Generasi yang Terbelenggu


 Generasi yang Terbelenggu  
Oleh; Tamimi Ahmad

Kenyataan yang tak terelakkan adalah krisis intelektual telah merambah dunia  mahasiswa. Di sana sini hampir tak terdengar lagi wacana ilmiah yang segar dan mencerdaskan. Hiruk-pikut aktivitas yang berjalan di ruang kampus tetap saja menyimpan sejuta kesepian yang tak tekatakan namun bisa dirasakan. Walaupun rutinitas masih berjalan seperti biasa, tapi belum juga mampu memeberikan menu segar dan menyehatkan yaitu merubah suasana gersang menjadi menjadi subur dan prouktif.

Dari waktu-kewaktu perubahan yang di harapkan hampir menjadi sebatas wacana, karena kurang sensitifnya mahasiswa dalam merespon persoalan yang ada, akibatnya persoalan itu menumpuk yang secara serentak membelengu diri serta lingkungan.

Dunia serta perangkatnya terus berkembang, seiring dengan itu yang lain pun ikut berjalan beriringan sedemikian laju tapi kenapa hari ini kita masih saja berjalan di tempat?..


Mahasiswa dalam pengertian ideal yang selama ini dipahami sangat jauh melampaui realitas sesungguhnya. Sehingga bicara mahasiswa dalam tatanan teoritis sama dengan berada pada ruang yang hampa, karena sangat sulit untuk ditemukan makna yang sesungguhnya. Bila teori memberikan gambaran bahwa mahasiswa adalah kaum menengah yang berproses di perguruan tinggi mencari pengetahuan yang bercirikan kritis, rasional, objektif dan ilmiah. Sungguh agak berat untuk menerimanya, karena terlalu jauh dari realitas sebenarnya.


Lalu siapa sesungguhnya mahasiswa?, apakah sekelompok manusia yang berkumpul di tengan kota atau kampus, yang hidup di zaman modren tapi jiwa dan pikiran masih berada pada tahap primitive. Atau barang kali kita ini sudah ditentukan hidup dalam lingkaran takdir yang tak mampu berbuat dan melahirkan sesuatu yang lebih bermakna buat diri dan orang banyak, terutama mengisi kefakuman. Sangat sulit sebenarnya mengungkapkan kefakuman ini yang sampai hari ini belum juga usai, terkadang sangat mengherankan, kenapa kita masih saja nyaman dalam suasana yang beku tanpa sedikitpun merasa resah terhadap realitas yang hampir tak memberikan sesuatu yang berarti. Rutinitas yang di jalani bagaikan ritual tanpa makna. Lalu apa sesungguhnya yang ingin dicari dan berikan buat bangsa dan agama kedepan, jika tiap prosesi kehidupan mengalami kekaburan. Apakah seperti ini sesunggunya dunia mahasiswa?,

Hari ini kenapa belum ada terlihat sekelompok orang yang resah dan bertanya kenapa kita belum kunjung sadar bahwa saat ini kita berada dalam belenggu yang sedang mengurung, lalu berjuang untuk berusaha keluar penjara itu (internal maupun eksternal). Persoalan yang sangat mendasaar adalah bahwa kita belum juga sadar kalau diri sedang berada di lingkungan yang kejam. Yang senantiasa membelenggu, memrbelenggu cara pandang terhadap dunia, terbelenggu pikiran yang di tandai dengan lahirnya sikap-sikap yang apatis dan stagnan dan terbelenggu pula hati yang di tandai oleh sikap mati“rasa”, rasa bermahasiswa, berkemanusiaan bahkan rasa bertuhan sehingga yang muncul adalah prilaku kapitalis model baru yang cendrung memikirkan diri tanpa peduli terhadap visi bersama. Ia hanya berfokus untuk mewujudkan hasrat pribadi tanpa peduli terhadap realitas sosial di sekelilingnya. Inikah para calon intelektual untuk masyarakat?. Gerakannya cendrung berorientasi kepada wilayah simbolik, yaitu gerakan kejar nilai, kejar gelar, kejar status sosial, bahkan kejar kedudukan dan popularitas dengan mengabaikan proses yang sesungguhnya. Terlihat sudah bahwa kebanyakan mahasiswa hanya berada pada tahap bangga menjadi mahasiswa, tapi belum paham benar bagaimana sesungguhnya bermahasiswa.

Mereka bukan menciptakan arus atau pula sengaja mengikutinya tapi malah terbawa kelorong-lorong yang tak menentu dan tak memberikan sesuatu. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Muhammad Taufik mereka hanya bermain kedalam pusaran kehidupan yang dikonstruksi oleh orang lain tanpa berusaha menciptakan ruang sendiri yaitu ruang yang penuh dengan dinamika ilmiah yang mana di sana semua orang berpikir bahwa pengetahuan itu penting untuk mewujudkan hidup kearah yang lebih baik. Sehingga mereka merasa bahwa jadi manusia yang berkualitas itu adalah sebuah kemestian dengan cara mengikuti proses penempaan diri yang sesungguhnya pada bangku perkuliahan.
.
Ketidak mampuan Membendung Arus
Sungguh tidak bisa di pungkiri bahwa kekhawatiran ini selalu menguak kesadaran diri, di mana mendarasnya arus kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memporak-porandakan pola hidup generasi. Akibat tidak seimbangnya antara kemajuan dan pengetahuan yang dimiliki sementara“ tantangan dan perubahan eksternal berjalan sangat cepat meninggalkan kita yang tidak ikut gelombang perubahan itu.

Sungguh menyedihkan memang, generasi muda yang dalam hal ini di wakili oleh mahasiswa sebagai tempat bertumpunya harapan masa depan sampai hari ini belum juga mampu menampakkan identitasnya sebagai kaum menengah, atau di sebut juga dengan elit minority. Kita seolah-olah telah menjadi manusia kering dalam negeri yang terpasung, gerakannya menjadi lamban ketika bersinggungan dengan “the other”. Kaum muda tidak hanya kekeringan nalar tapi juga gugup bahkan kehilangan identitas. Pecahnya kemarau makna yang dirasakan beberapa waktu ini belum juga di hujani oleh gagasan segar yang menghentakkan kebekuan, para intelektual muda telah kehilangna panduan dalam berbangsa, berkelompok, berorganisasi bahkan beragma.

Satu sisi mereka diharap bisa merubah lingkungan, namun naifnya mereka juga ikut larut dalam lingkungan itu. Pada akhirnaya akan sangat sulit mendefenisikan mereka secara ideal karna ia tampil dalam bentuk identitas baru yang sangat diamitris dengan atribut yang di tompangkan selama ini. Pada sisi lain pula mereka di harapkan mampu mengembangkan budaya lokal, namun sayangnya mereka terkesima dengan budaya impor. Satu sisi lagi memompa harapan terhadap pikiran radikal rasional, kritis analis, namun otak mereka melalui perilaku mengamini cara berpikir kapitalis-hedonis. Itulah generasi latah dan bingung karna berbenturnya dua identitas yang sangat susah di logikakan. Bentrok dalam kurun waktu yang sama. Inilah amnesia yang di idap oleh para genersi sekarang, bahkan sudah ada dalam stadium kronis, sungguh mengkhawatirkan


Usaha Merubah Paradigma  
Paradigma berfikir praktis-pragmatis sungguh mengancam masa depan negeri ini, karna muara perjuangan para generasi lebih menuju kearah simbolik, seperti merebut struktur, mengejar popularitas dan pencitraan tanpa berpikir secara subtansi. Mereka mahasiswa berkuliah tapi tidak sepenuhnya mengamati proses, orientasinya bagaimana mendapatkan nilai bagus, cepat tamat, dapat ijazah lalu dapat pekerjaan. Bagi mereka inilah titik klimaks pejuangan hidup yang di impikan walaupun menurut pandangan idealisme sangat matrealis.

Maka, tidak heran jika hari ini kita temui para sarjana yang tak bisa mempertanggungjawabkan kesarjanaannya, buktinya ketika dilontarkan persoalan kebanyakan mereka tidak mampu menjawab, ketika masyarakat dalam keresahan mereka juga ikutan bingung seperti orang tak pernah mengecap pendidikan, padanya tidak ada yang khas, sangat sulit bagi kita untuk membedakan mana masyarakat awam dan mana mereka. karna semasa kuliah bukan kualitas diri yang diperdalam akan tetapi hasrat yang rendah, makanya tidak punya ciri khas baik dari pola pikir maupun tindakan.


Dengan demikian lahirlah manusia-manusia kerdil. yang melahirkan cara pandang hidup yang apatis yaitu diri hanya untuk diri bukan untuk orang lain. Kadang kita emang geli, satu sisi mereka ingin di sayangi, dipikirkan, di perahatikan bahkan di besarkan oleh orang lain tapi di sisi lain mereka sendiri enggan untuk menyayangi, memikirkan dan berbuat untuk orang lain, secara hukum kausalitas ini tidak mungkin terjadi karna hidup ini adalah ibarat pohon, apa yang kita tanam maka, itulah yang akan kita petik jika kita tidak pernah memberikan apa-apa, maka kitapun tidak mendapatkan apa-apa pula.

Hari ini manusia seperti inilah yang banyak bergentayangan di sekeliling kita, mereka bergaya seperti orang yang tau segalanya, mereka berdasi tapi tidak mengerti arti posisi. Jadi, wajar negeri ini hancur luluh lantak berantakan karna diurus oleh orang-orang yang miskin pengetahuan yang disusul oleh miskin hati. Maka tidak heran pula kalau banyak hak masyarakat digarap di alih menjadi milik pribadi karna sejak awal memang tujuan pribadi yang di tamakan. Berangkat dari realitas ini, apakah kita juga sama berparadigma tentang dunia seperti mereka, apakah kita juga ingin menambah deretan panjang manusia sublim di negeri ini, atau barangkali kita juga mereka yang siap menggerogoti masa depan negeri ini. Sekarang telah banyak di temui orang yang hanya cendrung berpikir struktural tanpa berbasis intelektual, makanya gerakan yang muncul juga hanya gerakan yang berbasis kepentingan bukan pengetahuan. Tidak bisa di pungkiri inilah ciri khas manusia negeri kita yang harus di tanggulangi..

Jadi sekarang  salah satu solusi yang bisa saya tawarkan adalah menggiatkan gerakan moral intelektual untuk melawan tradisi awam yang pada akhirnya akan terbentuk kultural intelektual di lingkungan kita sehingga budaya materialis yang sangat konsumtif ini bisa di minimalisir sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ali Shariati seorang tokoh revolusi Iran katanya; “seorang intelektual akan lebih bermakna ketika ia bersama masyarakat, membina membimbing masyarakat lalu melakukan perubahan bersama masyarakat”. (dalam Ali Shariati:1996, 214)
Jadi yang terpenting bagaimana setiap aktivitas mahasiswa itu berorientasi mencerdaskan ,baik diri sendiri maupun masyarakat, sebab bila masyarakat dan mahasiswa sudah cerdas secara otomatis mereka akan kritis terhadap ha-hal baru terlebih lagi terhadap tindakan diskriminasi dan ketidak adilan dari pihak-pihak tertentu terutama kebijakan pemerintah yang tidak bersifat responsif. Bagi saya inilah makna seorang mahasiswa yang selalu di gemburkan sebagai seorang agen of change, elit minority. sebab bila tidak demikian kita akan kelihatan impotent yang tiada beda dengan golongan-golongan awam.


Penulis adalah Peneliti Study lingkaran Cakrawala group
Artikel ini di sampaikan pada diskusi mingguan yang perdana Study Lingkaran Cakrawala group, Sabtu 13 Nov 2010 di Masjid Kampus IAIN “IB” Padang

Tulisan ini pernah dimuat di Fortal Suara Kampus IAIN IB

0 Response to " Generasi yang Terbelenggu"