PEMERANAN TOKOH
“BAGA”
DALAM LAKON PRABU MAHA ANU KARYA ROBERT PINGET
TERJEMAHAN
SAINI KM
Oleh : Fauzi
ABSTRAK
Pemeranan Tokoh “Baga” dalam lakon
Prabu Maha Anu karya Robert Pinget terjemahan Saini KM, merupakan
sajian pemeranan dengan mengunakan pendekatan akting presentasi. Pendekatan
presentasi merupakan pijakan untuk mewujudkan peran tokoh Baga dalam bentuk
pertunjukan. Metode pemeranan ini sifatnya natural atau kesaharian walaupun ada
pembesaran tapi hanya untuk kebutuhan karakter tokoh. Lakon Prabu Maha Anu karya karya Robert Pinget menjadi sumber inspirasi penyaji dan digarap dengan konvensi pertunjukan non realis. Capaian akting yang penyaji inginkan melalui
proses dengan
melakukan latihan-latihan pemahaman dan memaknainya, pencapaiannya agar akting ini bisa dinilai dari segi, pemikiran
(logika), keindahan (estetika), dan moral (etika)
Lakon Prabu Maha Anu karya Robert Pinget merupakan lakon yang sangat sarat
dengan pesan-pesan dan nilai-nilai kemanusian. Lakon yang bergaya absurd
menjadi sebuah pelajaran terhadap ironisnya kehidupan. Manusia yang kehilangan
pegangan, manusia yang gagal memaknai hakikat kehidupan, kebanaran hanya ada di
dalam pikiran sendiri sehingga membuat hidup tidak berarti apa-apa.
Kata kunci:
Lakon Absur, Akting Presentasi, Tokoh Baga
A.
PENDAHULUAN
Pertunjukan
teater tidak akan dapat diwujudkan tanpa kehadiran seorang aktor atau pemeran.
Secara mendasar, aktor merupakan salah satu unsur utama pembentuk spektakel
pertunjukan. Seorang aktor juga akan bekerja sama dengan sutradara beserta tim
produksi dalam merealisasikan proses penggarapan. Aktor juga merupakan
penterjemah atau penafsirlakon melalui
penggunaan kemampuan penguasaan aspek-aspek pemeranan yang ia miliki. Kemampuan
aspek-aspek pemeranan tersebut diaplikasikan melalui tingkah laku (tubuh),
kemampuan mengolah emosi (rasa), dan kemampuan berdialog dengan baik (vokal)
serta pemahamannya yang tepat terhadap lakon.Melalui kemampuan tersebut aktor
bisa menyampaikan pesan dengan baik kepada penonton. Eka D Sitorus(2002:xvi)
memaparkan:
“Pada
dasarnya, seorang aktor adalah seorang seniman yang mengekpresikan dirinya
sendiri. Ketika dia mempersiapkan diri untuk tampil dalam sebuah pertunjukan,
usaha yang ia lakukan adalah mendifinisikan kembali atau membuat definisi baru.
Dia masuk dalam sebuah pengalaman hidup, atau realita baru yang berkembang
tetapi lebih peka dari pada kehidupanya sendiri.Kemampuan menjadi orang baru
serta pengertiannya tentang pengalaman yang dijabarkan oleh naskah yang
disampaikan dalam pertunjukan, menggerakkan perasaan penonton sehingga
mengalami kesamaan suasana jiwa dengan yang dialaminya”.
Penjabaran
kutipan di atas dapat diartikan bahwa seorang aktor harus punya kejelian dan
kepekaan terhadap penafsiran dan pengetahuan terhadap segala sesuatu yang
menyangkut karakter tokoh yang akandiperankan. Penafsiran tersebut meliputi
semua unsur yang ada pada lakon, yang kemudian dikaitkan dengan pengalaman
pribadi aktor sehingga membentuk sebuah pemahaman yang ‘utuh’ didalam dirinya.
Selain
aktor, lakon juga merupakan unsur yang menentukan dalam sebuah
proses penyajian. Lakon sebagai karya sastra yang berisi cerita (fiksi)
merupakan titik tolak‘laku’ seorang aktor di atas panggung berdasarkan
penafsirannya terhadap karakter tokoh dalam lakon. Sejalan dengan itu, Eko
Santoso (1998:44) juga menyinggung betapa pentingnya lakon dalam pertunjukan
teater.
“khazanah teater
dewasa ini dapat disimpulkan unsur utama teater adalah naskah lakon, sutradara, pemain, dan penonton. Tanpa
keempat unsur diartikan bahwa naskah lakon merupakan unsur utama dalam sebuah
penggarapan teater tersebut.pertunjukan teater tidak bisa diwujudkan. Mendukung
unsur pokok tersebut diperlukan unsur tata artistik yang memberikan keindahan
dan mempertegas makna lakon yang dipentaskan.Naskah lakon yang merupakan bentuk
tertulis. Naskah lakon pada dasarnya adalah karya sastra dengan media bahasa
kata.Mementaskan drama berdasarkan naskah drama berarti memindahkan karya seni
dari media bahasa kata ke media bahasa pentas.Dalam visualisasi tersebut karya
sastra kemudian berubah esensinya menjadi karya teater.Pada saat transformasi
inilah karya sastra bersinggungan dengan komponen-komponen teater, yaitu
sutradara, pemain, dan tata artistik”.
Lakon selalu menjadi
ide utama dalam penyajian pertunjukan. Ide tersebut pada akhirnya akan
berkembang ketika melakukan proses. Perkembangan tersebut menjadi tolak ukur
sejauh mana pemeran memahami lakon, yang kemudian diaplikasikan melalui laku
dihadapan penonton.Terkait dengan pemahaman tentang lakon tersebut, Suyatna
Anirun (1988:55) menjelaskan bahwa “fungsi utama naskah lakon adalah memberi
inspirasi kepada para seniman. Fungsi kedua adalah mensuplay kata-kata yang harus diucapkan oleh si aktor.Itu sebabnya
naskah lakon biasa disebut buku kata-kata atau buku teks.”
Berkaitan dengan
lakon (drama), penyaji memilih lakon Prabu
Maha Anu karya Robert Pinget terjemahan Saini KM. Lakon ini merupakan lakon
yang bergaya absurd dimana persoalan atau konflik yang hadir merupakan konflik
batin. Tokoh-tokoh yang hadir adalah tokoh yang ‘gagal’ memaknai kehidupan,
sehingga timbul pertanyaan perihal keberadaan (Eksistensi) didalam diri
masing-masing. Martin Esslin (2008:325) mengatakan:
“Teater
absurd mengekpresikan kecemasan keputusan yang berasal dari pengetahuan bahwa
manusia diliputi oleh wilayah-wilayah gelap, bahwa dia tidak pernah mengetahui
sifat dan tujuan sejatinya, bahwa tidak seorangpun memberikannya aturan-aturan
prilaku siap pakai.”
Gambaran kutipan di
atas juga terjadi terhadap tokoh-tokoh dalam lakon Prabu Maha anu. Secara umum, Tokoh-tokoh yang hadir merupakan gambaran manusia yang gagal menemukan dan
memberikan makna pada dirinya. Mereka bermain-main berbagai peran yang menjadi
obsesinya, diantaranya sebagai Raja, sebagai Perdana Menteri, Hakim, Bibi
Estel, dan anak-anak. Namun mereka gagal mendifinisikan peran hakiki di
kehidupannya. Mereka tidak tahu untuk apa mereka hidup. Mereka gagal memberi
makna kepada hidup, dan seperti manusia yang seolah kehilangan arah.
Penyaji menafsirkan
tokoh-tokoh yang ada di dalam lakon Prabu
Maha Anu adalah orang-orang pinggiran (gelandangan), sebagai dampak Perang
Dunia ke II (1911-1914). Baga dan Raja (Prabu Maha Anu) adalah gambaran
orang-orangyang serba kekurangan secara materi dan tidak dapat tempat
(kedudukan) di tengah masyarakat. Mereka adalah korban dari gagalnya era
industrialisasi dan kekejaman perang. Untuk menghibur diri, mereka melakukan
sandiwa-sandiwara yang pada intinya mengisahkan ketidak mampuan mereka untuk
memaknai kehidupan. Semua yang mereka lakukan adalah imajinasi yang mereka
ciptakan sendiri terhadap pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
keberadaan mereka di dalam kehidupan.
Lakon Prabu Maha Anu karya Robert Pinget,
terjemahan Saini KM, mempunyai empat tokoh yaitu Baga (berkeinginan sebagai
menteri), Raja (berkeinginan menjadi raja yang kemudian bergelar Prabu Maha
Anu) Koki dan tokoh imajinasi Raja yaitu Maut. Dari keempat tokoh tersebut
penyaji memilih tokoh Baga sebagai peroses penyajian.
Tokoh Baga menjadi
pilihan penyaji karena tokoh ini memiliki karakter yang sangat kompleks. Selain
menjadi diri si Baga yang sebenarnya, tokoh ini juga memainkan tokoh lain
dengan karakter yang berbeda. Karakter berbeda yang penyaji maksud adalah tokoh
Baga dalam beberapa adegan harus mampu“berperan di atas peran”. Artinya, selain
penyaji memerankan dirinya (Tokoh Baga), penyaji juga harus memerankan
tokoh-tokoh lain seperti, menjadi Duta (Panglima Perang), Bibi Estel (Bibi
Raja), sebagai Hakim, Pembaca Dongeng dan menjadi Anak-Anak. Alasan inilah yang
membuat penyaji tertantang untuk memerankan tokoh ini, selain karena secara
garis besar tokoh Baga sangatlah berbeda dengan aktivitas dan laku dalam
keseharian penyaji.
Mengaplikasikan tokoh Baga di atas panggung
maka penyaji menggunakan pendekatan akting presentasi. Pendekatan ini bersifat
natural dan ‘keseharian’ dengan memanfaatkan kekayaan jasmani dan rohani dalam
diri penyaji. Eka D. Sitorus (2002:19) menuturkan bahwa:
“Akting presentasi
adalah akting yang berusaha menyuguhkan tingkah laku manusia melalui diri si
aktor, melalui pengertian terhadap dirinya sendiri dengan hasil mengerti
karakter yang dimainkannya. Aktor presentasi percaya bahwa dengan
mengidentifikasi diri dan aksi-aksinya dengan peran yang akandimainkannya maka
satu karakter tercipta, bentuk karakter yang diharapkan dan sesuai dengan
situasi-situasi yang diberikan oleh penulis naskah. Kerja yang dilakukan diatas
panggung adalah proses dari saat ke saat sesuai dengan pengalaman hidupnya
sendiri.”
Pencarian penyajian
tokoh Baga dilakukan yakni dengn memahami karakter tokoh, kemudian menyatukan
dengan pengalaman empiris penyaji. Dari penyatuan itu melahirkan karakter tokoh
yang ada dalam lakon. Metode ini juga dijelaskan
Stanislavski (1980:27) beliau mengatakan:
“Secara
garis besar aku telah menjelaskan pada kalian hari ini apa yang bagi kita
bersifat pokok. Pengalaman membuat kita
yakin, bahwa hanya seni yang berendam dalam pengalaman hidup manusia, yang
dapat mereproduksikan secara artistik warna-warna dan kedalaman hidup yang
tidak mudah dipahami. Hanya seni yang seperti ini yang dapat memukau penonton
selengkapnya dan membuatnya mengerti serta menghayati secara rohaniah
kejadian-kejadian di atas panggung, yang dapat memperkaya kehidupan batinnya,
dan yang bisa meninggalkan kesan-kesan yang tidak akanpudar oleh waktu.”
Akting presentasi
merupakan perkembangan dari pemikiran tokoh besar dalam sejarah dunia akting
yaitu Konstantin Stanislavski dengan metodenya To be yang bermakana‘menjadi’. Konsep ini kemudian berkembang
menjadi rujukan dalam ilmu akting. Rikrik Saptaria ( 2006:06) menjelaskan
bahwa:
“Sistem
Stanislavski memberi kesempatan untuk menikmati pengalaman akting yang sebenar-benarnya, tulus dan jujur apa adanya. Ajaran
Stanislavski dikategorikan sebagai metode akting
presentasi, yakni akting yang
berusaha untuk menyajikan sikap dan laku manusia umum melalui jiwa tubuh
intelektual diri si aktor, lewat tafsiran dirinya sendiri dan karakteristik
tokoh yang dimainkan. Stanislavski dan akting presentasinya mengarahkan sang
aktor percaya bahwa dengan cara mengidentifikasi diri lewat aksi-aksi perannya,
akan tercipta suatu bentuk karakter yang sesuai dengan situasi-situasi dramatik
yang diinginkan oleh penulis naskah.
Metode akting presentasi
mengutamakan identifikasi antara jiwa si aktor dengan jiwa si karakter,
sehingga proses transformasi terus berkembang menemukan sasaranya. Ekspresi dari aksi-aksi pengalaman pribadinya
sendiri ( the magic if) bisa saling
bersinergi. Menurut sutradara epic Peter
Brook, melakukan akting terdiri dari
seribu kesalahan dan hanya satu saja kebenaran, dan itu selalu dicari dalam
proses latihan secara terus menerus.”
Secara umum,
penyaji menggunakan pendekatan akting presentasi sebagai sebuah jalan menuju
penciptaan peran, penyaji juga melakukan
stilisasi atau melakukan “pembesaran-pembesaran”. Hal ini karena penyaji
memerankan tokoh lain selain tokoh Baga atau beraksi dalam konteks “berperan di
atas peran”, yang tidak memungkinkan bagi penyaji untuk menghadirkannya dalam
pendekatan akting presentasi. Sitilisasi tersebut ketika terjadi ketika penyaji
harus berperan sebagai tokoh Duta( Panglima Perang), sebagai Bibi Estel,
sebagai Hakim, Pembaca Dongeng, dan menjadi Anak-Anak. Betapapun begitu fondasi
karakter Baga dan tampilan secara keseluruhan tetap menggunakan pendekatan
akting presentasi.
B.
PEMBAHASAN
Proses
pemeranan yang penyaji lakukan dalam pencarian bentuk
akting atau lakuan, pertama sekali
mengacu kepada gaya lakon yang penyaji mainkan. Dari pemahaman
tersebut, penyaji merumuskan
konsep perancangan pemeranan
sebagai panduan penciptaan peran maupun perancangan pementasan.
Lakon Prabu Maha Anu karya Robert Pinget
termasuk lakon yang bergaya absurd dimana persoalan-persoalan yang ada
merupakan pencarian dan keberadaan (Eksistensialis) diri para tokoh yang ada di
dalamnya. Martin Esslin (2008:306) menuturkan
teater Absurd:
"Teater absurd mengekpresikan tiadanya sistem nilai
kosmis yang diterima secara umum.Maka dari itu, secara jauh lebih sederhana
teater absurd tidak menjelaskan cara-cara tuhan kepada manusia. Dalam kecemasan
dan cemoohan, teater absurd hanya bisa menyajikan intuisi individu manusia akan
realitas mutlak sebagaimana yang dialaminya. Buah dari masuknya manusia kedalam
pribadinya, mimpi-mimpinya, fantasi-fantasinya maupun mimpi buruknya"
Wujud
tampilan gaya absurd tersebut, dihadirkan dengan menggunakan pendekatan akting presentasi.
Dalam pendeketan presentasi, kualitas
emosi dlakukan secara natural atau ‘apa adanya’. Merujuk hal tersebut, maka
proses pencapaian peran dalam pemeranan tokoh Baga akan "dihidupkan"
melalui transformasi pengalaman-pengalaman yang dimiliki penyaji, untuk
disesuaikan dengan "karakter"
tokoh yang ada dalam lakon. Hal tersebut di proses sampai terbentuknya
‘motivasi’ yang jelas dalam laku. Indikator penting dari tercapainya akting
presentasi adalah dengan pencapaian kecenderungan psikologis tokoh menjadi
bagian yang menyatu dengan psikologi penyaji. Hal ini tergambar pada ‘isian’
dialog yangb diucapkan, ekspresi yang natural dan gesture yang terlihat
proporsional.
1. Metode
Menciptakan Peran
Penciptaan peran tokoh
Baga dalam lakon Prabu Maha Anu karya
Robert Pinget terjemahan Saini Km, dengan menggunakan motode pemeranan
presentasi. Bentuk pemeranan ini penyaji menggunakan pendekatan akting yang digagas oleh Stanilavsky. Metode
tersebut meliputi relaksasi, konsentrasi, dan observasi, satuan dan sasaran,
keyakinan terhadap kebenaran, emosi efektif dan bermain ensamble (Stanislavsky, dalam Hadi Kesuma, 2011:56). Berbagai tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a.
Relaksasi ( Pengenduran Urat)
Relaksasi dalam berperan sangat dibutuhkan karena
menghentikan ketegangan yang ada dalam tubuh ketika berperan. Eka D. Sitorus (2002:
60) mengatakan:
“Relaksasi di panggung atau didepan kamera berarti semua kekangan sudah
terlepas dari energi yang ada sudah terfokus. Relaksasi adalah suatu keadaan
dimana si aktor berada pada posisi siap siaga untuk memberikan reaksi pada
stimulus yang terkecilpun. Artinya suatu keadaan ketika semua penghalang untuk
bergerak atau beraksi sudah tidak ada lagi. Energi yang ada, yang sangat
berguna itu menjadi seimbang sehingga aktor bebas untuk bergerak atau beraksi
dengan cara apapun.”
Kutipan
di atas memberi makna relaksasi merupakan cara yang dilakukan untuk melatih
tubuh dan vokal agar selalu dalam keadaan ‘lentur’ dalam merespon emajinasi
yang berkembang, sampai pada respon terkecil sekalipun. Dalam tahap ini penyaji
berlatih untuk tujuan terciptanya laku dan ucapan dalam dialog yang terlihat
lebih natural. Latihan ini berupa latihan pengenduran urat sampai terbongkarnya tubuh yang begitu
‘dungu’ merespon dorongan imajinasi. Wujud konkrit dari tahapan ini adalah
dengan melakukan olah tubuh dan gerak gerik muka. Juga latihan gerak bermotif dan latihan gerak menggunakan
improvisasi dialog.
b. Konsentrasi dan Observasi
Konsentrasi adalah penemuan ‘penghayatan’ yang berjalan secara konsisten
dan tidak ‘terputus-putus’. Dalam kaitan ini, pemeran perlu menemukan objek
konsentrasi di atas panggung agar tidak mengalami ‘ketegangan’. Dengan cara ini
penyaji dapat merasakan ‘kesendiriannya’ di atas panggung walaupun berhadapan
dengan banyak penonton. Ini adalah perwujudan dari penerapan. Selain itu, untuk
mendapatkan reaksi spontanitas yang artistik dan natural, maka pemain harus
menjalankan observasi di luar panggung. Mendekati sesuatu yang mirip dengan
tokoh yang di perankan, dengan pengamatan yang lebih ditekankan pada
transformasi pengalaman obyek observasi menjadi pengalaman pribadi penyaji.
c. Importance of spasific (satuan dan sasaran)
Pemeran tidak seharusnya bermain secara umum. Pemeran harus bermain
secara detail sesuai dengan detail konkrit aksi mereka. Di mulai dari yang aksi yang kecil-kecil, untuk
menimbulkan rasa percaya diri. Rasa percaya diri tersebut adalah upaya penyaji
untuk meyakini penghayalan (daya Imaji) yang telah penyaji temukan. Hal inilah
yang menjadikan akting membutuhkan sasaran yang tepat. Suatu sasaran, yang
didapat dari tujuan-tujuan terciptanya laku. Wujud konrit dari latihan ini
adalah membangun motif dibalik respon sesuatu yang terdapat di luar diri penyaji. Termasuk respon ruangan dan setting dalam pertunjukan.
d. Inner Truth (Keyakinan terhadap kebenaran)
Pada tahap ini, pemeran akan dilatih kebenaran aksinya di atas
panggung. If atau ‘seandainya’ memberikan motivasi terhadap setiap aksi
dan tone dialog yang akan disampaikan pemeran sebagai tokoh. Pusat
terjadinya reaksi terhadap magic if adalah kekuatan daya imajinasi, yang
hanya bisa di tumbuhkan melalui ‘ingatan emosi’ dengan membuka memori pribadi
penyaji dengan bantuan berbagai aspek
musikal. Magic if ditandai dengan diwujudkannya keinginan, emosi, penyikapan
dan reaksi tokoh dalam lakon menjadi keinginan, emosi dan penyikapan penyaji.
e. Emotional Recall ( Emosi Efektif)
Emosinal efektif adalah pengasahan kepekahan dan pematangan respon emosi
tersebut bagi kebutuhan lakuan atau akting. Dengan mencapai titik emosi masa
lalu yang di capai dan disesuaikan dengan situasi dan emosi tokoh maka
memunculkan stimulan pengucapan dan gerak yang tereksresikan oleh pemeran.
Kemampuan pemeran tergantung pada kesadaran pemeran untuk melihat temperamen
pemeran dengan kecenderungan tokoh yang dimainkan. Cara kongkrit yang dilakukan
penyaji dalam membangun kepekaan adalah memperbanyak bacaan fiksi (novel, cerpen, roman) dan menonton
beberapa film yang bertemakan sosial dan kemanusiaan, terlebih yang setema
dengan lakon Prabu Maha Anu.
f. Bermain Ensamble
Bermain ensembel adalah kesadaran terhadap take and give dalam setiap aksi pemeran. Kemampuan bermain ensambel
dapat dilihat dari bagaimana pemeran mampu menyatukan aksi dan reaksinya
terhadap tokoh lain. Menjadi sebuah irama yang terkesan spontan dan natural.
Merujuk dari hal tersebut penyaji dalam hal ini berusaha menitikberatkan pada
latihan merespon aksi percakapan setiap lawan main yang bisa menumbuhkan efek
reaksi pada lawan mainnya tersebut.Realisasinya diaplikasikan melalui latihan reading
dan bloking.
3. Pengembangan Peran dengan Stilisasi
Sebagaimana pembahasan sebelumnya, walaupun penyaji menggunakan pendekatan akting presentasi, tetapi dalam beberapa adegan, penyaji juga melakukan stilisasi
(pembesaran). Stilisasi ini penyaji lakukan pada saat memerankan beberapa tokoh
yang ada dalam lakon. Alasan penyaji melakukan setilisasi karena penyaji “berperan di atas peran”, artinya Tokoh Baga mempunyai peran lain, selain dirinya yang tidak mungkin dilakukan dengan
cara presentasi.
Penciptaan peran stilisasi
penyaji gunakan pada beberapa bagian, bagian pertama ketika berperan sebagai
Duta (panglima perang). Dalam memerankan tokoh ini, penyaji melakukan pembesaran yang sifatnya sangat
formal, seperti berperan dalam lakon klasik. Kedua,pada saat memerankan tokoh Bibi Estel. Dalam memerankan tokoh ini, penyaji melakukan stilisasi sebagaimana secara gestur dan vokal mendekati seorang wanita. Ketiga, pada saat menjadi Hakim, pada bagian
ini penyaji juga melakukan pembesaran gestur yang formal, bagian ini juga sama
ketika penyaji membaca dongeng. Terakhir, stilisasi yang penyaji lakukan yaitu saat menjadi tokoh anak-anak. Pada bagian ini penyaji melakukan stilisasi terhadap
gestur dan vokal agar peran ini bisa mendekati sebagai seorang anak-anak.
C.
PENUTUP
Pemeranan
atau keaktoran sangat penting dalam pertunjukan, tanpa pemeran atau aktor
pertunjukan tidak akan pernah terjadi diatas panggung. Bidang pemeranan
merupakan kreativitas penciptaan peran dalam pementasan teater. Keberlangsungan
dan terwujudnya impresi pementasan sangat ditentukan oleh kemampuan akting para
pemerannya. Dengan demikian, Pemeran tidak sekedar harus menguasai aspek-aspek
seni peran tetapi juga harus mampu menerjemahkan secara tuntas gagasan-gagasan
dasar yang tersirat dalam lakon sebagai titik tolak pembentukan seni perannya.
Tugas
pemeran adalah mewujudkan tokoh dalam lakon. Perwujudan tokoh diciptakan dengan
bertitik tolak pada penafsiran terhadap lakon. Keberadaan lakon, dengan
demikian adalah stimulan terciptanya imajinasi terhadap karakter tokoh yang
kemudian diekspresikan dalam gerak dan kata sebagai instrumen akting para
pemeran. Wujud ekspresi terhadap karater tokoh dalam lakon itulah yang kemudian
menjadi bentuk konkrit dari seni peran.
Lakon
Prabu Maha Anu karya Robert Pinget adalah
lakon yang bergaya absurd dimana konflik yang hadir merupakan konflik batin dan
keberadaan (Eksistensialisme).Tokoh yang hadir dalam lakon merupakan
tokoh-tokoh yang gagal memaknai kehidupan.Secara umum, lakon Prabu Maha Anu karya Robert Pinget mengetengahkan
konflik psikologi sseorang Baga yang mencari kemerdekaan di atas dirinya. Baga
tersebut mengalami situasi kecemasan memuncak atas pengalaman hidupnya yang
sangat empiris tapi juga sangat tidak rasional.
Merujuk
kesimpulan di atas, maka tokoh Baga, sebagai tokoh kompleks, ditampilkan dengan
pendekatan akting presentatif. Pendekatan tersebut diwujudkan dengan
menempatkan optimalisai keaktoran sebagai pusat perhatian tontonan. Akting
dihadirkan melaui pengolahan seni peran yang berpedoman pada teori dan metode
‘menjadi’ atau to be yang ditelorkan
oleh Konstantin Stanislavsky. Teori ‘menjadi’ menegaskan pentingnya pencapaian magic if.Pencapaian magic if ditandai dengan keberhasialan pemeran dalam mengadaftasi
situasi dan kondisi tokoh dalam naskah sebagai situasi dan kondisi yang dialami
pemeran sendiri. Perwujudan peran akan dicipta dengan penggunaan dua gesture
pemeranan, sebagai gesture yang dominan yang dipakai dalam pementasan. Gesture
tersebut meliputi gesture empatik. Gesture empatik
dipergunakan saat para tokoh tampil dalam situasi 'wajar', dan pada saat para
tokoh didera kesedihan atau kemarahan. Untuk peran yang distilisasi penyaji
melakukan pencarian dan latihan, mencari gestur warna vokal yang cocok untuk
tokoh yang diperankan dengan cara melakukan pembesaran-pembesaran tetapi
penyaji masih mempertahan karakter tokoh yang penyaji perankan
D.
Saran
Pemantasan lakon bergaya absurd membutuhkan
analisis yang harus detail dan komprehensif. Hal ini membutuhkan persiapan
sebagai pra kondisi menuju proses latihan. Untuk itu, perlu digagas mata kuliah
yang memang diperuntukkan bagi penciptaan pra kondisi tersebut. Hal ini penting
agar tidak terjadi penyimpangan tafsir lakon absurd yang seringkali bersipat
multi tafsir.
DAFTAR PUSTAKA
Anirun,
Suyatna, Menjadi Aktor:Pengantar Kepada
Seni Peran Untuk Pentas dan Senema, Jawa Barat: Studi Klub Bandung,
bekerjasama dengan Taman Budaya Jawa Barat dan PT Rekamedia Multiprakarsa,
1998.
Dewojati
Cahyaningrum, Drama Sejarah, Teori, dan
Penerapannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres, 2010
El
Saptaria, Rikrik, Akting Handbook:Panduan
Praktis acting film dan teater Bandung: tahun 2006
Esslin
Martin, Terjemahan Abdul Mukhid, Teater
Absurd, Jawa Timur: Pustaka Banyumily, 2008
Hadi
Kusuma, Anggi, LaporanKarya Penyajian
Tokoh Kapten Dalam Lakon Lautan
Bernyanyi Karya Putu Wijaya, Padangpanjang: ISI Padangpanjang, 2011
Keraf,
Gorys, Dr, Prof, Komposisi: Sebuah
Pengantar Kemahiran Bahasa, Nusa Tenggara Timur: Nusa Indah, 2004.
Sitorus,
D Eka, The art of acting: Seni Peran Untuk Teater, Film dan TV,Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Stanislavsky,
Konstantin, Terjemahan Asrul Sani, Persiapan Seorang Aktor,Jakarta:
Pustaka Jaya, 1980.
Yudiaryani,
Panggung Teater Dunia, Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli, 2002
0 Response to "PEMERANAN TOKOH “BAGA” DALAM LAKON PRABU MAHA ANU KARYA ROBERT PINGET TERJEMAHAN SAINI KM"
Post a Comment