yang dilalui hanya di ruang tersebut tanpa melebarkan sayap di ruang-ruang yang lain. Bukankah tiap kita punya potensi yang beragam, dan sangatlah tidak logis jika kampus mampu mengakomodir keseluruhan potensi itu. Jadi menganut pemahaman yang lebih komprehendif kuliah itu dapat dimaknai; dimanapun kita berproses selama itu ada kontribusi buat perkembangan pikiran dan hati maka itulah kuliah sesungguhnya walaupun dilakukan pada tempat yang menjijikan sekalipun.

Jadi, kuliah adalah upaya mencari pengetahuan sebanya-banyaknya agar diri bisa bernilai guna dan yang terpenting adalah mampu menjawab persoalan hidup. Ketika pengetahuan sudah tinggi maka sesorang pasti bernilai guna, ketika seseorang bernilai guna pekerjaan juga akan mudah di dapat, ketika itu uang serta materi lainnya pasti akan menyusul. Karena sangatlah tidak logis orang yang berpengetahuan akan terbuang di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, terkait dengan kuliah kita tak perlu berpikir terlalu materialis atau simbolis tapi yang terpenting adalah bumikan semangat untuk mengembangkan potensi diri agar menjadi diri yang beda. Untuk menjadikan diri yang beda tentu harus dituntuk dapat menciptakan ruang dan cara yang berbeda pula. Sebab ruang yang ada hanya akan mampu melahirkan manusia yang biasa-biasa saja, modal dasar yang kita miliki untuk menciptakan diri yang beda itu setidaknya hoby membaca, diskusi hingga menulis. Jika tidak, pasti akan menjadi mahasiswa yang aneh. Karena bagi mahasiswa membaca, diskusi dan menulis itu bukanlah persoalan hoby atau tidak tapi sebuah kemestian. Karena motiavsi ayat yang pertama turun saja Tuhan suruh kita membaca dan membaca itulah belajar mencari dan menggali pengetahuan lewat ayat-ayat yang telah Ia ciptakan

Iqra’ artinya bacalah !!!!, lanjutan dari itu baru Qalam= tulislah, jdi tidak membaca dan menulis bukan saja membuat kita jadi bodoh tapi sikap melawan Tuhan, melawan Tuhan sama dengan mencari kehancuran, kehancuran yang nyata di depan pelupuk mata kita saat ini adalah kebodohan, Bodoh membawa kepada kemiskinan, Kemiskinan akan membawa pada kekufuran. Jadi meluruskan niat untuk mencari pengetahuan merupakan wujud dari pengamalan perintah Tuhan yang sekaligus untuk menghindari kebodohan, kemiskinan serta kekufuran. Semua ini berawal dari motivasi dan paradigma, maka rubahlah untuk masa depan. Wassalam.
(Suara Kampus, 22/09/2012)
Ahmad Tamimi
HP: 085274444119
Peneliti Magistra Indonesia dan Alumni Jurusan Jinayah Siyasah

0 Response to "Mahasiswa; Antara Status dan Pengetahuan"