Publik Sebagai Ruang Ekspresi

Publik Sebagai Ruang Ekspresi
Oleh Fauzi
Memperingati hari teater sedunia Panggung Publik Sumatra kembali digelar, ini tahun ketiga diadakan di Kota Padangpanjang. Acara ini berlangsung dari tanggal 27-29 Maret 2014, tema yang diusung panitia adalah Padangpanjang sebagai Panggung Seni Sumatra. Iven ini dikelolah oleh komunitas Teater Sakata berkerja sama dengan pemerintahan Kota Padangpanjang. Tidak hanya pertunjukan teater dipergelarkan, tari, musik juga mewarnai iven ini. Selain seniman dari Sumatra Barat Panitia Panggung Publik Sumatra juga mengundang seniman yang ada diluar Sumatra Barat diantaranya, Komunitas Teater Mata, Medan, Komunitas Teater Selembayung, Riau dan Herlina Syarifudin dari Jakarta.
Hari pertama setelah pembukaan yang diadakan di Pondok disaen Peserta dan masyarakat digiring ke PDKM (Pusat Dokumentasi Kebudayaan Minangkabau) untuk mengikuti saresehan budaya. Setelah saresahan berlangsung masyarakat disuguhkan pertunjukan monolog Tumbal Dewi Cokek karya sutradara Herlina Syarifudin dari Jakarta sekaligus sebagai pemeran.


Tumbal Dewi Cokek menceritakan perjalanan hidup seorang perempuan yang bernama Romlah. Romlah adalaha anak di luar nikah yang ibunya seorang pribumi sedangkan almarhum ayahnya seorang Tionghoa peranakan. Sewaktu masih hidup, ayah Romlah adalah pemilik salah satu kelompok gambang kromong di Sewan Kebon, Tangerang. Ayahnya kemudian jatuh sakit dan membutuhkan banyak biaya untuk berobat. Di jaman orde baru, panggilan (tanggapan) main musik hampir tidak ada. Kalaupun masih ada, sembunyi-sembunyi. Walhasil alat usik gambang kromong akhirnya dikorbankan, dijual semua demi biaya pengobatan. Namun ayahnya tetap tidak dapat diselamatkan. Sejak ayahnya meninggal, ibunya bekerja sebagai penjual minuman di dekat salah satu rumah pesta (aula sederhana tempat pernikahan kaum Tionghoa peranakan) di Sewan Kebon.Di ruang imaji yang berbeda, Romlah bertemu dengan seorang seniman Cokek yang sudah tua. Dalam mimpinya, Mak Cokek itu berpesan bahwa Romlah adalah titisan terakhir dari Dewi Cokek yang mendapat tugas menghibur sejumlah 1967 orang tamu dengan cara nyokek dalam kurun waktu 32tahun.Jika dalam waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi jumlah tersebut,maka Cokek akan lenyap seiring waktu. Ada kisah menyayat di balik itu. Sungai Cisadane dan Kali Angke jadi saksi bisu lenyapnya Romlah karena kekejaman di masa orde baru.


Sebelum adegan dimulai Herlina mencoba mengajak penonton untuk  mengikuti cerita yang akan dia tuturkan dengan melakukan sapaan serta canda. Awal adegan dimulai di sebuah kolam dangkal yang ukurannya tidak begitu besar, ditengah terdapat sebuah lubang kemudian ia masuk, tidak beberapa lama kemudian ia keluar dan mulai bercerita. Tidak beberapa ia menuju Rumah Gadang (Rumah Adat Minangkabau) yang memang menjadi seting pertunjukan, dijenjang terdapat sebuah meja beralas kain merah dan diatasnya juga terdapat sesajian untuk melakukan ritual (Ala Penganut Tionghoa). Intraksi dengan penontonpun terjadi karena memang bermain di ruang publik sangat berbeda ketika bermain di panggung, butuh kerja yang sangat ekstra supaya penonton bisa fokus untuk mengikuti alur cerita, hal inilah yang dibangun Herlina dalam memerankan tokoh.
 Ada beberapa kesulitan ketikan membawakan cerita yang latar budaya bertolak belakang dengan penonton. Terlihat ketika Herlina nembang jawa dan beberapa penonton bingung dan tidak memahami apa arti dari yang ia tembangkan. Herlina ternyata cepat tanggap dengan hal itu sambil berintarksi dengan penonton tembang itu ia ganti dengan bahasa yang lazim digunakan yaitu bahasa indonesia. Empat penari juga menjadi penyemarak dalam pertunjukan monolog ini, pergantian tokoh serta kostum juga berlangsung, ada beberapa tokoh yang Herlina mainkan diantaranya tokoh Rhomlah, Mak Cokek dari tangerang, Mak cokek dari Jawa, Ratu Cokek, Dewi Cokek, Kyai Cendana dan Ibu Rhomlah.
Penggantian tokoh Kyai Cendana, Herlina kembali mencairkan susana dengan mengambil salah seorang penonton untuk memerankan tokoh Kyai Cendana tersebut, hal ini membuat penonton kembali dibuai oleh suasana yang menghibur.
Secara pemeranan Herlina tidak punya kesulitan untuk menuturkan cerita, karena dilihat dari gestur, vocal dan mimik Herlina sudah benar-benar mengusai teknik itu. Walaupun demikian pada bagian adegan terakhir Herlina kurang hati-hati dan kurang kontrol, sehingga pada bagian ini tidak terselesaikan dengan baik (Secara Dramatik). Secara keseluruhan pertunjukan monolog ini dapat dinikmati oleh penonton yang hadir.
Publik sebagai ruang ekspresi sebenarnya lebih kepada isian, maksudnya adalah ketika melakukan pementasan tidakhanya di atas panggung yang pada akhirnya hanya bisa dinikmati orang seni saja. Sudah saatnya para seniman langsung ke masyarakat untuk memberikan atau menyuguhkan tontonan, paling tidak mengenalkan kepada mereka bentuk kesenian yang ada. Terakhir saya ingin mengatakan bahwa pertunjukan teater tidak hanya di atas panggung saja, tapi bisa hidup dimana saja dan kapan saja sejauh itu bermanfaat untuk orang lain, biarlah mereka sebagai penilai baik buruknya sebuah karya…………....


0 Response to "Publik Sebagai Ruang Ekspresi"