GEORGE NOVACK
PENGANTAR LOGIKA MARXISME
Sumber
: George Novack, An Introduction to The Logic of Marxism, bahan kuliah
Terjemahan Indonesia : Jurnal KIRI,
Volume 3, Oktober 2000, Penerbit Neuron.
Versi
Online
: Indomarxist.Net, November 2002;
Marxists Internet Archive, Desember 2002.
Keterangan
: Ijin publikasi online ini adalah untuk tujuan non-komersil.
Daftar Isi
Bahan I
: Logika Formal dan Logika Dialektik
Bahan
II : Keterbatasan
Logika Formal
Bahan I:
Logika Formal dan Logika Dialektik
Logika Formal dan Logika Dialektik
Pelajaran di bawah ini adalah tentang pemikiran dialektika
materialis, atau apa yang dikenal sebagai logika Marxisme.
Betapa mengejutkan, apakah pelajaran ini memang penting? Di
sini berkumpul anggota dan simpatisan dari sebuah partai revolusioner yang, di
tengah-tengah perang dunia ke II, sedang berada di bawah tekanan pemerintahan.
Perang tersebut merupakan sebuah perang terbesar dalam sejarah dunia.
Buruh-buruh industri, kaum revolusioner profesional, berkumpul bersama bukan
untuk membicarakan dan memutuskan sebuah aksi bersama, tapi untuk mempelajari
sebuah ilmu yang menjadi tuntunan—sama seperti matematika tingkat tinggi—bagi
perjuangan politik sehari-hari sekarang ini.
Alangkah berbedanya dengan karikatur yang menyakitkan
tentang gerakan marxis seperti yang di gambarkan oleh tangan-tangan kelas
kapitalis! Kelas-kelas pemilik menggambarkan kaum sosialis yang revolusioner
sebagai orang-orang gila yang culas dan sedang membohongi diri sendiri dan
orang lain dengan pandangan-pandangan fantastisnya tentang dunia kelas
buruh. Kita pun bisa membuat karikatur seperti itu: penguasa-penguasa
kapitalis layaknya seperti anak-anak kecil yang yang sedang marah melihat
gambaran sebuah dunia tanpa ada mereka atau tanpa peran sentral mereka.
Mereka mengaku bahwa mereka lebih logis dan masuk akal.
Akhirnya, kini telah terbukti bahwa, dengan melihat bagaimana cara mereka
memandang dunia, bisa dipisahkan siapa sebenarnya yang irasional dan siapa yang
rasional dan masuk akal: kaum kapitalis kah atau musuhnya—kaum revolusioner.
Susunan masyarakat pada saat ini sedang menuju ke arah kekacauaan dan berlaku
seperti seorang maniak. Mereka menenggelamkan dunia ke dalam pembunuhan massal
untuk kedua kalinya dalam seperempat sejarah manusia; mereka menyalakan obor
peradaban; namun kemudian menghancurkannya tanpa sisa-sisa kemanusiaan. Dan juru
bicara mereka selalu menyebutkan kita “gila”, dan perjuangan kita untuk
sosialisme dilihat sebagai sebuah bukti yang “tidak realistis”.
Mereka yang salah! Dalam pertempuran melawan kekacauaan-gila
kapitalisme, demi sebuah sistim sosialis yang bebas dari penghisapan dan
penindasan kelas, bebas dari perang, bebas dari krisis, bebas dari perbudakan
imperialisme dan bebas dari barbarisme—kita, kaum marxis, merupakan orang-orang
yang paling beralasan dan masuk akal sepanjang hidup kita. Itu lah mengapa—tidak
seperti kelompok-kelompok politik lainnya—kita harus mempelajari ilmu logika
secara serius. Perjuangan kita melawan kapitalisme, demi sosialisme, tak bisa
digagalkan dengan cara menghancurkan logika kita karena logika kita adalah
sebuah alat yang tak dapat dihancurkan.
Logika atau cara pikir dialektika materialis, pasti lah
berbeda dengan logika atau cara pikir borjuis yang ada sekarang ini. Metode
kita, ide-ide kita—seperti yang ingin kita buktikan—lebih ilmiah, jauh lebih
praktis dan jauh lebih “logis” ketimbang logika (cara pikir) lainnya. Kita
menyusunnya dengan berbagai perbandingan dan jauh lebih lengkap karena diisi
oleh prinsip-prinsip mendasar ilmu-pengetahuan yang bisa menemukan logika
hakikat relasi-relasi semua realita—oleh karenanya, hukum-hukum berfikir bisa
disebarkan luaskan pada yang lain (pada masyarakat di sekeliling kita yang
terlihat tak berperasaan) dan dapat dipelajari. Itu lah metode kita—walaupun
harus hidup di tengah-tengah kegilaan kelas kapitalis. Tugas kita adalah
menemukan hukum-hukum yang paling umum dari logika terdalam alam, masyarakat
dan jiwa manusia. Sementara borjuis kehilangan akal sehatnya, kita harus
mencoba mengembangkan dan memperjelas logika kita.
1. Pengertian Awal Logika
Logika
adalah sebuah ilmu. Setiap ilmu memperlajari suatu gerak khusus dalam
hubungannya dengan corak gerak material lainnya, dan berusaha untuk
menemukan hukum-hukum umum dan corak tertentu dari gerakan tersebut. Logika
adalah ilmu tentang proses berfikir. Seorang akhli logika mempelajari kegiatan-kegiatan
proses berfikir yang ada di kepala setiap manusia dan mencoba merumuskan
hukum-hukum, bentuk-bentuk dan inter-relasi semua proses mentalnya.
Dua tipe penting logika pernah muncul dalam dua tahap
perkembangan ilmu logika, yakni: logika formal dan logika dialektik. Keduanya
merupakan bentuk-bentuk perkembangan tertinggi gerak mental. Keduanya memiliki
kesesuaian fungsinya—pengertian sadar terhadap semua bentuk gerak.
Walaupun kita baru saja tertarik pada dialektika materialis,
jangan lah kita langsung mempelajari dialektika materialis sebagai cara
berfikir. Kita harus mendekati dialektika secara tidak langsung dengan pertama
kali menguji ide-ide mendasar dari jenis lain cara berfikir: cara berfikir
logika formal. Sebagai metode berfikir, logika formal adalah lawan dari
dialektika materialis.
Dalam ilmu logika, mengapa kita harus memulai pelajaran kita
tentang motode dialektika dengan mempelajari lawannya?
2. Perkembangan Logika
Ada
beberapa alasan mengapa cara tersebut kita ambil. Pertama, dalam sejarah
perkembangan cara berfikir, dialektika merupakan perkembangan lebih lanjut dari
logika formal. Logika formal adalah sebuah ilmu-pengetahuan besar tentang
sistim proses berfikir. Logika formal merupakan hasil karya filasat zaman
yunani kuno. Pemikir-pemikir Yunani kuno awal lah yang menemukan metode
berfikir. Pemikir Yunani kuno, seperti Aristoteles, mengumpulkan,
mengkelasifikasikan, mengkritik dan mensistimasikan hasil-hasil positif dari
berbagai pemikiran dan membangun sebuah sistim berfikir yang disebut logika
formal. Euklides melakukan hal yang sama untuk dasar-dasar geoemetri;
Archimides untuk dasar-dasar mekanika; Ptolomeus dari Alexandria kemudian
menemukan astronomi dan geografi; dan Galen untuk anatomi.
Logika aristoteles mempengaruhi cara berfikir umat manusia
selama dua ribu tahun. Cara fikir tersebut tidak memiliki lawan sampai kemudian
ditantang, dijatuhkan dan menjadi ketinggalan zaman oleh dan karena dialektika,
sebuah sistim besar kedua dalam ilmu cara berfikir. Dialektika merupakan hasil
dari gerakan ilmu-pengetahuan revolusioner selama seabad, yang dilakukan oleh
pekerja-pekerja intelektual. Dialektiaka muncul sebagai cara fikir
terbaru dari filsuf-filsuf besar dalam Revolusi Demokratik di Eropa Barat pada
abad ke-6 dan abad ke-17. Hegel, seorang tokoh dari sekolah filsafat idealis
(borjuis) di Jerman, adalah seorang guru besar yang pertama kali
mentransformasikan ilmu logika, seperti di sebutkan oleh Marx: “bentuk-bentuk
umum gerakan dialektika yang memiliki cara yang komprehensif dan sadar
sepenuhnya.”
Marx
dan Engels adalah murid Hegel di lapangan Logika. Dalam ilmu logika, mereka
berdua lah yang kemudian melakukan revolusi pada revolusi Hegelian—dengan
menyingkirkan elemen mistik dalam dialektikanya, dan menggantikan dialektika
idealistik dengan sebuah landasan material yang konsisten.
Pada saat kita mendekati dialektika materialis dengan
menggunakan logika formal, kita harus memundurkan langkah kita pada
sejarah aktual kemajuan ilmu logika, yakni perkembangan dari logika formal
menuju ke logika dialektik.
Adalah salah jika kita mengira bahwa sejarah perkembangan
cara berfikir adalah seperti ini: bahwa para filsuf Yunani tidak mengetahui
soal dialektika; atau mengira Hegel dan Marx menolak sepenuhnya logika formal.
Seperti yang dituliskan oleh Engels: “filsuf yunani kuno sudah dialektik sejak
kemunculannya dan Aristoteles, sebagai intelektual yang paling ensiklopedis di
antara mereka, bahkan sudah menganalisa bentuk-bentuik paling esensial
pemikiran dialektik.” Tak ketinggalan pula, dialektika muncul dalam bentuk
cikal bakalnya dalam pemikiran filsuf Yunani. Namun filsuf Yunani belum dan
tidak dapat mengembangkan serpihan-serpihan pemikiran dialektik dalam sebuah
sistimatika berfikir yang ilmiah. Mereka menyumbangkan serpihan-serpihan
pemikiran tersebut hingga menjadi bentuk akhir logika formal Aristoteles. Pada
saat yang bersamaan, penelitian dialektika mereka, kritisisme pada cara fikir
formal dan sebaliknya—dan semua persoalan yang dihadapinya—dilakukan dengan
keterbatasan logika formal, yang diperjuangkan selama berabad-abad—yang,
kemudian, dapat diselesaikan oleh dialektika hegelian dan, kini, oleh
dialektika marxis.
Para akhli Dialektika modern tidak melihat logika formal
sebagai sesuatu yang tak berguna. Sebaliknya, mereka menganggap bahwa logika
formal tidak sekadar sesuatu yang penting dalam sejarah perkembangan metode
berfikir tapi juga cukup penting pada saat ini agar berfikir benar. Tapi, dalam
dirinya, logika formal jelas kurang lengkap. Unsur-unsur absyahnya menjadi
bagian dalam dialektika. Hubungan antara logika formal dengan dialektika
menjadi berkebalikan. Di dalam pemikiran Yunani klasik sisi formal logika
menjadi dominan dan aspek dialektiknya menjadi tergeser. Dalam ajaran modern,
dialektika berada di garda depan dan sisi formal logika menjadi sub-ordinat
terhadapnya.
Karena kedua tipe yang bertentangan tersebut memiliki banyak
kesamaan, dan logika formal masuk sebagai materi struktural dalam kerangka
logika dialektik, maka berguna sekali bagi kita menguasai logika formal. Dalam
mempelajari logika formal secara tak langsung kita sudah siap menuju logika
dialektik. Dengan mengakui, atau setidaknya sedikit mengakui, logika
formal, kita telah siap memisahkan logika formal dari logika dialektik. Hegel
menunjukkan hal yang sama: ”Dalam kedekatannya yang terbatas (antara logika
formal dan logika dialektik) terdapat suatu kotradiksi yang bisa menyumbangkan
sesuatu ke belakang dirinya (logika dialektik).”
Akhirnya, lewat prosedur tersebut, kita mendapatkan
pelajaran berharga dalam pemikiran dialektik. Hegel menjelaskan lagi: “Sesuatu
tidak bisa dikenali secara menyeluruh sebelum mengenali lawannya.” Contohnya,
kau tidak dapat benar-benar mengerti tentang seorang buruh-upahan sampai kau
mengetahui bagaimana sebaliknya lawan sosial ekonominya, kelas kapitalis. Kau
tidak dapat mengetahui Trotskyisme sampai kau mempelajari secara mendalam
esensi antitesis politiknya, yakni Stalinisme. Jadi kau tak akan bisa
mempelajari kedalaman dialektika tanpa pertama kali mempelajari secara mendalam
sejarah pendahulunya dan antitesis teoritisnya, yakni logika formal.
3. Tiga Hukum Dasar Logika Formal
Ada tiga hukum dasar logika formal. Yang pertama dan
terpenting adalah hukum identitas. Hukum tersebut dapat disebutkan dengan
berbagai cara seperti: “sesuatu adalah selalu sama dengan atau identik dengan
dirinya, dalam Aljabar: A sama dengan A.”
Rumusan khusus hukum tersebut tak terlalu penting. Pemikiran
esensial dalam hukum tersebut adalah seperti berikut. Dengan mengatakan bahwa
sesuatu itu sama dengan dirinya, maka dalam segala kondisi tertentu sesuatu itu
tetap sama dan tak berubah. Keberadaannya absolut. Seperti yang dikatakan oleh
akhli fisika: ” materi tidak dapat di buat dan dihancurkan.” Materi selalu
tetap sebagai materi.
Jika sesuatu adalah selalu dan dalam semua kondisi sama atau
identik dengan dirinya, maka ia tidak dapat tidak sama atau berbeda dari
dirinya. Kesimpulan tersebut secara logis patuh pada hukum identitas: Jika
A selalu sama dengan A, maka ia tidak pernah sama dengan bukan A (Non-A).
Kesimpulan tersebut dibuat secara eksplisit dalam hukum kedua
logika formal: hukum kontradiksi. Hukum kontradiksi menyatakan bahwa A adalah
bukan Non-A. Itu tidak lebih dari sebuah rumusan negatif dari pernyataan
posistif, yang dituntun oleh hukum pertama logika formal. Jika A adalah A, maka
menurut pemikiran formal, A tidak dapat menjadi Non-A. Jadi hukum kedua dari
logika formal, yakni hukum kontradiksi, membentuk tambahan esensial pada hukum
pertama. Beberapa contoh: manusia tidak dapat menjadi bukan manusia; demokrasi
tidak dapat menjadi tidak demokratik; buruh-upahan tidak dapat menjadi bukan
buruh-upahan.
Hukum kontradiksi menunjukkan pemisahan perbedaan antara
esensi materi dengan fikiran. Jika A selalu sama dengan dirinya maka ia tidak
mungkin berbeda dengan dirinya. Perbedaan dan persamaan menurut dua hukum di
atas adalah benar-benar berbeda, sepenuhnya tak berhubungan, dan menunjukkan
saling berbedanya antara karakter benda (things) dengan karakter fikiran
(thought)
Kwalitas yang saling berbeda dan terpisah dari setiap benda
ditunjukkan dalam hukum yang ketiga logika formal. Yakni: hukum tiada
jalan tengah. (the law of excluded middle). Menurut hukum tersebut
segala sesuatu hanya memiliki salah satu karakteristik tertentu. Jika A sama dengan A, maka ia tidak dapat
sama dengan Non-A. A tidak dapat menjadi bagian dari dua kelas yang
bertentangan pada waktu yang bersamaan. Dimana pun dua hal yang berlawanan
tersebut akan saling bertentangan, keduanya tidak dapat dikatakan benar atau
salah. A adalah bukan B; dan B adalah bukan A. Kebenaran dari sebuah pernyataan
selalu menunjukkan kesalahan (berdasarkan lawan pertentangannya) dan sebaliknya.
Hukum yang ketiga tersebut adalah sebuah kombinasi dari dua
hukum pertama dan berkembang secara logis.
Ketiga hukum tersebut mencakup sebagian dasar-dasar logika
formal. Alasan-alasan formal berjalan menurut proposisinya. Selama 2.000 tahun
aksioma-aksioma yang jelas dalam sistim berfikir Aristoteles telah menguasai
cara berfikir manusia, layaknya hukum pertukaran dari nilai yang sama, yang
telah membentuk fondasi bagi produksi komoditi masyarakat.
Lihatlah contoh dariku tentang sistim berfikir Aristoteles,
sebagai berikut: dalam bukunya yang berjudul Posterior Analytics ( Buku
I; Bagian 33), Aristoteles mengatakan bahwa seseorang tidak dapat secara terus
menerus memahami bahwa manusia pada dasarnya adalah hewan, dengan demikian bisa
juga dikatakan bahwa manusia adalah bukan hewan. Dengan demikian, manusia pada
dasarnya adalah seorang manusia dan tidak dapat dianggap bukan manusia.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan dalam hukum logika
formal. Kita mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan kenyataan. Teori
perkembangan alam mengajarkan bahwa tidak bisa lain—manusia pada dasarnya
adalah binatang. Secara logika manusia adalah binatang. Tapi kita ketahui juga
dari teori evolusi sosial, bahwa manusia adalah kelanjutan dari perkembangan
evolusi binatang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara esensial ia
adalah manusia, yang spesiesnya cukup berbeda dengan binatang lainnya. Kita
mengetahui bahwa hal tersebut merupakan dua hal: yang satu dengan yang lainnya
berbeda pada saat yang bersamaan. Aristoteles dan hukum logika formal tidak
dapat berlaku lagi.
4. Isi Material dan Realitas
Obyektif Hukum-hukum Tersebut
Kita
bisa melihat dari contoh tersebut betapa cepat dan spontannya karakter
dialektik suatu materi, oleh karena itu, dengan segera, muncul lah pemikiran
yang merupakan cermin kritis terhadap pikiran formal. Walaupun ada suatu
intensitas yang mengetatkan logika formal, namun tetap saja kita akan tergiring
dan terdorong untuk melangkah lebih ke depan, melewati batas logika formal,
pada saat kita hendak mencari kebenaran sesuatu hal. Dan sekarang kita kembali
kepada logika formal
Seperti yang aku katakan sebelumnnya, dialektika modern
tidak menolak kebenaran yang dikandung oleh hukum-hukum logika formal. Sikap
penolakan terhadap logika formal akan berlawanan dengan semangat dialektika,
yang melihat beberapa kebenaran dalam kenyataan logika formal itu sendiri. Pada
saat bersamaan, dialektika membuat kita bisa melihat batas-batas dan kesalahan
dalam memformalkan pandangan tentang sesuatu.
Hukum-hukum logika formal berisikan unsur-unsur kebenaran
yang sangat penting dan tak bisa ditolak. Semua hukum tersebut bukan lah
merupakan jeneralisasi pikiran-pikiran yang random dan hasil khayalan yang tak
berarti. Hukum-hukum tersebut keluar lewat sebuh proses dunia nyata yang,
selama ribuan tahun, oleh Aristoteles dan para pengikutnya, digunakan oleh
peradaban manusia. Jutaan orang yang belum pernah mendengar tentang Aristoteles
dan pikiran-pikirannya, sampai sekarang, berpikir untuk mengabaikan hukum-hukum
awal yang pertama kali dirumuskannya. Mereka, yang seperti itu, tak akan bisa
sampai mengerti tentang hukum-hukum gerak Newton—walaupun mereka dapat melihat
kerangka fisik setiap hasil pemikiran Newton, namun mereka gagal memahami teori
Hukum Newton tersebut secara lengkap. Dalam dunia obyektif, mengapa orang
berfikir dan melakukan pensejajaran antara hukum-hukum Newton dengan
hukum-hukum Aristoteles. Karena, kenyatannya, hukum berpikir Aristotles
memiliki isi yang material, sama halnya juga dalam dunia objektif, sama halnya
juga dalam hukum gerak mekanika Newton. “…metode berpikir kita, apakah itu
logika formal atau logika dialektik, bukan lah sebuah susunan serampangan
akal sehat kita tapi lebih sebagai sebuah ekspresi interelasi-aktual dalam alam
kita sendiri.”[1]
Karakter macam apa yang ada dalam realitas material yang
hendak dicerminkan, dan secara konseptual dihasilkan kembali, oleh hukum-hukum
berfikir formal?
Hukum
identitas bertujuan merumuskan fakta material agar bisa mendefinisikan segala
sesuatu dan memperlakukan segala hal dalam semua perubahan fenomenanya. Dimana
pun kelanjutan (perubahan) esensial hadir dalam realitas, hukum identitas tetap
bisa mendeteksinya.
Kita tak bisa berbuat atau berfikir secara sadar bila menolak
hukum tersebut. Jika kita tidak bisa lagi mengenali diri kita sendiri karena
amnesia atau karena sesuatu hal—karena kerusakan mental, misalnya—hingga
menghilangkan kesadaran identitas pribadi kita, maka diri kita akan hilang.
Tapi hukum identitas hanya lah absyah untuk melihat dunia secara universal
ketimbang untuk melihat kesadaran manusia itu sendiri. Hukum tersebut muncul
setiap hari dan dimana saja dalam kehidupan sosial. Jika kita tidak bisa
mengenali bagian mental yang sama, lewat beberapa tindakan, maka kita tidak
akan bisa melakukan produksi. Jika seorang petani tidak bisa mengerti
perkembangan jagung yang ia tanam dari biji sampai menghasilkan jagung lagi,
dan kemudian menjadi bahan makanan, maka tidak mungkin ada pertanian.
Anak-anak yang telah mengerti lebih jauh, bisa memahami alam
dunianya saat pertama kali ia menemukan fakta bahwa ibu yang menyusuinya adalah
orang yang sama yang, dengan berbagai cara, memberinya makan. Pengenalan
kebenaran dengan cara seperti itu tak lain merupakan sebuah contoh khusus
tentang pengenalan terhadap hukum identitas.
Jika kita tidak jernih melihat proses perkembangan dan
perubahan-perubahan menuju negara kelas pekerja, maka kita tentu saja akan
dengan mudah terjebak dalam kekacauan pemahaman saat berupaya untuk mengerti
tentang perjungan kelas yang ada sekarang. Dalam kenyataannya, oposisi borjuis
kecil menjawab dengan cara yang salah ketika merespon persoalan yang terjadi di
Rusia, tidak hanya karena mereka menolak metode dialektik, tapi juga karena
mereka tak bisa mengaplikasikan hukum identitas secara tepat. Dalam proses
perkembangan Soviet Rusia, mereka tak bisa melihat—lepaskan dari Uni Sovyet
yang di bangun selanjutnya oleh rejim Stalin—bahwa Uni Soviet bisa
mempertahankan landasan–landasan sosial ekonomi negara kelas pekerja, yang
didirikan oleh kelas buruh dan petani Rusia setelah revolusi oktober.
Kelasifikasi secara benar, yang lepas dari perbandingan yang berbasiskan suka
tidak suka, merupakan suatu basis yang sangat penting dan sebagai langkah awal
dalam investigasi ilmiah. Kelasifikasi sangat penting untuk memilah penambahan
terhadap kelas yang sama dan pengurangan terhadap kelas yang berbeda serta
untuk menyatukan kelas-kelas yang berbeda—semua itu tak mungkin dilakukan tanpa
menggunakan hukum identitas. Teori Darwin tentang revolusi pengorganisasian
manusia berasal dan tergantung dari pengenalan terhadap identitas esensial
berbagai makhluk yang berbeda di atas bumi ini. Hukum gerak mekanik Newton
dapat disimpulkan berasal dari gerak massa, dari logika batu jatuh hingga
planet-planet yang berputar dalam sistim matahari. Semua ilmu-pengetahuan lahir
dan merupakan bagian dari hukum identitas.
Hukum identititas mengarahkan hingga bisa mengenali keragaman,
perubahan permanen, kesamaan, pemisahan dan penampakan yang berbeda, guna
mencakup keseluruhan semua itu, serta guna mendapatkan penghubung antar
fase-fase berbeda dari fenomena tertentu. Oleh sebab itu, penemuan dan
penggunaan hukum tersebut disimpulkan telah membuat sejarah dalam pemikiran
ilmiah dan, oleh karenanya, kita memberikan penghargaan pada Aristoteles untuk
semua yang telah dirumuskannya. Oleh karena itu pula, manusia berbuat dan
berpikir sesuai dengan hukum dasar logika fiormal tersebut.
Mungkin akan muncul pertanyaan: “bagaimana hukum tersebut
berlaku secara gampangannya? Jawabnya: fakta bahwa sesuatu adalah
sesuatu.
Amat lah penting kehadiran hukum dasar tersebut dalam
sejarah. Merupakan sebuah kemajuan yang besar sekali dalam sistim pengetahunan
tentang dunia ketika manusia menemukan bahwa awan, uap, hujan dan es semuanya
berasal dari air. Atau bawah surga dan bumi adalah dua hal yang bertentangan
namun juga sama (surga di bumi). Ilmu Biologi mengalami revolusi dengan
penemuan bahwa kehidupan organisme bersel satu dan manusia terdiri dari
substansi yang sama. Ilmu fisika mengalami revolusi dengan bisa ditunjukkannya
bahwa semua bentuk gerak material dapat saling bertukar dan secara esensial
sama.
Tidak kah merupakan sebuah langkah yang menakjubkan dalam
pengetahuan sosial dan politik ketika kelas pekerja menemukan pengetahuan, di
satu sisi, bahwa upah kerja adalah upah kerja dan, di sisi lain, kapitalis
adalah kapitalis. Pengetahuan bahwa buruh di mana saja memiliki kepentingan yang
sama, menembus batas wilayah, nasional dan ras. Sehingga pengakuan terhadap
kebenaran yang berasal dari hukum identitas adalah sebuah syarat untuk menjadi
seorang sosialis yang revolusioner.
Satu hal, bagaimanapun kita memperhatikan dan menggunakan
suatu hukum, adalah merupakan hal yang berbeda dengan mengerti dan
memformulasikannya dalam sebuah cara yang ilmiah. Semua orang dapat bertindak
sesuai dengan hukum namun sulit untuk mengetahui bagaimana hukum tersebut
beroperasi. Sama dengan hukum logika itu sendiri. Setiap orang berpikir tapi
tak seorang pun tahu hukum yang mana yang sedang berlangsung dalam
pemikirannya.
Hukum kontradiksi merumuskan fakta-fakta material yang hadir
secara bersamaan dengan yang lainnya, dan bisa dalam keadaan-keadaan yang berbeda-beda.
Secara nyata aku tidak sama dengan anda—jelas kita berbeda. Atau aku hari ini
berbeda dangan aku kemarin—jelas keberadaanku berbeda. Atau Uni Soviet berbeda
dengan negeri lainnya, dan perkembangan Uni Soviet membedakan Uni Sovyet dahulu
dengan Uni Sovyet sekarang—jelas perbedaan-perbedaannya.
Hukum formal kontradiksi, atau penajaman perbedaan-perbedaan
adalah penting untuk memperoleh kelasifikasi yang tepat sesuai dengan hukum
identitas. Tanpa keberadaan perbedaan-perbedaan tersebut, tak perlu ada
kelasifikasi, tanpa identitas maka tak mungkin melakukan kelasifikasi.
Hukum tak ada jalan tengah (excluded middle)
menunjukkan bahwa semua hal saling bertentangan dan saling mengisi dalam
kenyataannya. Aku pasti lah aku atau orang lain; hari ini aku seharusnya sama
atau berbeda dengan kemarin; Uni Soviet seharusnya sama atau berbeda dengan negeri
lain; aku pasti lah manusia atau binatang; aku tidak dapat secara bersamaan
merupakan dua identitas yang berbeda.
Oleh karenanya, hukum logika formal mengekspresikan masa
depan yang merepresentasikan dunia nyata. Hukum-hukum tersebut berisi suatu
materi dan suatu dasar objektif. Hukum-hukum tersebut secara bersamaan
merupakan hukum berfikir, hukum masyarakat dan hukum alam. Ketiga akar Hukum
tersebut memiliki karakter universal.
Ketiga hukum yang kita pelajari di atas bukan merupakan
keseluruhan logika formal. Namun merupakan hukum-hukum dasar yang sederhana. Di
atas dasar itu lah, dan di luar darinya lah, muncul sejumlah struktur
ilmu logika yang kompleks, yang memiliki kerumitan rincian-rincian setiap
elemennya, dan yang di dalamnya memiliki bentuk mekanisme berpikir. Tapi kita
tak akan masuk ke diskusi tentang berbagai kategori, bentuk proposisi,
sikap-sikap, silogisme dan yang lainnya, yang membentuk isi tubuh logika
formal. Hal tersebut bisa dicari di buku tentang logika elementer lainnya. Secara
prinsipil kita lebih peduli pada pemahaman ide-ide esensial logika formal, tapi
bukan pada detail perkembangannya.
5. Logika Formal dan Akal Sehat
Dalam lingkaran intelektual borjuis, akal sehat dijadikan
satu pola dan cara berfikir serta menjadi penuntun tindakan. Hanya
ilmu-pengetahuan yang dilandasi akal sehat lah yang bisa berada pada hirarki
nilai yang tinggi. Atas nama akal sehat dan ilmu-pengetahuan, misalnya, Max
Eastman menuduh Marxis sebagai penjunjung dialektika metafisik dan mistik.
Sialnya, ideolog-ideolog borjuis dan borjuis kecil jarang menginformasikan pada
kita apa sisi logis akal sehat mereka dan bagaimana hubungan antara akal sehat
dengan ilmu-pengetahuan? Kita akan menjawab mereka! Kenyataannya, mereka yang
anti dialektika sebenarnya tidak hanya tidak tahu apa dialektika itu. Mereka
bahkan tak tahu apa logika formal itu. Hal itu tidak mengejutkan. Apa kah kelas
kapitalis tahu apa itu kapitalisme, bagaimana hukum-hukumnya beroperasi? Jika
mereka tahu, mereka akan sadar akan krisis dan perang yang mereka buat, dan tak
akan seyakin sekarang dengan sistim yang mereka nikmati itu. Stalinis tak tahu
apa sebetulnya stalinisme itu dan akan ke mana arah sistim tersebut. Jika
mereka tahu mereka tidak akan lagi menjadi Stalinis, atau mereka akan menjadi
sesuatu yang lain.
Sejauh ini, akal sehat masih secara sistimatis tersusun dan
memiliki karakter logis, serta akal sehat menyatu dengan logika formal. Akal
sehat bisa diurai menjadi bentuk yang tidak sistimatis dan setengah sadar dalam
hubungannya dengan ilmu-pengetahuan logika formal. Ide-ide dan metode logika
formal yang digunakan sekarang, sebenarnya, telah digunakan sejak berabad-abad
yang lalu, memiliki saling hubungan dengan proses berfikir kita, masuk dalam
pabrik peradaban kita, dan nampak bagi kebanyakan orang sebagai sesuatu
yang normal, ekslusif, serta bercorak pikir wajar. Konsepsi dan mekanisme
logika formal, seperti silogisme, merupakan alat berfikir yang seakrab dan
seuniversal layaknya pisau tajam.
Seperti kita ketahui, borjuis percaya bahwa masyarakat
kapitalis akan abadi karena, menurut mereka, merupakan hal yang ilmiah dan tak
dapat diubah. Sosialisme, kata mereka, adalah tidak mungkin dan tidak masuk
akal sehat karena manusia akan selalu terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan.
yakni yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah, pemerintah dan yang
diperintah, yang bermilik dan yang tak bermilik, dan setiap kelas akan berjuang
sampai mati demi hidup yang lebih baik. Sebuah bentuk organisasi sosial yang
tanpa kelas, yang terencana sehingga tidak anarki, yang melindungi si lemah
melawan si kuat, terlihat absur, tak masuk akal, bagi mereka. Mereka melihat
ide sosialis sebagai fantasi, harapan-harapan kosong.
Sampai kita tahu sosialisme bukan lah sebuah mimpi tapi sebuah
keniscayaan sejarah. Sebagai sebuah tahapan evolusi sosial selanjutnya. Kita
tahu kapitalisme tidak lah abadi tapi suatu bentuk sejarah tertentu cerminan
produksi material, yang terbentuk karena perkembangan produksi sosial, dan
takdirnya: akan digantikan oleh bentuk yang lebih superior, produksi sosialis.
Mari kita lihat ilmu berpikir dari satu titik yang sama,
yakni dengan melihat pada ilmu sosial. Pemikir-pemikir Borjuis dan borjuis
kecil percaya bahwa pemikiran formal adalah bentuk akhir yang sudah final dan
pas. Mereka menolak dilalektika materialis sebagai bentuk tertinggi pemikiran.
Kau ingat, ketika seseorang bertanya tentang kapitalisme
permanen atau berargumentasi tentang pentingnya sosialisme, kau akan jatuh
dalam keraguan pada ide-ide revolusioner yang baru. Kenapa? Karena dirimu telah
diperbudak oleh ide penguasa zaman kita yang, seperti di katakan Marx, sebagai
ide-ide kelas penguasa. Ide-ide kelas penguasa dalam ilmu logika sekarang ini
adalah ide-ide logika formal yang lebih rendah, lebih hina, dari akal sehat.
Semua bagian dan kritik dialektika sebenarnya berdiri di atas landasan logika
formal—terserah mereka mau mengakuinya atau tidak.
Tak diragukan lagi, dalam masyarakat kita, ide-ide logika
formal berisikan semua praduga teoritis yang paling kepala batu. Meski telah
beberapa orang menanggalkan keyakinannya terhadap kapitalisme, dan telah
menjadi sosialis yang revolusioner, bisa saja mereka belum secara keseluruhan
bisa melepas kebiasaan logika formal mereka yang diperoleh dari kehidupan
borjuis sebelumnya. Kesungguhan seorang akhli dialektika bisa mengalami
kemunduran jika mereka tak berhati-hati dan sadar dalam cara berfikirnya.
Marxisme, selain menolak keabadian kapitalisme, ia juga
menolak keabadian kelas kapitalis. Pemikiran manusia telah berubah dan
berkembang sepanjang perkembangan umat manusia. Hukum berpikir tidak lah lebih
abadi daripada hukum yang ada di masyarakat. Sama halnya dengan kapitalisme,
yang hanya sekadar sebuah mata-rantai bentuk sejarah produksi sosial, demikian
halnya dengan logika formal, yang hanya sekadar sebuah mata-rantai bentuk
sejarah produksi intelektual. Seperti halnya kekuatan sosialisme, yang sedang
berjuang untuk menggantikan bentuk produksi sosial kapitalisme dengan sebuah
sistem yang lebih berkembang dan maju, demikian pula halnya pembela dialektika
materialis, sebagai sebuah logika sosialisme ilmiah, sedang berjuang melawan
logika formal yang telah ketinggalan zaman. Perjuangan teoritis dan praktek
politik praktis merupakan bagian yang integral satu dengan yang lainnya, dan
sama-sama berada dalam proses revolusioner.
Sebelum kemunculan astronomi modern, orang-orang percaya
bahwa matahari dan planet lainnya mengitari bumi. Mereka secara tidak kritis
percaya pada pembuktian akal sehat yang ditangkap oleh mata. Aristoteles
mengajarkan bahwa bumi telah pas dan sempurna. Tahun ini adalah peringatan 400
tahun penerbitan buku Copernicus. Sebuah revolusi pemikiran tentang tata
surya, yang menumbangkan pemikiran bahwa bumi adalah pusat kekuasaan.
Seabad kemudian Galileo membuktikan kebenaran teori
Copernicus. Semua profesor yang bertentangan dengan Copernicus mencemohkannya,
seperti yang dikeluhkan Galileo: ”Aku berharap bisa menunjukkan bahwa planet
Yupiter, yang menjadi satelit bagi para profesor di Florence, bisa mereka lihat
lewat mata mereka sendiri atau dengan teleskop.” Para profesor tersebut, atas
nama teori Aristoteles, menyerukan perlawanan terhadap usaha Galileo tersebut,
dan akhirnya menggunakan kekuasaan untuk memenjarakan Galileo. Pelayan-pelayan
negara dan gereja tersebut berhasil menekan argumen Galileo, melarang
pengedaran bukunya, menteror dan bahkan membunuh lawan-lawan ilmuwan lainnya
karena ide-ide mereka sangat revolusioner. Mereka membudak pada dominasi kelas
penguasa.
Sama halnya dengan dialektika, khususnya dialaektik
materialis, ide dan metode nya bahkan lebih revolusioner ketimbang ide
Copernicus tentang Astronomi. Pertama pemutarbalikan sorga yang selama ini
diagungkan oleh abad tengah, kemudian penajaman terhadap kelas progresif dalam
masyarakat yang akan memutarbalikan masyarakat kapitalis. Itu lah sebabnya
ide-ide dialektika materialis sangat ditentang oleh para pembela logika formal
dan akal sehat. Besok, dengan revolusi sosialis, dialektika akan menjadi akal
sehat dan logika formal akan mengambil posisi sub-ordiansi, hanya dianggap
sebagai penolong dalam cara berfikir ketimbang seperti yang berlaku sekarang
ini—mendominasi pemikiran, menyesatkan fikiran dan menghambat semua kemajuan
berfikir yang menjadi tuntutan zaman.
*
[1] Trotsky, Leon, In Defence of
Marxism, Hal. 84.
GEORGE
NOVACK
PENGANTAR LOGIKA MARXISME
Sumber
: George Novack, An Introduction to The Logic of Marxism, bahan kuliah
Terjemahan Indonesia : Jurnal KIRI,
Volume 3, Oktober 2000, Penerbit Neuron.
Versi
Online
: [Indomarxist.Net] [http://come.to/indomarxist]—November 2002
Marxists Internet Archive -- Des. 2002.
Keterangan
: Ijin publikasi online ini adalah untuk tujuan non-komersil.
Daftar Isi
Bahan I : Logika
Formal dan Logika Dialektik
Bahan II :
Keterbatasan Logika Formal
Bahan II: Keterbatasan Logika Formal
Pada bahan pelajaran
pertama kita telah menjawab tiga pertanyaan.
1. Apa
itu logika? Kita mendifininisikan logika sebagai sebuah ilmu proses berpikir
dalam hubungannya dengan semua proses yang lain di dunia ini. Kita telah
belajar mengetahui dua sistim penting dalam logika: logika formal dan logika
dialektik.
2. Apa
itu logika formal? Kita telah belajar memahami bahwa logika formal adalah cara
berpikir yang didominasi oleh hukum identitas, hukum kontradiksi dan kukum tak
ada jalan tengah (excluded middle). Kita telah paham bahwa ketiga hukum
fundamental logika formal tersebut memiliki isi materi dan basis
objektif; yang dirumuskan secara eksplisit berdasarkan logika instinktif
yang ada pada akal sehat; yang bersisikan aturan-aturan berfikir dalam
kehidupan borjuis.
3. Apa
hubungan antara logika formal dan logika dialektik? kedua sistim berfikir
tersebut tumbuh dan berhubungan di dua tahap yang berbeda dalam
perkembangan ilmu-pengetahuan berfikir. Logika formal berkembang secara
dialektik dalam evolusi sejarah logika, seperti yang biasa terjadi dalam
perkembangan intelektual seseorang. Kemudian logika dialektik muncul sebagai
kritik terhadap logika formal, menjatuhkan dan menggantikannya. Logika
dialektik menjadi lawan yang revolusioner, mengambil alih dan menjadi solusi.
Dalam pelajaran
kedua ini, kita berharap bisa mengungkap keterbatasan logika formal, dan
mendapatkan bagaimana dialektika bangkit karena ujian kritis terhadap ide-ide
fundamentalnya. Saat ini kita telah memahami apa yang menjadi dasar logika
formal, dan apa yang dicerminkannya dari realita, mengapa menjadi penting
dan bermanfaat bagi proses berfikir, dan sekarang kita akan melangkah lebih
jauh lagi untuk melihat apa yang menjadi distorsi dalam logika formal serta apa
yang harus ditolak dari logika formal. Kita akan melihat sisi yang tak
bermanfaat dari logika formal.
Dalam langkah
selanjutnya dari investigasi kita, kita tak akan mendapatkan hasil negatif yang
bisa dijadikan alasan keraguan kita sehingga harus menolak seluruh bagian dari
logika formal. Sebaliknya, justru kita akan mendapatkan hasil yang paling
positif. Walaupun terdapat beberapa kekurangan dalam logika formal, namun
terdapat juga beberapa karakter penting yang bisa diambil dari logika formal
yang bisa menyempurnakan logika penggantinya, logika dialektik. Sehingga dalam
proses pembelahan logika elementer dan pemisahan unsur yang absyah dari yang
salah, kita bisa mendapatkan sebuah landasan bagi dialektika. Tindakan kritis
dan kreatif, negasi dan affirmasi, saling bergandengan sebagai dua sisi dari
proses yang sama.
Kedua
gerak penghancuran dan pembentukan dilahirkan tidak saja dalam evolusi logika
tapi juga dalam semua proses. Setiap lompatan ke depan, setiap tindakan kreatif
melibatkan penghancuran. Agar dapat lahir, seekor anak ayam harus memecahkan
kulit telor yang membungkusnya, yang telah menjadi tempat tinggal dan sumber
kehidupan pada tahap tertentu. Sehingga, agar mendapatkan ruang bagi
kebebasannya dan melanjutkan perkembangan selanjutnya, ilmu berpikir harus
menghancurkan kulit pembungkus logika formal.
Logika formal selalu
mulai dengan preposisi: A adalah selalu sama dengan A. Kita mengakui bahwa
hukum tentang identitas ini mengadung beberapa kebenaran, yang merupakan sebuah
fungsi yang tidak bisa dipisahkan dalam pengetahuan berfikir, dan yang selanjutnya
digunakan dalam peradaban mansuia di dalam kegiatan sehari-harinya. Tapi sejauh
mana kebenaran hukum tersebut? Apakah hukum tersebut bisa terus menjadi
penuntun dalam realitas yang menjadi lebih kompleks? Demikian lah, pertanyaan
selanjutnya.
Pembuktian salah
benarnya setiap preposisi diperoleh dengan melihat realitas objektif dan
praktek nyatanya, derajatnya dan isi konkrit yang terkandung dalam
preposisi tersebut. Apa kah isinya berhubungan dengan sebuah output yang
bisa dihasilkan oleh realitas, sehingga preposisi itu menjadi benar. Jika
tidak, maka preposisi tersebut tidak bisa dibenarkan.
Sekarang apa yang
bisa kita dapat saat harus berhadapan dengan realitas, bukti apa yang bisa
membenarkan kebenaran preposisi: A sama denan A? Ternyata, tak ada sesuatu pun
dalam realita yang secara sempurna sama dengan isi preposisi tersebut.
Sebaliknya, kebalikan dari aksioma tersebut jauh lebih mendekati pada
kebenaran.
Bagaimanapun kita
berusaha membuktikan bahwa A sama daengan A—ternyata, kita tidak bisa berhasil
secara sempurna. Seperti kata Trotsky: “...meneliti dua huruf tersebut di
bawah sebuah lensa pembesar—satu dengan yang lainnya sama sekali berbeda.
Namun, orang bisa saja berkeberatan, karena hal-hal lain (misalnya) semata-mata
merupakan simbol bagi kuantitas-kuantitas yang sederajat, contohnya, satu pon
gula, masalahnya bukan ukuran atau bentuk dari huruf-huruf tersebut.”
“Di samping kecurigaan ekstrim pada nilai praktis. Hal
tersebut juga menunjukan ketidakkritisan teoritis. Bagaimana dengan momentum?
Hal yang pertama tentu berbeda momentumnya dengan hal yang kedua karena
segalanya ada dalam kurun waktu tertentu. Waktu adalah sebuah unsur yang paling
fundamental bagi keberadaan. Sehingga aksioma A sama dengan A akan
berlaku jika tidak ada perubahan, jika tidak, maka aksioma tersebut tidak akan
berlaku”[2]
Itu
lah sebabnya beberapa pembela logika formal mencoba membela diri dengan
berkata: memang benar hukum identitas tidak bisa absolut, tapi itu tidak
berarti kita dapat menolak prinsip tersebut. Kebenaran tersebut adalah absyah
walaupun tidak berhubungan dengan realitas. Posisi mereka tidak bisa
memahami kontradiksi; justru, dengan demikian, semakin menunjukkan bahwa, dalam
pandangan mereka, hukum identitas tersebut hanya berlaku sejauh tidak berhubungan
dengan realitas, dan jika berhubungan dengan realitas maka hukum tersebut
justru akan mendatangkan kesalahan-kesalahan tertentu.
Seperti yang di
kemukakan oleh Trotsky: “Aksioma A sama dengan A menunjukkan suatu titik
keberangkatan menuju ke keseluruhan kebenaran pengetahuan kita namun, di sisi
yang lain, juga merupakan titik keberangkatan menuju ke keseluruhan kesalahan
pengetahuan kita.”[3] Bagaimana mungkin sesuatu hal, yang ada
dalam hukum yang sama, menjadi sumber bagi kedua pengetahuan—pengetahuan yang
salah dan pengetahuan yang benar? Kontradiksi tersebut dapat dijelaskan oleh
fakta bahwa hukum identitas memiliki dua sisi karakter: kesalahan dan
kebenaran. Hukum identitas memiliki kebenaran pada batas-batas tertentu.
Batasan tersebut dikarenakan karakter esensialnya, yang ditunjukkan oleh
perkembangan aktual obyek pertanyaannya. Di sisi lain, dilihat dari tujuan
praktis cara pandang tertentu.
Sekali waktu,
batasan-batasan tersebut muncul, sehingga hukum identitas tidak lagi tepat dan
berbelok menjadi kesalahan. Semakin jauh kita maju tanpa pegangan batasan
tersebut, semakin jauh pula hukum identitas tersebut menyeret kita membelok
dari kebenaran. Hukum yang lain mungkin akan mengoreksi kesalahan yang semakin
banyak tersebut, namun tidak terlepas juga kemungkinannya akan masuk ke
persoalan yang lebih kompleks dan yang lebih baru lagi.
Mari kita lihat
contohnya. Dari Albany ke New York hanya disusuri oleh sungai Hudson, tak ada
yang lainnya. A selalu sama dengan A. Dengan keterbatasan tersebut akan sulit
untuk memastikan bahwa sungai Hudson tersebut merupakan satu-satunya sumber air
yang ada, dan sama dari hilir sampai muara, sungai Hudson. Setelah sampai di
muara pelabuhan New York, ternyata sungai Hudson telah kehilangan identitasnya
dan menyatu dengan Samudra Atlantik. Sedangkan air Sungai Hudson,
terpecah menjadi beberapa anak-anak sungai yang lain yang, walaupun
berasal dari mata air yang sama, tapi memiliki identitas yang berbeda-beda dan
materi yang berbeda pula, jauh berbeda dengan sungai Hudson itu sendiri.
Sehingga di kedua tempat tersebut—sumber mata air dan muaranya—identitas Sungai
Hudson menghilang, tak lagi seutuhnya sama.
Demikian pula halnya
dengan kemungkinan hilangnya identitas di sepanjang sungai Hudson tersebut.
Identitas sungai tersebut tergantung pada kedua sisi parit yang menahan aliran
airnya. Namun, jika sungai tersebut pasang atau surut, atau jika terjadi erosi,
maka parit tersebut akan berubah. Hujan dan banjir akan merubah batasan-batasan
sepanjang sungai itu secara permanen atau sementara. Walaupun sungai tersebut
tetap bernama Hudson, namun isinya tak akan pernah berupa air yang sama. Setiap
tetesnya sudah berbeda. Oleh karenanya, sungai Hudson tersebut terus berubah
identitasnya setiap saat.
Atau coba kita lihat
contoh Dolar yang di kemukakan Trotsky. Kita biasanya mengasumsikan bahwa mata
uang Dolar adalah mata uang Dolar itu sendiri. A sama dengan A. Tapi kita mulai
sadar sekarang bahwa Dolar sekarang berbeda nilainya dengan dolar pada waktu
yang lampau. Dolar tersebut semakin berkurang nilainya. Pada tahun 1942
kemampuan dolar hanya tiga perempat kemampuan pada tahun 1929.
Sepertinya, dolar
tidak berubah dan hukum identitas masih bisa di gunakan, tapi, pada saat yang
sama, nilainya juga sudah berubah.
“Pemikiran ilmiah kita hanya lah salah satu bagian dari
keseluruhan tindakan praktek kita, termasuk teknik-teknik. Dalam konsep-kopsep,
eksistensi “toleransi” juga diperkenankan. Toleransi tersebut ditegakkan bukan
dengan logika formal yang berasal dari aksioma A adalah sama dengan A, tapi
dengan logika dialektik yang berasal dari aksioma bahwa semua hal selalu
berubah. “Akal sehat” dikarakterisasi oleh kenyataan bahwa ia secara sistematis
melampaui “toleransi” dialektik.”[4]
Dalam bengkel kerja,
toleransi diukur di setiap seperseratus sampai seperseribu setiap incinya,
tergantung hasil kerja yang hendak diperolehnya. Sama halnya dengan kerja otak
dan konsep-konsep peralatannya. Bila batas atau marjin toleransi kesalahan sudah
bisa disetujui, maka hukum logika formal dapat berlaku. Tapi pada saat tidak
diizinkan oleh toleransi, maka sebuah alat baru harus dibuat untuk memenuhi
batas toleransi yang diperbolehkan. Dalam lapangan produksi intelektual,
peralatan tersebut adalah logika dialektik.
Hukum identitas bisa
diterapkan dalam toleransi dialektik pada dua arah yang bertentangan.
Misalnya, toleransi minimum dan toleransi maximum, sehingga hukum identitas
tersebut akan berlangsung semakin absyah atau kurang absyah seperti yang
dicontohkan oleh deflasi. Satu Dolar nilainya berlipat, sehingga A tidak sama
dengan A, tapi lebih besar dari A. Dan dalam contoh inflasi maka, sekali lagi,
satu Dolar tidak sama dengan satu Dolar sebelumnya, menjadi setengahnya.
Sekali lagi A tidak sama dengn A, tapi setengah A. Dalam beberapa kasus, hukum
identitas tidak lagi menjadi benar tapi menjadi semakin salah, tergantung
pada jumlah dan karakter khusus perubahan nilai yang ada. Selain A = A, kita
juga melihat kemungkinan A = 2A atau 1/2A.
Perhatikan bahwa
kita mulai menguji hukum identitas: A adalah yang kita uji. Yang kita dapatkan,
kontradiksi: benar bahwa A = A; tapi benar juga A tidak sama dengan A dan,
tambahannya, A bisa menjadi 2A atau 1/2A.
Cara tersebut
membuat kita lebih mengenal A. A ternyata tidak sesederhana yang kita
bayangkan, pasti, tidak berubah seperti yang dianut oleh akhli logika formal.
Mereka hanya melihat penampakannya saja. Dalam kenyataanya, A sangat kompleks
dan bisa kontradiktif. Tidak hanya A tapi menyangkut semua hal. Kita tidak bisa
menangkap A yang sama karena setiap saat A tersebut berubah menjadi berkurang
atau bertambah.
Kau mungkin
bertanya: kalau begitu, sebenarnya apa itu A? Jawaban dialektiknya adalah A
adalah A atau Non-A. Jika kau melihat A seperti akhli logika formal maka kau
hanya akan melihat satu sisinya saja, sisi negatifnya. A sama dengan A adalah
sebuah abstraksi yang tidak dapat secara penuh menjadi kenyataan atau ditemukan
dalam realitas. Abstraksi tersebut berguna sepanjang kau mengerti batasan-batasannya,
dan jika batasan telah tercapai maka segera kita akan mengabaikan logika formal
tersebut untuk mendapatkan kebenaran final. Hukum dasar identitas bisa dipegang
sebagai cara pandang dan untuk bertindak sehari-hari, tapi hukum itu harus
digantikan dengan hukum yang lebih dalam dan kompleks.
Para akhli mekanik
akan bertanya: mengapa harus ada batas, apakah peralatan yang dimiliki dalam
mekanika telah mencakup kebenaran? Segala hal berlaku dalam kondisi
tertentu dan dalam operasi tertentu: sebuah potongan, lengkungan, pendalaman
dan lain sebagainya, semuanya ditempatkan pada setiap tahapan proses produksi
industri. Kelas buruh menentang batasan-batasan yang nyata dalam setiap
peralatan dan mesin. Mereka berhasil mengatasi batasan-batasan tersebut dengan
dua cara: menggunakan peralatan yang lain atau mengkombinasikan beberapa
peralatan dalam proses produksi.
Berpikir secara
esensial merupakan produksi intelektual, dan keterbatasan peralatan berpikir
akan menghasilkan cara yang sama. Pada saat kita mentok dengan logika
formal maka kita harus menggunakan logika lainnya, yakni logika dialektik, atau
mengkombinasikan logika formal dengan logika dialektik untuk mendapatkan
kebenaran. Itu lah yang disebut dialektika. Sama seperti peralatan-peralatan di
pabrik yang harus dikombinasikan agar bisa mengoperasikan pabrik tersebut.
Jadi, kalau kita menginginkan hasil yang paling tepat dalam produkis
intelektual kita, maka kita harus mengembangkan ide-ide dialektika itu sendiri.
Jika kita kembali
pada abstraksi awal, A sama dengan A, maka kita melihat bahwa ada sebuah
kontradiksi dalam perkembangannya. A adalah berbeda dengan dirinya sendiri.
Dengan kata lain, A selalu berubah dan perubahan tersebut ke segala arah. A
selalu berkembang menjadi berlebih atau berkurang dari A sebelumnya.
Perubahan tersebut
memiliki nilai kwalitas tertentu, yang berbeda dari yang sebelumnya, sehingga
perlu juga membandingkan kwalitas awal dan kwalitas yang berikutnya dari
sesuatu hal yang terus berubah.
Sungai Hudson yang
kehilangan identitasnya, menjadi bagian dari samudara atlantik; atau seperti
yang terjadi pada mata uang. Mata uang yang semula koin yang bernama mark
Jerman telah menjadi kertas cetakan. Dalam bahasa aljabar, A menjadi
Minus A. Dalam bahasa dialektikanya perubahan kwantatif menghancurkan kwantitas
yang lama sehingga menjadi kwalitas yang baru. “Menentukan titik kritis pada
saat yang tepat, saat kwantitas berubah menjadi kwalitas, adalah merupakan
suatu tugas yang paling penting serta paling susah di dalam semua bidang
pengetahuan, termasuk sosiologi.”
Salah
satu dari problem sentral ilmu logika adalah mengetahui dan memformulasikan
hukum tersebut. Kita harus mengerti bagaimana perubahan kwantitas akan
mendatangkan kwalitas baru dan sebaliknya.
Kita tiba pada satu
kesimpulan. Pada saat hukum identitas secara tepat mencerminkan bentuk tertentu
realitas, hukum itu juga mendatangkan distorsi kesalahan dalam mencerminkan hal
yang lainnya. Lebih jauh lagi, aspek yang salah tidak bisa mencerminkan kenyataan
objektif yang ada. Campuran setiap partikel fakta jeneralisasi logika yang
mendasar bisa memiliki sisi kesalahan yang serius. Hasilnya, instrumen
kebenaran menjadi kesalahan umum.
*
[3] Ibid, hal. 49.
[4] Ibid, hal. 50.
GEORGE NOVACK
PENGANTAR LOGIKA MARXISME
Sumber : George Novack, An Introduction to The Logic of Marxism, bahan kuliah
Terjemahan Indonesia : Jurnal KIRI, Volume 3, Oktober 2000, Penerbit Neuron.
Versi Online : [Indomarxist.Net] [http://come.to/indomarxist]—November 2002; Marxists Internet Archive, Des. 2002.
Keterangan : Ijin publikasi online ini adalah untuk tujuan non-komersil.
Bahan I : Logika Formal dan Logika Dialektik
Bahan II : Keterbatasan Logika Formal
Bahan
III : Sekali Lagi, Tentang
Keterbatasan-Keterbatasan Logika Formal
Bahan III: Sekali Lagi, Tentang
Keterbatasan-Keterbatasan Logika Formal
Dari kedua bahan pertama yang kita
pelajari, kita mendapat hukum-hukum dasar logika formal; bagaimana dan mengapa
mereka hadir; hubungan apa yang dimiliki dialektika terhadapnya; dan
batas-batas apa yang kemudian menjadikan logika formal tak berguna lagi.
Kita akan melihat 5 kesalahan mendasar dalam elemen-elemen
hukum identitas:
1. Tuntutan Logika Formal:
Semesta Tidak Berubah
Pertama sekali, logika formal menolak
suatu gerak, perubahan dan perkembangan dalam realitas. Penolakan tersebut
tidak secara eksplisit ditujukan pada keberadaan realitas. Tapi, secara tak
langsung, yakni, hukum-hukumnya menolak implikasi penting logika internalnya.
Seperti yang dikemukan oleh hukum identitas, jika setiap
hal sama dengan dirinya maka, seperi yang ditunjukkan oleh hukum kontradiksi,
tak ada yang tidak sama dengan dirinya, semuanya sama. Tapi ketidaksamaannya
merupakan manifestasi dari perbedaan—dan, sebenarnya, perbedaan mengindikasikan
operasional perubahan. Jika semua perbedaan ditolak maka tidak akan ada gerak
dan perubahan itu sendiri, oleh karenanya tidak ada alasan menjadi berbeda.
Jika logika formal ingin mendapatkan sisa kebenaran
dirinya, bukan lah dengan menolak keberadaan nyata dan rasionalitas
gerak. Tak ada tempat bagi perubahan di dunia ini yang bisa diterima oleh atau
digambarkan oleh logika formal. Tak ada gerak dalam dirinya. Tak ada ledakan
logis dalam hukum-hukumnya yang dapat melewati dan masuk ke dunia nyata. Tak
ada dinamika dari dunia luar yang mendorong segala hal keluar dari kondisinya
yang sekarang guna menghasilkan formasi baru. Gerak digambarkan atau
ditunjukkan sebagai realisme statistik, yang segalanya membeku di tempatnya
masing-masing.
Mengapa formalisme tersebut memunggungi realitas? Karena
gerak memiliki karakter kontradiksinya sendiri. Seperti kata Engels: ”…bahkan
perubahan mekanis sederhana suatu tempat bisa berlangsung dalam sebuah tubuh
dan, pada saat yang bersamaan, keduanya bisa berada di sebuah tempat lainnya,
berada di suatu tempat atau tidak berada di suatu tempat lainnya pada saat yang
bersaman.”[5]
Segala yang bergerak memiliki kontradiksi dalam keberadaanya, di suatu tempat
yang berbeda pada saat yang bersamaan, dan bisa menundukkan atau keluar dari
kontradiksi tersebut dengan menerjang satu tempat guna menuju ke tempat
lainnya.
Perkembangan dan bentuk kompleks gerak,
seperti perkembangan pohon dan tumbuhan, perkembangan spesies, perkembangan
masyarakat dalam sejarah dan perkembangan sejarah filsafat, hadir bahkan lebih
sulit bagi logika formal. Tahap sekarang, yang menggantikan setiap proses
adalah serial kontradiksi. Pada pertumbuhan tanaman, contohnya, tunas
keberadaannya diganti oleh bunga dan kemudian oleh buah.
Dimana pun mereka dikonfrontasikan dengan kontradiksi
nyata, penganut logika formal selalu akan gagal. Apa yang akan mereka lakukan?
Anak kecil sewaktu berhadapan dengan sesuatu yang asing, sesuatu yang
menakutkan mereka, yang mereka tak mengerti dan tak dapat mereka kuasai, akan
menutup mata mereka dan menutup mukanya dengan kedua tangannya, serta akhirnya
melarikan diri dari ketakutan tersebut. Penganut formalis bereaksi dan terus
bereaksi, sama seperti anak-anak berhadapan dengan kontradiksi. Ketika mereka
tidak bisa secara komprehensif melihat kenyataan alamiahnya dan tidak
mengetahui apa yang harus dilakukan dengan semua hal yang mengerikan—itu
lah yang menyedihkan dari dunia logika formal—maka, dengan ledakan kontradiksi,
segera mereka akan menghancurkan logika formal mereka.
Dimana pun, saat otoritas reaksioner diancam oleh kekuatan
subversif, mereka akan menekan, memenjara dan membuang kekuatan subversif
tersebut. Penganut logika formal menjawab kontradiksi dengan cara yang
demikian. Seperti yang dilakukan oleh Sir Anthony Absolute terhadap
anaknya dalam lakon komedi Sheridan: “…Jangan masuk dalam ruanganku, jangan
berani menghirup udara dan menggunakan lampu bersamaku, tapi carilah atmosfir
dan matahari lain untuk dirimu! ...”
Hukum tersebut menunjukkan bahwa A tidak pernah menjadi
Non-A. Itu bukan sebuah ekspresi nyata dari kontradiksi yang nyata, atau,
terbaca: A bukan Minus A atau bukan Non-A.
Logika formal tidak dapat mentoleransi kontradiksi aktual
dalam sistimnya sendiri. Logika formal akan menekan dan menghancurkan
kontradiksi tersebut. Dalam usahanya untuk membebaskan dirinya dari
kontradiksi, penganut logika formal memperketat kontradiksi absolut di atas
kenyataan objektif. Dalam dunia yang direpresentasikan oleh logika formal,
segala sesuatu berdiri dalam oposisi absolut terhadap yang lainnya. A
adalah A; B adalah B; C adalah C, namun, sebenarnya, secara logis, mereka tidak
ada yang sama
Kontradiksi dieliminasi dari sistim logika formal, kemudian
bergerak naik menghindari semua kenyataan. Penganut logika formal menolak
kontradiksi dalam sistimnya sendiri hanya demi merestorasinya, mengambil
kekuasaan dari luar sistim mereka.
Kontradiksi nyata harus memasukkan kedua hal: kesamaan dan
perbedaan di dalam dirinya. Penganut logika formal tak bisa melakukannya. Semua
hukum logika formal sebenarnya tidak lain merupakan kesamaan-kesamaan dalam
berbagai versi. Merka tak mengenal apa perbedaan-perbedaan.
Itu lah sebabnya hukum kategori yang pas bagi logika formal
tidak dapat menjelaskan esensi gerak. Gerak adalah sangat lengkap,
terang-terangan, bahkan kontradiksinya kasar. Dalam dirinya, ia memiliki dua
sisi perbedaan waktu, unsur, fase dan lain sebagainya secara diametris. Pada
saat yang bersamaan, benda yang bergerak adalah keduanya, disini dan disana,
secara terus menerus. Jika tidak, dia tidak bergerak tapi diam. A tidak
semata-mata Non-A. Diam adalah gerak yang berhenti; gerak adalah perhentian
yang berurutan.
Logika formal tidak bisa mengetahui atau menganalisa
kontradiksi alam nyata—yang di dalamnya terdapat gerak—tanpa melanggar dirinya
sendiri, tanpa menjatuhkan hukum-hukumnya sendiri, tanpa menerjang dan
masuk ke alam yang lain. Adalah mimpi mengharapakan logika formal menjadi
dialektik. Itu tepatnya dengan apa yang terjadi pada logika dalam evolusi.
Tapi, logika formal, dalam dirinya dan oleh dirinya, tidak dapat mengambil
lompatan revolusioner, tidak bisa keluar dari kulitnya. Semua pemikir formal
yang konsisten tetap bertahan pada azas jeneralitas identitas dan terus
menolak—cukup logis menurut logika mereka, tapi tak logis menurut
kenyataan-keberadaan objektif yang nyata, yakni kenyataan perbedaan diri atau
kontradiksi.
Kategori identitas itu abstrak: hukum
logika formal merupakan ekspresi langsung dari konsepsi dan persamaan logika
ke-diam-an keberadaan objek. Oleh sebab itu, logika formal, secara esensial,
merupakan logika kematian, hubungan yang dingin, sesuatu yang diam,
pengulangan abadi dan kemandegan. Sejauh kita mengganggap bahwa sesuatu
itu statis dan mandeg, maka adalah benar bahwa kita tidak bertentangan
dengan kontradiksi. Kita mendapatkan kwalitas tertentu yang sebagian merupakan
hal yang bias, terpisah, bahkan saling kontradiktif, tapi, dalam kasus ini
(dalam sistim logika formal), kwalitas tersebar di antara objek yang berbeda
dan tanpa kontradiksi.[6]
Bila melihat apa yang terjadi pada kasus
lain, yang bergerak, ternyata tidak saja saling berhubungan, dan tidak saja
secara eksternal tapi juga secara internal, sesuatu akan kehilangan identitas
dan bergerak menuju sesuatu yang lain. Sungai Hudson mengalir dan bergabung
dengan samudra Atlantik; Mark jerman merosot menjadi secarik kertas cetakan dan
lainnya. Apa yang bisa dilakukan oleh sesuatu hal dapat dilihat saat ia
kehilangan identitas. Hasil internal dan eksternal gerak benda-benda nyata
terwujud secara kontradiktif. Tapi tetap ada benarnya juga bahwa: mereka
berhubungan dengan realitas.
Tidak ada yang permanen. Kenyataan tidak pernah berhenti,
selalu berubah, selalu fluktuatif (tidak stabil/naik turun). Proses universal,
yang tak terbantahkan, membentuk landasan material bagi teori yang di ajarkan
Engels ”…seluruh alam, dari unsur yang paling kecil sampai yang paling besar,
dari debu hingga matahari, keberadaannya ada dalam keabadian, yakni menjadi dan
melenyap, menghilang, kemudian bergolak dalam gerak yang tak berhenti…”[7]
Dalam ilmu modern, tak ada jeneralisasi yang lebih aman selain berbasiskan pada
percobaan, fakta, ketimbang memahami teori perkembangan universal pikiran manusia,
yang bergerak maju dalam abad ke-19.
Hukum logika formal, yang berada di luar kontradiksi,
mengabaikan kontradiksi dalam teori dan realitas perkembangan
universal. Hukum identitas itu abstrak, tak melahirkan perubahan.
Sebenarnya, dari dua preposisi yang bertentangan tersebut, yang mana yang benar
dan yang salah? Itu lah pertanyaan dari penganut dialektika—yang melandasi
pikirannya berdasarkan proses alamiah—kepada penganut logika formal yang
berkepala batu. Persoalan pikiran ilmiah, yang sedang berhadapan dengan
logika formal, tidak semata-mata merupakan persoalan yang terjadi dari akhir
abad ini saja namun sejak zaman sebelumnya.
2. Logika Formal Mendirikan
Benteng/Hambatan (di Antara Segala Hal) yang Tak Boleh Diterobos
Logika formal memiliki kesalahan-kesalahan
karena dikepung oleh persoalan-persoalan material, ditelikung oleh
ketidakmengertian terhadap fase perkembangan semua persoalan, dan tak bisa
mengerti mengenai cerminan, refleksi, kenyataan objektif dalam jiwa kita.
Antara kebenaran dan kesalahan tak ada fase antaranya, tak ada tahap transisi
dan rantai penghubungnya.
Hegel bicara tentang hal tersebut: “Pikiran-Jiwa, mengabil
posisi oposisi di antara kebenaran dan kesalahan, serta menjadi pas,
terlebih-lebih setelah diterima entah sebagai perjanjian atau sebagai
kontradiksi antara sistim filsafat. Dan hanya melihat alasan pada sesuatu yang
ada dalam pernyataan-pernyataan sistim tersebut. Hal tersebut tidak lah
menggambarkan perbedaan sistim filsafat sebagai evolusi progresif kebenaran;
tapi harus lebih dilihat sebagai kontradiksi.”[8]
“Tunas
menghilang setelah bunga berkembang, dan dapat kita katakan: yang awal ditolak
keberadaanya oleh yang berikut; sama dengan setelah buah muncul, bunga bisa
dijelaskan sebagai sesuatu bentuk yang salah (dari keberadaan tumbuhan) bagi
kemunculan buah, dilihat sebagai kebenaran alamiah menggantikan bunga. Tahapan
tersebut bukan berarti sekadar pembedaan; yang satu merupakan pengganti, tak
tepat lagi, bagi yang lain. Aktivitas tanpa henti hakikat inherennya membuat
mereka, pada saat yang sama, dan dalam seluruh momentumnya, memiliki kesatuan
organik, yang bukan saja sekadar nmengkontradiksikan yang satu dengan dengan
yang lainnya, namun yang satu merupakan keniscayaan bagi yang lainnya; dan
keniscayaan (setara) seluruh momen tersebut lah yang menentukan kehidupannya
secara keseluruhan. Tapi kontradiksi antar sistim filsafat tidak bisa
diselesaikan dengan cara seperti itu; di lain pihak, pikiran-jiwa yang menerima
kontradiksi tersebut bukan berarti, secara akal sehat, ia memiliki pengetahuan
bahwa kebenaran merupakan hasil perbaikan dan pembebasan dari kesalahan
bersatu-sisi, dan mengakui bahwa semua itu merupakan hasil dari kehadiran
momen-momen selayaknya (niscaya) yang saling melengkapi atau
berbalasan—walaupun kelihatannya saling bertentangan dan, secara inheren,
antagonostik.”
Jika kita menggunakan logika formal sebagai nilai,
maka kita harus mengakui bahwa semua hal, atau segala keadaan sesuatu, adalah
mutlak independen dari segala hal atau dari segala keadaan. Dunia diperkirakan
sebagai segala sesuatu yang eksis dalam kesendiriannya yang sempurna, terpisah
dari segala hal.
Posisi filsafat yang menggambarkan logika tersebut mencapai
hasil akhir berupa: filsafat idealis-subjektif, yang muncul dengan membawa
asumsi bahwa tidak ada yang benar-benar eksis, kecuali dirinya sendiri. Itu
bisa diketahui dari soligisme (dalam kata latin) solus ipse (aku
sendiri).
Itu lah cerminan posisi absur dalam melihat sesuatu. Apapun
teori yang dikemukakannya, ia hanya mengakui keberadaan dirinya. Lebih jauh
lagi, jika kita mau sedikit lebih mendalam, bagaimanapun terisolasi dan
independennya sesuatu hal, sebenarnya ia membutuhkan keberadaan yang lain.
Untuk berada dan menjadi dirinya, jika kita tidak
menghubungkannya dengan sesuatu yang terkait dengan realitas, maka kita tidak
akan pernah bisa mengerti secara tepat dan pas.
Segala sesuatu akan melaju dan mengubah dirinya menjadi
sesuatu yang baru. Untuk mengerti hal tersebut, kita harus menerobos
batasan-batasan formal yang memisahkan satu dengan yang lainnya. Sejauh
ini, kita tahu bahwa tak ada benda yang diam.
“Preposisi fundamental dialektika
Marxisme: semua batasan dalam alam dan masyarakat adalah konvensional dan bergerak,
artinya: tak ada satu fenomena pun yang, ketika berada di bawah kondisi-kondisi
tertentu, tidak berubah menjadi bertentangan,” kata Lenin.[9]
Dalam skala sejarah yang lebih luas, Trotsky berkata bahwa:
”kesadaran tumbuh dari ketidak sadaran, psikologi dari luar psikologi, dunia
organik dari non-organik, sistim tata surya dari nebula.”[10]
Penghancuran batas-batas, perjalan sesuatu menjadi yang
lainnya, ketergantugan bersamanya, tidak terlepas dari garis perkembangan
sejarah itu sendiri; semuanya berjalan bersama kita. Kita bertindak berbasiskan
ide, dan ide tersebut kehilangan karakter mental yang mendominasinya serta
menjadi kekuatan aktif di dalam dunia lewat diri kita. Marx menunjukkan bahwa
sebuah sistim ide, seperti sosialisme, menjadi sebuah kekuatan material ketika
ia berada dalam pikiran massa kelas pekerja, dan akan bergerak dalam aksi-aksi
untuk merealisasikannya—perjuangan menuju sosialisme.
Segalanya memiliki garis batas demarkasi, yang membatasi
segala sesuatu. Bila tidak, ia tak akan menjadi sebuah tubuh yang memiliki
identitas yang unik. Kita harus menemukan batasan-batasan tersebut dalam
praktek dan menyusunnya dalam pikiran kita. Tapi batasan-batasan tersebut
jangan menjadi kaku dan menelikung segala kondisi; batasan-batasan
tersebut tak akan sama dalam setiap saat. Mereka berfluktuasai menurut
proses perubahan. Batasan-batasan relatif, gerak dan cair dikenal namun
ditolak oleh logika formal. Hukum tersebut menyimpulkan segalanya memiliki
batasan-batasan tapi, yang lebih penting lagi, bahwa batasan-batasan tersebut
memiliki pembatas-pembatas bagi dirinya.
3. Logika Formal Menolak Pembedaan Setiap Identitas
Kita telah melihat bahwa logika formal menggambarkan
pembatasan tajam antara kesamaan, atau identitas (identity), dengan
perbedaan (difference). Semuanya ditempatkan dalam pertentangan yang
mutlak satu dengan yang lainnya. Jika terdapat hubungan antara keduanya,
dianggap kebetulan dan eksternal serta tidak akan berdampak pada
keberadaan internalnya.
Penganut logika formal melihat semua itu sebagai sebuah
kontradiksi logis, dan merupakan sebuah horor yang mengerikan untuk
mengatakan—seperti para penganut dialektika—bahwa identitas bisa menjadi
perbedaan, dan perbedaan bisa menjadi identitas. Mereka yakin bahwa identitas
adalah identitas dan perbedaan dalah perbedaan, dan tidak dapat sama pada saat
yang bersamaan. Coba kita bandingkan kesimpulan-kesimpulan tersebut
dengan fakta-fakta pengalaman yang diuji dari kebenaran semua hukum dan ide.
Dalam Dialectic of Nature, Engels mengatakan:
“Tumbuhan, binatang, dan setiap sel, setiap saat dalam hidupnya adalah sama
dengan dirinya dan menjadi berbeda dari dirinya, karena bergabung dan mengalir
dalam substansi hidup, karena respirasinya[11],
karena pembentukan sel dan karena kematian sel—lewat proses perputaran yang
bergantian, dengan singkatnya bisa disebutkan: karena ada perubahan molekul
yang membuatnya hidup. Dan karena kesimpulan dari setiap hasilnya merupakan
bukti bagi mata kita bahwa mereka memiliki setiap fase kehidupan: fase
embrio, remaja, kematangn seksual, proses reproduksi, usia lanjut dan kematian.
Semua itu adalah bagian dari evolusi semua spesies di bumi. Fisiologi lebih
lanjut menggamblangkannya: yang lebih penting adalah ia tidak berhenti, tidak
selesai dan, yang lebih penting lagi, adalah bahwa semuanya tetap berbeda
di dalam identitasnya. Namun pandangan abstrak-kuno indetitas formal
memahaminya bahwa suatu organik berada seperti sebuah identitas yang sederhana
dalam dirinya, konstan dan statis—menjadi ketinggalan jaman.
“Namun
demikian, corak berpikir itu berbasiskan seperti itu, bersama dengan
kategorinya, terus menerus bertahan. Tapi, bahkan dalam hakikat
non-organik pun, identitas seperti itu tak terdapat dalam realita. Setiap orang
terus menerus menunjukkan dan menerima pengaruh-pengaruh mekanik, fisika dan
kimia, yang selalu merubah dan memodifikasi identitasnya.”
Hambatan/benteng absolut tak mungkin bisa didirikan oleh
logika formal—misalnya dalam kasus antara dua hal yang saling berpenetrasi
dalam realitas yang berlanjut, bergerak—karena telah dicuci oleh proses
perkembangan sehingga kemudian perbedaan telah menjadi kesamaan. Sebelum kami
datang ke gedung ini, kami adalah orang-orang New York yang berbeda-beda. Persamaan
menjadi perbedaan: setelah pelajaran ini selesai, kita akan berpisah ke tempat
yang berbeda-beda. Perubahan dari perbedaan menjadi persamaan dan persamaan
menjadi perbedaan mengambil peran dalam semua hubungan. Tunas yang mekar
menjadi bunga, bunga menjadi buah, sehingga setiap fasenya yang berbeda adalah
menjadi bagian dari pohon yang sama.Tidak seperti hukum logika formal, kesamaan
material yang nyata tidak menyingkirkan dari dirinya sendiri
perbedaan-perbedaan yang ada tapi mengisi ke/di dalam dirinya sebagai bagian
yang esensial. Perbedaan nyata tidak membuang kesamaan tapi memasukkannya
sebagai elemen esensial di dalam dirinya. Kedua bentuk tersebut dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan membuat pembedaan dalam pemikiran,
tapi itu tidak berarti—seperti dalam logika formal—bahwa, dalam realita, mereka
bisa dipisah-pisahkankan.
4. Hukum-hukum Logika Formal:
Absolut
Ketidaklengkapan keempat hukum logika formal adalah bahwa
mereka menyatakan dirinya sebagi sesuatu yang absolut, mutlak, final, tak
bersyarat, dan pengecualian adalah tidak mungkin. Mereka mengatur dunia
pemikirannya dengan cara yang totaliter, memastikan kepatuhan yang tidak boleh
dipertanyakan dalam segala hal, memanjat otoritas tanpa batas demi kedaulatan
mereka. A selalu sama dengan A, tak ada satu pun yang bisa menggugatnya.
Sialnya, bagi penganut logika formal, tak ada di
dunia ini yang seperti mereka kemukakan. Ternyata, segalanya hadir sebagaimana
aslinya, dengan sejarah dan syarat-syarat materialnya yang sudah tertentu, baik
dalam hubungan satu dengan yang lainnya maupun dalam keterpisahannya, dan
setiap waktu proporsinya sudah tertentu serta dapat diukur. Masyarakat manusia,
contohnya. Manusia hadir di muka bumi pada waktu tertentu dan secara material
dibedakan evolusinya (lebih tinggi) dari binatang. Namun Ia tak dapat
dipisah-pisahkan sebagai sesuatu yang organik atau non-organik; mereka
berkembang dalam derajat-derajat tertentu dan kehadirannya telah melangkah
jauh, tumbuh, secara kwantitif penuh menuju kwalitatif yang berbeda.
Setiap tahap perkembangan sosialnya memiliki hukum perkembangan sendiri dan
memiliki karakter-karakter khususnya.
Hukum yang mutlak tidak dapat lagi bertahan di dunia nyata.
Dalam berbagai tahap alam, perkembangan ilmu fisika, elemen kimia, molekul,
atom, elektron diyakini oleh pemikir-pemikir metafisika sebagai atau memiliki
substansi yang tidak berubah. Manusia tidak dapat mundur atau maju. Dengan
kemajuan ilmu alam, setiap bagian keabadian-mutlak telah ditumbangkan—setiap
pembentukan materialnya telah teruji memiliki syarat, terbatas dan relatif.
Semua kepentingannya yang menjadi mutlak, terbatas (secara absolut) dan tidak
berubah telah terbukti: salah.
Ketika, pada akhir abad ke-19, ilmuwan mulai mengadakan dan
memperoleh berbagai macam penemuan, ilmuwan sosial Amerika Serikat malah
meyakini bahwa demokrasi borjuis merupakan bentuk mahkota pemerintahan bagi
peradaban manusia. Namun, pengalaman sejarah sejak 1917 telah menjadi saksi
bahwa demokrasi borjuis telah ditumbangkan oleh bolsevikisme dan fascisme—telah
terbukti bahwa alangkah terbatasnya sejarah ini, dan alangkah banyak serta
bersyaratnya bentuk-bentuk kapitalisme.
Jika setiap hal hadir di bawah syarat material sejarah
tertentu, berkembang, beragam, kemudian menghilang, bagaimana mungkin hukum
absolut berlaku pada segala hal dengan cara yang sama, pada derajat yang sama,
di setiap waktu dan di bawah semua syarat-syarat tertentu? Itu tentunya
merupakan klaim yang dibuat oleh logika formal. Tuntutannya pada realistas, dan
dalam pencarian hukum-hukumnya, logika formal menyebabkan ilmuwan jatuh pada
kebutaan logika.
Pada analisanya yang terakhir, hanya Sang Absolut lah yang
memenuhi standar logika formal. Sang Absolut lah yang seharusnya mulak, tidak
terikat, sempurna, independen dari segalanya...
5. Logika Formal Bisa Membuat
Perhitungan tentang Segala Hal—Tapi Bukan atas Dirinya
Akhirnya, hukum logika formal, yang seharusnya memberikan
penjelasan rasional bagi segala hal, memiliki kesalahan yang serius. Logika
formal tak bisa memperhitungkan atas dirinya. Menurut teori Marxisme, segalanya
menjadi ada karena hasil dari sebab-sebab material, yang berkembang lewat
fase-fase yang silih-berganti, yang akhirnya mati.
Bagaimana logika formal dan hukummya? Dimana, kapan dan
mengapa segala hal bertumbuh, bagaimana segala hal berkembang? Apakah segala
hal abadi?
Jika kau menantang penganut logika formal, bertanya
bagaimana cara menerapkan hukum-hukum logika ke dalam sejarah dan bagaimana
menerima aturan-aturan universal tersebut maka, tak ada yang berbeda,
mereka akan menjawab seperti halnya kaum monarki menjawabnya: kami melakukannya
atas nama ... (Sang Absolut)
Kita lihat berapa banyak kebenaran dalam dialektika
dan agama seperti yang dibuat profesor James Burnham dan Sidney Hook. Dalam
kenyataanya, logika formal berjalan bergandengan dengan ke-Absolut-an dan
dogmatisme. Sebagai hukum-hukum keabadian.
Logika formal berdiri bersamaan dengan prinsip-prinsip
keabadian moralitas, seperti yang digambarkan Trotsky: “Surga selalu hanya
dijadikan senjata—yang digunakan dalam operasi militer—untuk melawan dialektika
materialis.”[12]
Pada kenyataannya, logika formal muncul dalam suatu
masyarakat pada tahapan tertentu, dalam sebuah titik perkembangannya. Dan,
kemudian, manusia dapat menundukkan alam; kemudian ia berkembang
sepanjang pertumbuhan umat manusia, sepanjang pertumbuhan tenaga-tenaga
produktifnya, hingga bisa bekerja sama dengan pemikiran dialektik, yang
ditanamkan lewat perkembangan lebih lanjutnya. Tempat bagi logika dialektik ada
dimana saja, tapi dibutuhkan suatu revolusi dalam pemikiran manusia untuk
menempatkannya secara tepat.
Salah satu kelebihan dialektika dari logika formal bisa
dilihat dalam kenyataan; tidak seperti logika formal, dialektika tidak hanya
dapat menghitung keberadaan logika formal namun juga dapat menunjukkan mengapa
harus menggantikan logika formal tersebut. Dialektika dapat menjelaskan tentang
dirinya, pada dirinya, dan pada yang lain. Oleh karenanya, dielektika lebih
logis ketimbang logika formal.
***
Mari kita melihat bagaimana kemajuan kritik kita terhadap
logika formal. Kita mulai dengan mencari kepastian tentang kebenaran logika
formal. Kemudian kita mencapai sebuah batas yang, bila kita teruskan (pencarian
tersebut), hanya akan berisi kesalahan-kesalahan semata. Kemudian kita dorong
maju melewati batasan tersebut. Maka kita, akhirnya, akan menolak “kebenaran”
logika formal yang tak bersyarat, absolut, bertentangan dengan apa yang hendak
kita pastikan.
Hukum formalisme terlihat memiliki dua sisi, kebenaran dan
kesalahan.Kemudian, ketika segala hal menjadi lebih kompleks dan kontradiktif,
hukum-hukum bisa berkembang dan berubah sesuai dengan akal sehat saat
menganalisa tendensi yang berlawanan (secara terus menerus)—memang demikian lah
hukum yang ada dalam diri segala hal. Ketika kita meganalisa dua kutub yang
bertentangan dari segi karakter kontradiksinya, melepas saling-hubungan di
antaranya, maka kita dapatkan bagaimana dan mengapa masing-masing kutub
tersebut menjadi berubah sesuai dengan hukum-hukum dirinya masing-masing.
Itulah metode dialektik yang digunakan dalam berfikir.
Hasilnya, kita akan tiba di depan gerbang dialektika dengan menggunakan jalur
dialektik yang sejati. Itu lah sebabnya juga mengapa kemanusiaan akan
sampai pada dialektika, memegangnya sebagai sebuah sistim perumusan pemikiran.
Manusia menemukan batasan-batasan dalam logika, namun bisa menundukkannya
dengan membuat sebuah bentuk logika yang lebih tinggi lagi secara teoritis.
Dialektika membuktikan kebenarannya dengan mengaplikasikan metode berpikirnya
demi menjelaskan dirinya dan asal usulnya.
Dialektika hadir sebagai hasil dari sebuah revolusi sosial
yang kolosal, menembus batas semua bagian kehidupan. Dalam
politik, representasi massa yang bangkit secara tidak sadar kemudian
dibimbing oleh pemahaman dialektik. Mengetuk pintu kaum monarki dan menghancurkannya:
“Waktu telah berubah, kami menuntut kesederajatan!” Dengan semangat formalisme,
dengan semangat logika formal, kaum pembela absolutisme menjawab: “Kau salah,
kau subversif, tidak ada yang berubah dan tidak ada yang dapat berubah. Raja
tetap lah raja, dimana saja dan kapan saja. A sama dengan A, kedaulatan tidak
dapat mensejajarkan manusia yang bukan A, yang Non-A.” Alasan formal semacam
itu tidak dapat membendung kemajuan, kemenangan revolusi demokratik borjuis lah
yang, kemudian, menghancurkan monarki. Dialektika revolusioner, bukan logika
formal, yang berlaku dalam politik praktis.
Dalam ruang ilmu-pengetahuan, logika formal
terjerumus dalam kriris revolusioner yang sama sebagaimana yang dialami politik
absolutisme. Kekuatan baru ilmu-pengetahuan bangkit dalam perkembangan alam dan
ilmu sosial—yang memukul logika formal yang sudah berkuasa ribuan tahun—guna
menuntut hak mereka. Bagaimana revolusi logika dimulai dan dan ke mana arahnya,
akan dijadikan topik berikutnya.
***
[5] Engels F., Anti-Duhring,
hal. 137.
[6] Ibid, hal. 137.
[7] Engels, F., Dialektic
of Nature, hal. 13.
[8] Engels, F., dalam
pembukaan Phenomenology of Mind, hal. 68.
[9] Lenin, Collected work,
vol. 19, hal. 203.
[10] Leon, Trotsky, In
defence of Marxism, hal. 51.
[11] Respiration: proses metabolisme organisme dalam menyerap, mengasimilasikan,
oksigen dan melepaskan karbon dioksida dan segala produk oksidasi; bernafas; Webster’s
II New Riverside University Dictionary, The Riverside Publishing Company,
hal.1001.
[12] Trotsky, Leon, Their
Moral and Ours, hal. 16.
0 Response to " "
Post a Comment