ILMU SOSIAL PROFETIK


ILMU SOSIAL PROFETIK
Kuntowijoyo


Ilmu Sosial Profetik atau biasa disingkat ISP adalah salah satu gagasan penting Kuntowijoyo. Baginya, ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas dan kemudian memaafkannya begitu saja tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakatnya. Ia kemudian merumuskan tiga nilai dasar sebagai pijakan ilmu sosial profetik, yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini kini mulai banyak dikaji. Di bidang sosiologi misalnya muncul gagasan Sosiologi Profetik yang dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma ISP.

Kegelisahan Keilmuan:
Bagi August Comte, sang pencipta istilah “sosiologi”, sosiologi adalah puncak perkembangan positivisme. Tak heran jika kemudian ilmu yang satu ini berkembang dengan corak yang sangat positivistik. Sebenarnya Comte tidak sedang mengarahkan sosiologi untuk menjadi positivistik, ia hanya menyuarakan kecenderungan zaman. Di masanya, positivisme menjadi ukuran sahih tidaknya ilmu pengetahuan. Ilmu alam menjadi model bagi orientasi ilmu tentang masyarakat yang sebelum Comte disebut sebagai “fisika sosial”, atau ilmu pengetahuan alam tentang masyarakat. Proses-proses sosial tidak lagi dianggap sebagai produk kegiatan manusia yang bebas, tapi sebagai suatu peristiwa alam. [1]
Setidaknya ada tiga pengandaian dalam ilmu-ilmu sosial positivis. Pertama, prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial. Kedua, hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni, netral dan bebas nilai.[2]
Ketiga dasar positivisme itu pun kemudian terbukti rapuh. Fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam sehingga pemakaian metode ilmu alam untuk mengkaji fenomena sosial adalah salah arah. Teori-teori yang tercipta juga tidak universal sebagaimana klaim positivis, tapi sangat terkait dengan dimensi lokal dan temporal di mana teori itu muncul. Demikian pula, dalam kenyataannya, ilmu sosial ternyata tidak pernah mampu melepaskan diri dari keberpihakan terhadap nilai-nilai tertentu. Klaim bebas nilai tak lebih dari sebentuk hipokrasi intelektual. Inilah gugatan-gugatan yang dilontarkan sebagian ilmuwan sosial, baik Barat maupun Timur, terhadap positivisme.
Klaim bebas nilai menyebabkan ilmu-ilmu sosial hanya berusaha menjelaskan realitas (erklaren) secara apa adanya tanpa melakukan pemihakan, atau memahami realitas (verstehen) kemudian memaafkannya. Teori-teori sosial melulu ingin menyalin fakta masa kini. Dengan cara itu, ilmu sosial diam-diam melestarikan masa kini, sehingga, dengan kedok tidak memihak, netral, bebas nilai, teori-teori itu menutupi kemungkinan perubahan ke masa depan. [3] Karena itu teori yang mengklaim dirinya bebas nilai pada hakekatnya juga memihak, memihak kemapanan.
Salah satu perlawanan sengit terhadap logika positivisme datang dari para penganut teori ktiris. Teori Kritis hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Karenanya, di dalam teori kritis, terkandung muatan utopia tertentu yang menyebabkan pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya tidak netral.
Dengan semangat yang sama, Kuntowijoyo lalu melontarkan ide tentang Ilmu Sosial Profetik. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya menolak klaim bebas nilai dalam positivisme tapi lebih jauh juga mengharuskan ilmu sosial untuk secara sadar memiliki pijakan nilai sebagai tujuannya. Ilmu Sosial Profetik tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan dan memahami realitas apa adanya tapi lebih dari itu mentransformasikannya menuju cita-cita yang diidamkan masyarakatnya. Ilmu Sosial Profetik kemudian merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan yang sekaligus menjadi unsur-unsur yang akan membentuk karakter paradigmatiknya, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi

Beberapa Gagasan Pokok Ilmu Sosial Profetik

1. Pilar Ilmu Sosial Profetik

a. Humanisasi

Dalam Ilmu Sosial Profetik, humanisasi artinya memanusiakan manusia, menghilangkan “kebendaan”, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia. Humanisasi sesuai dengan semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan, jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi dasarnya.
Humanisme Barat lahir dari pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad Pertengahan. Pandangan antroposentris beranggapan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Etosnya adalah semangat menghargai nilai-nilai yang dibangun oleh manusia sendiri. Peradaban antroposentris menjadikan manusia sebagai tolok ukur kebenaran dan kepalsuan, untuk memakai manusia sebagai kriteria keindahan dan untuk memberikan nilai penting pada bagian kehidupan yang menjanjikan kekuasaan dan kesenangan manusia. Antroposentrisme menganggap manusia sebagai pusat dunia, karenanya merasa cukup dengan dirinya sendiri. Manusia antroposentris merasa menjadi penguasa bagi dirinya sendiri. Tidak hanya itu, ia pun bertindak lebih jauh, ia ingin menjadi penguasa bagi yang lain. Alam raya pun lalu menjadi sasaran nafsu berkuasanya yang semakin lama semakin tak terkendali.
Dengan rasio sebagai senjatanya, manusia antroposentris memulai sejarah kekuasaan dan eksploitasi atas alam tanpa batas. Modernisme dengan panji-panji rasionalismenya terbukti menimbulkan kerusakan alam tak terperikan terhadap alam dan manusia. Ilmu akal adalah ilmu perang yang metode dan taktik perangnya telah ditulis dengan amat cerdas oleh Descartes melalui semboyannya “Cogito Ergo Sum”. Melalui ilmu perang Descartes, peradaban modern menciptakan mesin-mesin perang terhadap alam berupa teknologi canggih untuk menaklukkan dan mengeksploitasi alam tanpa batas, juga mesin-mesin perang terhadap manusia berupa senjata-senjata canggih supermodern, bom, bahkan juga senjata pemusnah masal. Jadi, alih-alih humanisme antroposentris itu berhasil melakukan proses humanisasi, yang terjadi justru adalah proses dehumanisasi.
Kuntowijoyo lalu mengusulkan humanisme teosentris sebagai ganti humanisme antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Dengan konsep ini, manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. Humanisasi diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut yaitu dehumanisasi (obyektivasi teknologis, ekonomis, budaya dan negara), agresivitas (agresivitas kolektif dan kriminalitas) dan loneliness (privatisasi, individuasi).

b. Liberasi

Liberasi dalam Ilmu Sosial Profetik sesuai dengan prinsip sosialisme (marxisme, komunisme, teori ketergantungan, teologi pembebasan). Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi Ilmu Sosial Profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai liberatif dalam Ilmu Sosial Profetik dipahami dan didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu. Lebih jauh, jika marxisme dengan semangat liberatifnya jutru menolak agama yang dipandangnya konservatif, Ilmu Sosial Profetik justru mencari sandaran semangat liberatifnya pada nilai-nilai profetik transendental dari agama yang telah ditransformasikan menjadi ilmu yang obyektif-faktual.
Bidikan liberasi ada pada realitas empiris, sehingga liberasi sangat peka dengan persoalan penindasan atau dominasi struktural. Fenomena kemiskinan yang lahir dari ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Liberasi menempatkan diri bukan pada lapangan moralitas kemanusiaan abstrak, tapi pada realitas kemanusiaan empiris, bersifat kongkrit. Kuntowijoyo bahkan menganggap sikap menghindar dari yang kongkrit menuju abstrak adalah salah satu ciri berpikir berdasarkan mitos.
Kuntowijoyo menggariskan empat sasaran liberasi, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik yang membelenggu manusia sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka dan mulia.

c. Transendensi

Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam Ilmu Sosial Profetik.
Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali alternatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri. Melalui proyek rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.
Di sinilah transendensi dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Islam dapat membawakan kepada dunia yang sekarat, bukan karena kurang alat atau teknik, akan tetapi karena kekurangan maksud, arti dari masyarakat yang ingin merealisir rencana Tuhan. Nilai-nilai transendental ketuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Transendensi adalah dasar dari humanisasi dan liberasi. Transendensi memberi arah kemana dan untuk tujuan apa humanisasi dan liberasi itu dilakukan. Transendensi dalam Ilmu Sosial Profetik di samping berfungsi sebagai dasar nilai bagi praksis humanisasi dan liberasi, juga berfungsi sebagai kritik. Dengan kritik transendensi, kemajuan teknik dapat diarahkan untuk mengabdi pada perkembangan manusia dan kemanusiaan, bukan pada kehancurannya. Melalui kritik transendensi, masyarakat akan dibebaskan dari kesadaran materialistik-di mana posisi ekonomi seseorang menentukan kesadarannya-menuju kesadaran transendental. Transendensi akan menjadi tolok ukur kemajuan dan kemunduran manusia.

2. Ketegangan Dialektis Antara Structure Dan Superstructure

Bagi Kuntowijoyo, kesadaran dalam ISP diletakkan di atas basis material. Dengan ini Ilmu Sosial Profetik berniat untuk menjadi paradigma baru. Marxisme menawarkan paradigma baru dengan kaidahnya mengenai structure (basis material) dan superstructure (kesadaran) dengan menyatakan bahwa structure menentukan superstructure. Feminisme menyatakan bahwa seks (jenis kelamin) menentukan kesadaran. Ilmu Sosial Profetik membalikkan rumusan ini dengan meletakkan kesadaran (superstructure) di atas basis material (structure). Kuntowijoyo yakin bahwa pandangan ini akan begitu banyak pengaruhnya dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora.
Catatan Kaki:
  1. ^ L. Laeyendecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan: Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, (Orde, Verandering, Ogelijkheid: Een Inleiding in De Geschiedenis van De Sociologie), alih bahasa Sumekto, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 137.
  2. ^ Anthony Giddens (Ed.), Positivism and Sociology, London: Heinemann, 1975, hlm. 3-4
  3. ^ F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 58.
Sosiologi Profetik:
Sosiologi Profetik secara sederhana dapat dijelaskan sebagai sosiologi berparadigma Ilmu Sosial Profetik (ISP). ISP dicetuskan oleh Kuntowijoyo sebagai alternatif pengembangan Ilmu Sosial yang mampu mengintegrasikan antara ilmu sosial dan nilai-nilai transendental. Sebagai sebuah tawaran, Sosiologi Profetik mulai banyak dikaji. Salah satunya adalah penelitian Husnul Muttaqin, "Menuju Sosiologi Profetik: Telaah Atas Gagasan Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial Profetik dan Relevansinya bagi Pengembangan Sosiologi di Indonesia".

Mendefinisikan Sosiologi Profetik

Sosiologi Profetik itu dimaksudkan sebagai sosiologi berparadigma Ilmu Sosial Profetik (ISP). Untuk pembahasan tentang ISP lihat saja Ilmu Sosial Profetik (klik saja). Dengan demikian dapat digariskan beberapa hal:
  • Pertama, sosiologi profetik memiliki tiga nilai penting sebagai landasannya yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ketiga nilai ini di samping berfungsi kritik juga akan memberi arah, bidang atau lapangan penelitian.
  • Kedua, secara epistemologis, sosiologi profetik berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu ada tiga, yaitu realitas empiris, rasio dan wahyu. Ini bertentangan dengan positivisme yang memandang wahyu sebagai bagian dari mitos.
  • Ketiga, secara metodologis sosiologi profetik jelas berdiri dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan positivisme. Sosiologi profetik menolak klaim-klaim positivis seperti klaim bebas nilai dan klaim bahwa yang sah sebagai sumber pengetahuan adalah fakta-fakta yang terindera. Sosiologi profetik juga menolak kecenderungan ilmu sosial yang hanya menjelaskan atau memahami realitas lalu memaafkannya. Sosiologi profetik tidak hanya memahami tapi juga punya cita-cita transformatif (liberasi, humanisasi dan transendensi). Dalam pengertian ini sosiologi profetik lebih dekat dengan metodologi sosiologi kritik (teori kritik). Melalui liberasi dan humanisasi sosiologi profetik selaras dengan kepentingan emansipatoris sosiologi kritik. Bedanya sosiologi profetik juga mengusung transendensi sebagai salah satu nilai tujuannya dan menjadi dasar dari liberasi dan humanisasi.
  • Keempat, sosiologi profetik memiliki keberpihakan etis bahwa kesadaran (superstructure) menentukan basis material (structure).

Posisi Paradigmatik Sosiologi Profetik

Agak susah untuk mendefinisikan posisi paradigmatik Sosiologi Profetik, karena Sosiologi Profetik itu sendiri sesungguhnya masih merupakan sebuah tawaran yang akan dilihat kemungkinannya di masa depan. Dengan demikian bangunan Sosiologi Profetik itu sendiri masih tampak sangat kabur. Meskipun demikian kiranya penting untuk mencoba menentukan ke mana arah gerak dari Sosiologi Profetik ini di masa depan.
Jika kita mengikuti pembagian Ritzer, Sosiologi Profetik tampaknya bergerak diantara dua kutub: kutub paradigma fakta sosial dan kutub paradigma definisi sosial. Melalui pandangan dialektis antara structure dan superstructure Sosiologi Profetik agaknya sesuai dengan tiga prinsip dialektika masyarakat yang dikemukakan Peter L. Berger yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. [1] Dengan eksternalisasi, kesadaran itulah yang menggerakkan perilaku sosial untuk membentuk kebudayaan. Dengan internalisasi, basis material ikut menentukan kesadaran. Dengan demikian Sosiologi Profetik mengakui bahwa makna subyektif atau kesadaran (paradigma definisi sosial) dan fakta-fakta obyektif (paradigma fakta sosial), termasuk diantaranya basis material adalah dua hal yang menyebabkan munculnya realitas sebagaimana diungkap Berger dan Thomas Luckmann. [2] Dialektika antara kesadaran dan basis material ini menunjukkan bahwa sosiologi profetik mengakui adanya fakta-fakta sosial yang bersifat eksternal dan koersif (paradigma fakta sosial), sekaligus mengakui adanya makna-makna subyektif (kesadaran) yang dibangun individu dalam proses-proses sosialnya (paradigma definisi sosial).
Sosiologi Profetik juga dekat dengan paradigma teori kritis mazhab Frankfurt. Max Horkheimer mendirikan teori kritis dengan Pertama, teori kritik bersifat historis, artinya dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak di atasnya. Teori kritik tidak bermaksud menentukan hukum-hukum universal yang berlaku di segala masa dan tempat. Kedua, teori kritik bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Teori kritik mempertahankan kesahihannya melalui evaluasi, kritik dan refleksi terhadap dirinya sendiri, bukan pada sikap netral. Ketiga, teori kritik memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Keempat, teori kritik itu merupakan teori dengan maksud praktis. Ketidaknetralan teori kritik itu terletak pada pemihakannya pada praksis sejarah tertentu. Pemihakan itu terdapat dalam tujuan teori kritis yaitu pembebasan manusia dari perbudakan, membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang merdeka dan pemulihan kedudukan manusia sebagai subyek yang mengolah sendiri kenyataan sosialnya. Dengan demikian, teori kritik hendak mengkritik keadaan-keadaan aktual dengan referensi pada tujuannya. Jadi teori kritik mengandung muatan utopia tertentu sehingga tidak netral. Teori kritik adalah teori dengan maksud praksis emansipatoris.[3]
Dari pemaparan di atas, tampak bahwa Sosiologi Profetik sesungguhnya memiliki kedekatan secara metodologis dengan teori kritik. Menjadi lebih jelas dengan sendirinya bahwa Sosiologi Profetik, sebagaimana teori kritik, menolak netralitas ilmu pengetahuan sebagaimana dianut dalam positivisme ilmu sosial.
Melalui humanisasi, liberasi dan transendensi, Sosiologi Profetik hendak menegaskan posisinya. Sebagaimana teori kritik, Sosiologi Profetik juga dimaksudkan untuk kepentingan praksis emansipatoris.
Yang menjadikan posisi paradigmatik Sosiologi Profetik menjadi unik adalah bahwa Sosiologi Profetik juga menjadikan transendensi sebagai bagian penting dari unsur pembentuknya. Karena itu, dalam Sosiologi Profetik, nilai-nilai relijiusitas menjadi penting sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban manusia. Transendensi menjadi dasar dari humanisasi dan liberasi, ini artinya proses-proses emansipatoris dalam Sosiologi Profetik diletakkan dalam konteks transendensi.
  1. ^ Berger membahasnya secara panjang lebar dalam Peter L. Berger, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (The Sacred Canopy), alih bahasa Hartono, cet. 1 Jakarta: LP3S, 1991, hlm. 4-23.
  2. ^ Peter Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, Garden City, NY.: Anchor Books, 1967, hlm. 18. Baca juga George Ritzer, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Sociology: A Multiple Paradigm Science), disadur oleh Alimandan, Jakarta: Rajawali Press, 1985, hlm. 115.
  3. ^ Dikutip dalam F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, cet. 2, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 58.

Abdul Hadi W.M, 2004.  Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas:
Esai-esai Sastra Sufistik dan Seni Rupa. 
Yogyakarta: Matahari

Ia [‘semangat profetik’] merupakan segi yang sentral, pusat bertemunya dimensi sosial dan transendental di dalam penciptaan karya sastra.  Dimensi sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan kita yang bersifat profan, dan dimensi transendental menunjuk pada tujuan kehidupan yang lebih tinggi, yang berpuncak pada Yang Maha Gaib di atas sana.  Dimensi yang kedua ini memberikan kedalaman pada suatu karya, menopangnya dengan nilai- nilai kerohanian, membuat suatu karya seni bersifat vertikal atau meninggi. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
hal 1).

Sesungguhnya cita-cita semua sastra keagamaan memang begitu, seperti hakiki ajaran agama itu sendiri, yaitu menyatukan dimensi sosial dan transendental. (Abdul Hadi, 2004: 1).

Segi penting lain dari sastra profetik itu ialah tolok ukur yang hakiki, seperti dikatakan Ali Syari’ati, yaitu sebagai sumber penemuan jati diri manusia dan penyebab mekarnya kemungkinan-kemungkinan transenden (Abdul Hadi, 2004: 3).

(QS 59:19): “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri sendiri.”
Bagaimana mungkin manusia mengenal jati dirinya tanpa manusia itu memiliki kesadaran semesta dan kesadaran akan asal usul kerohaniannya? (Abdul Hadi, 2004: 4).

Penyair Inggris yang pernah meraih hadiah Nobel, T.S. Eliot telah mengecam kecenderungan sekuler kebudayaan dan sastra Barat.  Eliot berpendapat bahwa kebudayaan tidak akan bisa mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai keagamaan. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
4)

Bumi kita adalah bumi ketakutan dan kericuhan, tapi bersamaan dengan itu, kita melihat alamat api.  Karena itu hidup merupakan bagian dari pengembaraan rohani dalam rangka membina kembali sejarah manusia dan kejayaannya” (Abdul Hadi, 2004: 7).

Hedonis
Utilitarian
Dimensi soial
Dimensi transendental

Penderitaan manusia timbul karena ketakpahaman terhadap realitas transenden, yang tersembunyi di belakang kehidupan, oleh karena manusia sudah menjauh dari kehidupan beragama yang sehat, menghindar dari bidang-bidang spiritual yang sebenarnya sangat penting (Abdul Hadi, 2004: 12).

Dua dimensi penting dari kehidupan manusia, yaitu dimensi sosial dan dimensi transendental, yang merupakan cita-cita dari semua sastra religius (Abdul Hadi, 2004: 12).

Roger Garaudy mengatakan bahwa semangat profetik itu timbul karena adanya dorongan untuk menyampaikan makna dari realitas yang tidak tampak, yang berada di balik gejala yang tampak (Abdul Hadi, 2004:    12-13).

Para penyair yang memiliki semangat profetik menyadari bahwa gejala-gejala kehidupan yang terlihat oleh mata dan pikiran yang biasa ini hanyalah ungkpan lahir dan simbol dari kenyataan hakiki yang tersembunyi. Gejala-gejala lahir ini adalah alamat-alamat Tuhan dan ayat-ayat-Nya yang mesti dibaca dan dihayati secara mendalam.  Karena ia adalah kebenaran yang hakiki, maka bagi penyair religius tugas utamanya ialah menyampaikan berita kenabian, berita bahwa ayat-ayat Tuhan terbentang dan tersembunyi di dalam alam dan di dalam diri manusia ((Abdul Hadi, 2004: 13).

Hukum lantas dipandang sebagai perwujudan atau pengejawantahan secara lahir dari yang batin, sedang yang batin atau yang di dalam hati manusia itu adalah iman.  Dengan iman sajalah manusia menemukan kembali secara merdeka gerak menuju Tuhan, sebagaimana dikatakan oleh rumi, Goethe dan Iqbal. Dan sastra keagamaan, khususnya sastra sufi, secara keseluruhan mencerminkan bahwa ia adalah gerak yang merdeka menuju Tuhan, gerak menuju penemuan dan pengenalan kembali hakekat diri manusia, karena hanya dengan mengingat Tuhan manusia ingat pada dirinya, dan hanya dengan menyelami dirinya yang sejati manusia bisa mengenal Tuhan.  Masalah rumit mengenai dilema Takdir dan kemauan bebas, dengan sendirinya akan terpecahkan melalui gerak semacam ini. ((Abdul Hadi, 2004: 15).

Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia tidak dapat membuktikan adanya Tuhan dengan pembuktian empiris dan (hal 16) rasional.  Untuk membuktikan adanya Tuhan manusia harus melatih kemampuan intuitifnya, serta memiliki kemampuan melakukan transendensi, dan melatih kalbunya agar memiliki penglihatan yang tajam terhadap makna-makna tersembunyi dalam kehidupan.  Iqbal menyebut ciri-ciri pengalaman mistis ini sebagai berikut: (1) Memberikan pengalaman langsung tentang adanyan Realitas Mutlak; (2) Menyajikan realitas sebagaimana kesatuan organis yang tak terpisahkan dan bersifat menyeluruh; (3) Membawa rasa bersatu dengan Tuhan; (4) Pengalaman religius lebih merupakan perasaan dari pikiran yang memberinya arah dan membentuknya menjadi gagasan; (5) Menyajikan realitas sebagai suatu keseluruhan yang langgeng, melihat masa lampau dan masa depan, atau melihat masa depan sebagai kerinduan masa kini, itulah yang membuat pengalaman semacam ini melahirkan pandangan yang profetik. ((Abdul Hadi, 2004: 15-16).


Memang kata Iqbal, tugas penyair yang mahapenting di dunia modern sekarang adalah membuka jalan bagi lahirnya revolusi kenabian, yaitu revolusi yang didasarkan pada ajaran tauhid Nabi, oleh karena sekarang ini di dunia sedang dikuasai oleh dewa-dewa palsu dan oleh berhala-berhala yang merusak kepribadian manusia. ((Abdul Hadi, 2004: 16).
Sangat ‘apokaliptik
Ekstase mistik

Hanya dengan mengenal hakikat dan potensi dirinya manusia bisa kembali meyadari posisinya di dunia ini, dan memulai kembali perannya dalam sejarah dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu sebagai subyek yang merdeka (Abdul Hadi, 2004: 16).

Dalam wawasan estetik Iqbal, seniman adalah guru yang memiliki tugas menyampaikan dan menyebarluaskan makna hakiki ajaran nabi-nabi.  Pokok paling dasar dari ajaran Nabi adalah Tidak ada Tuhan selain Allah. 
Sebagai konsekuensi seni harus mampu mendorong bertambahnya tingkat keimanan kepada pembacanya, sebab iman adalah cara vital menghadapi kehidupan, melengkapi cara intelektual.  Iman bukan sesuatu yang pasif bila dihayati sungguh-sungguh.  Ia justru mampu menjelamakan pribadi yang dinamik dan tindakan-tindakan yang kreatif (Abdul Hadi, 2004:    20).

Secara profetik, sperti telah kita ketahui, memandang realitas yang tampak (empiris) dan realitas yang terpahamkan akal biasa sebagai bukan satu-satunya realitas, kecuali dalam hubungan dengan realitas yang lebih tinggi, yaitu realitas transenden.  Oleh karena itu sastra semestinya tidak hanya bertalian dengan gejala-gejala lahir dan objek-objek tanggapan indra. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
21).

Manusia bukan hanya makhluk sosial, tetapi juga makhluk rohani.  Karena itu ia tidak ditentukan semata-mata oleh kenyataan sosial, namun oleh pertumbuhan rohaninya (Abdul Hadi, 2004: 21).

Eskatologi religius
Eskatologi sekular

Tokoh-tokoh yang berani mengatakan, bahwa penderitaan sebagai ujian tidak akan bisa diatasi, begitu juga pembebasan dan keselamatan tidak datang, tanpa orang tersebut memasuki kepercayaan terhadap Yang Transenden.  Yaitu tokoh-tokoh yang sadar, bahwa hidup itu sukar, penuh dengan cobaan dan hadangan bencana sebagaimana dialami Nabi Yusuf, Ayub, Musa, dan Yunus yang menghadapinya dengan berani.  Meminjam kata-kata Ali Syariati, “Tolok ukur penting dari sini ialah penemuannya terhadap kepribadian manusia dan penyebab mekarnya kemungkinan-kemungkinan(hal 21)transenden manusia, yang mengatasi intelek dan logika.” ((Abdul Hadi, 2004:    ).
21-22).

Sastra tidak bisa menutup mata terhadap realitas batin, pada pengalaman-pengalaman spiritual dan religius, tempat ia menemukan dirinya.  Tokoh yang ideal ialah pribadi yang berjuang terus mengatasi penderitaan, menundukkan kejahatan dan membangun kepribadian.  Seni yang demikian, ujar Iqbal, dilandasi oleh ilmu dan cinta, pikiran dan hati/visi yang terang, pribadi yang teguh, beriman dan tanpa pamrih, serta diandasi rasa kebebasan dan keberanian. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
22).

Ia [sastra profetik] juga menyampaikan berita gembira yang sangat mendasar, yaitu bahwa jiwa dan rohani manusia bisa kaya hanya apabila mampu melakukan hubungan yang terus menerus dengan Yang Maha Kaya. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
23).

(QS 13:11): Sungguh,Tuhan takkan mengubah nasib suatu kaum sebelum dunia batin kaum itu berubah.
Nasr: “Alasan paling kuat tentang pentingnya petunjuk Ilahi bagi manusia ialah adanya hambatan-hambatan yang menyebabkan manusia tidak mampu menggunakan akalnya dengan baik. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
24).
Theomorfis
Apokaliptik

Dalam bukunya Kimiya-i Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) Imam Ghazali menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan karya seni terhadap jiwa manusia sangat besar, dan karenanya menentukan moral dan penghayatan keagamaannya.  Apabila masalah estetika hanya dikaitkan dengan selera dan kesenangan sensual, atau kesenangan indrawi, maka nilai seni itu akan merosot. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
34).
Deformasi
Stilisasi dan simbolisasi

Dalam tradisi sufi estetika lebih jauh dikaitkan dengan metafisika dan jalan kerohanian yang mereka tempuh di jalan ilmu tasawuf.  Yang dibicarakan dalam estetika sufi ialah termasuk hakikat dan fungsi seni, pengaruhnya terhadap psikologi dan kehidupan kerohanian manusia, penggunaan karya seni dalam menumbuhkan semangat religius dan solidaritas sosial, serta cara-cara memahami karya seni melalui metode hemeneutika (ta’wil).  Para sufi berpendapat bahwa semua karya yang baik mestilah dapat dirujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an, dan tak jarang puisi-puisi mereka sebenarnya merupakan tafsir spiritual terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ditransformasikan ke dalam bahasa figuratif puisi. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
37-38).

Dalam tradisi Islam istilah yang digunakan untuk keindahan estetis diambil dari al-Qur’an dan hadis, yaitu jamal dan husn.  Di antara hadis yang mengandung dua istilah tersebut ialah hadis yang menyatakan bahwa keindahan batin (jamal) bersifat universal dan memperkaya rohani, karena di dalamnya terdapat hikmah dan jalan menuju Tauhid.  Sedangkan keindahan zahir (husn) tidak jarang hanya memukau (sihr).  Orang yang tak berpengetahuan dan tidak memiliki penglihatan batin sering terperdaya oleh yang tampak indah dalam pandangan matan, tetapi orang arif dapat menembus ke sebalik keindahan zahir sehingga dapat melihat yang hakiki.

Hadis di atas dirujuk pada hadis lain yang menyatakan bahwa ‘Tuhan itu Maha Indah dan mencintai keindahan”.  Kata yang digunakan dalam Hadis ini ialah ‘jamal’, dan kata tersebut dikaitkan dengan Cinta.  Tetapi tidak semua keindahan yang tergolong ‘jusn’ itu memiliki arti negatif, karena untuk nama-nama Tuhan yang indah disebut asma al-husna.  Dengan demikian di samping ada keindahan zahir yang buruk, ada keindahan zahir yang baik, bahkan yang dapat dijadikan laluan menuju keindahan tertinggi (Abdul Hadi, 2004:    ).
38).

Karena keindahan ada kaitan dengan cinta, dan cinta memiliki peringkat, maka demikian pula keindahan itu memiliki peringkat-peringkat.  Kalau Tuhan mencintai keindahan, tentulah keindahan yang dimaksud ialah keindahan yang berkaitan dengan tujuan-tujuan ilahiah penciptaan.  Para sufi mengaitkan tujuan ilahiah penciptaan pada manusia dengan kesempurnaan  pengetahuan, akhlak, amal ibadah dan perbuatan. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
38-39).

Rasail (discourses)
… keindahan yang didamba sufi tidak hanya keindahan yang memberi kepuasan paa persaan dan menimbulkan ekstase, dan bukan juga keindahan zahir yang tidak tetap dan bersifat nisbi, melainkan keindahan yang mengandung dimensi religius dan moral. (Abdul Hadi, 2004:    ).
40).

Jika ibadah formal yang dilakukan secara khusyuk seperti shalat mampu melahirkan pengalaman religius dan pembersihan jiwa, maka latihan kalbu akan meningkatkan pengalaman religius ini menjadi pengalaman transendental, yang sifatnya vertikal atau meninggi.  ??????

Di sini keindahan dapat dibedakan menjadi keindahan yang bersifat sementara, yaitu keindahan zawahir (fenomenal) dan keindahan yang langgeng.  Keindahan yang dimiliki oleh seorang perempuan cantik bersifat fenomenal, dan apabila seseorang hanya ingin berpuas dengan kecantikan lahirnya, kelak akan kecewa apabila kecantikannya itu sudah pudar.  Cinta yang terbit disebabkan daya tarik keindahan fenomenal ini tingkatnya di bawah.  Berlainan dengan keindahan pribadi Nabi Muhammad s.a.w yang langgeng, yang memancar dari akhlak, pengetahuan, kearifan dan solidaritasnya kepada kaum yang teraniaya.  Keindahan pribadi Nabi langgeng dan menyejarah, mengatasi waktu dan unviersal.  Karena itu syair-syair yang memuat pujian kepada Nabi seperti Qasidah Burdah karangan al-Busiri dan Qasidah Barzanji karangan Syekh Barzanji memiliki kedudukan yang tinggi dalam kesusasteraan Islam dan memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di Timur dan Afrika Utara (Abdul Hadi, 2004: 14).

Dalam bukunya Kimia Kebahagiaan Imam al-Ghazali mengatakan bahwa peringkat-peringkat keindahan estetis sejajar dengan peringkat pengalaman kesufian.  Ia berjalan dari peringkat (formal), melalui peringkat tarekat, menuju hakikat (maknawi) dan akhirnya makrifat.  Pencapaian keindahan tertinggi degan demikian melibatkan latihan spiritual. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
41).

Sesuai peringkatnya keindahan dapat dibagi menjadi: (1) Keindahan sensual dan duniawi, yaitu keindahan yang berkaitan dengan hedonisme dan materialisme; (2) Keindahan alam; (3) Keindahan akliah, yaitu keindahan yang ditampilkan karya seni atau sastra yang dapat merangsang pikiran dan renungan; (4) Keindahan rohaniah, berkaitan dengan akhlak dan adanya pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu pada diri seseorang atau karya sastra; (5) Keindahan Ilahi. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
41-42).

Keindahan sensual (nafsani) dan duniawi tidak dapat disebut keindahan sejati.  Sebabnya ialah karena pengaruhnya yang lebih banyak neagatif dibanding positif, seperti mendatangkan kemungkaran dan kesombongan diri, selain kelobaan yang dapat merugikan masyarakat.  Keindahan sejati dicintai, walaupun tidak mendatangkan keuntungan material atau kesenangan badani.  Menikmati keindahan yang ditimbulkan pemandangan danau yang menyenangkan, tidak mendatangkan keuntungan material, namun dicintai karena menyehatkan jiwa.  Kesenangan, kelezatan dan kepuasan yang ditimbulkan oleh keindahan sejati menyebabkan jiwa sehat, akhlak bertambah, pengetahuan dan kearifan meningkat, pengalaman rohani dan religius kita semakin kaya.  Dalam keindahan sejati, yaitu keindahan alam, akliah, rohaniah dan Ilahiah, manusia dapat menyaksikan asal usulnya di alam kerohanian yang diliputi oleh kebaikan, kebenaran dan kesempurnaan sesuai ukurannya.  Di sini nyata bahwa keindahan dikaitkan dengan hasrat manusia akan kesempurnaan, kebahagiaan dan kebaikan diri. (Abdul Hadi, 2004:    ).
42).

Telah disebutkan bahwa walaupun keindahan alam termasuk keindahan zahir dan peringkatnya rendah disebabkan mudah dicerap secara indrawi, akan tetapi ia tetap dipandang sebagai keindahan sejati sebab membuat jiwa subur dan mendatangkan kedamaian bagi penikmatnya.  Bahkan jiwa orang yang arif dan dewasa dapat terangsang sehingga menyebabkan pikirannya sadar akan kebesaran Tuhan. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
42)

Mengenai keindahan tertinggi, Imam al-Ghazali, menghubungkannya dengan peringkat kebenaran atau pengetahuan yang ada pada karya atau pribadi yang kita nilai indah.  Pengetahuan dan kebenaran tertinggi hanya dapat ditangkap dengan indra keenam, yaitu penglihatan hati dan jiwa universal (al-nafs al-kulliy).  Seluruh kehidupan dan pribadi Nabi Muhammad s.a.w hanya dapat dilihat nilai dan mutu keindahannya melalui indra keenam ini.  Dilihat secara lahir Nabi adalah manusia karena beliau juga makan, tidur, berumah tangga dan mengenderai kenderaan seperti manusia lain.  Tetapi dilihat dari kehidupan spiritual dan moralnya beliau adalah lebih dari sekadar manusia biasa.
Melalui penjelasannya tersebut Imam al-Ghazali berpendapat bahwa penglihatan batin sangat penting dalam kehidupan manusia, serta menumbuhkan semangat religius. Penglihatan batin lebih kuat dari penglihatan lahir ataupun akal, demikian juga pengaruh yang ditimbulkannya terhadap keimanan dan cinta seseorang (Abdul Hadi, 2004: 43).

Sebagaimana Imam al-Ghazali, Jami menyatakan bahwa apabila keindahan manusia terletak pada nilai moral, pencapaian intelektual dan spiritualnya, maka keindahan puisi terletak pada hikmah yang dikandungnya.  Hikmah dalam dirinya mengandung aspek moral, intelektual dan spiritual (Abdul Hadi, 2004: 44).

Karena segala bentuk keindahan dapat dijadikan sarana menuju pengalaman religius, sesuai dengan cara seseorang menanggapi keindahan, maka esetetika dalam tradisi Islam dapat dikatakan sebagai jalan kerohanian. (Abdul Hadi, 2004: 44).

Bentuk-bentuk ekspresi yang berhubungan dengan spiritualitas dan religiusitas, sebagaimana puisi-puisi kepada Nabi Muhammad s.a.w yang disebut na’tiyah, memiliki kedudukan istimewa dalam peradaban Islam, sebab yang diungkap ialah hakekat perjalanan rohani manusia menuju kebenaran, yang Tauhid (Abdul Hadi, 2004: 44).

Karena berkaitan dengan pencapaian Tauhid, estetika Islam bersifat konsentrik, memusat kepada Yang Satu atau kesaksian akan Yang Satu, Kekasih dan Pencinta.  Karena itu secara garis besar renungan ahli estetika Islam tentang keindahan berkisar di sekekitar keindahan Yang Maha Esa, kehadiran spiritual-Nya (dalam bentuk rahmat, sifat Maha Pengasih dan Penyayang-Nya sebagaimana terkandung dalam kalimat Basmallah.) dalam objek yang berbagai-bagai di alam semesta dan diri manusia (Abdul Hadi, 2004: 45).

Renungan estetikus muslim tentang keindahan estetis (zahir) juga dapat disingkap melalui tamsil-tamsil yang mereka gunakan dalam menggambarkan tahap-tahap perjalanan rohani (suluk) yang mereka tempuh menuju Yang Satu.  Karena perjalanan itu merupakan perjalanan naik dari alam kewujudan rendah ke alam kewujudan yang lebih tinggi, maka digunakan tamsil perjalanan mendaki puncak gunung (Abdul Hadi, 2004: 45).

Nasr (1981:271) mengatakan bahwa Para sufi memandang keindahan sebuah puisi yang maknanya dalam memiliki kekuatan yang mampu membawa pembaca ke alam hakekat ketuhanan dan merangsang hasratnya untuk mencapai persatuan mistis.  Puisi merupakan kias tentang alam keabadian dan isinya merupakan hikmah yang dipetik dari Taman Mawar Ilahi.  Matsnawi adalah kedai tauhid dan kefakiran, serta tangga naik menuju kebenaran hakiki (Abdul Hadi, 2004: 46).

Ketaatan merupakan manifestasi daripada penyerahan atau pengikatan diri sepenuhnya kepada Yang Satu.  Perkataan religi sendiri, darimana kata religious berasal, bermakna mengikat diri.  Dalam kata tersebut terkandung makna kedekatan, kehampiran, penyerahan dan ketaatan.  Dalam konteks sajak Hamzah Fansuri, dan juga dalam konteks sajak sufi pada umumnya, cinta sejati merupakan jalan yang dapat membawa seseorang melakukan transendensi, yaitu penembusan terhadap yang zahir (formal) menuju yang spiritual (hakikat), termasuk hakikat diri kita yang memang bersifat spiritual (Abdul Hadi, 2004: 53).

Melalui pembicaraan yang telah disajikan dapatlah disimpulkan bahwa dalam tradisi Islam, atau lebih tepatnya dalam tradisi sufi, pengucapan estetik dalam bentuk karya sastra mempunyai makna sejauh suatu pengucapan dapat dijadikan suluk atau jalan kerohanian menuju hakikat kehidupan yang lebih tinggi.  Ungkapan-ungkapan estetik dalam sastra ataupun seni dengan demikian dapat dijadikan tangga naik atau sarana pendakian, bahkan penerbangan menuju alam transendental (alam lahut).  Dalam narasi simbolik sufi pendakian itu dilambangkan misalnya dengan perjalanan naik menuju puncak bukit atau gunung, atau melalui penerbangan burung ke puncak gunung yang tinggi.  Melalui estetika sufi inilah simbol ‘gunungan’ di Jawa dan dalam tradisi Melayu, yang telah ada pada zaman Hindu Buddha, mengalami transformasi makna sehingga simbol tersebut tetap hidup, terutama dalam masyarakat Jawa.
Sebagai suluk atau perjalanan mendaki dari alam rendah (alam nasut) ke alam tinggi (alam lahut) ungkapan estetik dalam sastra dan seni mempunyai fungsi sebagai berikut:
(1)   Tawajjud, yaitu membawa penikmatan mencapai keadaan jiwa yang damai (mutmainnah) dan menyatu dengan keabadian dari Yang Abadi.  Ini dikemukakan antara lain oleh Imam al-Ghazali.  Kata tawajjud dibentuk dari kata wajd, arti harfiahnya mencapai maksud atau berjumpa dengan yang dikehendaki.  Namun makna konseptualnya ialah keadaan jiwa seseorang yang mengalami kegairahan mistik (ekstase).  Iqbal menyebutnya jumon, yang artinya juga kegairahan mistik yang dicapai seseorang yang intens mencari kebenaran yang hakiki. (57).
(2)   Fungsi ungkapan estetik yang lain, sebagaimana dikemukakan Ruzbihan al-Baqli, seorang sufi Persia awal abad ke-13 M, ialah tawajjud, yaitu pembebasan jiwa dari alam benda melalui sesuatu yang berasal dari alam benda itu sendiri.  Misalnya suara, bunyi-bunyian, gambar, lukisan dan kata-kata.  Jika ungkapan estetik dalam karya sastra atau seni tetap terbelenggu kita dalam kehidupan jasmani dan sensual, maka ia tidak memenuhi fungsinya sebagai ungkapan religiusitas atau spiritualitas.
(3)   Fungsi ungkapan seni yang lain lagi ialah tadzkiya al-nafs, yaitu penyucian diri dari pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk.  Ini dinyatakan antara lain oleh Jalaluddin Rumi.
(4)   Seni sebagai sarana transendensi, menerobos dunia bentuk melalui bentuk-bentuk formal itu sendiri.  Karena itu dalam memandang ungkapanestetik sufi, yang dalam puisi terjelma dalam majaz (bahasa figuratif) merangkum metafora, tamsil atau tasybih (citraan simbolik), tidak melihatnya hanya sebagai ungkpan lahir, tetapi sebagai kias (perumpamaan) dan mitsal (simbol).  Yang harus dijelajahi ialah apa yang dikiaskan dan disimbolkan, yaitu makna batin, bukan kias atau simbolnya itu sendiri.
(5)   Fungsi ungkapan estetik yang lain pula ialah untuk menyampaikan hikmah, yaitu kearifan yang dapat membantu kita bersikap adil dan benar terhadap Tuhan, sesama manusia, lingkungan sosial, alam tempat kita hidup dan diri kita sendiri.  Banyak dikemukakan para filsuf dan sastrawan seperti Ibnu al-Muqaffa’, al-Jahiz, Ibnu Sina, Abu “Ala al-Ma’arri, Abu al-‘Atahiyah dan Mulla Sa’adi.
(6)   Ungkapan estetik juga berfingsi sebagai sarana efektif menyebarkan gagasan, pengetahuan, informasi yang berguna bagi kehidupan seperti pengetahuan dan informasi berkenaan [58] sejarah, geografi, hukum, undang-undang, adab, pemerintahan, politik, ekonomi dan gagasan keagamaan.  Para ilmuawan, ahli adab, ulama fiqih dan usuluddin, serta ahli tasawuf berpegang pada pendapat ini;
(7)   Ungkapan estetik juga dicipta untuk menyampaikan puji-pujian kepada Yang Satu.  Atau sebagai sarana pemusatan pikiran dan hati kepada Yang Satu (tafakkur), atau sarana perenungan terhadap keberadaan-Nya dan kehadiran rahasia-Nya dalam kalbu manusia. (59).


Ta’wil Sebagai
Asas Teori Sastra dan
Bentuk Hermeneutika Islam

Ta’wil dan Sastra Islam

Memang, pada mulanya ta’wil dikembangkan dengan maksud menyusun suatu kaidah yang bisa digunakan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang simbolik dan mengandung kiat (ayat-ayat mutsyabihat), sehingga diperoleh pemahaman yang  mendalam.
Misalnya sperti terlihat pada ikhtiar Sah al-Tustari, seorang sufi Persia yang hidup pada akhir abad ke-10 dan merupakan salah seorang pengasas kaidah ta’wil.  Baginya ta’wil tidak lain adalah kaidah penafsiran secara spiritual untuk menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam ayat-ayat tertentu al-Qur’an.  Dalam menyusun teorinya itu dia bertolak dari pembagian ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh Ja’far al-Sadiq, seorang ulama sufi dan ahli tafsir abad ke-9 M.
Menurut Sulami, Ja’far al-Sadiq membagi ayat-ayat al-Qur’an dalam empat jenis, yaitu: (1) ayat-ayat ibarat, yang jelas maksudnya dan dapat ditafsirkan secara harfiah; (2) Ayat-ayat isyarat, yang maknanya cukup dalam dan tidak mudah ditafsirkan oleh pembaca awam kecuali oleh mereka yang memiliki pengetahuan agama.  Ayat-ayat ini memerlukan tafsir akliah atau rasional, yaitu berdasarkan pemikiran yang mendalam; (3) Ayat-ayat lata’if (halus) yang hanya dipahami oleh para wali, yaitu mereka yang telah mencapai makrifat; (4) ayat-ayat haqa’iq, yang maknanya hanya diketahui oleh para nabi (Schimmed, 1981: 41).  Sejalan dengan pembagian tersebut Sahl al-Tustari menysun dua jenis tafsir, yaitu tafsir formal yang kemudian biasa disebut tafsir, dan tafsir kerohanian yang disebut ta’wil.  Yang terkhir ini adalah tafsir yang digunakan untuk memahami ayat-ayat isyarat dan lata’if.  Makna yang dikandung ayat-ayat ini bersifat qiyas (analogis) dan mutasyabihat (simbolik).  Tustari me[64]nyebut ayat-ayat ini mengandung makna batin (esoteric) dan bersifat matla’, luas maknanya karena di situ ada tangga naik meunju alam hakikat (Bowering 1980:142).
Dalam perkembangan selanjutnya, ta’wil tidak hanya digunakan untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat al-Qur’an, tetapi juga ungkpan-ungkapan puisi keagamaan dan sufistik. ((Abdul Hadi, 2004:    ).
65).

Kesesuaian penggunaan ta’wil dalam meneliti karya para penyair sufi dapat terjadi karena pda umumnya puisi-puisi sufi menggunakan citraan-citraan simbolik.  Citraan-citraan tersebut secara umum pula bertalian dengan psikologi, kosmologi dan ontologi sufi.  Bila berkenaan dengan psikologi simbol-simbol yang digunakan merujuk pada peringkat dan keadaan rohani (maqam dan ahwal) yang dicapai para sufi dalam perjalanannya menuju Yang Hakiki.  Jika berkenaan dengan kosmologi dan ontologi, maka citraan-citraan yang digunakan berkenaan dengan perjalanan, pendakian atau penerbangan dari alam rendah (alam nasut atau alam jasmani) ke alam yang lebih tinggi, berturut-turut alam malakut (ala kejiwaan yang ditempati imajinasi dan fikiran) alam jabarut (alam rohani yang ditempati kalbu dan roh), dan alam lahut (alam ketuhanan)(Abdul Hadi, 2004: 66).

Dalam teori sastra Islam kenikmatan estetik yang tinggi dapat diperoleh jika seseorang memahami makna terdalam dari sebuah karya, dan seseorang dapat dikatakan memahami jika memperoleh kenikmatan estetik yang tinggi.  Hal ini disebabkan karena dalam karya sastra bukan semata-mata mimesis (tiruan kenyataan), dan juga bukan benar-benar [67] creation (penciptaan berdasar imajinasi) (Abdul Hadi, 2004: 68).

Ta’wil sebagai Hermeneutika

Ta’wil sebagai bentuk hermeneutika Islam memang bermacam-macam.  Walaupun ia sering disamakan dengan tafsir biasa atas teks, yaitu cara menjelaskan makna tersurat dari teks, namun kaidah yang digunakan dan cara penerapan kaidah tersebut ternyata berbeda dari tafsir biasa yaitu tafsir formal.  Perkataan ta’wil berasal dari akar kata awwal, pertama atau yang pertama, sebutan yang juga diberikan kepada Sang Pencipta.  Sebagai Yang Pertam (al-awwal) Tuhan merupakan tempat kembalinya segala ciptaan.  Berdasarkan hal ini lantas perkataan ta’wil diberi arti ‘Kembali atau menyebabkan kita kembali (kepada yang pertama atau yang asal)serta menemukan sesuatu yang tidak dapat dikurangkan lagi, yaitu sang makna atau hakikat yang terakhir’(Abdul Hadi, 2004: 70-71).

Sebagaimana ahli hermeneutika secara umum, ahli ta’wil meyakini bahwa bahasa sebagai sarana komunikasi dan ekspresi manusia merupakan ‘wadah makna-makna’ (the locus of meaning), sekaligus sistem penandaan (dilal) dan pelambangan atau simbolisasi (mitsal).  Berdasarkan penekanannya pada simbol atau unsur-unsur simbolik dari rasa’il atau wacana, maka ta’wil sering diartikan sebagai tafsir atau pemahaman simbolik.  Dilihat dari arti khususnya ini ta’wil dapat diartikan sebagai perjalanan jiwa dalam memahami teks (karya satra) melalui cara-cara seperti mengubahsuai atau mentransformasikan ungkapan-ungkapan zahir tertentu dalam teks menjadi kias. Tamsil atau mitsal.  Dengan cara demikian maka dunia makna yang dikandung teks menjadi lebih luas dan kaya.
Menurut Corbin (1980:29) dalam analisanya terhadap falsafah Ibnu ‘arabi, selain mengubahsuai ungkapan-ungkapan tertentu dalam teks menjadi kias, tamsil atau mitsal, seseorang pemakai kaidah ta’wil biasanya menggunakan pencerapan intuitif dalam upaya menyingkap dunia makna dari teks yang dikajinya.  Intuisi penting karena hanya dengan pencerapan secara intuitif maka ungkapan-ungkpan dalam teks dapat tampil sebagai gambaran yang hidup dalam pikiran dan imajinasi kita.  Penggunaan intuisi dalam membaca teks ditunjukkan misalnya oleh Kasyani dan Iqbal.  Dalam usaha memahami dan menafsir ayat-ayat al-Qur’an secara mendalam mereka menem[72]patkan diri sekan-akan Tuhanlah yang menurunkan wahyu itu secara langsung ke dalam hati mereka.  Begitu pula apabila seseorang membaca teks karya sastra, kaidah serupa dapat digunakan.  Agar memahami pesan terdalam teks, seorang penelaah mesti mampu menempatkan diri seolah-olah dia sendirilah yang menerima inspirasi untuk menuliskan pesan-pesan daripada karya yang dibaca.
Ta’wil dapat bekerja apabila kita mampu membedakan antara tamsil dan alegori (ibarat) dan memahami bagaimana sebuah simbol terjadi.  Penggunaan logika saja tidak cukup bagi seorang penta’wil.  Agar efektif dalam menelaah teks, seorang penta’wil mesti mampu menggunakan penglihatan batin, serta mendayagunakan sepenuhnya akan kontemplatif dan imajinasi kreatifnya.  Apabila seorang penta’wil telah menggunakan ketiga sarana kerohaniannya ini maka ia tidak akan lagi melihat karya yang dikaji sebagai wacana yang ditulis berdasarkan gagasan logis, melainkan sebagai bentuk dari pengkiasan atau simbolisasi (Corbin 1981: 13-4; 78, 88 dan 90).  Di sini ada beberapa hal yang perlu dicatat.  Pertama, karya sastra adalah sebuah simbolisasi yang berarti bukan sekadar mimesis (tiruan) atas kenyataan indrawi, tetapi pengkiasan (mitsal) atau salinan menggunakan kias atau simbol terhadap gagasan yang lahir dari pengalaman batin penulis, jadi merupakan salinan dari sesuatu yang terdapat dalam alam rohani.  Kedua, sarana yang dapat memahami gagasan yang terdapat dalam alam rohani dan transformasinya ke dalam ungkapan estetik yang simbolik ialah akan kontemplatif dan imajinasi kreatif (Abdul Hadi, 2004: 73).

Pandangan Imam al-Ghazali tentang keindahan tidak hanya terkait dengan keindahan karya seni, tetapi juga dengan keindahan pengalaman keagamaan dan kesufian.  Sistem estetika yang dikemukakannya bercorak konsentrik (sepusat) karena tertuju pada keindahan Yang Maha Tinggi.  Menurut Imam al-Ghazali semua nilai yang berhubungan dengan keindahan dan bentuk-bentuknya yang dicerap oleh manusia, dicintai dan disukai bukan karena memberi keuntungan, tetapi disebabkan nilai-nilai yang diberikan oleh keindahan itu sendiri.  Sebagai subjek yang hendak disajikan dalam karya seni, keindahan tidak terbatas hanya pada keindahan yang dicerap oleh kelima indra kita.  Di atas keindahan indrawi yang lebih tinggi peringkatnya ialah keindahan yang dapat dicerap oleh indra keenam.  Indra-indra keenam itu ialah akal pikiran, kalbu, roh, atau cahaya (nur) penglihatan batin (Ettinghausen 1981).
Keindahan yang menjadi sasaran pencerapan indra keenam disebut keindahan bentuk dalam, keindahan batin atau maknawi.  Ia terlalu tinggi untuk dicapai oleh pencerapan indra.  Kata Imam al-Ghazali, “Keindahan lahir atau bentuk luar yang dilihat dengan mata telanjang dapat dialami oleh anak-anak … sedangkan keindahan batin dapat dicerap hanya dengan mata hati atau cahaya penglihatan batin.  Banyak gejala di alam syahadah atau zawahir dapat ditangkap oleh indra dan memberikan nilai keindahan yang bermanfaat bagi jiwa manusia yang melihatnya, tanpa mendayagunakan akal pikiran dan melakukan perenungan [120]yang dalam.  Keindahan semcam ini sering tidak bertahan lama dan kurang memberi kesan mendalam dibanding keindahan yang ditangkap oleh indra keenam (Abdul Hadi, 2002: 87).

Kata Imam al-Ghazali, “Penglihatan batin lebih kuat dari penglihatan indra, ‘hati’ lebih peka dalam melakukan pencerapan dari mata, dan keindahan yang ditangkap melalui ‘akal’ lebih tinggi dari keindahan bentuk luar yang tampak pada mata.  Oleh karena itu kepuasan hati terhadap kemuliaan dan kesucian objek yang kelihatan dan objek yang terlalu tinggi untuk dicerap oleh pancaindra berlainan.  Keindahan batin niscaya lebih sempurna dan lebih tinggi nilainya, dan kecenderungan sifat dan pikiran ke arah itu menjadi lebih besar” (Abdul Hadi, 2004: 87).

Pertama-tama Imam al-Ghazali, sebagaimana filsuf sufi secara umum, membangun sistem estetika yang meletakkan keindahan bukan sesuatu yang nilai-nilainya berdiri sendiri.  Keindahan sebagai sifat yang ada pada sesuatu pada daarnya memiliki kaitan dengan nilai lain seperti kebaikan, kemuliaan dan kesempurnaan.  Seorang penulis sufi harus menghubungkan keindahan dengan nilai-nilai tersebut untuk mencapai kebenaran hakiki dan keindahan tertinggi.  Pengalaman-pengalaman jiwa atau rohani berkenaan dengan nilai-nilai inilah yang merupakan tujuan agama (Abdul Hadi, 2004: 121).

Kedua, melalui pemaparannya itu Imam al-Ghazali mem[121]bagi peringkat-peringkat keindahan sesuai dengan sistem ontologi dan kosmologi sufi: (1) Keindahan lahir atau bentuk luar yang diperoleh di alam syahadah dan dapat dicerap indra atau mata jasmani.  Tempatnya di alam al-mulk atau alam nasut.  Dalam hubungannya dengan keindahan sensual atau nafsani, yang timbul dari cinta jasmani; (2) Keindahan akliah atau yang hanya menampakkan diri pada akal dengan bantuan imajinasi, seperti misalnya keindahan sebuah puisi atau lukisan yang bermutu, yang tidak dapat dicerap semata-mata dengan indra tetapi menggunakan akal pikiran.  Tempatnya di alam malakut atau mental; (3) Keindahan kalbiah, yang dapat dicerap melalui perenungan kalbu atau secara intuitif, misalnya kepribadian dan moralitas seseorang atau nilai-nilai keindahan yang berkaitan dengan moral dan pengalaman mistik.  Tempatnya di alam jabarut atau alam kerohanian; (4) Keindahan ilahi atau transendental, berupa pengalaman kesufian seperti cinta ilahi (‘ishq-I ilahi), makrifat, fana’ dan baqa’, sukr, wajd dan lain-lain. Ini bisa dicerap melalui cahaya penglihatan batin, dan tertuju ke alam lahut (ketuhanan)(Abdul Hadi, 2004: 122).

Puisi juga merupakan proyeksi zikir (mengingat Allah) dan musyahadah, yaitu penyaksian terhadap keesaan-Nya dalam perenungan dan pemusatan pikiran.  Ini selaras dengan tujuan tasauf, yaitu penyaksian bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan pengenalan tentang-Nya secara mendalam melalui penyaksian kalbu.  Makrifat dan pencerahan kalbu sebagai bentuk dari pengalaman estetis yang tinggi adalah aspek batin (ma’na) daripada puisi dan juga merupakan keindahan tertinggi yang ingin dialami penyair (Abdul Hadi, 2004: 131).

Tasauf ialah bentuk kebajikan spiritual dalam Islam yang dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan syariat Islam.  Jalan-jalan kerohanian dalam ilmu tasauf dikembangkan dengan tujuan membawa seseorang sufi menuju pencerahan batin atau persatuan rahasia dengan Yang Satu. Di sini jelas bahwa landasan tasauf ialah tauhid (Abdul Hadi, 2004: 136).

Mengenai cinta kepada manusia ada dua macam, yaitu cinta mistik/rohani dan cinta alami/kodrati.  Cinta mistik tertuju kepada Tuhan, cinta kodrati tertuju kepada sesama manusia dan lingkungan sekitar.  Cinta jenis kedua ini dapat dijadikan tangga naik menuju cinta mistik, dan sebaliknya cinta mistik dapat mengubah bentuk-bentuk cinta yang kedua menjadi lebih tinggi.  Pelaksanaan cinta kedua ini dirumuskan oleh al-Qur’an denga  istilah amar makruf nahi mungkar atau solidaritas sosial yang bertujuan membentuk lingkungan masyarakat yang diredhai Tuhan, berkeadilan, beradab dan berprikemanusiaan.
Cinta mistik merupakan kecenderungan yang tumbuh dalam jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi dan lebih[142] sempurna dari dirinya, baik keindahan, kebenaran maupun kebaikan yang dikandungnya.  Ada beberapa ayat al-Qur’an yang dijadikan rujukan terhadap cinta semacam ini.  Pertama ayat yang mengemukakan tentang wajibnya manusia mencintai Tuhan supaya manusia mengenal kedudukannya sebagai khalifah-Nya di muka bumi dan sekaligus sebagai hamba-Nya, atau supaya manusia mengenal dirinya yang hakiki sebagai makhluk spiritual dan asal usul kerohaniannya, serta kewajiban-kewajibannya dalam memenuhi cintanya tersebut.  Memenuhi keweajibannya dalam cinta berarti melakuikan perjalanan naik atau transendensi, menembus yang formal menuju yang hakiki (Abdul Hadi, 2004: 143).

Para sufi menyebut perjalanan mendaki dari bentuk formal atau syariat kepada yang hakiki atau makrifat sebagai taraqqi.  Istilah ini ada kaitannya dengan sebutan tariqat (Abdul Hadi, 2004: 143).

Ketiga, ialah lembah kearifan atau makrifat. … Makrifat dapat dicapai dengan berbagai cara.  Di antaranya melalui sembahyang yang khusyuk, latihan kerohanian yang berdisiplin, penyucian diri sepenuhnya di hadapan Kekasih, dan pengisian jiwa dengan pengetahuan yang bermanfaat bagi pertumbuhan rohani.  Seseorang yang mencapai makrifat akan menerima nur (cahaya) sesuai amal usahanya dan mendapat peringkat kerohanian yang ditetapkan baginya dalam mengenal kebenaran Ilahi.  Orang yang mengenal hakekat segala sesuatu akan memandang, dan bersikap terhadap dunia melalui penglihatan hatinya yang telah tercerahkan (Abdul Hadi, 2004: 154).

Dengan demikian makrifat merupakan bentuk pengetahuan tertinggi tentang hakikat (Abdul Hadi, 2004: 156).

Kelima, lembah tauhid.  Di lembah ini semuanya pecah berkeping-keping, kemudian menyatu kembali.  Semua yang tampak berlainan dan berbeda kelihatan berasal dari hakikat yang sama.  Jadi di lembah ini seseorang menyadari bahwa hakikat wujud yang banyak itu sebenarnya satu, maksudnya manifestasi cinta Yang Satu, yaitu rahman dan rahim-Nya (Abdul Hadi, 2004: 157).

Jalaluddin al-Rumi adalah seorang ahli tasawuf dan penyair sufi Persia tebesar sepanjang sejarah.  Nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad bin Husyain al-Khatibi al-Bahri.  Nama al-Rumi dikenakan sebagai takhallus (julukan) karena dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konia, turki, yang ketika masih merupakan wilayah kekaisaran Byzantium atau Rumawi timur.  Rumi lahir pada tanggal 6 Rabi’ul Awal 604 H bertepatan dengan 30 September 1207 M di Balkh, Afghanistan sekarang.  Rumi wafat pada tangal 5 Jumadil akhir tahun 672 H bertepatan dengan 16 Desember 1273 di Konia (Abdul Hadi, 2004: 180).

Estetika (aesthetics), sesuai dengan makna etimologisnya, ialah pengetahuan tentang objek-objek penikmatan indera.  Karya manusia yang dimaksudkan sebagai objek penikmatan indra adalah karya seni.  Sebagai cabang ilmu dan falsafah, estetika sering disamakan dengan teori seni, kritik seni dan falsafah keindahan.  Tidak jarang juga disebut teori keindahan.  Sebagia kritik seni, yang dikaji dalam estetika ialah kriteria yang dapat dijadikan dasar penilaian terhadap karya seni.  Dalam menetapkan kriteria itu juga diperhatikan wawasan atau pandangan estetik yang mendasari sebuah hasil ciptaan (Abdul Hadi, 2004: 227).

Dengan demikian keindahan karya Tuhan dapat dilihat pada besarnya cinta Tuhan kepada ciptaannya. Dalam menilai karya seni Islam, asas ini sangat penting.  Cinta dalam diri atau pada manusia, sebagai penghasil karya seni, ialah kecenderungannya akan keimanan, ketaqwaan, kebahagiaan dan hasratnya untuk menegakkan kebaikan dan menentang segala bentuk keburukan, kejahilan, kezaliman dan ketidak-adilan.  Seni dalam pandangan ini tidak lain ialah suatu bentuk ibadah, pengabdian kepada Yang Haq. ((Abdul Hadi, 2004: 231).

???????
Keindahan sensual atau indrawi yang tidak membawa banyak manfaat seperti gambar cabul
Keindahan yang lebih tinggi dari panca indra yaitu imaginasi dan perasaan; misalnya musik yang membawa kepada kenganan tertentu di masa lalu.
Keindahan rasional ialah keindahan yang tidak sepenuhnya dapat dicerap oleh pancaindra, perasaan dan imajinasi, tetapi memerlukan perenungan dan pemikiran akal, misalnya sebuah novel atau puisi
Keindahan rohaniyah dan ‘irfani (mistik) dapat dilihat dalam pribadi Nabi.  Nabi merupakan pribadi yang indah bukan semata-mata disebabkan kesempurnaan jasmani dan pengetahuannya tentang agama dan dunia, tetapi terutama karena akhlaknya yang mulia dan tingkat makrifatnya yang tinggi????

Manusia memang cenderung menyukai bentuk-bentuk luar dan memberhalakan keindahan zahir atau lahiriyah.  Tetapi apabila seseorang telah dianugerahi cayaha tauhid, maka segala bentuk kesyirikan yang bertunas dalam dirinya akan dapat dibersihkan.  Penciptaan karya seni dalam Islam dengan bentuk-bentuknya yang anti-ikonografis dan wataknya sebagai manifestasi zikir serta puji-pujian kepada Yang Satu, adalah ungkapan penyucian diri dari segala bentuk berhala alam bendawi.  Sekaligus untuk menyatakan, bahwa martabat manusia tak ditentukan oleh kemahirannya meniru bentuk-bentuk lahir kehidupan, melainkan oleh kreativitas imajinasi dan akal pikirannya(Abdul Hadi, 2004: 235).

Para sufi memberikan beberapa pembagian peranan atau fungsi karya seni:
1.      untuk tawajjud, yaitu membawa penikmat mencapai keadaan jiawa yang damai dan menyatu dengan keabadian dari Yang Abadi.
2.      Untuk tajarrud, yaitu pembebasan jiwa dari alam benda melalui sesuatu yang berasal dari alam benda itu sendiri, misalnya suara, bunyi-bunyian, gambar, lukisan dan kata-kata.
3.      untuk mtadzkiya al-nafs, yaitu penyucian diri dari pemberhalaan terhadap bentuk-bentuk melalui bentuk-bentuk itu sendiri.
4.      untuk menyampaikan hikmah, yaitu kearifan yang dapat membantu kita bersikap adil dan benar terhadap Tuhan, sesama manusia, lingkungan sosial, alam tempat kita hidup, dan diri kita sendiri.
5.      sebagai sarana efektif menyebarkan gagasan, pengetahuan, informasi yang berguna bagi kehidupan.
6.      untuk menyampaikan puji-pujian kepada Yang Satu.



AGAMA, SENI: Refleksi Teologis Dalam ruang Estetik
Oleh Hamdy Salad
Yogyakarta: Yayasan Semesta. Tahun 2000

Hamdy Salad, 2000: 8).

Bahwa agama sebagai bagian penting dari semesta, sejarah dan kebudayaan manusia, senantiasa harus diberi anasir baru ke dalam berbagai kemungkinan yang sesuai dengan pergeseran dan perubahan masyarakat.  Tanpa sikap dan heroisme untuk meninggalkan aksiologi-aksiologi yang mendasari di sekitarnya (4).

Islam, betapa pun banyak dihidupi oleh hal-hal yang bersifat gaib dan abstrak pada nalar kewahyuan dan kebudayaannya, setidaknya masih dapat diberi makna sebagai jalan kehidupan yang lebih sempurna dari sekedar fiksi.  Sebagai kenderaan fisikal (jasmaniah), psikologikal (nafsiah) maupun spiritual (ruhaniah) untuk menghindarkan diri dari rasa takut dan kebencian, kesesatan dan penyesalan, keraguan dan kebimbangan, makhluk berakal di muka bumi menuju ke hadapan Illahi (Hamdy Salad, 2000: 8).

Oleh karena itu, prosedur-prosedur penempuhan idealistik kesenian dan kebudayaan dalam jangkauan Islam, memiliki acuan yang tidak terbatas pada perwujudan bentuk, ide, gagasan atau konsep yang bersifat kontekstual, tetapi juga melengkapi rujukannya pada logika dan kesadaran yang bersifat universal.
Dalam prosedur penempuhan itu, pergolakan iman senantiasa akan diuji melalui penampakan idiologi-idiologi yang berseberangan, sejarah dan realitas-realitas yang sengaja mengutil kemuliaannya.  Itulah sebabnya, peneguhan iman bagi seniman (muslim) mengandungi keniscayaan untuk senantiasa menilik dan memperbaharui berbagai orientasi dan wacana estetik, intelektualisme dan spiritualitas yang tidak memiliki hubungan dengan penalaran-penalaran kitab suci, intuisi keberagamaan dan kemanusiaan.  Dengan tafsir lain, motivasi iman dalam Islam merupakan bagian penting dan utama dalam proses-proses kebudayaan, transendensi penciptaan seni dan keindahan.
Namun demikian, sebagaimana filsafat kebudayaan dan kesenian pada arasnya, iman juga merupakan proses belajar yang terus menerus untuk mencapai kualitas-kulaitas yang lebih tinggi.  Mencari dan menemukan kekeliruan atau memperbaiki semua unsur nilai yang dinyata tidak memiliki esensi.  Dengan begitu, intensitas pergolakan iman dapat membiaskan diri melalui penjelajahan kreativitas dan ekspresi estetik tanpa harus berpijak atau berhenti sebagai mesin-mesin dadu yang hanya diputar untuk menciptakan nasib dan keberuntungan. Bukan pula sekadar cara mencari pesona, kesenangan dan kenikmatan jasmaniah belaka[9]. Dengan tujuan-tujuan terdekat untuk menjaga dan membina kepekaan serta keterlibatan umat dalam interaksi budaya, internalisasi maupun sosialisasi pemikiran dan bentuk-bentuk alternatifnya dalam wilayah terkini.  Dan tentu juga harus menyata sebagai bagian penting untuk mengangkat kualitas kehidupan seni Islam di tengah masyarakat pada umumnya secara lebih estetis, kreatif dan dinamis.  Sehingga realitas umat tidak sekadar menjadi objek konsumsi paket-paket hiburan sekularistik yang tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita yang dikehendaki oleh dirinya sendiri (10).

Seperti yang diisyaratkan oleh wahyu suci al-Islam (QS. 25:43,33); sengaja mendirikan hawa nafsu sebagai menara kebudayaannya; yang memahami dan menjalani kehidupan dunia secara lebih bebas dari makhluk piaraan yang beranak pinak tanpa fitrah kemanusiaan.
Dalam khazanah Islam, apa yang disebut fitrah itu memiliki kedekatan dengan makna dan hakikat proses-proses kreatif yang mendasarkan pemahamannya melalui kekuatan intelektual dan intuitif yang dikaruniakan oleh Allah bersamaan dengan peniupan ruh pada janin dalam rahim (konteks penciptaan dan kelahiran manusia).  Fitrah manusia itu secara singkat dapat dikategorikan sebagai potensi untuk beragama (iman, keyakinan yang bersifat teologis), berfikir (pengetahuan yang bersifat empiris) dan berolah-rasa (naluri keindahan yang bersifat estetis).  Ketiganya merupakan satu kesatuan yang integral dalam setiap diri manusia.  Ketika manusia terlahir di dunia dan kemudian (ternyata) hanya berkembang ke arah dimensi empirisme atau estetisme yang menyeleweng dan tidak terarah (amoral, asosial); potensi agama-lah yang dapat mengontrol dan meluruskan kembali.  Begitu juga sebaliknya, perkembangan manusia yang melulu ke arah agama yang bersifat formal atau doktrinal, dapat diseimbangkan oleh realitas ilmu dan pengetahuan empiris maupun estetis.  Sehingga dalam tingkat teologis, proses-proses kreatif manusia dapat dijalankan semata-mata untuk mewujudkan perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan bagi sesama dan lingkungan hidupnya (rahmatan lil-‘alamin).  Dengan begitu, aneka pencarian dan penempuhan eksistensi diri setiap muslim melalui wacana-wacana kultural dan estetik, dalam ruang ke[11]kinian maupun kemasadepanan, dapat menghindarkan diri dari tekanan-tekanan idiologis maupun pergolakan budaya yang beroperasi di luar kesaksian Iman dan Islam.  Selebihnya hanyalah proses dan proses.  Melakukan permenungan dan tindakan kreatif, menjelajahi keindahan semesta.  Menjadikan Tuhan sebagai sahabat dalam berkarya (Hamdy Salad, 2000: 12).

Dalam tingkat tertentu, seni dapat menjelma sebagai pengembara abadi dalam ruang metafisis, menjadi wakil budaya untuk mendampingi dan menuntun jiwa manusia menuju keindahan Illahiyah (Hamdy Salad, 2000: 15).

Keberadaan umat beragama di tengah pluralisme budaya, tidak dapat mengelak dari keyakinan religius yang telah menurunkan pokok-pokok pemahaman mengenai keindahan, spiritualisasi dan transendensinya dalam berbagai dimensi sosial dan kebudayaan.  Pokok-pokok pemahaman yang secara langsung dapat melahirkan inisiasi apresiatif, motivasi dan kreativitas ekspresif sebagai jalan untuk membangun wilayah-wilayah keagamaan yang tidak terduduki (terjangkau) oleh dogma-dogma yang bersifat teologis.  Dengan kata lain, proses-proses kesenian dalam perspektif agama memiliki esensi dan substansi yang saling berhubungan dengan khzanah gerakan moral, ikhtiar kesalehan individu dan sosial maupun pencerdasan dan pembangunan bangsa.
Di samping itu, pengartian seni dalam konteks keimanan atau lebih tepatnya reaktualisasi pemahaman terhadap agama sebagai gerakan estetik, memiliki rakitan prinsip-prinsip etis dan normatif yang terkandung dalam wahyu kitab suci, serta konsensus-konsensus yang lahir dari penafsiran semantik atau semiotikanya, baik secara tekstual maupun kontekstual (Hamdy Salad, 2000: 16).

Dimensi-dimensi keagamaan baik yang bersifat individual maupun sosial dapat berhubungan secara progresif dalam berbagai aksi kebudayaan.  Sehingga keberadaan agama menjadi lebih leluasa untuk dihikmahi dan dihayati sebagai pencerah akal budi manusia di luar institusi, ibadah, ritualisme, saramenta dan upacara-upacara.
Sebagaimana yang telah diketahui bersama, agama dan kebudayaan (kesenian) memiliki bilik-bilik spiritual yang hampir sama. Keduanya merupakan sistem nilai dan sistem simbol, yang menuntut para penganut atau pelaku di dalamnya untuk selalu menghidupi segala dimensinya.  Keduanya sama-sama bergerak, diburu dan dibuntuti oleh aneka bentuk pergeseran dan perubahan di tengah masyarakat (Hamdy Salad, 2000: 17).

Namun demikian, pada wilayah mana pun ia bertinggal, keberadaan umat Islam senantiasa dituntut untuk tidak berpangku tangan dan menyerahkan diri kepada realitas-realitas yang melingkupi.  Atau setidak-tidaknya harus menampakkan upaya-upaya untuk memperlakukan wacana keagamaan dan keislaman ke dalam gerakan-gerakan yang bersifat estetik, bahwa seni dan keindahan sebagai salah satu simbol eksistensi Islam, harus ditempatkan secara utuh dalam logika kesadaran, pemikiran dan kehidupan[19]beragama. (Hamdy Salad, 2000: 19 - 20).

Keyakinan umat terhadap seni sebagai fitrah manusia, seni sebagai media dakwah, sebagai aktivitas lain dari ritualisme keagamaan, zikir ataupun ibadah, tidak akan menyata ke dala realitas tanpa diikuti atau diterjemahkan ke dalam bahasa seni itu sendiri.  Bahasa seni yang diperoleh dari proses-proses kreatif, yang bersifat ekspresif, intuitif maupun intelektual.  Dan itu semua tidak mungkin terjadi tanpa diiringi oleh pendalaman dan pencapaian makna, metafora, kisah-kisah dan berbagai kemungkinan estetik yan tersirat dalam wahyu suci al-Quran.  Sebab[20) al-Quran pula yang pertama-tama mendorong munculnya aneka rupa jenis kesenian Islami yang berada di sepanjang pantai Atlantik sampai Pasifik, dan Afrika sampai Asia dan seterusnya.  Dengan demikian, jangkauan realitas masa depan kehidupan beragama antara lain juga ditentukan oleh seberapa jauh kemampuan umatnya dalam menginformalisasi bentuk-bentuk kesenian, tradisi dan kebudayaannya.  Oleh karena itu, sudah saatnya bagi umat Islam untuk memperluas dan mengembangkan cakupan lebaga-lembaga keagamaannya ke dalam alternatif-alternatif yang mampu mewadahi berbagai kreativitas ekspresif (media-media kesenian) yang mendasarkan proses dan spiritualisasi keindahannya bagi kemanusiaan, kemuliaan dan keagungan.  Sehingga narasi dan argumentasi tentang Islam menjadi lebih lengkap dan hidup dari sekadar apologi dan doktrin-doktrin teologi (21).

Personifikasi pengajaran terdalam dari agama selalu muncul dalam bentuk metafora, logika dan simbol-simbol yang bersifat estetik (22).

Transformasi keindahan melodi al-Quran ke dalam seni suara (tilawah, qiraah) dan musik (kasidah, sama’) serta spiritualisasi huruf-hurufnya ke dalam seni rupa (kaligrafi, arabsque) yang mengkonsentrasikan efek pengucapannya pada transendensi, telah diakui reputasinya sebagai pencapaian estetik paling tinggi, yang tidak tertandingi oleh kebudayaan mana pun (25).

Idealitas seni Islam sebagaimana yang diisyaratkan oleh wahyu suci al-Quran dan telah diuji oleh kekuatan sejarah, adalah terwujudnya kesatupaduan dua eksistensi dunia yang berbeda dalam sebuah ruang keindahan, yakni dunia realitas dan dunia yang tidak terbatas.  Karena itu, muatan seni Islam memiliki kandungan yang lebih khas dan beragam dibanding kenyataan-kenyataan seni yang berkembang di luar dirinya.
Dalam keragamannya, seni Islam memiliki stereotip nilai yang abstrak dengan melandaskan semua titik berat filsafat pencapaiannya pad pertimbangan moral dan spiritual.  Sedangkan tujuan utamanya adalah untuk membangun dan menggairahkan emosi kerinduan manusia kepada Sang Pencipta, sekaligus untuk menyadarkan manusia atas diri dan lingkungan sosialnya.  Dengan menempuh makna semacam itu, paham seni yang mengabaikan atau meniadakan esensi dan tujuan-tujuan termaksud di atas, dianggap menyeleweng dan ditentang dalam peradaban Islam.  Baik penyelewengan yang tersembunyi pada tingkat sensasi (amoralisasi estetik) maupun pada tingkat aksi yang bersifat subversi (pencemaran agama dan budaya), akan mendapatkan ancaman dan sanksi.  Itulah sebabnya, Islam menuntut kepada umatnya untuk senantiasa menilik dan menarik berbagai relasi hikmah antara imajinasi, ekspresi dan kreativitas.  Menarik berbagai hubungan dalam proses bekebudayaan dengan eksistensi dirinya sebagai manusia.  Utamanya dalam proses mengaktualisasikan nilai-nilai kehidupan, keimanan dan keberagaman, sebagaimana disentuh berulangkali dalam al-Quran; yang menunjuk iman sebagai pusat dari kebajikan dan kebudayaan (QS. 2:25 [31]dan seterusnya, yang diulang sampai 49 kali).
Bertolak dari pertalian wacana al-Quran tersebut, setiap manusia yang mengaku dirinya sebagai muslim juga dituntut untuk membuktikan diri bahwa dalam setiap refleksi dan aksi kebudayaan, manifestasi iman (agama) merupakan jangkauan utama yang harus diletakkan pada tempat yang tertinggi.  Kemudian disusul dengan kebajikan-kebajikan (moralitas) yang bersifat kritis maupun teoritik berdasarkan ilmu dan pengetahuan: “allah akan meninggikan derajat orang-orang yang memiliki iman dan ilmu pengetahuan” (QS. 58:11). (32).

Penilikan terhadap persoalan seni Islam, secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga hubungan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.  Pertama, persolan-persoalan yang berkaitan dengan konsepsi estetik, hubungan antara karya seni dan filsafat keindahannya dalam ruang transenden (akidah).  Kedua, rujukan-rujukan yang mengarah pada kriteria etis (akhlak) serta kaitannya dengan hakikat seni, makna dan tujuannya dalam konteks sosiologis.  Ketiga, masalah-masalah khilafiah (perbedaan wacana dan pendekatan) terhadap ekspresi[32]dan bentuk karya seni serta hubungannya dengan kode-kode normatif dan yuridis dalam konteks penafsiran hukum agama (syar’iyyah).
Sebagaimana yang menampak dalam pertumbuhan dan perkembangan sejarah seni dan kebudayaan Islam, perbedaan persepsi dan telaah terhadap tiga persoalan di atas, telah melahirkan aneka konsepsi dan integrsi yang pelik dan rumit dalam proses pemahaman, penciptaan dan sosialisasi karya seni.  Oleh karena itu, siapa pun yang bekerja dalam proses kesenian Islam, senantiasa harus berhadapan dan dituntut semaksimal mungkin untuk dapat mempersatukan dimensi estetika (keindahan), etika (kebajikan) dan agama (kebenaran) (33).

Islam tidak pernah melarang praktek-praktek kesenian kecuali sekadar untuk menggugah nafsu birahi atau mencampakkan nilai-nilai kemmanusiaan itu sendiri, kebenaran ilmu dan agama (39).

Proses-proses penciptaan dan pertunjukan seni dalam dataran hikmah, membiaskan ciri-ciri kultural yang bersifat integralistik, kontemplatif dan selalu berusaha untuk mewujudkan keindahan dunia dalam, bukti-bukti dan esensi kebenaran agama secara plastis (57).

Diskursus “Kitab Suci” mengandungi konsepsi universal dan rsional untuk menguak eksistensi budaya, sumber-sumber ekspresi dan kreativitas seni yang bersifat religius (63).

Transformasi estetismen al-Quran dalam bentuk audial (qira’ah) melalui tanda bunyi dan sistem bacaannya (tartil, tajwid) yang khas dan belum dikenal oleh kebudayaan sebelumnya, adalah contoh utama dari seni Islam yang murni dan asli.  Sehingga dalam prakteknya, sistem-sistem pembacaan secara linguistik maupun instrumentasinya dari sintaksis, fonologis, morfologis sampai unsur-unsur fundamental yang menyangkut struktur kalimat dan asonansinya, tidak pernah berubah dan tetap terjaga sepanjang abad.  Pemekaran kualitas estetis pembacaan al-Quran memiliki konsistensi dan prestasi artistik tak terbantahkan dalam bentuk seni oral yang dikenal dengan Tilawah (pembacaan lebih serius melalui penghayatan dan variasi nada, irama dan lagu yang mewakili sebuah aliran atau jenis tertentu di bawah sugesti tartil al-Quran). (64).

Meskipun Nabi sendiri pernah berkata perindahlah al-Quran dengan suaramu.  Namun anjuran itu[64] bukanlah untuk menyanyikan, tetapi lebih menekankan pada penghayatan dan kecakapan estetis dalam mengolah efek-efek audial yang terkanDung di dalamnya (65).

Di tengah lingkaran kaum sufi (terutama yang dibela al-Ghazali), melodi-melodi quaranik juga memiliki peranan yang tidak kecil dalam penciptaan gerak (tarian), sama’ (musik) dan hymne-hymne yang disenandungkan oleh para jemaahnya.  Penjelajahan kaum sufi terhadap bunyi dan pembentukan-pembentukan materi yang diperoleh dari melodi al-Quran ini, dengan[65] metodenya yang khas, telah memunculkan sebuah karakter musikal yang menekankan pada aspek-aspek ruhaniah, spiritual dan mistis.  Esensi bunyi dibicarakan, dibahas dan dieujudkan secara filosofis dalam kosmologi dan estetika musik yang bermuara pada pengalaman serta penghayatan moral, religius dan transendental.  Dengan tujuan untuk menyalakan “api cinta” yang telah padam di dada manusia, sekaligus juga dicipta dan dibentuk sebagai jalan penempuhan spiritual di tengah benda-benda, hiruk-pikuk politik dan kekuasaan.  Sehingga secara langsung maupun tidak langsung, transformasi melodi quaranik telam mempengaruhi dan mengisi ruang “keindahan ruhani” dalam wilayah etik, tradisi dan kebudyaan masyarakat muslim (66).

Estetisme religius meiliki identitas, kesaksian dan penolakan yang serius terhadap kerusakan moral dan kemurtadan spiritual dari proses dan akibat-akibat seni (71).

Sebagai landasan utama untuk menjangkau pemahaman dan pemaknaan terhadap unsur-unsur estetisme dalam perspektif Islam, secara menyeluruh dapat dipertemukan dengan prinsip-prinsip nilai yang dipancarkan oleh al-Quran sebagai tiang kedirian dan keberadaannya.  Bahwa seni, apa pun bentuk dan jenisnya, tidak mungkin dapat bertahan di ruang tersebut tanpa alasan dan sebab-sebab yang diyakini sebagai bagian ekspresi dari pengakuan dan keimanan terhadapnya.  Oleh sebab itu, perlu kiranya untuk dipertegas kembali berbagai identitas, karakter, citra dan eksistensi seni Islam melalui pendekatan teologis maupun kultural serta kemungkinan imanensinya dalam proses ke[71]karyaan dan kesenimanan.
Dalam berbagai konteks pemikiran dan kebudayaan, keagungan seni Islam telah menyata dan diakui dalam sejarah sebagai bagian integral dari aktivitas religius.  Sehingga untuk mencapai keindahannya, ia tidak pernah tergantung atau terikat oleh modelitas benda-benda duniawi (fisikal), tetapi lebih menekankan prosesnya pada ekspresi nafsani (psikologikal) maupun ruhani (spiritual).  Dan karena itu, estetisme Islam boleh dikata tidak mengenal adanya manifestasi konsep “realisme” dalam pencapaiannya.  Setiap karya seni dalam perspektif Islam selalu tegak dan berdiri dalam ruang estetis yang tidak terbatas untuk menempuh keindahan Illahiyah.
Berangkat dari pemahaman di atas, kiranya dapat diturunkan beberapa identitas pencitraan seni Islam baik yang bersumber dari prinsip teologis maupun kultural, serta visi dan orientasi yang dapat direfleksi dari keduanya. Identifikasi prinsip teologis menunjuk pada ciri-ciri keindahan yang mendasarkan esensi pencapaiannya melalui sumber-sumber keyakinan dan keagamaan, yakni:
  • Adanya ekspresi dan pengakuan serentak terhadap eksistensi dua dunia, yang fana dan baqa atau yang duniawi dan ukhrawi.
  • Merupakan realisasi penalaran dan perwujudan bahasa da filsafat cita-cita moral dan spiritual.
  • Penyadaran manusia terhadap Sang Pencipta untuk senantiasa mengabdi dan berserah diri kepada-Nya (aspek zikir dan ibadah).
  • Membela dan memperjuangkan kebenaran agama (aspek jihad).(72).

Sedangkan dalam tingkat kultural, pernyataan seni Islam mengandungi unsur-unsur penampakan estetis yang memusat pada:
  • Transendensi dan imanensi (munculnya benda-benda, kata dan tindakan melalui kekuatan iman).
  • Ketaqwaan dan kemaslahatan (manifestasi kebajikan, kesalehan dan kejujuran hati nurani).
  • Kesaksian dan perlawanan (musyahid) untuk menghindari dan menolak konsep-konsep sekularitas estetik.
  • Kemampuan dan keberanian untuk mengatasi konflik-konflik budaya secara intuitif dan intelektual (aspek ijtihad).

Namun demikian, pemahaman citra-citra seni Islam seperti termaksud di atas, baik yang menunjuk pada refleksi teologis (kualitas estetik dalam isi) maupun kultural (kualitas estetis dalam bentuk), secara konotatif hampir tidak jauh berbeda dengan konsep-konsep religiusitas, universalisme atau humanisme seni pada umumnya.  Karena itu, pencitraan harus diturunkan lagi ke dalam karakter khas yang dapat mewakili perspektif filosofis dari nilai-ilai Islam.  Di mana dalam perspektif itu, kode-kode teologis harus merujuk pada internalisasi kesadaran objektif seniman serta kebulatan paradigma teologis (ke arah satu tujuan yang tidak terbatas) yang terkandung dalam:
  • Akidah dan prinsip-prinsip tauhid (menyingkirkan konsep-konsep ketuhanan selain yang disifatkan oleh al-Quran).
  • Syar’iyyah (kesetiaan pada falsafah dan dalil hukum yang bersifat pasti).
  • Makrifah (penekanan konsekuensial pada nilai-nilai etis).(73).

Adapun unsur-unsur pemaknaan pada tingkat kultural, haruslah menunjuk pada eksternalisasi kesadaran subyektif yang meyata dalam proses dan penciptaan karya seni, yang dapat dilihat melalui prameter-parameter religiusitas (paradigma teknis):
  • Ekspresi dan imajinasi (korepondesni pengembaraan tematik dengan pengerahan nilai-nilai Islamik atau syar’iyyah).
  • Kreasi dan inovasi (korespondensi penjelajahan semiotik dengan norma-norma yuridis atau fiqiyah).
  • Intensi dan konsistensi (korespondensi pemaknaan simbolik dengan perwujudan aksiologis atau akhlakiyah).

Dengan meletakkan identitas-identitas seni Islam pada dataran kualitatif yang bersifat stereotip dan abstrak di atas, selanjutnya dapat dipertemukan dengan bentuk dan praktek-praktek seni serta ikhtiar pencariannya dalam prosedur-prosedur estetik yang bersifat tradisi (konvensional) maupun eksperimentasi (kontemporal).  Bentuk seni Islam dalam dataran yang pertama, memuat kecenderungan reproduktif terhadap bentuk seni yang telah ada dalam sejarah, dengan ciri-ciri yang bersifat tekstual (memakai frase bahasa Arab, petikan ayat atau hadis, istilah-istilah agama serta pendapat-pendapat aliran secara verbal, retoris), visual (menggunakan simbol atau benda-benda yang mengacu pada kehidupan atau kebiasaan umat) dan instrumental (menafsirkan atau memberi isi [boleh dibaca: mengislamkan terhadap bentuk-bentuk kesenian lokal yang telah mapan atau populer).
Sedangkan pada dataran yang kedua, ekspresi seni Islam[74] memiliki keberagaman komunitas, bentuk dan pandangan yang bersifat subjektif atau individual, dengan meletakkan tujuan yang sama melalui upaya-upaya: stilisasi (menyesuaikan mode dengan perubahan atau membebaskan diri dari bentuk-bentuk seni tradisi), transubstansiasi (atau denaturalisasi, mengubah kesan visual dari substansi benda-benda ke dalam karakter atau esensi yang dikehendaki), destrukturalisasi (menafsirkan realitas dan struktur teks-teks keislaman ke dalam ruang imajinatif), kontekstualisasi (menggali dan memaknai metafora, simbolisme dan citra-citra quaranik ke dalam realitas kekinian tanpa menghilangkan jejaknya,serta literasi (melebarkan kesdaran futuristik yang diberangkatkan dari sejarah, referensi dan literatur kejayaan maupun keruntuhan budaya Islam).
Penentuan karakter-karakter seperti yang telah terpapar, dengan sendirinya masih memerlukan keterangan-keterangan atau justifikasi yang melandaskan logika penafsirannya pada sumber-sumber keislaman, epistimologi keilmuan serta wacana estetika (kritik dan teori-teori kesenian).  Penjelasan melalui sumber-sumber keislaman, baik dalam puisi mengandung prinsip-prinsip umum yang mengacu pada isyarat al-Quran mengenai status, fungsi dan tujuan penciptaan (fitrah) manusia baik sebagai abdilah (hamba Tuhan), khalifatullah (hamba kebudayaan) maupun sebagai insan(hamba kemanusiaan) atau basyar (hamba hati nurani).  Sedangkan penjelasan epistimologis menuntut adanya intelektualitas yang bertolak dari realitas empirik, kebergunaan akal dan budi serta inisiatif-inisiatifnya untuk mengelola ide-ide, gagasan maupun konsep dalam kehidupan Islamik.  Sedangkan dalam ruang estetik, menghendaki adanya perjuang[75]an dan keyakinan terhadap pembentukan serta pengembangan idiologisasi seni Islam sebagai satu-satunya jalan yang mesti ditempuh.  Sehingga pada puncak penyatuan, pemahaman dan pemaknaan terhadap keseluruhannya, akan melahirkan paham estetik yang mampu diadaptasi sebagai bentuk perlawanan terhadap proses dan penciptaan karya-karya seni sekuler yang berakibat pada kerusakan moral dan kemurtadan spiritual.  Yang di dalamnya mengandung kekuatan-kekuatan paradigmatik untuk mengatasi histeria konflik-konflik budaya pada umumnya, khususnya dalam lingkungan Islam seni dari budaya Islam (76).

Untuk mengerti sepenuhnya paham estetik yang bersifat suci dan religius, manusia harus percaya dan memiliki keyakinan untuk terlibat di dalamnya (89).

Penjelajahan terhadap eksistensi huruf dan kata-kata, telah menurunkan konsepsi estetik dalam kebudayaan manusia, penyerahan diri di hadapan Illahi, memohon selubung dari api pembakaran di hari nanti (153).

Unsur-unsur simbolik, keindahan dan kerusakan dalam sastra dapat digali, dikuasai atau dihayati sebagai media untuk menempuh keramaian atau kesunyian, mengenali keagungan atau meninggalkan (165).

Muatan-muatan simbolik yang tercermin dalam teks-teks kesusasteraan dan yang membias melalui pandangan di atas, memiliki arahan terdekat untuk disebut sebagai teologi sastra.  Atau dengan kata lain, jalan-jalan kesusasteraan paling besar dan berpengaruh terhadap para pelaku (juga penikmatnya) adalah konsepsi-konsepsi tentan gkepercayaan, religiusitas dan agama.  Arahan yang pertama secara kilas akan membawa ekspresi sastra ke dalam gejala-gejala mistikal, yang kedua mengisyaratkan adanya penempuhan cita ke dasar nilai-nilai spiritual, dan yang terakhir dapat menggoreskan sebuah perspektif yang bergerak menuju wilayah transendental (166).

Di tengah komunits muslim pada umumnya, kehadiran puisi dengan berbagai ragam dan jenisnya, telah dijadikan medium ekspresif untuk memuji keagungan Tuhan, shalawat dan salam bagi kemuliaan Muhammad dan kedalaman ruhani para wali (181).

Akan tetapi, di balik kutuk dan kebencian itu, terpatri juga penghargaan dan pemuliaan, pujian dan wsanjugan yang menunjuk status maupun peranan penyair (yang memiliki kualitas-kualitas iman; QS. 26:227) sebagai manusia bersimbah mawar, berpeluh kebijaksanaan, penyambung lidah cita-cita moral.  Mereka adalah para penyair yang mempertaruhkan jiwa kreatifnya sebagai jalan penempuhan iman dan Islam.  Seperti yang diakui oleh Nabi; Jika sahabatmu berjuang dengan senjata, para penyair itu berjuang dengan lidah dan kata-kata, yang memperlakukan keindahan semata zikir, tasbih atau ihtisab (kontemplasi) untuk menghindari kebangkrutan ghirah agama, moral dan spiritual.  Identitas-identitas penyair semacam itu, seringkali disebut dan dipersamakan karakteristinya dengan mujahid, penegak kebenaran (QS.4:95; 22:78), mujahide, penyaksi kenyataan yang adil[194] (QS.5:8; 2:143), rhausan dhamir (perenung yang tercerahkan) dan ulil albab, cendekia (QS. 3:190-191).  Atau sebagaimana yang dikategori kaum sufi ke dalam tingaktan makrifah (pembuka rahasia pengetahuan tentang manusia, alam semesta dan Tuhan).
Eksistensi penyair dalam jangkauan Islam memiliki wacana kreativitas yang bersifat khas untuk memusatkan pencarian estetiknya pada pencapaian moral dan spiritual (195).

Pencarian dan pencairan religiusitas dalam karya sastra, baik secara langsung atau tidak, memiliki hubungan yang erat dengan upaya-ypaya untuk menyemburkan realisasi kehendak tuhan ke dalam realitas kebudayaan manusia (196).

Kesusasteraan memiliki peranan utama untuk menjangkau perjuangan manusia dalam mewujudkan kebenaran yang seharusnya ada tapi tak kunjung menyata.  Oleh karenanya, hakikat sastra memiliki hubungan erat dengan usaha-usaha manusia untuk mengenali diri sendiri.  Dengan langit dn bumi serta objek-objek yang berada di dalam maupun yang jauh darinya.  Menyemburkan berbagai kemungkinan ekspresi estetik yang sejajar dengan kepribadian pengarang atau pembacanya, dengan nilai-nilai individual maupun sosial.
Salah satu dimensi ekspresi estetik dalam sastra yang paling utama dan mendasar, dapat ditandai sebagai cara untuk mengaktualisasikan citra-citra ke dalam berbagai unsur simbolis maupun metaforis yang dikendalikan atau diperoleh dari penghayatan dan pengalamannya terhadap agama.  Di dalamnya, terdapat karakter khas yang memusatkan lingkungan kreativitas dari kenyataan duniawi menuju renungan ukhrawi.  Dapat juga disebut unsur-unsur estetisme yang berupaya menggabungkan konsepsi dua dunia secara bersamaan.  Menyatukan realitas objektif dengan realitas subjektif, antara yang profan dengan yang sakral, antara kehendak manusia dengan kehendak Tuhan.
Penilikan semacam, akan menjadi lebih menampak ketika apa yang disebut keindahan telah menunjukkan diri sebagai satu kesatuan dari yang lahir dan yang batin.  Dari tubuh dan jiwa, dari imajinasi dan pikiran, dari bentuk dan isi atau teks dan[197]konteksnya. Kesadaran kolektif yang dapat menyemburkan dimensi-dimensi estetik dalam penilikan di atas, selanjutnya dapat disebut sebagai unsur-unsur religius dalam kesusasteraan. Dan unsur-unsur itu dapat diidentifikasi secra terbuka melalui kode-kode simbolis, imajinasi dan proses asosiasi yang terbentang dalam wilayah estetik.  Hal ii menguatkan keyakinan bahwa motif-motif kesusasteraan atau pengalaman dan penghayatan pengarang yang bersifat intuitif, irrasional da misterius dalam proses penciptan, dapat diketahui atau diinterpreasi melalui tanda-tanda tekstual. Unsur-unsur religius dalam sastra tidak wajib untuk dihubungkan dengan unsur-unsur biografis para pengarangnya. Pada tingkat tertantu, ketika ruang-ruang estetik telah membuka eksistensi dirinya sebagai lokasi persekutuan dari berbagai dimensi kehidupan yang bersifat subjektif maupun objektif, individual maupun kultural, pemerian makna religius dalam kesusasteraan menjadi kabur dan tidak menentu.  Bahkan tidak juga ditemukan jarak penghampiran yang dapat membatasi religiusitas kesusasteraan sebagai wilayah netral dari esensi keberagamaan, prinsip-prinsip teologis dan sumber-sumber kewahyuan yang mendasari keberadaannya.
Kenyataan itu akan menjadi lebih rumit ketika makna religiusitas telah menjadi wacana dalam kesesasteraan Islam.  Oleh karenanya, upaya-upaya pencarian dan pencairan makna religius dalam sastra Islam, memerlukan penyediaan bahan-bahan yang kaya, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual, estetis maupun teologis.  Dalam percaturan itu, eksistensi sastra Islam dapat dilihat bukan sekadar media penyebar agama dan propaganda.  Bukan pula ebagai alat komunikasi yang telah rusak[198] dan tidak pernah diperbaiki oleh para pemakainya.
Pelacakan eksistensial terhadap sastra Islam, memiliki substansi yang hampir sama dengan upaya-upaya para sastrawan untuk mengaktualisasikan proses-proses kreatifnya dalam konteks kehidupan dan keberagamaan.  Sehingga untuk menemukan basis-basis maerial maupun spiritual, kreasi maupun ekspresi, kenyataan maupun keindahannya, mengandungi keniscayaan untuk mempertalikan relasi-relasi antara yurisdiksi agama, etika dan moralitas sebagai bagian yang tak terpisahkan dari teks dan konteksnya. Oleh karena itu, totalitas makna kesusasteraan dapat berhadapan secara langsung dengan kesadaran-kesadaran teologis maupun estetis yang mengangkut kenyataan sosial maupun struktur-struktur simbolis yang melingkari eksistensinya.
Bertolak dari lintasan argumentasi di atas, konsepsi sastra dalam konteks Islam bukanlah semata etalase kehidupan yang hanya mampu bersentuhan dengan dunia material (benda-benda dan peristiwa keseharian).  Tetapi harus juga melibatkan dimensi-dimensi spritual, transendensi, keimanan dan keislaman, kejujuran dan kebenaran.  Keterlibatan dimensi-dimensi tersebut, secara langsung atau tidak, menghendaki adanya ikhtiar pencarian dan pencairan yang dapat diturunkan ke dalam proses-proses kreasi, estetika maupun resepsi.
Religiusitas dalam terminologi Islam memiliki korespondensi (munasabah) dengan proses penempuhan al-ihsan (realisasi penyatuan iman dan Islam).  Proses penempuhan ini secara praktis dapat terlihat atau diturunkan unsur-unsurnya ke dalam berba[199]gai tindakan maupun kreativitas kebudayaan.  Selanjutnya, dimensi-dimensi kreativitas kebudayaan itu harus mampu menampakkan esensinya sebagai bagian dari ikhtiar taqwa (aktualisasi potensi dan kekuatan diri yang bersifat teologis, Illahiyah), amal saleh (tanggapan atau penyerapan terhadap fenomena yang bersifat objektif), amar-makruf (proses-prose kemanusiaan) dan hikmah (kontekstualisasi dengan realitas budaya).  Dengan konsepsi Islamik tersebut, proses kreasi dan ekspresi estetik dalam kesusasteraan mengandungi keniscayaan untuk menjelajahi atau menghadirkan secara serentak berbagai dimensi dari kehidupan yang bersifat sosial-politik, religius-transenden ataupun mistik-sufistik.  Makna kesusasteraan, dengan sendirinya, memiliki arahan untuk menyemburkan kesadaran ekspresi estetik pada bentuk dan isi, motif dan tujuan, visi dan misi atau amanat dan pesan.
Proses-proses kreatif kesusasteraan yang diberangkatkan dari kesadaran tersebut, dapat diandaikan dengan proses penurunan dan penyebaran wahyu suci al-Quran.  Bahwa wahyu dietima oleh Muhammad bukanlah berupa teks yang berada di luar eksistensi, tetapi ia diturunkan oleh Tuhan (melalui Jibril) secara bersamaan ke dalam jiwa dan tubuh jasmaninya.  Sehingga teks-teks al-Quran tidak mungkin dapat dipahami maknanya secara utuh tanpa menghubungkan dengan perbuatan, perkataan dan isyarat serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar Nabi.  Dengan pengandaian itu, proses-proses kreatif dalam Islam memiliki kemungkinan eksistensial dan fondamental untuk menyatukan penalaran teologis (realitas subjektif) dan penalaran kultural (realitas objektif) sebagai bagian utama dari kesadaran ekspresi (realitas estetis) dalam kesusasteraan.  Pelenyapan terhadap[200] unsur teologis dalam karya, atau tidak dapat diidentifikasi melalui teks, menyebabkan eksistensi sastra menjadi sulit untuk didekati dan dinyatakan sebagai sastra eligius Islam.  Oleh karena itu, pembentukan dan pelelehan makna religius di dalamnya, memiliki korespondensi yang kokoh dengan proses pemahaman dan penghayatan para pengarang terhadap keimanan dan keberagamaan.
Namun, makna religiusitas Islam dalam kesuasteraan bukan berarti tidak dapat menghubungkan diri dengan masalah sosial.  Tetapi bentuk sosial di sini telah direduksi ke dalam otoritas wahyu (kaidah kebenaran Illahiyah).  Implikasi-implikasi hubungan sosial dan kemanusiaan disajikan ke dalam bilik-bilik estetik secara transendental dan spiritual.  Dengan demikian, sastra religius-Islam (dengan berbagai sebutan dan istilahnya) memiliki esensi dan substansi untuk menegakkan prinsip tauhid (iman, Islam dan ihsan; atau aqidah, syari’ah dan makrifah) ke dalam ruh diri (fenomena subjektif: ash-shidq, kebenaran hati nurani), ruh sastra (fenomena estetik: al-jamal dan al-kamal, keindahan spiritual) dan ruh masyarakat (fenomena objektif: al-haq, kebenaran rasional atau faktual).  Kebersatuan, keutuhan, keselarasan dan keberanian untuk menafsirkan atau menjelajahi secara estetik terhadap hubungan-hubungan ketiga fenomena tersebut, setidaknya dapat ditunjuk sebagai unsur penanda dari makna religiusitas dalam Islam.
Pemerian yang seksama terhadap unsur-unsur penanda religiusitas dalam jangkauan di atas, secara tersurat akan melahirkan kenyataan, bahwa apa pun bentuk dan jenis kreativitas estetik dalam kesusasteraan, Islam, memiliki ketergantungan eks[201]presif dengan refleksi teologis para pengarangnya.  Dengan demikian, setiap pengarang (sastrawan muslim) tidak dianjurkan, untuk berproses melalui saran-sarana kebebasan yang berada di luar pengetahuan, hikmah dan citra keagamaan. (2002).
Oleh karena itu, posisi pengarang dalam kesusasteraan bukanlah sekadar alat yang berguna untuk merekonstruksi kenyataan-kenyataan empiris, tetapi lebih utama dari itu, ia juga dituntut kebergunaannya untuk merealisasi kesadaran-kesadaran teologis yang bersifat transenden dan spiritual (208).





0 Response to "ILMU SOSIAL PROFETIK"