Melacak Perkembangan
Konvensi dalam Teater
Oleh:
Edy Suisno
A. Teater
: Puncak-puncak Pencapaian dan Perubahan
Sebagaimana
bidang seni yang lain, teater tercipta melelalui sebuah proses kreatif.
Pencapaian proses kreatif teater tersebut, tidak sekedar menggambarkan
masyarakat yang melatarinya, tetapi juga menjadi indikator penting peradaban
yang berkembang pada masanya. Dalam konteks tertentu, bahkan teater merupakan
representasi suatu sosial atau tempat interaksi sosial yang kemudian membentuk
kerangka sosial dengan
"paradigma" yang mengikatnya (Nur Sahid, 1999 : 173). Tatanan teater
sebagai representasi sosial dan sebagai kesenian yang berkembang tersebut, pada
akhirnya akan senantisa mengalami perubahan dan penyesuaian-penyesuaian sebelum
lahirnya bentuk teater dengan konvensi (kesepakatan pemanggungan) yang baru.
Perkembangan
teater dalam dekade tertentu telah melahirkan puncak-puncak pencapaian, yang
pada saat tersebut dianggap sebagai perfeksi paling optimum dalam penjelajahan
estetika. Dalam kurun waktu kemudian, pencapaian konvensi tersebut senantiasa
mengalami koreksi oleh cara pandang (point of view) para
penggiatnya yang berubah sesuai realitas jaman dengan suatu asumsi bahwa
kesepakatan sebelumnya dipandang tidak lagi sesuai dengan kemajuan jaman. Perubahan cara pandang ini melahirkan suatu
tindakan kreatif untuk merekontruksi spektakel, memformat kembali akting atau
permainan dan menggugat relevansi teks (lakon) bagi kebutuhan dan tuntutan
masyarakat (penonton) kekinian. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor
lahirnya ‘gaya’ baru
dalam teater.
Perubahan
dan perkembangan konvensi dalam teater merupakan suatu hubungan yang reflektif
dan dialektis. Artinya, lahirnya "genre" baru dalam teater merupakan
hasil kreativitas yang berpijak pada "keterbatasan" maupun
"kelebihan" konvensi teater sebelumnya. Hal ini menegaskan bahwa
kelahiran puncak pencapaian baru dalam teori maupun metode penciptaan teater
tidak serta merta menghapus teori dan metode puncak-puncak teater sebelumnya,
tetapi justru memeliki keterkaitan yang bersifat akomodatif.
Penjelasan
untuk merunut kesimpulan di atas dapat dicontohkan sebagai berikut : Realisme,
pada awalnya lahir dari koreksi total terhadap pencapaian teater romantik.
Konsep romantik yang selalu menggambarkan suatu kondisi yang serba
"idealistik" dielaborasi kembali oleh kaum realis secara pragmatik
dan obyektif. Suatu peralihan dari kehidupan glamour para pangeran yang dipahlawankan
kepada kehidupan orang kebanyakan (Bakdi Sumanto, 1991 : 62). Romantik adalah perwujudan situasi atau
peristiwa yang dilebih-lebihkan sementara realisme bertujuan untuk melihat
kenyataan yang "apa-adanya". Betapapun demikian, toh realisme tidak
bisa membebaskan konsepnya secara penuh dari keterpengaruhan teater romantik.
Karakterisasi tokoh-tokoh dalam lakon realisme yang masih tetap menyertakan
situasi "hitam-putih" (meskipun tidak sejelas dalam teater Romantik)
menunjukan masih adanya keterkaitan dua aliran teater tersebut sebagai sebuah
kontruksi yang tidak berdiri sendiri. Proses kreatif seni teater dari masa ke
masa dengan demikian adalah sebuah siklus dari kontruksi lama menuju kelahiran
kontruksi teater yang baru.
B.
Teater Yunani : Pencapaian Efek
Katarsis.
Teater
Yunani (abad ke V SM) sampai sekarang selalu menjadi rujukan dalam merunut
sejarah awal kemunculan teater. Indikasi-indikasi teatrikal yang secara kental
mewarnai upacara pemujaan Dewa Dionysus
(sebelum akhirnya difestivalkan) telah dianggap sebagai sebuah pertunjukan
teater. Indikasi tersebut meliputi : adanya Tespian sebagai aktor,
adanya Coorus yang multi fungsi dan tafsir, Hymne yang berujud Dityramb,
Costume dan tarian yang menyerupai gerak binatang. Fenomena teatrikal ini
semakin mendapat penegasan dengan munculnya
pengarang-pengarang seperti Shopokles, Euripides dan Aeskilos, yang memperkenalkan
beragam tokoh, jalinan dramatik dalam
sebuah lakon yang dirancang dengan spektakel yang baru dan alur cerita yang
penuh kepahitan (tragedy). Perwujudan teater Yunani tersebut mengarah
pada jalinan dramatik yang bertujuan untuk mencapai efek katarsis
(Chairul Anwar, 2005 : 10).
Katarsis
pada akhirnya juga digunakan sebagai parameter untuk mengukur keberhasilan
seorang aktor dalam merealisasikan konsep memesis yang diteorikan
Aristoteles. Karakterisasi lakon drama yang merupakan peniruan terhadap
cerita-cerita kepahlawanan dan berakhir tragik tersebut harus sanggup
melahirkan empati bagi para penyaksinya (audience).
Hal ini dikarenakan subtansi katarsis adalah empati. Perwujudan empati tersebut
ditandai dengan rasa kasihan (Fity) dan rasa takut (Fear)
terhadap sub-ordinasi takdir yang harus dijalani tokoh-tokoh dalam lakon oleh
para dewa penguasa kehidupan. Kondisi untuk berempati tersebut ditandai dengan
keterlibatan rasa (soul) para penonton untuk larut dalam kedukaan atau
kecemasan atas nasib tokoh-tokoh dalam lakon.
Untuk
memproyeksikan situasi tragisnya, lakon tragedi Yunani memiliki tahapan
penuturan yang berintikan pada jalinan tiga fase alur, yaitu : poema
(purpose), Pathema (passion) dan Mathema (perception). Poema
berarti keinginan sebagai cermin etiket awal, pathema berarti
penderitaan sebagai konsekwensi pencapaian keinginan, sedangkan Mathema adalah
pemahamam atas kejadian yang menimpa tokoh (Saini KM, 2002 : 170). Penerapan
fase-fase lakon tragedi tersebut secara rinci dapat di contohkan sebagai
berikut: dalam Oidipus Rex, Oidipus mula-mula beretikad (poema)
untuk menemukan kambing hitam yang menjadi penyebab mewabahnya penyakit di
negeri Thebe. Akhirnya Oidipus tahu
bahwa dirinyalah yang merupakan kambing hitam yang dimaksud, suatu derita atas
takdir yang ditimpanya (pathema). Oidipus kemudian harus menerima takdir
Dewa karena telah membunuh ayahnya sendiri dan mengawini ibunya, Jocasta (mathema).
Pemaparan
poema, pathema dan mathema tersebut merupakan pemilahan terhadap
pejalanan alur tragedi yang sebenarnya merupakan rangkaian pengertian dari Hubris
Hamartia Nemesis Dike. Tokoh-tokoh dalam lakon tragedi Yunani mengawali
penampilannya dengan karakter yang hubris (sombong), sifat sombong
tersebut mengkibatkan kelemahan tragis (hamartia) yang bisa menimbulkan
murka dewa (nemesis). Akhirnya, keadilan dewapun ditimpakan kepada sang
tokoh, dengan akhir yang tragis ( dike). Lebih jelasnya rangkaian
pengertian tersebur dapat disimak dalam Antigone, Semula Creon bersikap
sombong (hubris) karena tak mendengar perkataan Teresias dan coorus.
Hal ini menjadi kelemahan tragis (hamartia) karena ternyata menimbulkan
perlawanan Antigone, akhirnya murka dewapun (nemesis) datang, karena
anak dan isteri Creon bunuh diri (dike).
C.
Teater Elizabethan :
Misteri dan Komposisi-Kontrapunt
Sepeninggal
Cristopher Marlowe yang merupakan pionir perkembangan teater di inggris, maka
William Shakespeare merupakan dramawan terbesar yang hidup pada masa Ratu
Elizabeth dari dinasti Stuart (1580-1640M). Itulah sebabnya Shakespeare
merupakan pelopor teater Elizabethan. Drama-dramanya bukan hanya di kenal dari
sisi keindahan bahasa, tapi secara tematis juga mulai menyuarakan
"kebebasan" bagi manusia dalam memilih. Karya-karyanya juga tidak
hanya berbentuk tragedi, tetapi juga drama sejarah dan komedi.
Drama-drama Shakespeare tidak hanya
berangkat dari satu tema (tema mayor) tetapi juga menyiratkan banyak tema (tema
minor). Semisal dalam King Lear, paling tidak terdapat tiga tema di
dalamnya yaitu: pertama, hubungan antara orang tua dan anak yang
merupakan tema universal; kedua, hubungan antara kepalsuan dan
kebenaran; dan ketiga, kebebasan manusia menentukan nasibnya yang
dibatasi oleh dua kepastian, yakni oleh kekuasaan alam dan oleh dirinya sendiri
( Yudiaryani, 2003 : 123). Sebagaimana tragedi Yunani, naskah-naskah
Shakespeare selalu memperlihatkan manusia-manusia "idealistik" di
tengah kungkungan lingkungan sekitarnya yang berbeda dengan idealitas tokoh
utamanya. Dengan bahasa yang puitis, Shakespeare kemudian memperlihatkan
konflik dalam benturan idealitas itu secara "bombastis". Semisal
dalam Hamlet, tak seorang pun yang dibiarkan hidup termasuk juga Hamlet yang
dalam lakon ini meninggal oleh pedang beracun Laertes. Begitupun dalam Romeo
Yuliet, tokoh-tokoh utamanya pun dimatikan untuk memberi aksen tema
ketulusan dan pengorbanan dalam cinta.
Menyimak
lakon-lakon Shakespeare maka akan dapat dilihat beberapa ciri yang menjadi
karakter dramanya. Drama-drama Shakespeare selalu dibawakan dengan cara
bertutur yang menggunakan syair bersajak (blank verse) dan oleh
karenanya diksi dialog memegang peran sangat penting. Drama Shakespeare juga
menggunakan Solliloqui dalam bentuk monolog dan penggunaan aside atau
dialog menyamping dengan artikulasi yang berbeda, di samping adanya
pidato-pidato dan penyamaran tokoh (Jacob Sumarjo, 1998 : 65)
Konflik
drama Shakespeare dituturkan dengan progress alur yang selalu menyimpan mistery.
Konflik-konflik tersebut mengalami peningkatan justru oleh hal-hal yang tak
terduga, bersifat irasional dan tak terencanakan. Dalam Hamlet, seluruh
tabir kematian ayahnya terungkap hanya
dengan menghadirkan mimpi dan "hantu" ayahnya. Misteri ini kemudian
menjadi daya dorong luar biasa bagi Hamlet untuk membalas dendam kematian orang
tuanya. Mimpi itulah yang akhirnya mendorong sederetan pembunuhan yang
mengakibatkan kematian Raja Claudius, Opelia, Ratu Getrude, Laertes, dan Hamlet
sendiri. Begitupun dalam Romeo Yuliet, Romeo harus mengakhiri hidupnya
secara kebetulan karena tidak tahu bahwa kematian Yuliet hanya "mati suri"
dan ketika ketidaktahuan itu mengakibatkan kematian Romeo, Yuliet pun mengikuti
dengan benar-benar melakukan bunuh diri.
Misteri-misteri
di atas menjadi "kuldesak" yang berperanan penting dalam mengubah
suasana, ketegangan dan perkembangan alur. Hal ini menunjukan takdir manusia
tidak sepenuhnya ditentukan oleh etikad manusia itu sendiri sebagaimana sub
ordinasi dewa dalam lakon-lakon Shopocles pada tragedi Yunani. Pada bagian
lain, determinasi pengarang menjadi sangat penting dalam menyusun alur dan bukan semata-mata karena kekuatan
tokoh-tokoh yang dicipta. Itulah sebabnya watak dalam kontek Memesis memang
mengabaikan kwalitas. Watak lebih didudukan sebagai subyek dan obyek tragedi.
Penuturan
lakon-lakon tragedi Shakespeare juga menggunakan komposisi kontrapunt.
Istilah ini merupakan istilah musik sebagai analogi terhadap keberadaan plot
dalam lakon yang sering kali menggunakan plot ganda (Saini KM, 2002 : 188).
Dalam King Lear misalnya, perjalanan hidup Raja tersebut ditempatkan secara
berdampingan dengan kisah bangsawan bawahannya, yakni Gloucester. Dalam Hamlet
aksi-aksi tokoh utamanya (Hamlet sendiri) berjalan berdampingan dengan konflik
antara Polonius dan Ophelia, putrinya. Komposisi kontrapunt tersebut
menandakan penentangan Shakespeare terhadap plot linear (tunggal) yang sering
dipergunakan oleh dramawan-dramawan sebelumnya. Penekanan plot dengan komposisi
kontrapunt tersebut digunakan oleh Shakespeare untuk menegaskan suatu
kekacauan (chaos), kerusakan kepribadian manusia dan kehancuran pranata
masyarakat yang diakibatkan oleh pranata tersebut yang dianggap tidak sesuai
fitrah. Bagi Shakespeare pranata masyarakat haruslah sesuai dengan sendi-sendi
kemanusian itu sendiri.
D. Teater
dan Seni Barok.
Istilah barok
populer dalam perkembangan seni musik maupun seni rupa. Perkembangannya seni
teater tidak menegaskan perkembangan seni barok sebagai dekade yang
melahirkan "genre" tertentu dalam teater, tetapi tahap perkembangan
teater yang melewati masa tersebut tidak akan bebas dari pengaruhnya terutama
terkait degan gagasan besar yang lahir pada masa itu. Herbert Read mensinyalir
seni barok melewati masa perkembangan di tahun 1715 sampai dengan tahun
1720. Ia mensinyalir asal-usul barok berasal dari bahasa Portugis Barroco
yang sebenarnya mengacu pada sejenis
mutiara besar dan kasar yang biasa dipakai untuk perhiasan badan yang penuh
ornamental pada masa itu (Herbert Read, 2000 : 76).
Herbert
Read tidak menjelaskan secara pasti kenapa istilah tersebut kemudian dipakai
secara umum untuk menamai kesenian pada
massa itu. Ia kemudian menegaskan bentuk barok sebagai sesuatu yang
ganjil, aneh, tapi luar biasa. Barok menjadi aneh sekaligus luar biasa karena menekankan aspek eksplorasi material yang
adeal, sekaligus juga mampu menggambarkan kondisi spiritual dan kandungan psikologis.
Jadi, Barok adalah harmonisasi diantara
dua paradoksa: intensinya spiritual-psikologis, tapi caranya material (Herbert
Read, 2000 : 77).
Menilik sinyalemen Herbert Read yang
memperkirakan rentang waktu seni barok di tahun 1715-1720, sedangkan teater
neoklasik berada pada kurun waktu 1661-1685 maka bisa dipastikan bahwa
keberadaan teater neoklasik kecil sekali kemungkinannya untuk terpengaruh
gagasan dari seni barok. Tapi jika menilik kenyataan bahwa pengaruh neoklasik
telah melampaaui paruh abad 18 dengan ditandai gerakan kesetiaan pada konvensi
neoklasik di Perancis, yang dipelopori Marivaux (1688-1763) dan Diderot
(1713-1799) (Yudiaryani,2002 : 113), maka bisa dimungkinkan pengaruh teater
neoklasik terimbas atau mengimbas gagasan-gagasan seni barok.
Periode neoklasik berkembang di
perancis dan dipelopori oleh Moliere
(1622-1673), Corneille (1606-1684)dan Racine (1639-1699). Neoklasik
merupakan periode lanjutan dari perkembangan
Teater keliling yang dipelopori oleh
penyair Alexandre Hardy (1575-1631). Konsep awal dari gagasan teater neoklasik
adalah perwujudan rasa yang dibatasi
oleh akal sehat. Dramawan neoklasik meyakini bahwa bentuk drama harus mampu
mengilhami kecenderungan baik untuk menghibur maupun untuk mendidik. Penampakan
konsep ini dapat disimak dalam karya-karya Molliere. Molliere merealisasikan
konsep tersebut dengan cara memadukan spektakel yang atraktif sebagai cerminan
"material-dramaturgi" yang ideal, dengan konsepsi "moral-ketuhanan" yang kental.
Dalam lakon-lakonnya Molliere mengembangkan banyolan yang menonjolkan ‘pukulan’,
tipuan dan kata-kata kasar, juga menambahkannya dengan adegan komedi sosial dan
komedi karakter. Komedi sosial berbicara
tentang usaha manusia untuk mencari hidup yang ideal, sedangkan komedi karakter berbicara tentang
sifat-sifat manusia yang kikir, munafik, dan angkuh (Chairul Anwar, 2002 : 84).
Perwujudan bentuk lakon tersebut dipadukan dengan mengusung nilai yang bersifat
dues-ex-machina atau le denoument surnatural (Yudiaryani, 2002 :
110). Konsep ini memandang bahwa perubahan keputusan dalam suatu
peristiwa adalah tidak terencana atau tidak terduga. Konsep ini mempercayai
kekuatan lebih tinggi (Tuhan, penguasa) sebagai penentu perubahan. Sebagai
contoh, dalam lakon Dokter Gadungan, Sganarelle seorang pembantu
menyamar sebagai dokter, agar senantiasa dapat bersama dengan putri majikannya
yang diam-diam ia cintai. Penyamaran itu untuk beberapa saat berhasil.
Sganarelle berhasil mengecoh majikannya, tetapi intrik pembantu itupun akhirnya
ketahuan. Ulah Sganarelle tersebut membuat lakon menjadi meriah, atraktif,
segar dan penuh ironi, namun diakhir cerita Moliliere tampak mengembalikan
cerita pada situasi spiritual yang
menghormati kepantasan (decorum), sehingga cinta Sganarelle pun dibuat
tak berdaya. Contoh tersebut menandakan keterkaitan antara seni barok yang
berpijak pada keganjilan material dan spiritual-psikologis dengan komedi
Molliere memang terlihat jelas.
Dramawan berikutnya adalah Jean Racine
(1639-1699). Jika Molliere dikenal sebagai pengarang komedi, maka Racine
dikenal sebagai pengarang tragedi. Dalam dramanya tokoh-tokoh yang diciptakan
Racine selalu menjadi korban perasaannya
yang sulit untuk dikendalikan. Perasaaan yang menggelora tersebut
akhirnya membawa korban pada tokoh-tokoh lain yang dicintainya. Kondisi
tersebut akhirnya membawa kesadaran baru untuk mempertemukn perasaan tersebut
dengan kebenaran (versemilitude), kepantasan (decorum) dan pada
akhirnya menjadi harmoni (unity). Racine pada dasarnya berpendapat bahwa
perasaan harus dikendalikan dengan akal sehat. Sebagai contoh, dalam lakonnya Berenice,
Antiokus harus memupus cintanya pada Berenice. Hal tersebut dikarenakan cinta Berenice hanya diberikan pada Titus,
kaisar baru Roma, tetapi Berenice pun harus mengurungkan niatnya untuk menikah
dengan Titus karena adanya undang-undang yang melarang pernikahan seorang
kaisar dengan ratu bawahannya, sementara Berenice merupakan bawahan Titus.
Masing-masing tokoh akhirnya harus memupus seluruh harapannya untuk menghadapi
kenyataan itu sebagai takdir yang harus diterimanya. Begitupun Dalam lakon Pedra,
kesadaran akhirnya muncul dalam diri Pedra bahwa cintanya pada Hipolitus (sang
anak angkat) adalah sesuatu yang tidak pantas, terlebih lagi Hipolitus ternyata
hanya mencintai Aricia.
Kedua lakon tersebut menggambarkan
dengan kental kekuatan cinta dalam makna yang material (cerminan artistik)
dengan akal sehat sebagai cerminan spiritual. Kontek ini terasa sekali memiliki
kesinambungan dengan semangat teater Barok yang mengungkapkan keganjilan
sebagaimana cinta terlarang Pedra, sekaligus cerminan akal sehat sebagai
kandungan spiritualnya. Hipotesa yang kemudian muncul apakah ini membuktikan
suatu pengaruh dari ‘gaya Barok’, atau teater neoklasik telah menjadi kekuatan
yang justru mempengaruhi, atau mungkin sekedar merupakan sesuatu yang
kebetulan.
E.
Teater Romantik : Strum und Drang
Gagasan
teater Romantik (abad XVIII M) dicetuskan sebagai bentuk penolakan terhadap
konsep teater Neo-klasik yang dipelopori oleh Racine dan Corneille di Perancis.
Gagasan teater ini di pelopori oleh Wolfgang von Goethe (1749-1832) dan
Friedrich von Schiller (1759-1805). Dalam Berenice (karya : Racine, Neo-Klasik) misalnya, Antoikus harus menerima
cintanya yang bertepuk sebelah tangan, karena Berenice ternyata lebih mencintai
Titus, kaisar Roma yang baru. Berenice pun harus memupus harapannya, karena di
roma telah berlaku larangan bagi Kaisar Roma untuk menikah dengan Ratu atau
Raja bawahannya. Contoh ini menunjukan bahwa kekuatan "rasa" dalam
lakon Neo-klasik dibatasi oleh akal sehat. Pencapaian keinginan tokoh-tokoh
dalam lakon Neo-klasik pada akhirnya menitikberatkan kekuatan tokoh-tokohnya
dalam ‘menundukan’ dirinya sendiri. Itulah sebabnya kaum Romantik menolak hal
tersebut dan beranggapan bahwa manusa harus dimerdekakan dari hal-hal yang
normatif, karena hal tersebut hanya akan membelenggu semangat juang dan
kreatifitas. Wajarlah, jika momentum kelahiran teater Romantik dianggap sebagai pengukuhan kredo : L'art pour L'art.
Kaum
Romantik mengidentikan semangat dan keinginan manusia sebagai Strum und
Drang (taufan dan tekanan). Dalam pandangannya : gairah, nafsu dan emosi
adalah segala-galanya (gefuhl ist Alles). Merujuk konsep tersebut maka
tingkah laku manusia ditentukan oleh semangat yang berkobar-konar, nafsu yang
meluap-luap dan emosi yang sangat kuat (Saini Km,2002 : 163). Hal ini dapat di
simak dari lakon Schiller, yang berjudul Perampok, terjemahan Saini KM.
Dalam Lakon tersebut digambarkan dua orang kakak beradik, yakni Legowo dan
Sudrajat. Legowo pada satu sisi digambarkan sebagai raja yang budiman,
bijaksana dan penuh belas kasih. Sementara Sudrajat digambarkan sebaliknya. Dalam
perjalanannya, Sudrajat akhirnya berhasil menggulingkan kekuasaan Legowo, dan tumbuh
menjadi seorang Raja yang lalim, bengis dan sewenang-wenang. Sementara itu,
Legowopun memilh menjadi perampok yang "baik hati" untuk merongrong
kewibawaan Sudrajat. Akhirnya merekapun dipertemukan dalam sebuah peperangan
yang mengakibatkan mereka untuk saling membunuh.
Contoh
sinopsis Lakon diatas, memperlihatkan penggambaran watak dalam lakon Romantik
yang terkesan berlebihan (extravagant). Kejahatan Sudrajat melahirkan Strum
und Drung yang membuatnya begitu ringan hati untuk membunuh kakak
kandungnya, bahkan ibunya sendiri. Menjadi wajar kalau kemudian kaum Romantik
sangat mengidealkan lakon Shakespeare, Romeo Yuliet. Menurut Kaum
Romantik, kematian Romeo dan Yuliet adalah penyelesaian yang agung sebuah cinta sejati.
Di penghujung abad 19, drama Romantik akhirnya
mendapat kritikan tajam sebagai drama
yang menghamburkan fantasi, mimpi-mimpi dan harapan utopis. Drama ini juga
dituduh sebagai melodrama murahan yang sekedar memanjakan emosi. Bahkan, Para
pengkritik dari kalangan Marxis
berpendapat bahwa drama Romantik hanyalah produk kaum borjuis yang bisa menjadi
opium msyarakat untuk melupakan sikap-sikap progresif.
F.
Realisme : Ilusi Realitas yang
Obyektif
Gagasan
realisme (tahun 1850-an) dalam teater mulai mengemuka sebagai kritik tajam terhadap teater Romantik.
Jika drama klasik danggap sebagai drama yang cenderung memberi nasehat,
dekaden, dan tidak memiliki daya hidup, maka dalam pandangan pencetus realisme,
drama Romantik dianggap sebagi omong kosong dan tipuan belaka. Drama romantik
juga dinilai subyektif karena terlalu mengikuti perasaannya sendiri (Chairul
Anwar,2004 : 88).
Teater
Realisme merupakan cerminan sepotong kehidupan yang ditampilkan secara detail
namun apa adanya. Di atas panggung harus terbayang sepotong kehidupan, a
slice of life, sehingga seni panggung merupakan penyajian kembali kehidupan
inderawi secara obyektif bahkan mendekati serinci mungkin kenyataan ( Bakdi
Sumanto, 1991: 67). Itulah sebabnya, Realisme berusaha mewujudan apa yang
disebut " ilusi realitas". Konsep ini menegaskan bahwa realisme harus
mampu "memindahkan" kenyataan sehari-hari diatas panggung, bukan dalam
bentuk penggayaan (stilisasi) atau merusak (mendistorsi), tetapi menyajikannya setepat mungkin sehingga
ilusipun tercapai.
Secara
tematis realisme menengarai keberadaan manusia sebagai makluk -sebagaimana yang
diajarkan filsafat determinisme- yang tidak bebas memilih dan sangat di
tentukan lingkungan. Dalam kontek ini, realisme memilki suatu pemahaman bahwa
hipokrisi harus diperlihatkan, kebobrokan masyarakat yang dicerminkan oleh
tokoh-tokoh pentingnya harus diungkap. Setiap rentetan penyakit masyarakat
harus dibawa ke permukaan dan romantisme yang tidak produktif harus dibuang
jauh-jauh. Maka dalam Doll House (karya Hendrik Ibsen) egoisme laki-laki
dalam diri Torvald pun dipecundangkan oleh kemuliaan isterinya, Nora. Pun dalam
Ghost, kemunafikan Tuan Alving pun ditelanjangi sebagai borok nyata
kalangan borjuis.
Realisme
pada akhirnya menelurkan beberapa aliran dalam teater yang merupakan Variannya.
Varian yang paling menonjol adalah: naturalisme dan impresionisme. Perbedaan
mendasar dari dua varian itu terletak
pada gaya penuturan dalam lakon-lakonya. Jika naturalisme menampilkan manusia
dalam kenyataan yang ilmiah, bersandar pada determinisne untuk menonjolkan
fakta dan terlihat "garang" dalam memperlihatkan kemunafikan ataupun
dekadensi moral, maka impresionisme menyimpan konflik-konflik itu secara lebih ‘dalam’
tapi justru karena itulah penuturan menjadi terkesan tajam dalam memperlihatkan
derita manusia. Kalau naturalisme memberikan reaksi intelektualitas terhadap
setiap persoalan dengan mendiskusikan dan memperdebatkannya, maka dalam
impresionisme persoalan itu dipercakapkan, disinggungnya secara samar-samar
bahkan terkadang dengan kelakar, tapi
justru karena itulah tokoh-tokoh dalam lakonnya terkesan lebih
"menghayati" dan mengesankan ironi yang mendalam (Saini KM, 2002 :
159).
Secara
umum drama realisme pada akhirnya bertujuan untuk membeberkan realitas tanpa
melebihkan atau mengurangi. Dimensi kepahlawananpun ditinggalkan dengan cara
memperlihatkan manusia kebanyakan yang nyata dan sering ditemui dalam
keseharian, lengkap dengan carut marut dan kebobrokannya. Sebagaimana ungkapan
yang dicetuskan Anton P. Chekov (dramawan Impresionis): "kalau ingin
melihat manusia menjadi lebih baik, perlihatkanlah dia seperti apa
adanya".
G. Teater
Epik : Historifikasi dan Alinasi
Teater
epik muncul setelah adanya anggapan bahwa realisme hanya mampu menjangkau wilayah privat, dan gagal
memandang manusia dalam dimensi yang lebih luas. Konsep dasar yang melandasi
kelahiran teater ini adalah keyakinan pada ajaran materialisme Karl Marx.
Menurut Marx, manusia adalah bagian materi, oleh karenanya persoalan
kemanusiaan yang muncul lebih disebapkan oleh kegagalan manusia dalam memenuhi
kebutuhan primernya yang bersifat jasmaniah. Merujuk hal tersebut, maka
ketimpangan prilaku manusia lebih dikarenakan ketidakadilan penyebaran
alat-alat produksi. Biang keladinya pun dapat dijelaskan secara gamblang yakni
kekuasaan yang kapitalistis, korup, menghisap dan sewenang-wenang.
Teater
epik juga berpijak pada konsepsi Bertold Brecht
(1898-1956) yang menolak kepahlawanan sebagai tindakan yang rentan
menimbulkan pengkultusan. Dalam
pandangan Brecht, penindasan berlangsung bukan semata digerakkan oleh oknum-oknum
tertentu, tetapi merupakan suatu kejahatan sistem yang telah melembaga. Oleh
karenanya dibutuhkan penyadaran kolektif untuk melawannya ( Bakdi Sumanto, 1996
: 4). Merujuk hal tersebut, Brecht telah memiliki cara pandang yang berbeda
mengenai manusia. Menurutnya, kompleksitas manusia harus dilihat dalam latar
belakang yang lebih luas, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Pandangan
inilah yang menjadi esensi Historifikasi.
Teater
epik memandang penyadaran kolektif di atas dapat di bentuk dengan suatu cara yang memungkinkan para
penonton mampu mengevaluasi implikasi sosial ekonomi terhadap diri mereka,
setelah mereka menyaksikan apa yang ditampilkan teater tersebut Yudiaryani,
2002 : 249). Brecht mempercayai bahwa jika hal tersebut berlangsung efektif,
penonton akan percaya pada kebutuhan untuk mengubah kondisi sosial, serta
berusaha melakukan perubahan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Brect
kemudian menemukan satu metode yang kemudian disebut teknik alinasi (Verfremdungseffek).
Teknik
alinasi atau A-effek yang digagas Brecht, merupakan suatu bentuk
pengasingan dari kondisi alinasi seperti yang digambarkan Marx. Menurut Karl
Marx dalam bantahan pada teori sosial Hegel, alinasi manusia lebih disebapkan
oleh ketaksanggupannya dalam memenuhi kebutuhan materinya yang primer dan bukan
karena keterpasungan pada aspek-aspek
ideal (agama)(Ali Syai' ati, 1998 : 84). Dalam konteks ini, Brecht kemudian
berpendapat msyarakat harus "dialinasikan" dari kondisinya yang telah
teralinasi, sehingga mereka dapat menciptakan "jarak kritis" dan
turut mengevalusi persoalan, untuk kemudian dijadikan "kesadaran"
buat "bergerak". Inilah yang menjadi subtansi efek alinasi dalam teater epik. Bentuk
alinasi tersebut dilakukan dengan berbagai interupsi, nyanyian-nyanyian, dan
mendudukan aktor-aktornya sebagai "orang Ketiga" yang
"berjarak" dengan tokoh yang dimainkan, dan dipergunakannya Ekspositor
(narator) yang berfungsi sebagai pengantar cerita. Efektivitas alinasi tersebut
ditandai dengan terjaganya penonton bahwa yang terjadi didepannya hanya
pertunjukan teater, sehingga penontont dapat membebaskan di dari empati pada
tokoh-tokoh yang ada dipanggung, untuk kemudian dapat leluasa menganalisa persoalan. Teater
epik pada akhirnya telah menjadi tonggak baru lahirnya teater yang kemudian
disebut realisme sosial.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Chairul, Drama, Bentuk- Gaya
dan Aliran, Yogyakarta: Elkaphi, 2005.
Said,
Nur, "Pendekatan Sosiologi Teater dan Permasalahannya", Jurnal
Pengetahuan dan Penciptaan Seni, Yogyakarta: BP ISI, edisi VI/03, Januari
1999.
Saini KM, Kaleidoskop Teater
Indonesia, Bandung: STSI Press Bandung, 2002.
Soemanto,
Bakdi, "Seni, Kritik, Sosial, Masyarakat" makalah seminar nasional
Seni dan Kekuasaan, Agenda Kritis dan Introspeksi dalam Kultur Politik Orde
Baru, SM-ISI Yogyakarta, 22 Juni 1996.
_________,
"Memahami Naskah Lakon Absurd, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni,
Yogyakarta: BP ISI, edisi I/01, Mei 1991.
Sumardjo, Yacob, Iktisar Sejarah
Teater Barat, Bandung: Rosda Karya, 1996.
Syariati, Ali, Tugas Cendikawan
Muslim, Jakarta: Pustaka Rajawali, 1998.
Yohanes
Beny, "Muatan Lokal dalam Teater
Indonesia" dalam Teater untuk Dilakoni, Muhammad Sunjaya dkk., ed.,
Bandung: STB, 1993.
Yudiaryani, Panggung Teater Dunia,
Yogyakarta: Pustaka Gondho uli, 2002.
0 Response to "Melacak Perkembangan Konvensi dalam Teater "
Post a Comment